Share

HIDUP BARU CITRA

"Citra, aku tahu. Ini memang sulit kamu terima. Tapi, tolong pikirkan anak kita. Kamu jangan egois!" pekik Dirgantara.

Citra justru bingung mengapa kini ia yang harus dianggap egois. Dia hanya ingin lepas. Citra tidak ingin karma buruk akan menimpanya dan keluarganya karena telah menyakiti hati seorang wanita. Istri pertama Dirgantara yang baru diketahuinya.

"Terserah apa kata kamu, Mas! Aku tetap dengan keputusanku untuk berpisah setelah aku melahirkan!" tegas Citra.

"Cit, Citra, tunggu!" panggil Dirga. Namun, Citra tak perduli. Ia memilih mengurung dirinya di dalam kamar. Mengunci kamar itu agar suaminya tidak bisa masuk dan membujuknya kembali.

"Maafkan aku, Mas. Aku nggak bisa hidup dalam bayang rasa bersalah. Biarkan aku yang mundur ...." batin Citra.

Di teras rumah, Dirgantara hanya mampu terdiam. Menatap langit papua yang malam itu begitu cerah. Tubuhnya mulai menggigil karena dinginnya yang menusuk hingga ke tulang.

"Tuhan, apa yang harus kulakukan sekarang? Aku nggak mungkin berkata jujur pada Nissa. Tapi, aku juga nggak mau kehilangan Citra ...." batin Dirgantara kala memandang wajah Nissa di dompetnya.

....

Citra yang mengetahui jika hari kelahirannya segera tiba akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah. Keputusannya sudah bulat untuk segera berpisah dari Dirgantara. Pria beristri yang telah membohonginya selama ini.

"Citra, kamu yakin dengan keputusan kamu? Apa kamu sudah memikirkan hal ini dengan matang?" tanya Nadia, sahabat baik Citra.

"Iya, Nad. Aku nggak bisa bahagia di atas penderitaan wanita lain. Dia dan anaknya lebih berhak atas Mas Dirga, dibandingkan kami," jawab Citra sambil mengusap perutnya yang sudah mulai turun.

"Ya sudah. Kalau itu memang menjadi keputusan kamu. Aku support, yang penting kamu bahagia. Kalau gitu, kita berangkat sekarang. Aku bantu angkat kopernya ya."

Nadia pun membawa beberapa koper milik sahabatnya itu ke dalam mobil. Kedua wanita yang bersahabat sejak di bangku SMP itu langsung bergegas pergi, sebelum Dirgantara pulang.

"Nak, maafkan Mama ya. Maaf kalau kamu tidak bisa bertemu dengan Ayah kamu ...." batin Citra.

Pukul 20.30

Dirgantara akhirnya sampai di rumahnya. Nampak sepi. Gelap. Kecurigaan pun mulai hadir di benak Dirga. Tidak seperti biasanya, rumahnya gelap seperti tak berpenghuni.

"Citra, Sayang, kamu di mana?" panggil Dirga. Namun, tidak satupun jawabannya yang digubris. Ketukan pintunya pun tidak mendapatkan respon.

Dirgantara akhirnya panik. Ia mencoba mengintip dari jendela. Suasana gelap. Tidak ada satupun lampu yang menyala. Dirgantara akhirnya mencoba ke arah belakang, berharap ada cahaya untuk melihat ke dalam. Tapi, tetap sama.

Dirgantara akhirnya kembali ke pintu depan. Ia terpaksa mendobrak dan mencari keberadaan istrinya itu. Namun, Dirga kaget. Tidak ada siapapun di dalam kamarnya. Hanya sebuah surat yang tergeletak di atas ranjangnya.

"Mas, maafkan aku. Aku sudah bulat dengan keputusanku untuk bercerai. Setelah anak ini lahir, aku akan segera mengurus surat perceraian kita. Maafkan aku, Mas. Semoga kamu bisa hidup bahagia bersama Mbak Nissa."

Sejak malam itu, Dirgantara yang mencari ke seluruh tempat di mana mungkin ada keberadaan Citra, tapi hasilnya nihil. Bahkan Nadia, sahabat baik Citra pun mengaku tidak tahu soal keberadaan istri kedua Dirgantara itu.

"Citra, ke mana kamu bawa anakku?" batin Dirgantara

....

Citra akhirnya melahirkan secara normal. Seorang bayi tampan yang ia beri nama Uki Dewantara. Dengan penuh perjuangan dan airmata. Tanpa kehadiran seorang suami di sisinya.

Citra memang tidak bersalah. Sejak awal ia tidak pernah tahu jika Dirga adalah pria beristri. Namun, kini pilihan sudah ia ambil. Citra memilih mundur. Hidup bersama putra tampannya tanpa seorang suami.

"Nak, maafkan Mama ya. Maaf jika kamu tidak pernah mendapatkan sosok seorang Ayah di hidup kamu ...."

Setelah kondisinya membaik, Citra pun memutuskan mengurus administrasi agar mendapatkan surat perceraian di kantor pengadilan agama. Tepat tiga bulan usia Uki, statusnya pun menjadi jelas.

Dirgantara yang terus berusaha mencari keberadaan Citra dan buah hatinya pun tidak membuahkan hasil. Citra bak ditelan bumi. Tidak ada satupun yang mengetahui keberadaan Citra.

"Citra, di manapun kamu berada, semoga kamu dan anak kita selalu dalam lindungan Allah. Aku sudah berusaha mencari keberadaan kalian, tapi aku belum bisa menemukan keberadaan kalian. Maafkan aku. Aku berharap suatu saat Allah akan mempertemukan kita kembali ...." batin Dirgantara.

Hari ini, akhirnya tugas Dirgantara selesai. Ia pun memutuskan kembali ke Jakarta. Memulai hidupnya yang baru hanya dengan satu istri.

Citra pun memutuskan pindah. Ia menjual semua aset yang dimilikinya dan pindah ke Bandung. Ada seorang temannya menawarkan sebuah pekerjaan yang menggiurkan. Semua dilakukannya demi masa depan putra tunggalnya yang harus ia besarkan seorang diri.

"Uki, Mama garap suatu saat nanti kamu bisa menjadi anak yang berbakti, sukses dan menjadi pria yang bertanggungjawab, tidak seperti ayah kandungmu ...." ucap Citra saat kakinya melangkah naik ke pesawat yang akan membawanya ke tempat hijrahnya.

....

Gelak tawa Uki menjadi penyemangat hidup Citra setelah perceraiannya dengan Dirga. Pria yang sesungguhnya masih sangat ia cintai. Namun, sebuah pilihan telah diambilnya.

Uki kini sudah belajar melangkah. Usianya pun sudah menginjak 1 tahun. Walau hari-harinya disibukkan dengan pekerjaan, tapi Uki tidak pernah kehilangan waktu bersama Mamanya. Citra sadar, yang dipunya Uki hanyalah dirinya. Tidak ada sosok ayah dalam kehidupan Uki.

Beberapa tahun berlalu

Citra akhirnya mendapatkan promosi jabatan. Ia dipindahkan ke Jakarta dan menjadi seorang direktur keuangan di sebuah kantor pusat. Mendapatkan fasilitas rumah dan mobil yang luar biasa bagus bagi seorang Citra.

Uki pun harus pindah sekolah. Memulai adaptasi kembali dengan teman-temannya. Walau agak kesal, Uki pun mencoba berdamai dengan keadaannya. Pindah ke ibukota yang padat penduduk. Udara yang tidak lagi sebagus kota kembang.

Dua hari setelah kepindahannya, Uki pun masuk ke sekolah barunya. ACG School Jakarta. Sekolah bertaraf internasional yang biaya SPP puluhan juta itu memang mewah. Bak hotel berbintang.

"Selamat pagi!" ucap Miss Jennie, saat memperkenalkan Uki ke teman-teman sekelasnya.

"Pagi, Miss!"

"Uki, silakan perkenalkan diri kamu, ok?!" ujar Miss Jennie. Uki pun mengangguk.

"Selamat pagi. Perkenalkan nama saya Uki Dewantara. Saya pindahan dari Bandung. Semoga kita bisa berteman dengan baik," ujar Uki tersenyum.

Uki pun duduk di bangku bagian tengah. Di sampingnya duduk seorang siswi cantik bernama Zahra Damariva.

"Hai," sapa Zahra. Uki hanya menoleh, tanpa tersenyum apalagi menjawabnya.

"Sombong banget sih!" gerutu Zahra dalam hati.

Berat bagi Uki beradaptasi di sekolah barunya. Tetapi, akhirnya ia mulai berdamai dengan dirinya sendiri. Hingga lambat laun, Uki pun menjalin kedekatan dengan beberapa temannya. Salah satu di antaranya Zahra. Siswi yang mulai memikat hati Uki Dewantara.

....

Sebuah proyek pun digadang akan ditangani oleh Citra dan perusahaannya. Bekerja sama dengan sebuah perusahaan yang sudah besar dan memiliki banyak klien penting. Citra pun menyiapkan semuanya dengan sangat baik.

Hari ini, tepat di mana ia akan melakukan meeting bersama beberapa perusahaan di kantor MVP Advertising. Citra dengan dua orang anak buahnya pun datang. Bertemu langsung dengan seorang pimpinan bersahaja dan dikenal dermawan.

Citra dan beberapa rekan dari perusahaan lainnya pun datang ke rumah meeting yang telah disiapkan. Banyak hidangan yang telah tersaji. Hingga beberapa menit kemudian, masuklah seorang pria bertubuh tinggi besar, sang bos MVP yang dikenal humble.

"Selamat datang di kantor kami."

Andri Setiawan Djodi. Pria berusia 45 tahun itu terpana ke sebuah sudut. Sosok wanita yang telah bertahun-tahun ini dicarinya. Wanita yang masih sangat ia cintai. Wanita yang menjadi alasannya untuk tetap memilih sendiri.

"Citra?" batin Andri.

Namun, Andri harus bersikap profesional. Ia pun tetap melanjutkan meeting dengan sangat baik. Hingga selesai meeting, ketika para kliennya yang lain telah pulang, Andri pun mencegat kepergian Citra.

"Bu Citra, bisa kita bicara sebentar?" tanya Andri di depan anak buah Citra. Ia tetap ingin bersikap profesional. Hingga Citra meminta kedua anak buahnya menunggu di lobi kantor milik Andri itu.

"Cit, kamu ke mana aja?" tanya Andri menarik tangan mantan kekasihnya itu. Namun, dengan cepat Citra menghempasnya.

"Mau apalagi, Mas? Sekarang kita sebatas profesional kerja. Tolong hargai itu!" pekik Citra yang menatap Andri dengan tatapan tajam.

"Maaf. Aku hanya ingin tahu kabar kamu. Kita sudah lama nggak ketemu kan. Gimana kalau kita makan siang bareng? Banyak hal yang harus kutanyakan. Aku mohon, kamu jangan tolak ya!" seru Andri.

"Maaf, Pak Andri. Terimakasih atas tawarannya. Saya ada pertemuan lagi dengan klien. Saya harus pergi sekarang. Selamat siang!" balas Citra yang langsung pergi meninggalkan ruang meeting milik MVP Advertising milik Andri itu.

Andri hanya menatap kepergian Citra dengan tatapan kesedihan. Ada rasa bersalah yang besar, hingga Andri memilih tetap sendiri.

"Citra, apa kamu belum juga bisa memaafkan kesalahanku dulu?"

bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status