Gracya Light Ningsee, seorang asisten dosen periang dan lulusan terbaik akademi keperawatan, bekerja di kampus farmasi "Earth Hosana Akarta." Di balik sikap cerianya, ia memiliki reputasi sebagai kakak pembina yang sering mengomeli mahasiswa nakal yang suka menciptakan cerita hantu palsu di kampus. Namun, Gracya tak percaya pada cerita-cerita itu—hingga suatu malam ketika ia menggantikan temannya di shift malam. Saat sedang bertugas di kampus, ia mendengar dentingan lonceng di tengah malam—sebuah tanda kematian tak wajar menurut legenda rumah sakit tersebut. Setelah mengalami penglihatan aneh karena abu mendiang pendiri kampus yang terkenal memiliki indera keenam, Gracya terjebak dalam dilema antara kenyataan dan dunia supranatural. Apakah dentingan lonceng itu hanya ulah mahasiswa nakal, ataukah sesuatu yang lebih gelap sedang mengintainya?
Lihat lebih banyakSuara sepatu hak tinggi Gracya Light Ningsee menggema di lorong kampus Earth Hosana Akarta. Setiap langkahnya menandakan otoritas, dan siapa pun yang melihatnya pasti tahu, tak ada mahasiswa nakal yang bisa bersembunyi darinya. Dengan rambut hitamnya yang selalu diikat rapi dan tatapan tajam yang hampir selalu terarah ke jam dinding, Gracya adalah sosok yang terkenal—bukan hanya sebagai lulusan terbaik akademi keperawatan, tapi juga sebagai asisten dosen yang tak kenal ampun terhadap perilaku mahasiswa jahil.
Pintu kaca menuju ruang kuliah farmasi terlihat di depan. Sambil mendorong pintu itu, Gracya sudah siap dengan apa pun yang mungkin menunggunya di dalam. Sejak bekerja sebagai asisten dosen di kampus ini, Gracya sudah hafal dengan tingkah laku mahasiswa yang kadang lebih kreatif dalam membuat ulah daripada belajar. Apalagi malam ini, dia mendengar dari staf bahwa ada sekelompok mahasiswa yang sedang merencanakan sesuatu untuk "mengerjai" salah satu dosen di shift malam.
Gracya menegakkan bahunya dan menarik napas dalam, mencoba mempersiapkan mental untuk menghadapi apapun yang akan ia temui. Seperti yang sudah ia duga, ketika ia masuk, dia langsung melihat sebuah tengkorak plastik tergantung di salah satu sudut ruangan, berayun pelan-pelan dari kipas angin langit-langit.
Tengkorak itu meneteskan sesuatu berwarna merah dari kakinya, pasti cat poster untuk menambah suasana seram seperti darah segar dan ember lain yang sepertinya jebakan pamungkas para mahasiswa jahil. Dan tepat di sebelah tengkorak itu, ada sebuah pel yang disandarkan ke kaca dan diselimuti kain putih laboraturium, seolah pel itu adalah penjaga yang ditugaskan untuk mengawasi "korban" berikutnya sebagai sosok hantu-hantuan palsu dengan rambut tebal.
Gracya menghela napas panjang sambil menggeleng. "Mahasiswa-mahasiswa ini benar-benar punya banyak waktu luang ya, bukannya belajar malah bikin hal-hal begini," pikirnya.
Dengan tenang, ia menurunkan tengkorak itu dari kipas dan meletakkannya di meja dosen. Tangannya dengan cekatan menurunkan ember cat yang hampir jatuh—jika dibiarkan, siapapun yang masuk ruangan ini bisa saja tersiram cairan merah menyerupai darah yang sebenarnya cuma cat poster murahan.
"Aduh... mereka pikir bisa menakut-nakuti dosen seperti ini, hah?" gumam Gracya sambil meletakkan pel ke pojokan ruangan. "Sudah ketinggalan zaman keles."
Gracya tahu, siapa pun yang merencanakan "jebakan" ini pasti sudah sering menonton film horor yang sama. Sebagai asisten dosen, tanggung jawabnya bukan hanya mengawasi perkuliahan, tetapi juga menjaga ketertiban di kampus ini. Lagipula, Earth Hosana Akarta bukan kampus sembarangan. Reputasinya sebagai kampus farmasi terkemuka, dengan program keperawatan yang ketat, sudah dikenal luas. Tapi di balik itu semua, ada cerita-cerita yang beredar di kalangan mahasiswa—kisah-kisah menyeramkan tentang lonceng kematian yang katanya bisa terdengar di malam hari di area rumah sakit kampus.
"Kalau dengar lonceng di tengah malam, itu artinya ada kematian yang tidak wajar," kata salah seorang mahasiswa suatu hari, dengan suara berbisik. Gracya yang mendengarnya hanya mendengus kecil. Baginya, itu hanyalah taktik murahan mahasiswa lama untuk menakut-nakuti mahasiswa baru yang takut kegelapan. Apalagi mengambil kelas karyawan, mulai dari sore jam empat sampai kurang lebih jam sembilan malam.
Meski begitu, cerita lonceng kematian telah menjadi semacam legenda yang dibicarakan dari generasi ke generasi di kampus ini. Para mahasiswa kerap menjadikannya bahan gurauan, terutama ketika ada yang harus berjaga di laboratorium atau perpustakaan hingga malam. Dan tentu saja, legenda ini sering digunakan oleh mahasiswa nakal sebagai alasan untuk "mengerjai" teman-temannya.
Gracya tahu semua ini. Setiap kali ada cerita tentang lonceng kematian, dia pasti akan menemukan satu atau dua mahasiswa yang mencoba memanipulasi ketakutan itu. "Kreatif sekali mereka," katanya suatu kali, sambil menyindir seorang mahasiswa yang ketahuan menyembunyikan speaker kecil di dalam lemari alat medis, lalu memutar suara lonceng dari ponselnya.
Tapi meski tampak acuh tak acuh, Gracya tidak bisa sepenuhnya mengabaikan cerita itu. Rumah sakit kampus memang punya sejarah yang kelam. Banyak mahasiswa, dan bahkan beberapa staf, yang mengklaim pernah mendengar dentingan lonceng tersebut. Mereka bersumpah mendengarnya di malam-malam tertentu walau tidak sampai tengah malam, ketika hanya ada sedikit orang di sekitar kampus. Beberapa mahasiswa bahkan mengaku melihat sosok misterius di sudut-sudut gelap rumah sakit—sosok yang tampak seperti pasien yang tersesat, atau mungkin lebih dari itu.
Namun, bagi Gracya, cerita-cerita seperti itu hanya mitos belaka. Dia lebih percaya bahwa banyak dari kejadian aneh yang dilaporkan hanyalah akibat dari imajinasi yang terlalu aktif, atau lebih buruk lagi, ulah mahasiswa yang suka iseng dan memanfaatkan keadaan agar rencana mereka membuahkan hasil entah untuk tujuan apa.
Hari itu pun tak berbeda. Setelah beres-beres ruangan yang penuh jebakan palsu, Gracya memeriksa daftar tugas yang harus ia kerjakan. Ia harus mengawasi shift malam di laboratorium farmasi, dan ia sudah mendengar gosip dari beberapa mahasiswa tentang rencana untuk "mencoba sesuatu yang baru" malam ini.
Sambil berjalan menuju laboratorium, Gracya melihat beberapa mahasiswa yang bergegas meninggalkan kampus. Mereka terlihat bersikap normal, tetapi Gracya tahu persis, ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Beberapa dari mereka menyembunyikan senyum licik, berpura-pura sibuk, dan salah satu dari mereka—seorang mahasiswa yang sering berulah—melirik ke arah Gracya dengan senyum polos, walau ia tahu mahasiswa itu pasti melakukan sesuatu.
"Saya harap kalian sudah menyelesaikan laporan akhir kalian," ujar Gracya dengan nada tegas, sambil menatap tajam ke arah mahasiswa yang paling mencurigakan itu.
Mahasiswa tersebut sedikit tersentak, tapi hanya mengangguk cepat sebelum kabur bersama teman-temannya sambil tertawa geli melihat tingkah kakak pengawasnya. Gracya mendengus sambil mempercepat langkahnya. "Kalau saja mereka bisa seserius itu saat belajar," gumamnya pelan.
Setibanya di laboratorium, suasana sudah sepi. Lampu-lampu masih menyala, tapi tak ada tanda-tanda adanya aktivitas. Gracya mengeluarkan ponselnya, mengecek pesan-pesan terakhir dari rekan kerjanya, sebelum mulai memeriksa ruangan.
