"Aku akan menghabiskanmu sendiri, hanya untukku" "Selenia" Selenia Vanderbilt adalah gadis yang menderita kondisi langka: Albino. Ia pun harus hidup dalam gelap bayang, karena terik sinar matahari akan menyiksanya. Ia hidup bak Vampir, namun dirinya tak percaya hal-hal takhayul dan makhluk seperti Vampir. Itu adalah kepercayaan yang ia pegang erat, meski keluarganya telah mempercayai bahwa Selenia yang lemah itu adalah titisan Dewi penghakiman, Librae. Sebelumnya begitu, hingga akhirnya Selenia bertemu dengan Raven Drachov, Vampir haus darah yang menginginkannya. Ingin menyiksa Selenia hanya karena ia diramalkan akan membunuh Raven di masa depan. Namun Selenia kini mengetahui perbuatan kotor Raven di dunia hitam, pun Vampir itu yang mulai terikat dengannya karena menghisap darahnya.
View More"Seperti bunga yang mekar dalam gelap malam, disirami darah, dan bercahaya berkat sinar rembulan. Aku mengakuimu untuk menjadi milikku"
Gang sempit di belakang kampus terasa lebih sunyi dari biasanya. Udara dingin menyelinap melalui kain hoodie hitamnya, tetapi Selenia tidak menggubrisnya. Ia baru saja selesai belajar kelompok dan ingin segera pulang. Langkahnya terhenti. Sebuah perasaan aneh menjalari tubuhnya, seperti ada sesuatu yang mengintai dalam kegelapan. Ia menoleh ke belakang, kosong. Hanya bayangan bangunan tua dan lampu jalan yang redup. Ini perasaan yang konyol, batinnya. Ia mempercepat langkah, tetapi angin malam tiba-tiba berdesir, membawa bisikan halus yang hampir seperti panggilan. Sebelum sempat bereaksi, tubuhnya tertarik ke dalam bayangan. Selenia terkejut. Sebuah tangan kuat melilit lehernya, mengangkat tubuhnya dengan mudah. Ia menendang, meronta, tapi tak ada gunanya. Tangan kekar Raven bermain dengan kasar di leher Selenia. Gadis itu terengah-engah, sesak nafas. Lehernya harus menahan bobot tubuhnya, pria sialan itu mengangkat lehernya demi menyamakan tinggi mereka. "L-Lepaskan, sialan" Bukannya melepaskan, Raven malah menyeringai. Menampakkan dua taring tajamnya yang berkilat tertimpa cahaya lampu jalan yang temaram. Selenia tersentak melihatnya, gadis itu bergetar ketakutan. "Jangan lakukan a-apapun yang akan kau sesali!" Malam yang sepi, dengan udara yang dingin. Raven mengangkat tubuh Selenia lebih tinggi, menabrakkan tubuh rapuh itu ke tembok. Keduanya bersitatap di gang sepi. Aura gelap yang pekat akan negatifitas terasa menegangkan. "Mari kita cicipi dulu, yang katanya darah murni dari gadis suci titisan dewi" Menurunkan tubuh Selenia, Raven meletakkan satu tangannya di bahu Selenia untuk menahan pergerakan gadis itu. Sedang tangan lainnya di samping tubuh sang gadis untuk mencegahnya kabur. "A-Apa yang mau kau- Akhh!" Bermain-main dengan cara yang berbeda, Raven menancapkan taringnya bukan pada tempat yang seharusnya. Ia tak mengigit Selenia di leher, melainkan di area bawah tulang selangka sang hawa. Menghantarkan gigil yang menjalari punggung Selenia. Setelahnya, Raven menghisap dengan brutal. Membiarkan gadis itu mulai memucat bak kertas polos. Gigitan itu bukan sekadar rasa sakit. Ada sesuatu yang lebih dari itu, dingin yang menjalari tubuhnya, mencengkeram organ dalamnya, membuatnya lemas seketika. Darahnya terasa seolah mengalir keluar, menyatu dengan pria itu. Hawa panas menjalari punggungnya. Seluruh tubuhnya bergetar, kelopak matanya berkedip lemah. "Uhh.... H-Hentikan" Darahnya memang tidak dihisap habis, namun cukup untuk membuat gadis bersurai putih itu tumbang. Bulu mata putihnya nan lentik bergerak pelan sebelum sang empunya benar-benar kehilangan kesadaran. "Kau yang akan mati di tanganku. Kujadikan cadangan makanan saja, darahmu segar sekali sih~" Membersihkan sisa darah di bibirnya, Raven tersenyum mengerikan