Share

Episode 3.

Lautan darah hitam tercipta, memenuhi jalan utama Kota Suralaya yang senggang. Tubuh-tubuh yang kurus kering, tinggal tulang yang terbalut kulit tergeletak di sana-sini. Potongan tangan, bahkan hingga kepala pun ikut memeriahkan acara menghias jalanan besar tersebut.

Aku terengah, menatap satu persatu anatomi tubuh yang terlepas dari batang kokohnya karena tebasanku. Sudah setengah jam berlalu, tapi jumlah dari makhluk menjijikkan ini tidak berkurang sedikit pun. Semakin bertambah hingga membuat kami kewalahan. Bahkan ada beberapa dari mereka yang membuatku terkejut.

Mereka membawa bahan peledak! Entah dari mana mereka mendapatkannya, tapi yang pasti mereka mengerti cara menggunakannya. Dan itu membuat kami kewalahan karena harus menghindari tempat yang dilempari bahan peledak tersebut.

“Kalau begini terus, kita bisa mati di sini!” Tidak jauh dari tempatku, Helios terdengar sedang mengeluh. Kondisinya sama sepertiku. Terengah, keringat membanjiri tubuh, dan merasa kesal. Tangannya kembali mengayunkan pedangnya dan membelah dua zombie sekaligus menjadi dua. “Kalau terus berhenti di sini, kita akan mati!”

“Haruskah kita berlari, mencari suatu tempat untuk memusnahkan mereka sekaligus?” tanyaku disela usahaku untuk memotong zombie yang hendak menyerang punggung Eugene.

“Ide yang bagus!” Asher menyahuti dari ujung sana. Sedang berhadapan dengan segelintir makhluk kurus kering itu dan kemudian membuka jalan. “Kita pergi ke arah sini. Semoga saja ada bahan peledak yang tersembunyi di sana!”

Kami langsung berlari, dan gerombolan zombie itu langsung mengikuti kami. Mereka berdesis berisik, sesekali mengeluarkan tawa melengking seakan-akan mereka kegirangan karena kami berlari ketakutan menghindari mereka.

Itu sangat menyebalkan kalau boleh jujur.

“Lihat di sana! Ada seseorang!” teriak Helios seraya menunjuk ke sebuah siluet manusia yang berada di sebuah perempatan yang cukup jauh dari posisi kami.

Aku justru mengernyit. Merasa aneh dengan keberadaan sosok manusia itu yang berdiri dengan tenang seperti sedang menunggu seseorang. Maksudku, mengapa ia bisa begitu tenangnya berdiri sendirian di kota kosong yang dipenuhi oleh zombie? Jika bukan manusia, berarti dia....

Aku membulatkan mataku saat sebuah kilatan cahaya terlihat dari sosok manusia tersebut. Sesuatu dengan cepat melesat ke arah kami, “Menunduk!” teriakku sembari mendorong Helios untuk tengkurap di aspal saat kilatan cahaya itu melesat begitu saja di atas kami.

“Musuh!” bisik Jeremy yang tengkurap tidak jauh dari posisiku dan Helios, “Dia pasti Reptilian!”

Dugaanku benar. Ketika kami beranjak dari posisi tengkurap kami, sesosok manusia itu berjalan mendekati kami dengan tenangnya. Kami terpojok. Di belakang sana ada gerombolan zombie, lalu di depan kami ada seorang Reptilian yang menjadi musuh utama kami setelah wabah ini menyebar.

Reptilian itu semakin terlihat jelas di mataku. Dia laki-laki, berkulit sangat pucat dan bersurai keemasan yang bersinar di bawah terik matahari. Tangannya terlihat seperti sedang menghempaskan angin dan kemudian angin kencang berembus menabrak kami berlima yang sekuat tenaga tetap menapak pada aspal.

Berbeda dengan gerombolan zombie di belakang kami. Mereka terhempas, beterbangan beberapa meter ke belakang dan berakhir mati karena benturan kuat dengan beton ataupun aspal. Begitu angin itu berhenti berembus, aku menghunuskan pedangku ke arah pria Reptilian tersebut.

“Bajingan gila! Dia tersenyum seperti seorang psikopat gila dan terlihat menjengkelkan di mataku.” Jeremy memekik dengan dahi mengernyit jijik. “Dia pasti berpikir senang karena menemukan kita di sini. Bukankah dia tidak bisa menembus pertahanan Kota Erythroupoli berkat bantuan Pak Ashen? Aku rasa dia memanfaatkan misi penjelajahan kita untuk menangkap manusia.”

“Dugaanmu benar sekali, anak muda.” Dia, Reptilian itu, berbicara. Membenarkan dugaan Jeremy yang terlihat terkejut. “Apalagi hasil tangkapanku hari ini ada keturunan Anubis dan Demeter!” Dia menyeringai, memamerkan gigi taringnya yang runcing, melebihi dari gigi Vampir yang digambarkan dalam film-film. “Ah... Apa yang akan terjadi jika Virus Rusa Zombie itu disuntikkan pada tubuh kalian? Apakah akan menjadi makhluk-makhluk kurus kering di belakang sana? Atau justru menjadi Reptilian sama sepertiku?”

Aku merinding saat melihat kilatan di mata Reptilian itu. Dia hebat juga menyadari jika ada keturunan Anubis dan Demeter di sini.

Reptilian itu tanpa terduga melesat dalam satu kedipan mata dan berhasil berdiri di hadapanku. Tak membiarkanku menghindar ataupun terjebak dalam euforia keterkejutan, dia mencekik leherku dengan cukup kuat hingga membuat napasku tercekat. Rasa pusing mulai mendera ketika jalur pernapasanku menjadi sulit. Semakin menjadi ketika Reptilian itu mengangkat tubuhku ke udara dengan cengiran lebarnya.

Eugene terlihat panik namun tak bisa bergerak karena suatu hal. Sepertinya Reptilian ini melakukan sesuatu kepada gaya gravitasi di sini sehingga membuat semua rekan kelompokku kesulitan bergerak.

“Kau berdarah murni keturunan Anubis.” Dia menyeringai, mengarahkan jari telunjuknya yang berkuku panjang dan runcing ke mata kiriku. “Bagaimana rasa darahmu? Apakah manis? Atau rasanya sangat sulit dijelaskan?” Aku menatap horor jarinya yang menyentuh kulit di atas alisku. Perasaanku menjadi tidak enak. “Baiklah, kenapa tidak kita coba?”

SRET!

Gila! Aku menjerit kesakitan yang terdengar seperti geraman seseorang yang sedang sekarat karena cengkeraman kuat di leherku. Dia, Reptilian gila itu dengan santainya menggoreskan jarinya yang berkuku tajam dan panjang itu dari alis dan turun ke tulang pipi kiriku. Melewati mata kiriku begitu saja. Rasa perih berdenyut hebat di sana dan sepertinya, bola mataku terkena goresannya dan bisa jadi aku mengalami kebutaan permanen setelahnya.

Reptilian itu tertawa, terlihat kesenangan saat sebelah wajahku dibanjiri darah segar. Jari yang digunakannya untuk melukaiku dia arahkan ke mulutnya sendiri, mengemutnya hingga terdengar sebuah erangan kenikmatan karena cita rasa darahku.

“Cita rasa yang luar biasa! Haruskah kusimpan kau di kamarku dan menjadikanmu boneka peliharaanku? Menyediakan darah dan juga kebutuhan ranjangku kelak?” Dia berbicara tanpa melunturkan ekspresi kesenangannya sembari menjilati darah yang mengalir di pipiku.

Tubuhku menjadi lemas, hampir saja memasrahkan semuanya pada cekikan kuat di leherku jika saja tiba-tiba genggaman tangan kuat itu terlepas. Tak sempat jatuh ke tanah, tubuhku berada di pelukan Reptilian itu. Melompat ke sana kemari saat tebasan pedang terasa menebas angin.

Aku berusaha memfokuskan penglihatanku karena kabur setelah hampir napas. Ada Eugene di sana. Berlari seraya menebaskan pedang kesetanan, mengejar Reptilian ini yang sedang membawaku.

“Wah, ada keturunan Anubis lain yang mampu melepaskan pengaruh Manipulasi Gravitasi yang kuciptakan barusan.” Dia berkomentar dengan santainya sambil menghempaskan pedang Eugene dengan begitu mudah. “Apakah gadis ini adikmu? Wah sayang sekali. Bolehkah aku membawa adikmu ini? Darahnya sangat enak! Atau kau juga bisa ikut denganku!”

Eugene terlihat marah. Namun kemarahan itu berubah menjadi ekspresi keterkejutan saat terdengar suara ledakan dari atas kami, bersamaan dengan runtuhnya sebuah bangunan pencakar langit itu dan reruntuhannya terjun bebas ke arah kami.

Dan entah bagaimana bisa, aku terlempar ke arah sebuah ledakan lain terjadi. Yang membuatku terjebak di antara kobaran api dan reruntuhan. Aku merasakan rembesan darah keluar dari punggungku. Apakah sekarang ini aku terluka parah? Lalu, bagaimana dengan yang lain? Di luar sana masih ada Reptilian. Eugene, kakakku, pasti terluka saat ini.

Perlahan visi yang diterima oleh retinaku perlahan memburam. Tidak! Jangan sekarang! Aku ingin menggerakkan tubuhku, tapi tidak bisa. Rasa sakit mulai menghantam ke seluruh tubuh, berpusat pada mata kiriku yang berdenyut nyeri luar biasa.

Di tengah-tengah rasa sakit dan detik-detik kematianku. Sesosok manusia berwajah tampan tanpa eskpresi tiba-tiba muncul begitu saja di pandangan buramku. Dia laki-laki, matanya berwarna ungu dan bersinar entah karena apa.

“Kau sekarat.” Dia berbicara padaku sembari membawaku ke pelukan hangatnya. “Apakah kau ingin hidup?”

Tentu saja bodoh! Aku masih ingin hidup. Aku belum menempatkan keluargaku di tempatnya yang seharusnya di Keluarga Utama Andromeda. Aku masih memiliki janji bertemu dengan Erika.

“Keinginan untuk terus hidupmu kuat juga, ya? Aku akan bertanya satu hal lagi padamu.” Suaranya mulai terdengar samar, sebuah tanda bahwa kematianku semakin dekat. “Kau akan hidup, tapi bukan sebagai seorang manusia. Kau akan hidup sebagai seorang Seraphie berkat bantuanku. Apakah kau sanggup?”

Apa pun itu... aku sanggup. Asalkan aku bisa hidup kembali. Tidak masalah kalau aku akan hidup sebagai Vampir atau pun Iblis.

“T—tidak masalah ...” sial! Suaraku tercekat dan terdengar seperti bisikan. Apakah orang asing itu mampu mendengarku?

Kulihat dia tersenyum, kemudian mengarahkan telapak tangannya yang besar ke mataku. Rasa kantuk tiba-tiba menyerangku, hendak mengirimku kepada kegelapan abadi saat sesuatu yang bersifat cair dan amis tertelan oleh mulutku.

Aku tidak tahu cairan apa itu. Namun yang kutahu selanjutnya adalah, rasa panas tiba-tiba menjalar ke seluruh pembuluh darahku yang kehilangan banyak isinya. Dan setelahnya, semuanya benar-benar gelap.

Yveria Andromeda, dinyatakan gugur dalam bertugas pada hari Senin, 07 September 2020.

To Be Continue.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status