Suara tik... tik... tik... dari jam dinding terdengar jelas di telinga Gracya, menambah kesan sunyi di ruangan besar itu.
"Tidak ada yang aneh," pikirnya sambil memeriksa rak obat dan peralatan lainnya. Semuanya tampak rapi, bahkan timbangan obat dalam posisi mati, tidak ada tanda-tanda bahwa jebakan apapun telah dipasang di sini. Gracya merasa lega, tapi tetap waspada.
Setelah beberapa saat, Gracya duduk di salah satu kursi di belakang meja dosen. Sesaat, pikirannya melayang pada legenda lonceng kematian yang sering dibicarakan. Ia tidak percaya, tentu saja. Tapi entah mengapa, setiap kali ia mendengar cerita itu, ada sedikit rasa dingin yang menjalari tengkuknya. Mungkin itu hanya imajinasi, atau mungkin hanya kebetulan karena suasana kampus memang menyeramkan saat malam hari.
Tiba-tiba, pintu laboratorium berderit pelan. Gracya menoleh, dan meskipun ia tidak melihat siapa pun masuk, udara di ruangan tiba-tiba terasa lebih berat. Ia menggelengkan kepala, mencoba mengusir perasaan aneh itu.
"Ini hanya malam yang biasa," katanya pada dirinya sendiri, seolah meyakinkan diri bahwa tak ada yang perlu ditakuti.
Tapi saat Gracya kembali fokus ke ponselnya, dia mendengar suara lain—lembut, hampir tidak terdengar, tapi jelas. Suara seperti... dentingan lonceng.
Gracya terdiam. Napasnya tertahan sejenak, tapi wajahnya tetap datar. Ia menunduk, berpura-pura sibuk membuka email di ponselnya, meskipun jari-jarinya gemetar halus. Dia tahu apa yang baru saja didengarnya, tapi tidak akan mengakuinya. Tidak mungkin.
"Ah, pasti cuma angin mengenai timbangan obat," gumamnya, meski dalam hati ia tak sepenuhnya yakin.
Dengan tenang, Gracya menekan tombol kunci di ponselnya, meletakkannya di atas meja, dan memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan seperti biasa—seakan dentingan itu hanya halusinasi belaka.
Tetapi, di sudut ruangan, bayangan samar berkelebat, nyaris tak terlihat. Dan meskipun Gracya tetap berpura-pura sibuk, dia bisa merasakan ada sesuatu yang mengawasinya dari kegelapan.
Gracya sedang menyantap mie ayam di kantin kampus ketika ia menangkap sosok Chandra yang berdiri ragu-ragu di pintu masuk. Pemuda itu terlihat gelisah, sesekali melirik ke arahnya sambil pura-pura sibuk dengan ponselnya."Chan!" panggil Gracya dengan suara lantang, membuat beberapa staf di sekitar menoleh. "Ngapain berdiri kayak patung begitu?"Wajah Chandra langsung memerah. Dengan langkah kaku, ia menghampiri meja Gracya. "Pa-pagi, Kak.""Tumben pagi-pagi udah keliatan. Biasanya kan kamu shift siang?" goda Gracya sambil tersenyum jahil."Itu... saya..." Chandra tergagap, tangannya menggaruk kepala yang tidak gatal.Di meja sebelah, beberapa perawat senior mulai berbisik-bisik sambil cekikikan. "Cieee... yang brondong ngejar-ngejar kakak senior nih.""Ssst, tapi cocok loh. Yang satu cantik yang satu ganteng," timpal yang lain.Chandra semakin salah tingkah mendengar bisikan-bisikan itu. Ia hendak berbalik pergi ketika Gracya menarik
Chandra mengamati Gracya dari kejauhan, menyaksikan bagaimana seniornya itu dengan tenang membaca jurnal Bu Susan sambil sesekali mengetik sesuatu di laptopnya. Sudah seminggu berlalu sejak ia ditugaskan menemani Gracya selama shift malam, sebuah "kehormatan" yang sebenarnya tidak diinginkan oleh staf lain karena cerita-cerita seram yang beredar."Kak Grace," panggil Chandra pelan, berusaha menyembunyikan getaran dalam suaranya. "Kakak nggak takut ya kerja malam terus?"Gracya mengangkat wajahnya dari jurnal, tersenyum tipis. "Kenapa harus takut? Kan ada kamu yang nemenin."Chandra merasakan wajahnya memanas. Tiga tahun perbedaan usia mereka terasa tidak berarti saat Gracya melemparkan candaan-candaan ringan seperti ini. Namun di balik sikapnya yang terkesan penakut, Chandra menyimpan tujuan yang lebih dalam."Kak," Chandra memberanikan diri. "Kakak percaya nggak sama cerita lonceng kematian itu?"Gracya terdiam sejenak, matanya menerawang. "Dulu n
Gracya menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya setelah malam penuh ketegangan di ruang arsip. Ia masih memikirkan dokumen-dokumen yang baru saja ia temukan—daftar pasien dengan kematian misterius, catatan tentang "Lonceng Kematian," dan tulisan tangan Bu Susan yang menyebutkan kuil tua sebagai asal mula lonceng tersebut. Namun, semua itu terpaksa ia simpan sementara waktu. Ada hal lain yang lebih mendesak: Chandra.Cowok itu kini duduk dengan wajah pucat di ruangan staf, memeluk lututnya seperti anak kecil yang baru saja melihat hantu. Gracya mengamati dari pintu ruangan, mencoba menahan tawa kecil yang muncul di tengah rasa lelahnya. "Anak baru ini benar-benar kena mental," pikirnya."Kak Gracya..." Chandra memanggil pelan, suaranya gemetar. "Boleh nggak saya duduk di sini aja sama Kakak? Jangan suruh saya balik ke ruangan staf sendirian lagi, ya?"Gracya mengangkat alis. "Kenapa? Bukannya tadi kamu cuma mau ke toilet?"Chandra mengangguk cepat, matanya melebar seperti an
Gracya tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar, memikirkan pertemuannya dengan Bu Ratri dan janji untuk bertemu di ruang arsip malam itu. Meski tubuhnya lelah setelah shift panjang di rumah sakit, pikirannya tidak bisa tenang. Ada sesuatu yang mengganjal tentang perubahan sikap Bu Ratri—perempuan yang selama ini dikenal dingin dan tak pernah bersikap ramah tiba-tiba memberinya akses ke ruang arsip yang selama ini dijaga ketat. Apakah ini jebakan? Apakah ada maksud lain di balik sikap Bu Ratri?Gracya menghela napas panjang, menatap langit-langit kamarnya yang gelap. Cuaca cerah siang itu tidak mampu mengusir kegelisahannya. Bahkan suara langkah kaki anak kos lain yang berjalan di lorong membuatnya mudah terkejut. Ia mencoba menenangkan diri, berusaha tidur, tapi bayangan tentang apa yang akan ia temukan di ruang arsip terus menghantui pikirannya."Ken
Jam di dinding menunjukkan pukul 5 pagi. Gracya masih terpaku pada jurnal Bu Susan yang terbuka di hadapannya. Matanya yang lelah menelusuri setiap kata, mencoba memahami misteri yang tersembunyi di balik tulisan tangan rapi mendiang Bu Direktur."15 April 2019 - Ratri semakin menjauh. Aku tahu dia kecewa, tapi ini demi kebaikan semua. Proyek Penyelamatan Besar tidak bisa dilanjutkan. Terlalu berbahaya..."Gracya mengernyitkan dahi. Ini entri ketiga yang menyebutkan nama Bu Ratri dan proyek misterius itu. Sebelum dia sempat membaca lebih lanjut, suara langkah kaki dan obrolan samar mulai terdengar dari koridor. Shift pagi sudah dimulai."Pagi, Kak Grace!" sapa Mbak Yuni, salah satu perawat senior. "Lembur lagi?"Gracya tersenyum tipis, dengan cepat menutup jurnal Bu Susan. "Iya nih, banyak yang harus dikejar."Saat itulah sosok Bu Ratri melewati ruangan dengan langkah tegap. Mata tajamnya sekilas melirik ke arah Gracya, dingin dan menusuk, sebelum berlalu tanpa kata."Bu Ratri masih s
