Share

Little Lily

Penulis: Enno Ramelan
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-06 17:10:14

Angela mengangguk. Ia merasa agak aneh. Biasanya akan banyak keluarga yang berdatangan ketika mendengar kabar kematian. Namun di rumah ini, dari luar sampai masuk ke dalam pun tidak terlihat ada tanda-tanda kedukaan. 

Angela menggeser sedikit kursi yang disediakan ke samping dada jenazah gadis belia yang masih berusia sembilan tahun. Seperti biasa Angela memperkenalkan diri dan berdialog pendek menjelaskan alasan dirinya ada di tempat itu. Ia meminta dengan sopan agar si pemilik tubuh dapat bekerja sama dengan baik. 

Sudut mata Angela menangkap sesuatu yang belum tepat. Letak telapak tangan kanan di bawah tangan kiri. Entah karena ketidaksengajaan atau ketidaktahuan. Tetapi rasanya tidak mungkin. 

Angela membetulkan letaknya. Menautkan jemari kanan dan kiri dengan hati-hati. Sarung tangan transparan bermotif bunga kecil-kecil terlihat cantik di tangan putri Antoni Hakim yang juga berwajah cantik. 

Ketika hendak mengangkat tangannya, Angela merasakan sesuatu yang dingin menahannya. Ia tahu betul dingin orang mati seperti apa, tetapi ini beda. Rasanya seperti sedang meletakkan tangan di atas batu es. 

"Adik cantik, ada apa? Apakah kamu tidak suka saya di sini?" tanya Angela seraya mengusap lembut punggung tangan gadis kecil tersebut. 

Angela menunggu jawaban dengan sabar. Bola matanya bergerak pelan memindai ruangan agar terlihat bila ada sesuatu yang bergerak. Namun, hingga lebih dari tiga menit tidak juga terlihat apa pun. 

"Berarti tidak ada apa-apa, ya, Cantik?" tanya Angela sekali lagi. Ia yakin ada sesuatu yang hendak disampaikan. 

Tiba-tiba tangan Angela seperti terdorong ke arah leher gadis belia itu. Potongan kerah turtle neck berenda menutup leher si cantik dengan sempurna. 

"Sebentar, ya, Cantik. Kakak ambil peralatan dulu, ya," ucap Angela dalam hati. Ia selalu melakukan itu agar percakapannya tidak didengar orang lain.

Angela mengambil apa-apa yang diperlukan dari dalam kotak make up. Ia sengaja melakukan itu agar tidak terlihat mencurigakan. Berlama-lama di samping jenazah tetapi tidak melakukan apa-apa. 

"Jangan mengoleskan lipstik merah di bibirku. Aku sangat tidak suka. Aku tidak mau tampak seperti Tante jahat itu!" 

Angela tetap melanjutkan memoles wajah gadis belia itu seolah tidak mendengar apa-apa. 

"Iya, Cantik. Jangan khawatir. Kakak akan membuat wajahmu terlihat lebih cantik. Kamu belum menyebutkan nama."

"Papa senang memanggilku Lily. Kata Papa itu panggilan kesayangan untuk Mama."

"Lalu di mana mama kamu sekarang?"

"Kata Papa waktu aku lahir Mama kembali ke tempat yang sangat indah."

"Tidak lama lagi Lily juga akan pergi ke tempat indah itu."

"Benar, kah? Tapi kenapa Lily masih saja di sini." Suaranya terdengar kesal.

"Supaya Lily bisa melihat orang-orang yang menyayangi Lily sebelum Lily benar-benar pergi ke tempat indah itu."

"O, iya, Papa belum datang. Lily mau bilang sama Papa kalau Lily sangat rindu. Tante Miranda dan Tante Lula jahat. Mereka yang bikin Lily tidak bisa bernapas." Suaranya melemah. 

Angela menarik napas dalam. Ia memindahkan kuas di tangan kanan ke tangan kirinya. Ia kemudian memeriksa leher Lily yang sepertinya memang sengaja ditutupi dengan kerah berpotongan turtle neck. 

"Apa masih lama, Kak?" tanya Lula seraya menepuk pelan bahu kanan Angela. 

