Share

RAHASIA DIRGANTARA

Uki pun bingung. Ia baru sadar jika ia telah salah menyebut nama. Nama Zahra, Zahra dan Zahra yang sedang bergelayut manja di pikirannya.

"Oh, maaf, Laras. Tadi aku habis balas pesan Zahra. Dia rekan kerjaku di kantor. Besok ada meeting penting jam 9 pagi," dalih Uki.

"Oh, ya udah yuk!" Laras pun langsung mengajak Uki bergabung dengan teman-temannya.

Di tengah meriahnya pesta pertunangannya, Uki justru merasa asing. Sendirian. Hatinya kosong. Uki tak bisa mengelak, jika ia masih sangat mencintai Zahra. Gadis muda berstatus mahasiswi di sebuah universitas negeri.

"Ara, maafkan, Mas. Mas tahu, ini pasti akan menyakitkan kamu. Tapi, Mas ataupun kamu nggak punya pilihan sekarang," batin Uki.

Uki tetap berusaha tersenyum. Menebar hal positif bagi tamu undangan yang banyak juga orang penting. Tapi, seorang Ibu tahu betul apa yang dirasakan putranya. Walau Uki tersenyum, bersenda gurau dengan beberapa temannya dan juga Larasati, Uki tetap menyimpan luka.

"Uki, Mama tahu kamu sedih. Kamu terluka karena harus berpisah dengan Zahra. Maafkan Mama dan Bapak kamu ya. Karena masalalu kami, kamu dan Zahra yang menjadi korbannya," batin Citra menatap Uki dari kejauhan.

....

Di sudut lainnya, Zahra sedang menangis di dalam kamarnya. Menangisi kegagalan dan kehancuran cintanya. Zahra tahu, hari ini adalah hari pertunangan Uki dan wanita yang telah dijodohkan Mamanya.

"Kenapa Tuhan nggak adil sama aku? Aku salah apa? Padahal aku selalu menjalankan semua perintahnya. Tapi, kenapa satu keinginan aku ini tidak bisa Engkau kabulkan Tuhan? Kenapa?!"

Zahra menangis pilu. Di usianya yang belum genap 23 tahun, ia harus merasakan semuanya. Ini adalah cinta pertamanya. Tapi, sayangnya semua harus kandas. Bunga itu layu sebelum sempat berkembang.

Zahra pada akhirnya hanya bisa pasrah. Terpaksa mengikhlaskan. Bukan hal mudah baginya melupakan Uki begitu saja. Tapi, sekarang hal ini yang harus dilakukannya.

"Aku harus mencari tahu, apa sebenarnya yang membuat Papa dan Tante Citra tiba-tiba tidak merestui aku dan Mas Uki. Pasti ada sesuatu yang mereka sembunyikan," gumam Zahra.

Zahra pun keluar kamarnya. Ia mulai mencari keberadaan kedua orangtuanya. Namun, ia tidak menemukan siapapun. Hanya Mbok Asnah dan Satria, adik lelakinya yang tengah asyik bermain game online di ruang tamu.

"Mbok, Mama sama Papa ke mana?" tanya Zahra.

"Bapak sama Ibu lagi keluar, katanya ada undangan teman kantor Bapak nikahkan anaknya. Non Zahra butuh apa? Biar Mbok siapkan," tanya Mbok Asnah

"Enggak usah, Mbok. Tadi aku mau ada perlu sama Papa. Nanti aja deh. Makasih ya, Mbok."

Zahra pun memutuskan kembali ke kamarnya. Tapi, saat melintas di depan ruang kerja Papanya, ia penasaran dan akhirnya memilih masuk. Zahra pikir, mungkin saja ia akan menemukan sesuatu di ruang kerja sang Papa yang berkaitan dengan penolakan Papa merestui Zahra dan Uki.

Zahra pun mulai membuka map dan laci-laci satu persatu. Namun, sayangnya Zahra tidak juga menemukan sesuatu yang mencurigakan. Hingga akhirnya, Zahra menemukan sebuah kotak kayu berukuran sedang. Sudah lusuh, sepertinya sudah sangat lama dan berdebu.

"Kotak apa nih?"

Karena penasaran, Zahra pun membuka kotak kayu itu dan mengeluarkan satu persatu isi di dalamnya. Mulai dari popok bayi, gelang rumah sakit dan beberapa barang kecil lainnya.

Zahra pikir, itu semua barangnya sewaktu bayi. Namun, Zahra pun penasaran saat melihat sebuah kertas berwarna biru. Zahra langsung membukanya.

"Dear, Mas Dirga. Maafkan aku. Aku nggak bisa melanjutkan rumah tangga kita lagi. Kembalilah pada istri dan anakmu. Bahagiakan mereka. Jaga diri kamu baik-baik. Terimakasih atas semua kebaikan kamu selama ini, semoga kalian selalu diberikan kebahagiaan."

"What?"

Zahra pun kaget. Di tengah keterkejutannya, Zahra justru semakin tegang saat tiba-tiba Papanya sudah masuk ke dalam ruang kerjanya.