Gracya duduk di meja kerja tua milik Bu Susan, jemarinya membelai perlahan sampul jurnal hitam yang mulai mengelupas. Suasana ruangan terasa dingin, lebih dingin daripada yang ia ingat saat terakhir kali membersihkannya. Udara di sekitar seperti menekan, menimbulkan perasaan was-was. Ia membuka halaman pertama jurnal itu dengan hati-hati, seolah takut setiap huruf di dalamnya akan membawa lebih banyak rahasia kelam.“Malam ini, mereka muncul lagi. Aku mencoba mengabaikannya, tetapi tatapan mereka selalu mengikutiku ke mana pun aku pergi. Tatapan yang memohon, bertanya, meminta jawaban.”Setiap kata terasa seperti jeritan yang terbungkam. Gracya menelan ludah dan melanjutkan membaca. Suasana di sekitarnya seolah berubah—udara semakin dingin, dan suara detak jarum jam di dinding terdengar semakin lambat, seperti menandai sesuatu yang tidak wajar.“Mereka selalu datang di lorong rumah sakit. Arwah-arwah itu tidak bersuara, tetap
Gracya berdiri terpaku di tengah ruangan dokumen. Bayangan hitam yang mengintimidasi semakin mendekat, bergerak seperti asap pekat yang hidup. Udara di sekelilingnya terasa semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Rak-rak bergetar, dokumen-dokumen beterbangan, dan suara-suara samar seperti bisikan terdengar dari berbagai sudut. Gracya tahu apa yang akan terjadi. Bayangan itu seolah mencari celah untuk masuk, berusaha merasukinya.Ia memejamkan mata erat-erat, mencoba menenangkan diri. Tuhan, tolong aku... lindungi aku dari semua ini. Ia mulai berdoa dalam hati, suaranya terdengar bergetar di pikirannya sendiri. Bayangan itu bergerak semakin dekat, dan udara terasa semakin berat.Dentang lonceng terdengar tiba-tiba, memecah kesunyian. Suaranya bergema, mengguncang ruangan seperti alunan peringatan yang kuat. Gracya membuka matanya. Pemandangan di depannya telah berubah. Tidak ada lagi rak-rak kayu atau tumpukan dokumen yang berserakan. Sebagai gantinya, ia ber
Gracya berjalan dengan langkah cepat di koridor kampus farmasi yang sepi, sementara Dewi, yang terlihat cemas, terus mengikuti di belakangnya. Suara langkah mereka menggema di lorong panjang yang hanya diterangi lampu-lampu redup. Angin malam meniupkan hawa dingin dari celah jendela tua, membuat lorong terasa lebih menyeramkan dari biasanya.“Grace, tunggu,” panggil Dewi dengan suara pelan, nyaris berbisik. “Kamu mau ke mana? Jangan tinggalin aku sendirian di sini.”Gracya berhenti, menoleh ke belakang. Dewi tampak semakin takut, matanya melirik ke sudut-sudut gelap lorong. Gracya menghela napas, mencoba mengendalikan rasa kesalnya. Kenapa dia harus ikut malam ini? Aku harus menyelesaikan ini sendiri.“Aku cuma mau ke toilet sebentar. Kamu tunggu di sini,” jawab Gracya setenang mungkin.“Enggak! Aku ikut. Aku nggak mau sendirian,” Dewi bersikeras, matanya membulat penuh ketakutan. “Tempat ini... kamu tahu sendiri, kan? Tempat ini nggak normal.”Gracya tidak punya pilihan selain membiar
Langit sore itu mulai meredup. Matahari berusaha menembus awan tebal, namun cahayanya kalah oleh mendung kelabu yang menggantung di atas kota. Angin bertiup kencang, membawa hawa dingin yang menusuk dan membuat Gracya merapatkan jaketnya lebih erat. Langkahnya perlahan menyusuri trotoar menuju kampus, sambil sesekali menggenggam saku celana di mana lonceng kecil berdiam tanpa suara. Benda ini, yang pagi tadi ia temukan dalam genggamannya saat bangun tidur, kini menjadi beban yang ia bawa dengan berat hati.Lonceng ini seharusnya sudah dikembalikan ke ruangan Bu Susan, pikirnya. Namun entah mengapa, ada perasaan ragu dan takut yang membuatnya belum berani melakukannya. Seolah-olah ada energi misterius dalam lonceng ini yang mengikatnya, dan membawa Gracya ke dalam arus kejadian-kejadian aneh yang semakin sulit ia jelaskan dengan logika.Dalam benaknya, ia teringat akan permintaan Dewi, rekan sekaligus teman yang dikenal sangat penakut. Dewi memintanya untuk menemani shi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen