Angela berhenti di sebuah pom bensin yang tak jauh dari rumah Lily. Ia sengaja masuk ke toilet yang ada di pom bensin tersebut untuk mengirim pesan pendek pada Antoni Hakim. Lelaki itu harus cepat mengetahui penyebab kematian putrinya.
"Periksa leher putri Anda. Ada bekas cekikan di sana. Miranda dan Lula adalah penyebabnya."
Pesan dikirimkan dengan doa dan pengharapan yang besar agar Antoni Hakim cepat membuka pesan itu. Centang dua berwarna abu-abu bertanda W* lelaki tersebut aktif. Selebihnya Angela serahkan pada Tuhan.
Angela mencari tahu di internet tentang keluarga Antoni Hakim. Ternyata Miranda adalah istri keduanya setelah istri pertamanya berpulang. Sedangkan Lula adalah keponakan Miranda yang lebih dulu bekerja pada Antoni Hakim. Mungkin Lula yang menjodohkan keduanya hingga menikah.
Kabar kematian mendadak putri pengusaha itu pun sudah muncul menghiasi beberapa halaman berita media online. Namun, pesan dari Angela belum juga bercentang biru. Suara gadis kecil itu seakan terus bergema di telinganya sehingga perasaannya terus gelisah. Ia masih berharap Tuhan membantunya sebelum pemakaman Lily besok.
"Masih sore sudah pulang, An. Biasanya malam kau baru tiba di rumah," kata Rania ketika Angela meletakkan helm di meja khusus menyimpan barang-barang miliknya.
"Hanya tiga klien hari ini dan semoga tidak ada telepon dadakan. Aku sangat capek, mau tidur."
"Apa sudah kau bayar tagihan listrik kita, An? Hari ini jatuh tempo. Nanti kalau sudah ada uangnya Kakak ganti."
Angela menarik napas. "Iya, Kak. Nanti aku bayarkan dulu." Angela kemudian masuk ke kamarnya. Ia malas berlama-lama bicara dengan Rania. Walaupun dia itu kakaknya, tetapi hubungan mereka tidak begitu dekat.
Mereka diasuh terpisah. Rania ikut ayahnya sedangkan Angela dibesarkan ibunya. Orang tua mereka bercerai saat Angela baru berusia tiga bulan.
Rania tumbuh menjadi sosok yang cenderung keras dan mudah tersulut amarah bila ada sesuatu yang tidak disukainya. Sangat berbeda dengan Angela yang tenang.
Sebelum menikah dengan Robby, ayah mereka meninggal dunia, lalu Rania pindah ke rumah milik ibunya. Selama tinggal dengan ayahnya mereka kerap kali berpindah-pindah rumah karena tidak mampu membayar. Uang yang didapat dari bekerja di pabrik banyak habis di meja judi. Itu pula yang membuat ibu Angela memilih untuk berpisah.
Angela kadang terpikir untuk tinggal di tempat lain. Menyewa sebuah rumah atau kamar kos agar pikirannya jauh lebih tenang. Sudah tiga bulan ini hampir semua kebutuhan rumah dia yang menanggung. Dari tagihan listrik sampai biaya makan sehari-hari. Ada saja alasan yang diungkapkan Rania agar Angela mau mengeluarkan uang. Ia merasa Rania hanya memanfaatkan dirinya saja.
Sebelum beristirahat Angela menyantap ayam geprek yang dibelinya di depan gang untuk mengganjal perutnya hingga malam. Bila ia terjaga nanti, martabak manis sudah ia simpan di lemari kecil di kamarnya. Sengaja dia membeli cukup untuk dirinya saja dan tidak disimpan di kulkas. Kalau tidak Angela hanya akan kebagian pembungkusnya saja.
Belum lama terlelap, ponselnya bergetar beberapa kali. Angela meraihnya dengan malas. Ia memang selalu mengaktifkan ponselnya dan meletakkannya di atas bantal di samping kepalanya.