"Zahra!"

"Mau apa kamu di sini?" teriak Tuan Dirgantara. Zahra pun berbalik arah, tangannya pun masih memegang surat yang baru dibacanya itu.

"Pa-pa?"

Zahra pun panik. Ia tahu Papanya itu akan marah besar. Dirgantara pun langsung merampas surat yang baru dibaca putrinya itu.

"Pa, itu surat dari siapa? Papa udah berselingkuh dari Mama?" tanya Zahra terisak.

"Diam kamu!"

"Sekarang kamu keluar. Ingat! Kalau sampai ada yang tahu soal ini, kamu akan Papa usir dari rumah. Papa akan antar kamu tinggal sama Nenek kamu di Jepang. Biar kamu tahu, rasanya hidup jauh dari orangtua!" hardik Tuan Dirgantara.

"Papa ngancam aku?"

"Siapa perempuan itu, Pa? Apa ini ada hubungannya dengan restu yang tidak Papa berikan sama aku dan Mas Uki?" cecar Zahra. Zahra pun mulai mencurigai Papanya. Ada sebuah rahasia antara Papanya dan Tante Citra.

"Apa Papa sudah mengenal Tante Citra sebelumnya?" tanya Zahra.

Papa Zahra itu hanya terdiam. Wajahnya terlihat panik, tegang. Memerah sedang menahan emosinya.

"Kamu jangan lancang! Jangan sampai kamu Papa ...."

"Mau tampar aku, Pa? Tampar!" serang balik Zahra.

Tanpa pernah memikirkan perasaan putrinya, Tuan Dirgantara langsung melayangkan sebuah tamparan keras ke wajah Zahra. Hal yang tidak pernah ia lakukan selama ini.

"Papa tampar aku? Aku semakin yakin, ada sebuah rahasia yang Papa dan Tante Citra sembunyikan dari kami semua. Aku pastikan, Pa, aku akan mencari tahu semuanya! Aku nggak akan diam aja!" ancam Zahra yang berlari ke kamarnya dalam keadaan menangis.

"Ah, shit! Kenapa bisa Zahra menemukan kotak ini? Bahkan Mamanya saja nggak pernah membuka ini. Aku harus segera menyembunyikannya sebelum Nissa mengetahuinya," gumam Dirgantara.

"Aku nggak mau semuanya jadi kacau dan Nissa meminta cerai dariku. Enggak. Itu nggak boleh terjadi!" ucap Dirgantara yang langsung menyusun kembali semua barang ke dalam kotak kayu itu dan menyimpannya dalam brankas miliknya.

....

Citra sedikit lega. Kini Uki dan Larasati telah resmi bertunangan. Hanya dalam hitungan bulan saja, keduanya akan melangkah ke jenjang berikutnya. Sebuah pernikahan.

Pernikahan impian itu mulai dirancang Larasati dan keluarga besarnya. Menggunakan sebuah EO besar dan professional. Untuk memudahkan persiapan pernikahannya dengan Uki.

Namun, di tengah kebahagiaannya, Citra juga menyimpan rasa kasihan pada Uki dan Zahra. Jauh dilubuk hatinya, ia sangat menyayangi Zahra. Andai saja, ia bukan anak Dirgantara, mungkin Uki dan Zahra tengah menikmati kebahagiaannya.

"Citra, Uki, Mama tahu ini semua menyakiti kalian. Tetapi, kalian memang nggak bisa bersatu. Kalian itu adik kakak. Ayah kalian sama. Maafkan Mama, Uki ...."

Pandangannya menerawang jauh. Mengingat kejadian belasan tahun lalu antara dirinya dan Dirgantara.

FLASHBACK

"Saya nikahkan saudara dengan adik kandung saya, Citra Lestari dengan mas kawin satu set emas 15 gram dan uang sejumlah 3.000.000 rupiah."

"Saya terima nikah dan kawinnya Citra Lestari dengan mas kawin satu set emas 15 gram dan uang sejumlah 3.000.000 rupiah dibayar tunai."

"Gimana, sah?"

"SAH!"

Hari itu, tepat jam 8 malam, Dirgantara dan Citra melangsungkan pernikahan. Sederhana dan hanya dihadiri kerabat dekat. Yang penting sah dan berjalan khidmat.

Dirgantara memutuskan menikahi Citra. Ia tidak bisa kesepian. Tanpa ada seorang wanita di hidupnya. Ada kebutuhan lain yang juga harus dipikirkannya. Sedangkan Nissa, harus tetap tinggal di Jakarta demi mengasuh bayi mungil mereka yang baru lahir.

Tidak mungkin baginya membawa Nissa dan sang bayi terbang, terlalu riskan. Apalagi Jakarta Papua sangat butuh waktu panjang dan melelehkan.

Selama bertugas di Papua, kini ada Citra yang akan terus mengurusnya. Itulah mengapa Dirga memilih menikahinya agar tidak timbul fitnah atas kedekatannya dengan Citra. Tanpa Citra harus tahu jika Dirga sudah memiliki seorang istri dan bayi mungil.

