Share

ANGELA (Sang Perias Jenazah)
ANGELA (Sang Perias Jenazah)
Author: Enno Ramelan

Pertama Merias Jenazah

Angela meloncat dari tempat tidurnya ketika alarm yang ia setel meraung beberapa kali. Matanya sangat berat, pekerjaan memaksanya hanya tidur dua jam saja hari ini. Ia harus segera bersiap pasalnya pukul 03.00 dini hari tadi salah satu anggota keluarga pengusaha papan atas menghubungi dan memintanya datang pukul 06.00 dan tidak boleh terlambat. 

Sebuah permintaan yang sudah biasa dihadapi Angela. Apalagi si pemilik tubuh meninggal tengah malam. Pagi buta ia harus sudah tiba di rumah keluarganya. 

Angela sudah dikenal luas sebagai perias jenazah yang profesional. Hasil sentuhan tangannya tidak pernah mengecewakan pihak keluarga yang meninggal dunia. Ia memulai profesi ini tanpa sengaja sepuluh tahun lalu. 

Saat itu, sepulang kuliah sore ia datang melayat mama temannya yang meninggal mendadak. Menurut dokter tetangganya kemungkinan besar penyebab kematian adalah serangan jantung. Sebagai keluarga yang tidak berpunya mengurus kematian bukan perkara mudah. Dibutuhkan banyak biaya untuk membayar keperluan termasuk jasa perias jenazah.

"Kau mahir merias orang hidup, bisalah kau bantu Maria meriaskan mamanya," bisik Cindy setelah berbincang dengan Maria di kamarnya. 

Angela melotot. "Apa aku tidak salah dengar? Kau kira merias jenazah sama dengan merias wajahmu!" Angela buru-buru menutup mulutnya dengan tangan. Suaranya membuat beberapa orang menoleh ke arahnya.

"Untuk membuktikannya kau coba saja dulu. Nanti kau ceritakan padaku."

Cindy beranjak lalu masuk ke kamar Maria lagi. Tampaknya ia tidak peduli Angela setuju atau tidak. 

Tangan Angela memang ajaib. Ia bisa membuat teman-temannya terlihat 'manglingi' saat kuas make up-nya menyapu wajah mereka. Ia tahu riasan apa yang cocok untuk masing-masing bentuk wajah dan karakter orang yang diriasnya. Padahal ia belajar secara otodidak tanpa guru. Mungkin inilah yang disebut bakat yang tidak dimiliki oleh banyak orang. 

Cindy menarik tangan Angela hingga ia tidak mampu menolak permintaan teman karibnya itu. Maria sendiri hanya bicara seperlunya. Tampak kesedihan mendalam membuntutinya. Air matanya mengalir hampir tanpa jeda. Hidupnya kini sudah tak berorang tua. 

"Aku belum pernah melakukan ini sebelumnya, Maria. Apa pun nanti hasilnya tolong dimaklumi," kata Angela sebelum memulai merias mama temannya itu. 

"Terima kasih banyak, Angie," ucap Maria sendu. Sesekali tangannya mengusap pipinya yang basah karena air mata. 

Hanya ditemani Cindy dan Maria, Angela mulai memoles wajah jenazah. Untunglah ia selalu membawa perlengkapan make up dasar di tasnya. Awalnya semua berlangsung mulus. Namun, ketika hendak merias bagian mata, ada sesuatu yang tidak biasa. Air mata tidak berhenti mengalir. Walaupun tidak deras tetapi cukup mengganggu. 

Angela mulai ketakutan dan tidak ingin melanjutkan. Tiap kali ingin mengoleskan kuas tangannya gemetar dan kaku. Seperti ada sesuatu yang menahannya. Ia bimbang. Di satu sisi ia dibutuhkan di sisi lain ia tak sanggup melanjutkan. 

"Tante, saya di sini untuk membuat Tante cantik. Tidak ada niat saya yang lain. Tolong bantulah saya," ucap Angela dalam hati. Ia sudah hampir putus asa. 

"Kau bantulah Tante juga." 

Angela menghentikan gerakan jarinya. Mengamati wajah mama Maria dengan seksama. Tidak ada gerakan bibir maupun mulut yang terbuka. Suara yang ia dengar sangat jelas dan ia tahu betul itu suara mamanya Maria. 

"Apa yang bisa saya bantu, Tante?" Lagi-lagi Angela berucap dalam hati.

"Tolong katakan pada Maria untuk menghubungi papanya. Tante tidak tenang kalau Maria belum memaafkan papanya."

"Akan saya katakan pada Maria. Sekarang tolong hentikan tangis Tante agar saya bisa merias Tante dengan maksimal. Tentu Tante tidak ingin membuat Maria lebih sedih lagi, kan?"

"Tante titip Maria. Sering-seringlah kalian mengunjunginya. Keluarga Tante sudah lama tidak menganggap kami ada. Semoga Maria bisa membuka hati untuk papanya agar dia tidak sendiri di dunia ini."

Angela mengiyakan dengan mengangguk pelan. Ia tidak ingin berbicara lebih lama dengan mamanya Maria. Bicara dengan orang mati rasanya bukan sesuatu yang benar karena jangan-jangan ia hanya berhalusinasi.

Terlepas apakah itu benar mamanya Maria atau bukan, air yang keluar dari mata jenazah benar-benar berhenti. Angela pun bisa melanjutkan pekerjaannya. 

"Maria, maaf sebelumnya. Aku tahu mungkin bukan saat yang tepat untuk membicarakan tentang sesuatu yang hendak kutanyakan ini. Tapi aku harus karena sudah berjanji dengan mamamu."

Gerak bola mata Maria berhenti. "Mamaku?"

"Iya. Tadi aku mendengar suara mamamu. Aku sudah berjanji untuk mengatakan ini. Kau boleh percaya boleh juga tidak."

"Apa yang kau dengar?"

"Berbaikanlah dengan papamu."

Maria memalingkan wajah. "Sulit …."

"Sulit bukan berarti tidak bisa, Maria. Mamamu tidak bisa pergi dengan tenang bila kau belum berbaikan dengan papamu." Angela membujuk dengan sungguh-sungguh. Ia meraih tangan gadis itu walau masih memalingkan wajah. 

"Lelaki itu meninggalkan Mama. Bahkan sejak aku masih dalam kandungan. Dia ingin kembali pada kami tapi aku menolaknya keras. Sudah sangat terlambat bagiku. Mama banting tulang agar aku bisa sekolah. Di mana dia saat itu? Apa dia memikirkan kami?!" Maria menggigit bibirnya yang gemetar. 

"Aku pernah melakukan yang sama dengan yang kau lakukan saat ini. Dan aku menyesalinya. Ketika papamu berniat kembali aku yakin beliau sudah menyadari kesalahannya dan ingin memperbaiki semua. Tugas kita adalah memaafkan dan memberikan kesempatan. Kata ibuku, di dalam darahmu mengalir juga darah ayahmu." 

"Sangat mudah kau bicara seperti itu, An. Kau tidak tahu seperti apa kehidupan kami. Serba kekurangan, dikucilkan keluarga dan dijauhi tetangga karena apa? Karena kami miskin!" Maria mengibaskan tangannya hingga genggaman Angela terlepas. 

"Tapi aku yakin kesulitan hidup yang kau lewati mampu mengayakan hatimu. Aku akan keluar agar kau lebih leluasa berpikir. Aku tidak memaksa, semua kukembalikan padamu."

Angela menoleh ke arah kiri ruangan di mana Cindy duduk. Sedari tadi ia hanya memperhatikan tanpa ada gerakan untuk mendekat atau terlibat dalam pembicaraan. Isyarat yang diberikan Angela cukup dimengerti oleh gadis itu. Ia mengekor di belakang Angela meninggalkan Maria bersama jenazah mamanya. 

Peti jenazah yang dipesan dengan dana urunan dari jemaat dan warga sekitar serta teman-teman Maria akhirnya datang. Acara penghiburan pun akan segera dilakukan. 

Menurut cerita Cindy, besok jenazah akan segera dimakamkan karena tidak ada lagi keluarga yang ditunggu. Pelayat pun tidak banyak. Masih menurut cerita Cindy, Maria dan mamanya kurang bergaul di lingkungannya. Mungkin karena keadaan finansial mereka. 

Setelah jenazah dimasukkan ke dalam peti, Angela berpamitan pulang. Sedangkan Cindy tetap tinggal mengingat rumahnya hanya berjarak beberapa rumah dari tempat Maria. Ia diantar oleh salah satu kerabat Cindy menggunakan mobil.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status