Angela terkejut sekaligus senang, Antoni Hakim sedang mencoba terhubung dengannya. Menenangkan diri sebentar, barulah ia mengangkat telepon pengusaha itu.
"Siapa kamu?" tanya lelaki itu setelah menyapa Angela.
"Saya Angela yang merias putri Anda," jawab Angela seraya bangkit dari tempat tidurnya lalu duduk di bibir ranjang.
"Dari mana Anda tahu bahwa Lily meninggal tak wajar. Siapa yang memberitahu Anda?"
"Lily," jawab Angela pendek.
"Lily?!" Antoni Hakim nyaris berteriak.
"Iya. Lily berbicara dengan saya. Anda boleh percaya boleh juga tidak."
"Saya bukan orang yang percaya dengan … maaf orang-orang seperti Anda yang katanya bisa berbicara dengan arwah."
"Sebelum pulang dari rumah Anda, saya berbicara dan meminta nomor ponsel Anda dengan Bu Murti. Silakan Anda tanya beliau." Angela enggan berlama-lama bicara dengan orang yang tidak percaya. Karena akhirnya akan percuma.
"Terima kasih untuk perhatian Anda. Selamat malam."
Belum lagi Angela membalas salam tersebut, Antoni Hakim sudah menutup teleponnya. Ia pikir sosok gagah yang ditemuinya tadi adalah lelaki yang ramah dan hangat. Namun, mendengar suaranya di telepon barusan, entahlah.
Angela jarang bisa kembali tidur bila terbangun tiba-tiba seperti tadi. Ia mengambil salah satu novel tua milik ibunya dari rak buku yang terletak di samping meja riasnya. Mungkin sudah lebih dari ratusan kali ia membacanya hingga tamat.
GONE WITH THE WIND yang ditulis Margaret Mitchell dan merupakan salah satu novel terlaris sepanjang sejarah, selalu bisa memukau Angela setiap kali ia membacanya.
"An!" panggil Rania disertai ketukan di pintu mengejutkan Angela.
"Iya, Kak," sahut Angela lalu menutup novel yang dibacanya.
"Itu ada temanmu, aku lupa tanya namanya."
"Sebentar aku keluar."
Angela merapikan rambutnya sedikit menggunakan jari-jarinya. Sudah lama ia ingin memangkas rambutnya lebih pendek tetapi belum ada waktu.
"Olla!"
"Kenapa? Aku tidak boleh ke sini?" tanya Olla teman yang baru dikenal Angela satu tahun belakangan.
"Boleh. Boleh banget malah. Ke kamarku saja." Angela menggerakkan kepalanya ke arah samping sebagai isyarat agar Olla mengikutinya.
Terakhir mereka bertemu satu bulan lalu. Olla bukan gadis biasa. Ia seorang indigo yang memiliki kemampuan untuk menyembuhkan. Namun, ia selalu melakukan penyembuhan terhadap orang-orang secara diam-diam. Awal pertemuan dengan Angela pun begitu.
Sebagai seorang perias jenazah, sisa-sisa energi dari jenazah yang ia tangani akan menempel pada tubuhnya. Awalnya tidak begitu mengganggu, hingga akhirnya berdampak pada kesehatan psikisnya. Emosinya tidak stabil. Kadang tiba-tiba merasa sedih, satu jam kemudian merasa sangat bahagia tanpa alasan. Dan yang paling mengganggu adalah suara-suara yang tumpang tindih di dalam telinganya. Ia bahkan sering tidak tidur karena keadaan itu.
Angela sangat sadar dengan perubahan pada dirinya dan berpikir untuk mundur dari profesi yang sudah lama ia geluti. Lama-lama berurusan dengan orang mati bisa membuatnya gila.
Olla datang di saat Angela berada fase tersebut. Gadis muda energik itu mengikutinya saat Angela berbelanja di salah satu supermarket di tengah kota. Hampir saja Olla ditangkap satpam karena Angela mencurigainya.
Dari pertemuan yang tidak menyenangkan itu, Olla menjelaskan bahwa ia sengaja menguntitnya. Ia melihat Angela saat masuk dari pintu utama mall. Hatinya tergerak untuk menolong karena terlihat banyak sekali energi yang menempel pada tubuh Angela. Bila itu dibiarkan terlalu lama tubuh dan jiwanya akan 'sakit' karena tidak sanggup menahan beban.
"Kau di sini saja menemani Angela. Aku akan menelepon Pak Andreas. Semoga ada kabar baik juga dari Gumawang dan Dahlia," kata Olla seraya meninggalkan kamar tidurnya. Olla mondar-mandir di balkon. Matanya sesekali mengarah pada langit yang kelam. Bintang tidak satu pim terlihat menggantung di atap dunia yang gelap itu. Andreas belum juga meneleponnya setelah beberapa kali missed call. Hampir saja ia ketiduran di kursi ketika akhirnya Andreas menelepon. Kabar baik yang diharapkan benar-benar terdengar dari seberang telepon. "Nanti saja cerita panjangnya, Pak. Yang penting sudah pasti bahwa Tuan Antoni selamat. Kalau Angela sudah bangun saya akan membawanya ke rumah sakit," kata Olla. Ia menghela napas lega. Rasanya tidak sabar untuk menyampaikan kabar baik ini pada Angela dan Joana. "Jo, Tuan Antoni selamat. Ia ditemukan di pinggir sumur dengan keadaan lemas. Ajaibnya tidak banyak air masuk ke paru-parunya. Sekarang sudah berada di rumah sakit," ucap Olla pada Joana yang masih tergu
Angela memegangi lehernya sambil mengatur napas. Ia tidak memperhatikan makhluk itu maupun Antoni. Begitu ia mengangkat kepalanya mereka sudah tidak ada. "Kim! Kim!" Angela berteriak sekuat tenaga. Ia menyusul ke bibir sumur. Melihat ke dalam tetapi tanda-tanda keberadaan mereka tidak terlihat. Di sana masih mengambang mayat yang sama seperti yang dilihatnya bersama Antoni. Perasaan Angela hancur, ledakan tangisnya tidak bisa membawa Antoni kembali ke sisinya. Logikanya lenyap seketika. Tanpa berpikir panjang, ia menceburkan dirinya mengikuti Antoni ke dalam sumur. "Angela jangan gila!" Dahlia memegangi kedua pundak Angela lalu menariknya hingga terlempar membentur dinding. "Diam kau di situ! Kau kira kami tidak membantumu. Apa kau tahu, tidak mudah menembus ke ruangan ini." Dahlia berjongkok di depan Angela. "Jadi tolong jangan bertindak bodoh!"Angela menunduk. Air matanya luruh, menetes ke atas jerami yang berserakan. "Maafkan, aku. Aku tidak siap untuk keadaan ini, apalagi haru
"Misalnya?" Angela menggeser duduknya ke depan Antoni. "Hei," bisiknya, menyentuh pundak Angela dan sedikit menggeser tubuhnya semakin dekat. "Apa kau tahu, kau sama sekali tidak lemah. Ketika kau meludahi Steve, aku merasa sangat bangga padamu." Senyumnya merekah ketika ia menangkup pundak Angela. Mereka begitu dekat. Antoni menghirup wangi Angela dan rasanya seperti menenggak afrodisiak. la menggenggam Angela semakin erat. "Dan percayalah pendapatku sebagai laki-laki, kau selalu cantik dalam segala hal," tambahnya.Angela terbuai oleh ketulusan suara Antoni dan tatapannya yang bergairah. Beberapa detik lalu ia tidak berpikir untuk mencium Antoni, tetapi sekarang, mencium pria itu kelihatannya hal paling tepat. Ia ingin menghilangkan perasaan takut yang mengikatnya. Angela mengangkat tangan, menungkup wajah Antoni, tunggul janggutnya menggelenyarkan telapak tangan. Tatapan lelaki itu menjadi berhasrat. Angela berdebar-debar, memejam, dan merasakan bibir Antoni mendarat dengan panas
