“Jangan lewat sana!” Amira menarik tangan Raga keras. Dia melotot saat melihat Raga menepis tangannya. “Kalau mau narik perhatian cowok, tidak harus begini.” Raga sinis menatap. “Aku akan melaporkan kamu sebagai penguntit.” Amira menendang kaki Raga karena terlampau kesal. “Ya sudah, pergi sana kalau kamu mau mati!” ketus Amira tidak peduli. Raga tidak tahu saja kalau Amira bisa melihat masa depan. Lima belas menit lagi, akan ada penjahat yang menangkap cowok itu. Biar saja. Menolong Raga pun tidak ada untungnya buat Amira.
Lihat lebih banyak“Nama gue, Raga Kendrick Wijaya. Panggil aja Raga!"
Kelas XI-A kedatangan murid baru. Namanya Raga. Dia pindahan dari Bellva School.
Suasana di dalam kelas mendadak ricuh. Sepertinya, Raga berhasil mencuri perhatian seluruh penghuni kelas, terkecuali seorang siswi yang duduk di samping jendela baris pertama, tepat di depan meja guru.
Siswi itu bernama Amira Putri. Dia adalah murid beasiswa yang menjabat sebagai ketua kelas.
“OMG! Dia ganteng banget!”
"Mukanya cute kayak oppa-oppa Korea!
"Astaga! Bibirnya tebal dan sangat seksi!”
"Dia tinggi. Raga pantes jadi kapten basket sekolah!"
Amira mendengar celoteh kekaguman dari beberapa siswi. Mungkin saja, Raga akan menjadi siswa terganteng di sekolahnya, Laveire.
Sebenarnya, Amira pun mengakui. Semua orang bersemangat menyambut Raga, kecuali dia sendiri.
“Raga, kamu duduk di samping Amira, ya!"
Sayangnya, takdir suka bercanda. Amira tidak tertarik pada Raga, tapi cowok itu justru duduk di sampingnya.
“Ibu harap, kamu bisa bantu Raga ya, Amira!"
Wajah Amira berubah berhiaskan senyum. Dia mengangguk patuh. “Iya, Bu.”
Saat bel berbunyi nyaring, Sonya segera mengakhiri pelajaran. “Kalian bisa terus kenalan dengan Raga. Kita lanjutkan pelajaran di minggu depan." Dia merapikan buku-buku di atas meja.
Amira beranjak saat melihat Sonya kesusahan membawa buku tugas para murid.
“Biar saya bantu, Bu!” Amira mengajukan diri. Dia dengan cepat mengangkat semua buku lalu mengikuti Sonya ke ruang guru.
“Makasih, Amira.” Sonya duduk di kursinya. "Kamu selalu bisa diandalkan.”
Amira mengangguk puas. “Sama-sama, Bu.”
“Sebentar!” Sonya meminta Amira mendekat. “Ibu titip ini untuk Raga.”
Amira mengangguk. Ia berjalan keluar. “Kasih sekarang? Apa nanti aja?”
Amira tersenyum simpul. “Kalau bisa nanti, kenapa harus sekarang?”
Lagipula, Raga bukan termasuk orang yang menjadi prioritas utama Amira. Jadi, dia tidak begitu peduli.
Amira tersenyum lebar. “Lebih baik aku makan," katanya, penuh semangat.
Amira memilih membelokkan kaki ke kantin. Ia menghabiskan waktu selama setengah jam untuk mengisi perutnya di sana.
Saat kembali ke kelas, Amira terkejut dengan tempat duduknya yang ramai luar biasa.
“Ada apa?” Amira mendekat. “Apa yang terjadi?”
Sebagai ketua kelas, Amira sudah memikirkan tentang tanggung jawab. Dia tidak boleh lalai.
“Kenapa?” Amira mendapati Rachel tersungkur dari kursinya. “Siapa yang ngelakuin ini?”
Suasana kelas menjadi hening. Tidak ada seorangpun yang menjawab Amira.
Karena tidak ada yang mau membuka mulut, Amira memilih langsung bertanya pada Rachel.
Rachel menatap Amira. “Aku nggak apa-apa. Cuma jatuh aja, kok.” Gadis itu kabur setelah menyeka air matanya.
Amira masih menatap tidak percaya saat Rachel pergi begitu saja. “Kok bisa jatuh?”
Tangan Amira memeriksa kursi yang sebelumnya diduduki Rachel, kursi miliknya.
“Enggak ada yang rusak, tuh.”
Amira masih mencoba mencari akar masalah, tapi kursinya baik-baik saja. Kondisinya masih sama seperti saat ia pergi tadi. Namun yang berbeda, hanya kaki Raga yang memanjang sampai ke kaki kursi Amira.
“Lo dorong Rachel?” tanya Amira, curiga.
Raga bersandar di kursi. Dia menjawab dengan malas, “Enggak. Dia jatuh sendiri.”
Amira menatap Raga lekat. “Masa, sih?”
Tanpa disadari, Amira dan Raga mulai beradu argumen. Amira mencurigai Raga. Sedangkan Raga merasa tertuduh dan dia tidak terima.
Raga emosi. “Lo nuduh gue?!"
Amira mengelak. "Nggak, gue cumaー"
Amira belum selesai bicara, tetapi Raga menyelanya. Suasana di dalam kelas memanas.
"Lo tau, nggak? Nuduh tanpa bukti termasuk tindakan kriminal. Gue bisa nuntut lo, kasus pencemaran nama baik.”
Amira berjengit. Raga tiba-tiba saja mengancam padahal ia belum sampai menuduh. Jadi, daripada masuk ke dalam masalah, lebih baik Amira mengalah.
“Ini badge lo,” ucap Amira, mengalihkan topik. “Titipan Bu Sonya.”
Raga mengambil badge dengan wajah datar. Amira yang gemas meledeknya dengan sebuah ucapan nyaring, “Sama-sama!”
Bukannya sadar dan mengucap terima kasih, Raga sibuk memainkan handphone. Amira tidak ingin ambil pusing. Dia berbalik dan berjalan menuju papan tulis.
Amira memilih untuk menulis tugas yang sebelum ini dititipkan guru padanya. Papan tulis mulai penuh dengan tulisan Amira. Dia meminta teman-temannya untuk mengerjakan tugas matematika.
Selesai menuliskan soal di papan, Amira kembali ke kursinya sendiri. Ia pun mulai mengerjakan soal seperti teman-temannya yang lain. Tapi soal matematika yang sangat sulit membuat Amira frustasi. Penghapus yang sebelumnya ia pegang ikut melarikan diri ke sisi Raga, jauh di sudut.
Raga memang duduk di pojok, bersebelahan langsung dengan tembok. Sementara Amira sendiri memilih duduk di pinggir, tentu saja agar ia bisa lebih mudah keluar.
“Duh!” Amira mengeluh keras. Ia malas beranjak. “Tolong ambilin, dong!”
Raga berdecak, tapi tetap mengambilkan penghapusnya. Tangan Raga yang terulur, tak sengaja bersentuhan dengan tangan Amira.
“Hah?!” Amira melototi Raga.
Amira tersentak sesaat. Ia tertegun selama beberapa detik. Sikapnya itu membuat Raga menepis tangan Amira dengan kesal.
“Nggak usah modus!” Raga mengibaskan tangannya, memalingkan wajah.
Amira masih menatap Raga dengan seluruh perhatian yang ia punya. “Lo punya musuh?”
Raga yang sebelumnya cuek pun menoleh. “Bukan urusan lo.”
Amira mengangguk membenarkan. Intuisinya selama ini tidak pernah salah. Dia bertanya lagi, “Lo punya musuh yang jahat banget, nggak? Yang ngincer nyawa lo?”
Raga mendengus. “Gue cuma dorong kursi doang. Kenapa lo bawa-bawa nyawa gue?”
Amira sudah menduga jika dugaannya benar. Raga yang membuat Rachel terjatuh. Sayangnya, bukan hal itu yang membuat Amira penasaran.
“Ada orang yang ngincer lo. Coba inget-inget, dosa apa yang udah lo lakuin?!"
Amira yakin, Raga telah melakukan sebuah kesalahan besar. Kalau tidak, mana mungkin Amira melihat bayangan Raga yang bersimbah darah?
Cerita Amira dan Raga selesai sampai di sini. Tak bisa dilanjutkan lagi karena nanti jadi 18+. Hehe 🤭 Yang mau aku melanjutkan Amira dan Raga season dua, berikan like dan komentarnya sebanyak-banyaknya, ya! Terima kasih untuk semua yang sudah membaca dan memberikan dukungan. Cinta banyak-banyak. 🥰 Salam hangat, -Dewiluna-
“Pergi, dulu.” Setelah meminta izin pada Gavin, Andini, dan Heri, Raga dan Amira diantar oleh Ken. Alex sedang cuti untuk sementara waktu. Di asrama, Dika dan Dina menyambut Amira. Memang sedang libur semester, jadi suasana sekolah sepi. “Kak Amira mau pindah ke mana?” Dika bertanya penasaran. Amira tidak bisa memikirkan jawaban, jadi Raga yang mewakili. “Apartemen,” jawab Raga singkat. “Di sini ternyata enggak aman.” Amira tidak membantah. Dia biarkan saja Raga semaunya merangkai kebohongan tentang status juga tempat tinggal mereka. Terdengar hela kecewa dari mulut Dika. Meski begitu, Dika tetap membantu Amira berkemas. Dina pun melakukan hal yang sama. Dia tidak masalah di mana pun Amira tinggal, selama hubungan mereka baik. “Hati-hati di jalan ya!” Dina dan Dika melambai bersamaan. Kedua bersaudara itu mengantar Amira sampai ke depan gerbang. Amira memang tidak membawa semua barangnya. Dia cuma mengambil baju dan barang-barang penting. Sisanya bisa diambil nanti. “D
“Gue enggak ngerasa ini beneran,” ucap Amira. Setelah Amira dinyatakan benar-benar sembuh, Raga mengajaknya masuk ke dalam kediaman keluarga Wijaya. Raga tidak membiarkan Amira berhenti di depan pintu. Dia menarik Amira masuk ke dalam. Kali ini, tangan Amira tak terlepas dari genggaman. “Udah gue bilang, kan? Lo percaya aja sama gue,” sahut Raga sombong. Gavin dan Andini datang kemudian. Mereka menyambut Amira. “Kamu langsung bersiap saja.” Andini mendorong Amira masuk ke dalam salah satu ruangan. Di sana, sudah ada penata rias lengkap dengan para pelayan yang membantunya bersiap. Amira terus-menerus curiga, tapi tidak ada yang terjadi. Bahkan dia sudah mengecek masa depan dengan memegang semua orang, dan hasilnya sama. Tak akan terjadi apa pun. Semuanya berjalan lancar seperti seharusnya. “Sudah selesai.” Ucapan penata rias itu membuat Amira tertegun sesaat. Dia menghadap cermin lalu mendapati pantulan dirinya di sana. “Apa ada yang mau diperbaiki?” Penata rias itu
“Gimana keadaan Bapak?” Tanya Amira saat menjenguk Reynald. Amira langsung menyeret Raga ke ruang rawat Reynald setelah tahu gurunya sudah sadar. Reynald tersenyum. “Baik.”Febby yang kemudian mewakili Reynald bicara lebih banyak. “Keadaannya udah stabil, jadi lo enggak perlu khawatir lagi.”Dia menepuk lengan Amira lembut. “Jangan merasa bersalah lagi, ya,” sambungnya. Amira mengangguk pelan. Melihat Febby yang tak lagi menangis membuat Amira merasa lega. “Mending lo istirahat, sana.” Febby membalikkan badan Amira. Dia menunjuk pintu keluar. “Tidur di atas kasur.”Amira menggeleng–menolak, tapi Febby memaksa. “Harus!”Perintah itu akhirnya dituruti Amira. Dia dibimbing Raga kembali ke dalam ruang rawatnya. Di sana, Raga langsung menyuruh Amira berbaring. “Akhirnya!” Raga ikut naik ke atas ranjang, berbaring di samping Amira. “Gue bisa tidur juga.”“Raga! Turun, ih!” Pekik Amira.Amira berusaha mendorong Raga menjauh, tapi pacarnya itu tidak bergerak. “Raga, gue tendang ya!” An
“Pendarahannya parah,” gumam Febby, dengan suara putus asa. Amira menarik napas dalam, mencoba meredam rasa bersalah yang menyesakkan. Namun, dia tahu jika ini bukan waktunya untuk lemah, apalagi mengeluh.“Ayo kita berdoa, Kak. Gue yakin, Pak Reynald pasti bisa melalui ini semua.”Febby hanya mengangguk dengan tatapan kosong. Dia tidak ingin berharap, tapi hanya harapan yang tersisa untuknya. Amira ikut berdoa dalam hati. Dia sungguh tidak bisa membayangkan jika Reynald benar-benar pergi. Amira tak mampu hidup dalam rasa bersalah.“Amira,” panggil Raga lembut. Raga duduk di samping Amira, menemaninya. “Sini, deketan sama gue,” ucap Raga seraya memberikan satu bahunya agar Amira bisa bersandar.“Gue enggak ngantuk,” jawab Amira, keras kepala.Amira mungkin mengatakan jika dia tidak lelah, tapi wajahnya sudah kusut dan kedua matanya hampir terpejam.Hanya butuh beberapa menit sebelum akhirnya Amira be
“Bangkeee!” Evan menjulurkan tangan, ingin menempeleng Raga. Namun, luka di tangannya membuat dia mengurungkan niat. Michelle sampai membantu Evan duduk kembali dengan tenang di kursinya. “Elo serius enggak punya rencana apa-apa?!” Evan memekik tak percaya. Padahal lagak Raga tadi sudah seperti orang serius. “Ada,” jawab Raga singkat. “Ini Amira lagi ngeliat rencana gue.” Amira yang mewakili Evan menyikut Raga. Dia juga kesal pada sikap pacarnya yang seenak udel begini. “Ngomongnya mau bikin perusahaan saingan. Hampir aja gue percaya!” Evan misuh-misuh. Sementara Raga, masih santai di samping Amira. Dia cuma mengangkat bahu sambil menjawab tenang. “Ya bagus, kan! Artinya tampang gue meyakinkan.” Raga menggampangkan masalah yang dia buat. Evan sudah sibuk mengomel. Michelle pun sama. Keduanya menatap Raga tak percaya. Mereka tidak pintar, tapi juga tidak bodoh untuk menyadari jika Raga hanya melakukan tindakan impulsif tanpa persiapan.“Terserah lo aja, deh!” Evan jadi lelah s
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen