Serpihan-serpihan ingatan yang berisikan kobaran api mengganggu kegelapanku.
Eugene yang berlari kesetanan mengejar Reptilian yang menyanderaku.
Kemudian terdengar sebuah ledakan dan berakhir aku mati di pelukan seseorang misterius.
Aku melompat bangun. Memaksakan membuka mata begitu saja hingga sebuah denyutan yang terasa perih di kelopak mata kiriku. Sebelah pandanganku juga terlihat gelap. Apakah aku mengalami kebutaan di sebelah mataku?
Ada sebuah rasa sakit lain yang terasa di berbagai tempat di sekujur tubuhku. Ada sebuah perasaan hampa, dan sebuah rasa lapar yang sangat luar biasa hingga membuat tenggorokanku terasa kering. Mungkin jika aku bersuara sedikit saja bisa menyebabkan tenggorokanku lecet.
Namun mengabaikan kekhawatiranku, aku memilih untuk melihat sekitar. Tempat yang sangat asing. Usang, berdebu, terlihat sudah ditinggalkan puluhan tahun dan tak terawat. Punggungku terasa keras, sepertinya bukan sebuah kasur yang kutiduri saat ini. Semuanya terasa dan terlihat asing. Ini bukan Erythroupoli. Ini bukan Distrik Carees. Ini juga bukan Rumah Sakit di luar kota bertembok. Lantas, aku berada di mana sekarang?
Langitnya memang terlihat berbeda namun tidak dengan rasanya. Suara semilir angin juga terdengar dengan sangat jelas di telingaku. Terasa mengganggu karena terdengar begitu jelas seakan-akan telinga sedang berhadapan dengan kipas angin. Ini menjengkelkan!
“Oh? Kau sudah bangun rupanya!”
Suara bisikan yang entah kenapa terdengar jelas di telingaku terdengar dari arah pintu masuk ruangan asing ini. Suaranya terdengar asing, aku baru mendengarnya. Seseorang yang menyelamatkanku pasti orang asing.
Menolehkan wajahku ke pintu, mendapati sesosok pemuda bertubuh tinggi dan terlihat kurus sedang membawa baskom berisikan air dingin. Pemuda itu kemudian mendekat ke arahku, memeriksa setiap jengkal tubuhku yang entah sejak kapan dilapisi oleh perban.
“Ini memang sebuah keajaiban,” gumamnya sambil membuka satu persatu perban yang membalut tubuhku. “Tuan Aquilla pasti merasa senang ketika mendengar kabar ini. Kabar kalau ciptaannya telah berhasil melewati masa kritis dan tidak menjadi Reptilian.”
Dia menyebutkan Reptilian? Apakah sekarang aku berada di luar pulau Alluxendria sekarang?
“Sebenarnya... di mana ini?” tanyaku memberanikan diri saat tangan pemuda tersebut merayap ke wajahku, membuka sebuah perban yang melingkari kepalaku dan menutupi mata kiriku. Oh pantas saja aku hanya bisa melihat dengan sebelah mata. Ternyata mataku terluka.
“Kita berada di Sektor Lima, Durham. Buka matamu perlahan. Memang terasa sakit karena bekas jahitannya belum mengering. Tapi, aku harap kau mampu menahan rasa sakitnya,” jawabnya sambil memerintahkanku untuk membuka mata.
Tanpa sadar, kedua alisku bertaut. Durham? Sektor Lima? Hei, Durham itu ada di negara mana?
Tapi, aku abaikan kebingunganku dan lebih memilih untuk membuka mata kiriku dengan perlahan. Rasanya perih setiap kali sedikit demi sedikit visi dari dunia yang kulihat melalui mata kanan memasuki retina kiriku. Aku terkejut ketika mataku terbuka semuanya. Bagaimana aku bisa menjelaskannya ya. Mata kiriku... aku bisa melihat benda yang jauh di balik tembok sana. Dunia luar yang entah kenapa hanya bisa terlihat di mata kiriku. Seakan-akan aku berada di bangunan runtuh.
Dan sepertinya pemuda itu menangkap dengan jelas kepanikanku ketika membuka mata. Dia terkekeh, mengusap sebuah aliran darah yang merembes keluar dari bekas luka di bawah kelopak mataku dengan ibu jarinya.
“Itu akan melelahkan jika kau terus membuka mata kirimu,” ujarnya memperingatiku ketika aliran darah itu terus merembes keluar. Mengantarkan rasa perih yang berdenyut di sekitarnya. “Kau akan berdarah jika kelelahan. Garis lukanya memang panjang, tapi, hanya di dekat kelopak matamu saja yang akan mengeluarkan darah jika kau kelelahan.”