Mereka digiring masuk ke salah satu kandang kuda. Di dinding bagian belakang kandang tersebut terdapat pintu rahasia yang tersamarkan.Steve dan Alena tersenyum sinis ketika Angela dan Antoni dibawa masuk. Alena bahkan bertepuk tangan sambil mendekati keduanya. "Kau masuk ke dalam jebakanku Antoni Hakim. Aku tidak tahu kau ini terlalu polos atau terlalu bodoh," ejek Alena, dia mendekatkan wajahnya ke depan wajah Antoni. Antoni tidak mengatakan apa pun, ia memalingkan wajahnya menghindari tatapan Alena yang dirasanya tidak penting. "Seharusnya kau cukup duduk manis menikmati semua uangmu tanpa repot-repot ikut campur urusanku," kata Alena menyentuh pipi Antoni dengan ujung jarinya. Steve Menda beranjak dari kursinya. Mendekati istrinya. "Mereka maunya seperti itu, biarkan saja. Berikan kesempatan untuk mereka berduaan sebelum napasnya hilang." "Rencanaku pun begitu. Tapi, apa kau tidak menginginkan perempuan ini?" Alena sedikit menunduk untuk mengintimidasi Angela dengan tatapanny
"Tidak ada apa-apa, kan, Win. Sepertinya kau ini berhalusinasi," kata Erik. Cahaya ponselnya bergerak ke kandang di mana Angela dan Antoni berada. Nasib baik lagi-lagi berpihak pada mereka. Erik hanya menyorot sekilas di bagian dinding saja. "Di sini juga tidak ada apa-apa. Mungkin benar aku hanya berhalusinasi efek tidak jadi minum-minum di bar." Edwin terkekeh. "Nah! Betul itu."Mereka kembali ke tempat semula. Berdiri mengawasi di belakang mobil Alena. "Hampir saja, An." Antoni menyingkirkan jerami yang menutupi tubuhnya."Tuhan menyelamatkan kita lagi dan semoga terus seperti itu," bisik Angela. Ia sangat berhati-hati agar kejadian tadi tidak terulang lagi. Antoni melihat ke layar ponselnya. "Jaringan masih ada walaupun hilang timbul. Aku harus mengirim pesan pada Andreas. Kalau misal terjadi hal buruk pada kita, dia tahu kemana harus mencari.""Kim pernah bilang sendiri, ucapkan yang baik-baik saja.""Berjaga-jaga untuk situasi terburuk juga perlu, An. Kalau kita benar-benar
"Sial! Tuan Steve kenapa mendadak begini mengabari kita. Tidak biasanya dia kesini di jam-jam segini.""Mungkin karena sedang hujan, cakung, Win. Cuaca mendukung." Mereka berdua tertawa. "Setidaknya kita masih bisa menghabiskan rokok di sini sampai hajat Tuan Steve selesai."Dari pembicaraan keduanya, sangat tidak mungkin menyalakan senter untuk penunjuk jalan. Sedikit saja cahaya bergerak dan terlihat oleh mereka sama saja dengan bunuh diri. "Kita harus berjalan dalam gelap, Kim.""Terpaksa harus begitu. Kita pelan-pelan saja. Walaupun tidak bisa melihat dalam gelap, setidaknya kita tahu arahnya.""Sebelum Gumawang pergi tadi, ia sempat memperlihatkan dalam terang keadaan di dalam istal ini. Ia memintaku untuk menghafalkannya.""Kau masih bisa mengingatnya dengan jelas, An?""Tentu. Sekarang giliranku menggandeng tangan, Kim," kata Angela dengan suara pelan. Sejak tadi mereka sangat menjaga volume suara agar tidak terdengar oleh kedua pria yang sedang merokok agak jauh dari posisi m