Dua bulan setelah pernikahannya dengan Dirgantara, Citra pun dinyatakan positif hamil. Tentu saja Dirgantara sangat bahagia menyambut anak keduanya dan anak pertamanya dengan Citra.

Dirga pun lebih protektif dan menjaga dengan ketat Citra. Hingga tanpa terasa kehamilannya sudah menginjak 9 bulan. Hanya hitungan hari saja, ia akan melahirkan anak pertamanya.

Namun, sepintar-pintarnya menyimpan bangkai, pasti suatu saat akan tercium juga. Tanpa disengaja, Citra melihat sebuah kertas putih yang berisi pengiriman uang suaminya ke seorang wanita. Beralamat di Jakarta.

"Siapa dia? Apa Mas Dirga sudah punya istri sebelum menikah dengan aku? Kok setiap bulan dia rutin kirim uang ke perempuan ini?" batin Citra.

Citra pun langsung membereskannya kembali. Memasukkan ke dalam saku jas suaminya. Citra memutuskan akan bertanya di saat suaminya itu pulang dari kantor.

Sekitar pukul 20.00 Dirgantara akhirnya sampai di rumahnya setelah seharian bekerja. Karena lelah, emosinya pun meledak saat rahasianya itu diketahui Citra.

"Mas, siapa itu Nissa?" tanya Citra menatap suaminya itu dengan tajam. Wajah Dirgantara pun langsung panik.

"Jawab aku, Mas!" tekan Citra yang kesal karena suaminya itu hanya diam saja sejak tadi.

"Kamu tahu dari mana?" tanya Dirga.

"Tadi aku mau nyuci jas dan baju kamu yang udah kotor dan aku lihat slip pengiriman uang setiap bulan ke perempuan itu, Mas. Katakan dia itu siapa, Mas?" tanya Citra dengan nada tinggi.

"Apa dia istri kamu?" tekan Citra.

Bukannya sebuah jawaban yang didapatkan Citra, tapi justru sebuah tamparan ke wajahnya yang ia dapatkan.

"Lancang kamu membuka barangku!" hardik Dirgantara yang terdesak.

"Mas, kamu tampar aku hanya karena aku tanya soal perempuan itu? Oh, artinya benar kalau dia istri kamu. Kamu udah bohong selama ini sama aku dan keluargaku, Mas?" bentak Citra.

Citra mulai marah, emosi yang meledak dan melampiaskan semua kekecewaan dan kemarahannya hingga Dirga mulai kesulitan menenangkan istri keduanya itu.

"Ok, ok, aku akan jelaskan semuanya!" ucap Dirgantara. Semua dilakukan demi menjaga rumah tangganya dengan Citra, istri sirinya.

"Iya, aku sudah menikah sebelumnya. Nissa adalah istri pertamaku dan kami sudah mempunyai seorang anak. Namanya Zahra. Dia lahir beberapa saat sebelum keberangkatanku ke Papua," ungkap Dirgantara.

"Maafkan aku, Citra. Aku nggak bermaksud membohongi kamu, tapi aku sudah terlanjur mencintai kamu dan aku nggak mau kehilangan kamu, Sayang. Aku mohon, maafkan aku ...." lirih Dirga.

"Aku juga nggak bisa hidup sendiri dan jauh dari Nissa. Sedangkan aku juga punya kebutuhan yang nggak bisa kutepis begitu saja. Daripada aku berbuat dosa, berzina, lebih baik aku menikah. Itu kenapa aku memutuskan menikah dengan kamu, Citra. Karena aku mencintai kamu, Sayang ...." terang Dirgantara. Ia berharap istri keduanya itu mau menerima penjelasannya dan tetap bertahan.

"Aku nggak bisa, Mas. Aku nggak bisa hidup bahagia di atas penderitaan wanita lain. Kalau istri pertama kamu tahu, dia akan sakit hati dan aku takut bakal menerima karma. Maafkan aku, Mas. Lebih baik aku mundur," ujar Citra tegas.

"Maksud kamu apa Citra?"

"Aku mau kita bercerai setelah anak ini lahir. Supaya kamu bisa kembali sama istri dan anak kamu, Mas!" tegas Citra.

"Enggak! Aku nggak mau, Citra. Kamu akan tetap jadi istri aku dan Nissa? Dia nggak akan pernah tahu. Dia akan tetap bahagia. Aku tidak menzalimi dia sedikitpun!" dalih Dirgantara.

"Enggak, Mas!"

"Bagi kamu, mungkin Nissa akan bahagia. Dia tidak akan pernah tahu pernikahan kita. Tetapi, apa kamu lupa? Dia punya Allah. Allah itu akan selalu melihat apa yang makhluknya tidak bisa melihat, Mas! Apa kamu nggak takut atas kezaliman kamu, Allah menghukum kamu?"

"Kamu mau menentang Allah, Mas?"

bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status