Angela menoleh cepat sambil mengalihkan tangannya. "Sekitar tiga puluh menit lagi selesai, Mbak."

"Kalau bisa lebih cepat, ya, Kak. Karena papanya Lily akan datang sebentar lagi," sambungnya kemudian. 

"Akan saya usahakan."

Lula tersenyum tipis dengan sedikit mengangguk lalu kembali ke kursinya. Angela sedikit lega, hampir saja ia ketahuan atau mungkin Lula sudah mulai menaruh curiga. 

Angela membungkuk, mengambil pembersih concealer dari dalam tas riasnya yang ia letakkan di lantai persis di samping kursi. Kesempatan itu ia gunakan untuk melihat ke arah perempuan yang disebut Lily, Tante Miranda. Perempuan itu masih bergeming seperti saat Angela tiba. 

Dari penampilan kedua perempuan yang full make up, hampir bisa dipastikan mereka tahu seperti apa kemasan atau bentuk pembersih concealer itu. Untungnya Angela menyimpannya dalam dompet kosmetik berbahan parasut yang tidak transparan lengkap dengan kapas pembersih. Ia mengambilnya dengan menggamit bersama eyeshadow pallete yang ukuran panjangnya hampir sama. 

Angela membersihkan bagian leher tengah hingga ke bawah. Dadanya bergemuruh, terlihat jelas warna merah membekas di leher Lily. Melihat dari jumlah garis di leher, kemungkinan besar Lily dicekik dari arah belakang dan untuk menutupinya mereka mengoleskan concealer cukup tebal.

"Siapa yang mencekik leher Lily?" tanya Angela seraya membetulkan lagi posisi kerah gaun yang dikenakan Lily. 

"Tante Miranda yang pertama. Karena Lily masih bernapas, lalu Tante Miranda menyuruh Tante Lula membekap Lily pakai boneka beruang. Sekarang boneka beruangnya ada di tong sampah," jelas Lily. 

"Lily anak baik, cantik dan pintar. Kakak janji Tante Miranda dan Tante Lula akan mendapat balasan dari perbuatan mereka. Lily tenanglah. Kita tunggu papa Lily datang," kata Angela menenangkan Lily. 

Gadis kecil itu tidak lagi berkata-kata selama Angela menyelesaikan tugasnya yang tinggal setengah. Kurang dari tiga puluh menit, riasan untuk Lily selesai. 

Miranda yang sedari tadi hanya diam langsung berdiri ketika Angela membereskan alat-alat make up-nya. Dengan dagu yang sedikit terangkat ia berdiri di samping peti jenazah. Ia memperhatikan wajah Lily beberapa saat kemudian memanggil Lula. 

"Kau antar dia sampai ke luar dan jangan lupa berikan tips untuk hasil riasannya yang bagus ini," titah Miranda pada Lula yang bersiap mengantarkan Angela. 

Namun, belum sempat Lula mengantar Angela suara ketuk sepatu terdengar jelas dan cepat mengarah ke ruangan di mana mereka berada. Seorang lelaki sebaya Miranda setengah berlari menghambur ke arah peti. Ia seperti orang gila yang berteriak memanggil-manggil nama Lily. 

Situasi ini sangat tidak menguntungkan bagi Angela. Terlebih dia bukan siapa-siapa di lingkup keluarga Antoni Hakim. Namun, ia harus memberitahu lelaki itu tentang kematian Lily. Kalau tidak kedua perempuan laknat itu akan melenggang bebas. 

Angela memaksa mendekat pada Antoni. Miranda dan Lula terkejut melihat kelancangannya. Tanpa aba-aba keduanya menarik tangan Angela agar cepat menjauh dari Antoni dan keluar dari ruangan. 

"Berani-beraninya kau ini. Urusanmu sudah selesai. Apa kau tidak tahu dia itu siapa?!" bentak Miranda. 

"Saya hanya ingin mengucapkan rasa belasungkawa saja kok, Bu. Kalau saya dianggap lancang, ya, maaf," kata Angela membenahi lengan bajunya yang terangkat. 

Miranda dan Lula berbalik tak hirau lalu menutup pintu. Angela bimbang. Ia tidak tahu lagi bagaimana cara mengatakan pada papanya Lily tentang kedua perempuan itu. Ia tidak punya nomor W* atau nomor telepon Antoni Hakim.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • ANGELA (Sang Perias Jenazah)   Bersatu Dalam Ikatan Suci

    "Kau di sini saja menemani Angela. Aku akan menelepon Pak Andreas. Semoga ada kabar baik juga dari Gumawang dan Dahlia," kata Olla seraya meninggalkan kamar tidurnya. Olla mondar-mandir di balkon. Matanya sesekali mengarah pada langit yang kelam. Bintang tidak satu pim terlihat menggantung di atap dunia yang gelap itu. Andreas belum juga meneleponnya setelah beberapa kali missed call. Hampir saja ia ketiduran di kursi ketika akhirnya Andreas menelepon. Kabar baik yang diharapkan benar-benar terdengar dari seberang telepon. "Nanti saja cerita panjangnya, Pak. Yang penting sudah pasti bahwa Tuan Antoni selamat. Kalau Angela sudah bangun saya akan membawanya ke rumah sakit," kata Olla. Ia menghela napas lega. Rasanya tidak sabar untuk menyampaikan kabar baik ini pada Angela dan Joana. "Jo, Tuan Antoni selamat. Ia ditemukan di pinggir sumur dengan keadaan lemas. Ajaibnya tidak banyak air masuk ke paru-parunya. Sekarang sudah berada di rumah sakit," ucap Olla pada Joana yang masih tergu

  • ANGELA (Sang Perias Jenazah)   Wuri Membawa Tubuh Antoni

    Angela memegangi lehernya sambil mengatur napas. Ia tidak memperhatikan makhluk itu maupun Antoni. Begitu ia mengangkat kepalanya mereka sudah tidak ada. "Kim! Kim!" Angela berteriak sekuat tenaga. Ia menyusul ke bibir sumur. Melihat ke dalam tetapi tanda-tanda keberadaan mereka tidak terlihat. Di sana masih mengambang mayat yang sama seperti yang dilihatnya bersama Antoni. Perasaan Angela hancur, ledakan tangisnya tidak bisa membawa Antoni kembali ke sisinya. Logikanya lenyap seketika. Tanpa berpikir panjang, ia menceburkan dirinya mengikuti Antoni ke dalam sumur. "Angela jangan gila!" Dahlia memegangi kedua pundak Angela lalu menariknya hingga terlempar membentur dinding. "Diam kau di situ! Kau kira kami tidak membantumu. Apa kau tahu, tidak mudah menembus ke ruangan ini." Dahlia berjongkok di depan Angela. "Jadi tolong jangan bertindak bodoh!"Angela menunduk. Air matanya luruh, menetes ke atas jerami yang berserakan. "Maafkan, aku. Aku tidak siap untuk keadaan ini, apalagi haru

  • ANGELA (Sang Perias Jenazah)   Berdua Menunggu Mati

    "Misalnya?" Angela menggeser duduknya ke depan Antoni. "Hei," bisiknya, menyentuh pundak Angela dan sedikit menggeser tubuhnya semakin dekat. "Apa kau tahu, kau sama sekali tidak lemah. Ketika kau meludahi Steve, aku merasa sangat bangga padamu." Senyumnya merekah ketika ia menangkup pundak Angela. Mereka begitu dekat. Antoni menghirup wangi Angela dan rasanya seperti menenggak afrodisiak. la menggenggam Angela semakin erat. "Dan percayalah pendapatku sebagai laki-laki, kau selalu cantik dalam segala hal," tambahnya.Angela terbuai oleh ketulusan suara Antoni dan tatapannya yang bergairah. Beberapa detik lalu ia tidak berpikir untuk mencium Antoni, tetapi sekarang, mencium pria itu kelihatannya hal paling tepat. Ia ingin menghilangkan perasaan takut yang mengikatnya. Angela mengangkat tangan, menungkup wajah Antoni, tunggul janggutnya menggelenyarkan telapak tangan. Tatapan lelaki itu menjadi berhasrat. Angela berdebar-debar, memejam, dan merasakan bibir Antoni mendarat dengan panas

  • ANGELA (Sang Perias Jenazah)   Tidak Disangka

    Mereka digiring masuk ke salah satu kandang kuda. Di dinding bagian belakang kandang tersebut terdapat pintu rahasia yang tersamarkan.Steve dan Alena tersenyum sinis ketika Angela dan Antoni dibawa masuk. Alena bahkan bertepuk tangan sambil mendekati keduanya. "Kau masuk ke dalam jebakanku Antoni Hakim. Aku tidak tahu kau ini terlalu polos atau terlalu bodoh," ejek Alena, dia mendekatkan wajahnya ke depan wajah Antoni. Antoni tidak mengatakan apa pun, ia memalingkan wajahnya menghindari tatapan Alena yang dirasanya tidak penting. "Seharusnya kau cukup duduk manis menikmati semua uangmu tanpa repot-repot ikut campur urusanku," kata Alena menyentuh pipi Antoni dengan ujung jarinya. Steve Menda beranjak dari kursinya. Mendekati istrinya. "Mereka maunya seperti itu, biarkan saja. Berikan kesempatan untuk mereka berduaan sebelum napasnya hilang." "Rencanaku pun begitu. Tapi, apa kau tidak menginginkan perempuan ini?" Alena sedikit menunduk untuk mengintimidasi Angela dengan tatapanny

  • ANGELA (Sang Perias Jenazah)   Tidak Seperti Rencana

    "Tidak ada apa-apa, kan, Win. Sepertinya kau ini berhalusinasi," kata Erik. Cahaya ponselnya bergerak ke kandang di mana Angela dan Antoni berada. Nasib baik lagi-lagi berpihak pada mereka. Erik hanya menyorot sekilas di bagian dinding saja. "Di sini juga tidak ada apa-apa. Mungkin benar aku hanya berhalusinasi efek tidak jadi minum-minum di bar." Edwin terkekeh. "Nah! Betul itu."Mereka kembali ke tempat semula. Berdiri mengawasi di belakang mobil Alena. "Hampir saja, An." Antoni menyingkirkan jerami yang menutupi tubuhnya."Tuhan menyelamatkan kita lagi dan semoga terus seperti itu," bisik Angela. Ia sangat berhati-hati agar kejadian tadi tidak terulang lagi. Antoni melihat ke layar ponselnya. "Jaringan masih ada walaupun hilang timbul. Aku harus mengirim pesan pada Andreas. Kalau misal terjadi hal buruk pada kita, dia tahu kemana harus mencari.""Kim pernah bilang sendiri, ucapkan yang baik-baik saja.""Berjaga-jaga untuk situasi terburuk juga perlu, An. Kalau kita benar-benar

  • ANGELA (Sang Perias Jenazah)   Mereka Datang ke Istal

    "Sial! Tuan Steve kenapa mendadak begini mengabari kita. Tidak biasanya dia kesini di jam-jam segini.""Mungkin karena sedang hujan, cakung, Win. Cuaca mendukung." Mereka berdua tertawa. "Setidaknya kita masih bisa menghabiskan rokok di sini sampai hajat Tuan Steve selesai."Dari pembicaraan keduanya, sangat tidak mungkin menyalakan senter untuk penunjuk jalan. Sedikit saja cahaya bergerak dan terlihat oleh mereka sama saja dengan bunuh diri. "Kita harus berjalan dalam gelap, Kim.""Terpaksa harus begitu. Kita pelan-pelan saja. Walaupun tidak bisa melihat dalam gelap, setidaknya kita tahu arahnya.""Sebelum Gumawang pergi tadi, ia sempat memperlihatkan dalam terang keadaan di dalam istal ini. Ia memintaku untuk menghafalkannya.""Kau masih bisa mengingatnya dengan jelas, An?""Tentu. Sekarang giliranku menggandeng tangan, Kim," kata Angela dengan suara pelan. Sejak tadi mereka sangat menjaga volume suara agar tidak terdengar oleh kedua pria yang sedang merokok agak jauh dari posisi m

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status