“Terima kasih,” ujarku seraya kembali memejamkan mata kiriku. “Ngomong-ngomong, Durham itu ada di mana?”
“Durham, berada di timur laut Inggris.” sebuah suara tiba-tiba menjawab pertanyaanku, berasal dari pintu masuk tadi. Kami menoleh ke arah sumber suara. Mendapati seorang pria bertubuh lebih tinggi dari pemuda di hadapanku ini. Jubah hitam menyelimuti tubuh tingginya, kurus, dengan rambut belah dua yang tersisir rapi. Garis wajahnya tegas namun matanya terasa kosong. Hidungnya mancung ngomong-ngomong. Kulitnya pucat, seperti penggambaran vampir pada cerita-cerita novel yang kubaca di waktu senggang. “Wajar saja kau bingung Durham itu berada di mana. Ini bukan dunia asalmu. Ini adalah Dunia Ke-7.” Dia melanjutkan tanpa peringatan ataupun perasaan sungkan untuk berkata demikian.
“Kau terluka parah saat Tuan Aquilla membawamu kemari. Dan beruntungnya, kau tidak berubah menjadi Reptilian setelah lima hari tertidur.” Pria di hadapanku kembali membersihkan jejak air mata darah di mata kiriku dengan telaten dan penuh kelembutan. “Namaku Yoon Seonghwa. Dan pria yang berdiri di ambang pintu itu adalah Tuan Aquilla, Ayah kita berdua.”
Aku mengernyit, kebingungan dengan kata ‘Ayah’ yang diucapkan oleh pria yang mengenalkan dirinya sebagai Yoon Seonghwa tersebut. Apa maksud dari mengucapkan kata tersebut? Dan juga, bagaimana bisa aku berada di Dunia Ke-7? Apakah memang dunia paralel itu ada?
Pikiranku berkecamuk, antara ingin menerima kenyataan dan menyangkalnya. Dan sepertinya kegundahanku ditangkap dengan jelas oleh Seonghwa dan juga Aquilla. Terbukti dengan Seonghwa yang melemparkan pandangan khawatir pada Aquilla. Kemudian pria yang sedari tadi bergeming di ambang pintu itu akhirnya bergerak. Menghampiriku dengan sebuah kantong darah yang tiba-tiba menggugah seleraku.
Aku mendongak saat dia, Aquilla, berdiri di hadapanku. Rasa lapar tiba-tiba membuncah. Perutku bergemuruh, mataku berkilat ketika Aquilla menyerahkan kantong darah tersebut kepadaku.
“Lima hari tertidur... kau butuh nutrisi.” Aquilla menatapku dengar datar saat aku memberinya tatapan mendamba karena merasa tidak sabar mengisi tenggorokanku dengan cairan merah tersebut.
Tersenyum sumringah ketika Aquilla akhirnya menyerahkan kantong darah tersebut, aku bergegas menggigit ujungnya. Meminum dengan cepat cairan merah yang sedikit kental tersebut dengan rakusnya. Mengundang tatapan heran dari Seonghwa yang sedari tadi memperhatikanku.
“Kau tidak terkejut?” Seonghwa memberikan tatapan tidak percayanya padaku yang dengan santainya membuang kantong yang telah kosong tersebut. “Aku kira kau akan terkejut. Menolak kantong darah tersebut, kemudian merenung seharian karena merasa bersalah pada kejadian yang akan terjadi di masa depan.”
“Tidak. Aku hanya terkejut karena ternyata dunia paralel itu memang ada,” jawabku menatap Aquilla. Wajahnya datar dan gelap, mata berwarna ungunya bersinar terang di kegelapan. “Aku pernah membaca sebuah buku novel, di mana karakter utamanya berubah menjadi Vampir karena sekarat. Kemudian kisah yang diceritakan oleh buku itu adalah perjalanan hidup karakter utamanya dalam menyelamatkan dunia.
“Lalu, apakah sekarang aku adalah Vampir?” tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku dari Aquilla.
“Kau seorang Seraphie sekarang. Hampir mirip seperti Vampir, tapi bukan.” Wajahnya terlihat sedikit lebih tenang dari sebelumnya. Bahkan kini ia berjalan ke arah sebuah jendela yang menampilkan langit malam Kota Durham. “Singkatnya, kau dan aku saat ini terhubung. Aku bebas keluar masuk dari tubuhmu, dan kau bisa bertahan hidup karena jiwa kosong yang kuberikan kepadamu.”
Aku mengangguk mengerti, “Lalu, apakah Yoon Seonghwa juga sama sepertiku?” Seonghwa terlihat terkejut ketika aku bertanya kepadanya. Sepertinya dia merasa terkejut karena aku terlihat tidak terkejut ataupun menyangkal kenyataan ini.
“Ya. Aku kakakmu sekarang.” Seonghwa menjawabnya dengan sebuah senyuman ramah yang terkesan dipaksakan. “Kau benar-benar ajaib! Baru kali ini aku bertemu dengan orang yang cepat menerima kenyataan sepertimu.”
“Kalau begitu, kau bisa langsung siap mempelajari berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan seorang Seraphie.”
Aneh. Tiba-tiba aku merasa merinding ketika Aquilla mengatakan hal tersebut tanpa menatapku sama sekali. Seakan-akan sebuah kenyataan pahit akan menamparku ketika mulai mengikuti pelajaran yang diajarkan oleh Aquilla.
To Be Continue.
Lynix's Trivia
Seraphie : Makhluk Humanoid ciptaan Spirit Rasi Bintang. Penciptaannya bertujuan untuk menjadi wadah bagi para Spirit Rasi Bintang untuk bisa bebas berkeliaran di Dunia Tengah. Memiliki ciri-ciri berkulit pucat, tidak bernapas, akan berubah menjadi debu ketika terlalu lama berada di bawah sinar matahari, dan mereka mengkonsumsi darah sebagai nutrisi.
Di sinilah aku. Berada di sebuah ruangan yang sepertinya adalah sebuah kantor di masa lampau. Bersama dengan Aquilla yang sedang sibuk memperhatikanku yang berdiri kikuk di hadapannya. Pria itu menyenderkan bokongnya pada meja yang telah berjamur, kedua tangannya menyilang di dada. Benar-benar terasa seperti aku sedang diinterogasi oleh atasan karena melakukan kesalahan.“Sejujurnya, aku juga merasa takjub dengan kecepatanmu menerima suatu hal di luar logika, seperti saat ini.” Dia membuka suara setelah sekian menit diselimuti keheningan. “Tapi itu membuatku bisa menghemat waktu untuk meyakinkanmu akan kenyataan.”Aku hanya mengangguk dan terus menatap Aquilla yang melakukan hal yang sama denganku. Tidak ada percakapan lagi selanjutnya. Kembali diselimuti keheningan, membiarkan suara-suara alam dan desis angin menguasai indra pendengaran kami.“Kau tahu siapa aku?”
Tepat tengah malam, aku berada di atas bukit di sebuah padang rumput maha luas bersama dengan Seonghwa. Setelah sesi perkenalan itu, Aquilla tanpa menjelaskan apa pun lagi langsung memerintah Seonghwa untuk menjadi pemanduku dalam pelajaran pertama sebagai seorang Seraphie.“Aku sudah mendengar garis besarnya dari Aquilla tentang dunia ini,” ujarku membuka percakapan dengan kakak satu darahku yang sedang berdiri di ujung bukit kecil ini. “Jadi, kau sudah setua apa untuk menjadi seorang Seraphie?” Hening sejenak, kakak satu darahku itu tak bergeming sama sekali. Angin malam yang dingin yang tak dapat kurasakan berembus, menerbang surai hitamku dan juga Seonghwa yang masih berdiri di sana. Mendongak menatap langit yang bertabur bintang.“Empat puluh delapan tahun.” Seonghwa bersuara tanpa emosi dan tak berniat mengalihkan sed
Aku membulatkan mataku karena tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Yoon Seonghwa, dengan santainya mengizinkan para perampok itu untuk bersenang-senang denganku. Amarahku mendadak menyentuh ubun-ubun. Iblis di dalam tubuhku pun meraung, merasa tidak terima dengan ucapan kakak satu darahku itu. “Yoon Seonghwa,” panggilku, merasa terkhianati dan dia tetap bergeming, bahkan dia tak menoleh kepadaku ataupun melirikku. Menyebalkan. “Ini pelatihanmu. Aku yakin kau bisa bela diri jika dilihat dari pakaianmu yang kau pakai saat pertama kali Aquilla membawamu kemari.” Akhirnya dia bersuara namun tetap saja menyebalkan di mataku. Aku mendengus kesal, mengarahkan mataku untuk melihat salah satu dari mereka, para perampok itu, mendekatiku dengan senyuman nakalnya. Mungkin pria gendut dengan tangan yang diselimuti oleh kotoran itu berpikir kalau anak perempuan
Sedikit mengentakkan kakiku dengan sengaja karena kesal, Aku melangkah menuju Aquilla. Kuharap pria tampan itu masih berada di ruangannya.Seonghwa benar-benar pergi, tanpa memberikanku sebuah kesempatan untuk menyusulnya karena rasa penasaran yang melambung tinggi ke atas langit. Alhasil, aku merasa kesal seperti seorang anak kecil yang ditinggal kakak tercintanya.Dan itu membuatku merinding.Aku terperanjat terkejut saat pintu coklat yang hendak kubuka tiba-tiba terbuka dengan sendirinya. Menampilkan wajah dingin Aquilla yang melemahkan sedikit otot wajahnya. Baru kali ini kulihat wajah terkejutnya itu.“Fajar masih lama, cepat sekali kau kembali,” ucapnya segera menutup kembali pintu coklat tersebut dan kami berdiri saling berhadapan. Sial, tinggi badanku hanya sebatas tulang selangkanya saja. Dan itu membuatku harus mendongak untuk menatap tepat di mata ungunya.
Aku melompat dan terbangun di malam berikutnya karena sebuah suara gaduh dari luar gudang ini.Sebuah gudang yang tak tersentuh oleh cahaya matahari sedikit pun dan aku memutuskan untuk tidur di sini setelah mengucapkan selamat tidur kepada Aquilla. Dan benar saja, aku membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk terpejam.Aku beranjak dari posisiku, duduk meringkuk di sudut gudang. Keluar dari tempat ini untuk memeriksa apa yang sedang terjadi di luar sana. Lorong gelap dan berbau apak. Berantakan. Kertas-kertas berjamur yang berserakan di seluruh lantai kayu yang berderit setiap kali kuinjak. Dan terkadang aku mencium aroma darah yang sudah disamarkan oleh bau jamur yang entah pusatnya di mana.Aku menengok di balik tembok berjamur dan retak, mendapati sosok Yoon Seonghwa yang sedang berhadapan dengan seorang pria yang tak kukenal di ruang terbuka di bangunan tua ini. Pria itu bersurai hitam kec
Lusinan kilometer sudah kami lewati ketiak tengah malam tiba.Melewati padang rumput, hutan kecil, dan juga reruntuhan bangunan. Aquilla membimbing kami semua menuju ke arah timur tanpa istirahat ataupun sekedar berbelok untuk berburu darah. Perjalanan kami sesekali terhenti karena pertikaian antara Jake dan Seonghwa yang selalu berakhir dengan baku hantam.Awalnya mereka saling melontarkan ejekan, kemudian memaparkan semua dosa-dosa mereka masing-masing, saling menyalahkan atas dosa tersebut, dan berakhir mereka saling berbagi bogem mentah . Aquilla sendiri hanya sesekali memberi peringatan pada mereka, tanpa berniat melerai.“Apakah kalian berdua bisa berhenti berdebat seperti itu?!” Aku bertanya untuk ke sekian kalinya. Belum genap setengah jam baru saja saling memukul, kedua kakak satu darahku itu kembali berdebat. “Terlalu banyak luka yang kalian ciptakan walaupun sembuh d
Dua hari melakukan perjalanan dengan mereka bertiga membuatku menyadari suatu hal begitu sampai di tempat yang kami tuju.Dunia ini tidak ada bedanya dengan dunia asalku.Bekas-bekas peradaban yang maju, adanya Reptilian Sangmixta, serta keegoisan manusia-manusia yang melekat sejak dilahirkan.Bahkan aku juga bertemu dengan Ghoul, makhluk yang sama seperti di duniaku. Mereka kurus kering, pucat, mata yang memutih serta mulut penuh busa dan air liur, mereka membungkuk, dan juga agresif.Satu malam sebelum akhirnya kami berhasil menapaki tanah sebuah perkemahan, sekumpulan Ghoul menghadang jalan kami. Menggeram dan berdesis kelaparan kepada kami karena mungkin mereka mengira kami adalah sekumpulan manusia bodoh yang berkeliaran pada malam hari.Tentunya kami dengan mudah mengalahkan mereka walaupun sempat menderita luka cakaran ataupun gigitan yan
Membuka mata dan sebuah pemandangan batu-batu granit tertangkap oleh mataku. Matahari belum lama ini tenggelam, membiarkan bulan dan bintang menguasai langit Kota Durham. Membiarkan makhluk nokturnal seperti kami berkeliaran menjelajahi dunia.Aku kembali teringat tentang kisah masa lalu Yoon Seonghwa dan itu membuat merinding.Yoon Seonghwa kembali tepat sebelum beberapa jam fajar tiba. Memberitahukan kepada kami bahwa ada sebuah gua yang gelap dan juga bercabang yang cocok untuk tempat kita tidur malam ini. Yoon Seonghwa bersikeras untuk tidak menguburkan diri ke dalam tanah hanya untuk tidur.Beranjak dari posisiku untuk mencari ketiga teman perjalananku. Membersihkan debu yang menempel di celana, aku melangkah menuju ke bibir gua, mendapati Aquilla berdiri di sana. Seorang diri dan tampak sedang asyik memperhatikan sesuatu di langit.“Aquilla,” panggilku namun ia teta