sebelum akhirnya memboyong tubuh sang gadis dalam kegelapan malam. --- "Selenia, pakai jimat yang nenek berikan. Di luar sana bahaya, takutnya ada makhluk jahat" Memutar matanya dengan malas, Selenia Vanderbilt hanya melenguh panjang untuk menjawab ucapan sang nenek. Gadis dengan rambut panjang seputih salju itu kemudian memakai hoodie hitam kesayangannya, lalu melangkah keluar kamar dan berpamitan pada orang tuanya. "Mama, Len pergi dulu ya" "Iya, hati-hati sayang" Sepatu boots yang stylish sudah terpasang di kedua kaki manisnya. Selenia segera keluar dari pintu utama kediamannya, dengan ransel di punggungnya. Menghirup udara malam yang dingin sudah biasa bagi Selenia. Ini semua karena kondisi langka yang dideritanya. Putih, adalah warnanya. Rambut putih, kulit putih, alis dan bahkan bulu mata pun putih. Selenia menderita albino. Keluar di siang hari saat matahari bersinar terik akan menjadi masalah besar baginya. Mata biru cerahnya sangat sensitif akan cahaya, pun kulitnya mudah terbakar. Ia seperti vampir yang dibesarkan bak tuan putri oleh Vanderbilt. Selenia tidak percaya akan kalimat pendeta yang dahulu pernah datang ke kediaman Vanderbilt saat dirinya berusia tujuh tahun. Selenia adalah anak cahaya titisan Dewi penghakiman, Librae. Anak yang akan tumbuh menjadi gadis pembawa cahaya, menghapuskan kegelapan. Bohong. Itu semua hanya bualan belaka bagi Selenia. Kalau benar ia titisan Dewi, harusnya ia tak dilahirkan dengan kondisi yang membuatnya menderita kan? Harusnya ia malah dianugerahi kekuatan. Tapi apa? Albino? Selenia jadi harus hidup dalam bayang. Memainkan liontin di kalung yang disebut jimat pelindung itu, Selenia jadi berpikir. Bukankah tidak masuk akal kalau benda kecil ini dapat melindunginya dari bahaya besar? Pelindung dari makhluk jahat katanya? Haha, lelucon kuno. Bagi Selenia, kalau sudah waktunya mati ya akan tetap mati. Karena itu takdir kan? Mana ada takdirnya Selenia mati dibunuh orang jahat, tapi jadi terselamatkan berkat jimat pemberian neneknya ini? "Haha... Aneh" Selenia Vanderbilt yang lugu dan manis. Usia dua puluh tiga tahun. Mahasiswi fakultas kedokteran. Putri semata wayang Eugene Vanderbilt dan Elaine Vanderbilt. Berpikir dengan nalar, selalu mencari penjelasan logis. Tidak percaya cerita takhayul dan mitos. Bersih dan suci. Tak tahu dirinya diincar oleh sosok dalam gelapnya malam. --- "Kau akan mati di tangan seorang gadis titisan dewi. Tunggu saja ajalmu, Makhluk hina penguasa kegelapan" Seorang wanita tua yang telah bungkuk menyeka darah di sudut bibirnya. Kedua mata butanya tak dapat menyamarkan penglihatannya akan kegelapan pekat dihadapannya. Meski netranya tak berfungsi, batinnya masih dapat meraba sosok di hadapannya. Seorang pria bernetra merah darah. Rambut hitam jelaga dengan segaris perak membuatnya sangat mengerikan. Alarm tanda bahaya seolah menyala dalam benak si wanita tua, merasakan bendera merah berkibar di alam bawah sadarnya. Ia tahu tak seharusnya menantang sang penguasa dunia hitam. Namun inilah takdir yang sudah digariskan, ia harus menyampaikan apa yang dititipkan padanya. Ia adalah pembawa berita kematian. "Beraninya kau, makhluk rendahan" Tawa menghina terdengar dari mulut sosok yang duduk santai di singgasana kebanggaannya. Aroma tembakau menguar kuat, bercampur dengan aroma amis darah. Mata merah yang mempesona bak permata rubi itu berkilat, memancarkan amarah. Seringainya membuat bulu kuduk berdiri. Raven Drachov, pria yang telah hidup lebih dari satu abad. Makhluk yang terperangkap dalam keabadiannya sendiri. Hampir jengah dengan hidupnya. Kini, saat ia menemukan hiburan dalam hidup monoton, seorang wanita tua bangka dengan lancang menyatakan bahwa ajal akan segera menjemputnya? Ia tak salah dengar? "Kau akan menyesal telah menantangku, wanita renta" "Kau yang akan menyesal, bila tak mengindahkan himbauanku" Bangkit dari singgasana, Raven melangkah ke hadapan wanita buta itu. Mencengkram wajah keriput itu dengan ekspresi jijik, pria bertubuh tegap tersebut membiarkan kuku-kukunya memanjang atas keinginannya, mulai menusuk kulit si wanita tua. Erangan tipis terdengar, namun itu mengalun bak melodi indah di telinga Raven. Raven adalah pecinta musik, dan ada tiga musik yang sangat dicintainya : Erangan kesakitan, suara kematian, dan terakhir musik instrumental. "K-Kau takkan mendapatkan apapun walau membunuhku" Mata merah itu kembali berkilat. "Mati" Dengan sekali cengkraman yang bahkan tak ada setengah dari tenaga sang adam, wanita tua itu sudah meregang nyawa di tangannya. Tersenyum mengerikan, pria itu merubah tubuh dingin si wanita renta menjadi sekelompok gagak yang bergerak sesuai perintahnya. "Hm, pembunuhku di masa depan? Menarik. Cari gadis sialan dalam ramalan payah itu. Akan ku tunjukkan padanya arti tantangan" Raven Drachov. Usia lebih dari satu abad. Dikenal sebagai raja dunia hitam, pun penguasa dalam kegelapan. Bisnis ilegal seperti perdagangan miras, narkoba, bahkan perdagangan manusia ada di tangannya. Menguasai dunia mafia, pemilik gudang senjata rahasia, dan melatih anak-anak untuk menjadi assassin kelas atas. Kotor dan gelap. Terakhir, dia adalah vampir yang berambisi untuk hidup abadi setelah sebelumnya mengutuk keabadian itu sendiri. --- Menatap gadis bersurai putih itu dari kejauhan, tanpa banyak bicara Raven segera menerjangnya. Dibawanya Selenia ke tempat yang benar-benar gelap, menghimpit tubuh gadis itu dalam posisi yang intim. Setelah beberapa dialog yang tidak menyenangkan dan aksi brutalnya menghisap darah Selenia, gadis itu tumbang. Jatuh ke tangannya. Namun Raven menjadi bingung sendiri. Inikah gadis yang akan membunuhnya kelak? Lemah, rapuh, namun indah. Sungguh menarik. Raven ingin melihat, apa yang bisa dilakukan kelinci kecil ini untuk membunuhnya. Mengangkat gadis itu di bahunya bak karung beras, anehnya vampir brutal sepertinya menyentuh Selenia seakan menyentuh bunga yang rapuh. Meski gaya menggendong yang tidak lazim, ia benar-benar menyentuh Selenia dengan lembut. Dengan iseng, Raven menepuk pelan bokong semok Selenia yang tak sadarkan diri. "Yah, lumayan. Cadangan makanan"Malam tiba tanpa memberi kabar. Langit kini telah sepenuhnya gelap, namun seorang wanita bersurai putih pendek dengan gaun marun mengendap-endap keluar dari sebuah mansion raksasa.Selenia Vanderbilt.Wanita itu celingukan, memastikan segalanya aman. Sebelum akhirnya berjalan keluar dengan cepat.Dingin menusuk kulitnya, namun Selenia tak peduli. Napasnya memburu, jantungnya berpacu cepat. Ini adalah kesempatan yang ia tunggu-tunggu, kesempatan untuk melarikan diri. Dengan langkah ringan namun tergesa, ia menyusuri halaman bersalju. Rantai yang dulu melilit pergelangan tangannya kini tak ada lagi, berkat kewaspadaannya yang meningkat setiap hari. Ia telah menyiapkan ini. Satu langkah lagi. Namun, sebelum ia benar-benar bisa merasakan kebebasan, suara familiar membekukan tubuhnya di tempat. "Satu langkah lagi, dan aku akan patahkan kedua kakimu, sayang." Darah Selenia seolah menguap. Dengan sangat pelan, ia menoleh ke belakang. Seorang pria berdiri di ambang pintu mansion, bers
Selenia gemetar."Tidak... Aku tidak bisa..." Namun tubuhnya berkata lain. Ia haus. Ia butuh. Dan ia tahu, cepat atau lambat, ia akan menyerah.Di tengah dilema itu, Selenia tetap menolak fakta.Ia tak ingin meminum darah, tak ingin menjadi seperti Raven.Wanita itu terguncang, keadaannya saat ini benar-benar membingungkan. Tanpa sadar, ia mulai menangis."Sialan... Aku tak mau meminum darah... Kenapa tidak kau saja yang mengandung sih?" Gerutunya dengan nada frustasi.Raven mengangkat sebelah alisnya, lalu terkekeh."Lucu sekali, sayang. Aku yakin aku akan terlihat menggemaskan dengan perut membesar." Selenia mendengus frustrasi, sementara air matanya tetap mengalir. Ia menggigit bibirnya, menolak untuk membuka mulut, meskipun rasa haus itu semakin menyiksa. Tubuhnya mulai gemetar, dan pandangannya berkunang-kunang. Raven mengamatinya dalam diam, senyum tipis tersungging di wajahnya."Kau keras kepala, sepertinya Selenia-ku yang dulu sudah kembali," gumamnya. Tiba-tiba, ia berge
Selenia terbangun dengan tarikan napas tajam. Rasa sakit langsung menyerangnya dari segala penjuru. Perutnya, tubuhnya yang lemah, luka-lukanya yang terbuka. Pandangannya buram, tetapi ia bisa mencium bau logam yang tajam. Darah. Tangannya menyentuh perutnya yang masih ada kehangatan samar di dalamnya, masih bertahan.Dan Selenia merasakan jantungnya masih berdetak. Ia masih hidup. Selenia mengerang, mencoba menggerakkan tubuhnya. Ia merasa lemas, namun tak ada pilihan lain. Perlahan, ia memaksa dirinya bangkit, meski nyeri menyerangnya tanpa ampun. Tidak ada waktu untuk berdiam diri. Lucas sudah mengorbankan nyawanya untuknya. Ia akan membalas semua ini. Dengan atau tanpa bantuan siapa pun.Raven berdiri di ambang pintu, menatap tubuh Selenia yang seolah berusaha bangkit dari genangan darahnya sendiri. Matanya yang berkilat merah gelap tak menampilkan emosi yang mudah dibaca, tapi cengkeraman tangannya pada kusen pintu mengkhianati sesuatu. Kemarahan, frustrasi, atau mungkin.
Raven berjalan cepat, nyaris seperti bayangan yang melintas di lorong-lorong mansion. Derak rantai yang mengikat Selenia kini bersatu dengan suara langkahnya yang berat. Tangan yang menekan luka di perut wanita itu semakin berlumuran darah, tapi Raven tidak peduli. Ia menerobos masuk ke salah satu kamar yang lebih hangat, menendang pintu hingga terbuka lebar. Tempat tidur besar dengan seprai putih bersih menyambutnya, tapi Raven hanya peduli pada satu hal, menjaga wanita itu tetap hidup. Dengan penuh kehati-hatian, ia meletakkan Selenia di ranjang, jari-jarinya bergerak cepat untuk menyingkirkan rambut yang menempel di wajahnya. "Sialan..." gumamnya, nada suaranya kasar namun terdengar begitu marah pada dirinya sendiri. Ia berbalik, menggapai lonceng kecil di atas meja, membunyikannya dengan kasar. Tak butuh waktu lama sebelum seorang pria tua dengan pakaian rapi muncul dari balik pintu. "Dokter," suara Raven penuh perintah, dingin, dan tak terbantahkan. Pria tua itu hanya perlu
Raven berdiri kaku, menatap Selenia yang kini terpuruk di lantai. Tangis tanpa suara itu lebih menyakitkan daripada jeritan atau makian apa pun yang pernah ia dengar darinya. Dadanya terasa sesak, ada sesuatu yang menghimpit di sana, sesuatu yang tak ingin ia akui. Ia harusnya merasa puas. Bukankah ini yang ia inginkan? Selenia dalam genggamannya, tak bisa lari, tak bisa melawan, tak bisa mencintai pria lain selain dirinya? Lalu kenapa perasaan ini terasa… salah? Tangan Raven mengepal, kukunya hampir menembus kulit telapak tangannya sendiri. Ia mencoba menenangkan diri, membungkus emosinya dalam dingin yang selama ini menjadi tamengnya. Tapi tatapan kosong Selenia menusuk ke dalam dirinya, merusak ilusi kepemilikan yang selama ini ia agung-agungkan. Kemarahan, frustrasi, dan… sesuatu yang menyerupai rasa bersalah berputar dalam kepalanya. Tidak. Ia tidak akan membiarkan dirinya rapuh. Kebingungan itu ia kubur dalam-dalam. Jika ia harus menjadi monster agar Selenia tetap di sisin
Jantung Selenia berdegup lebih kencang. Dingin menjalari tubuhnya. Ia bisa merasakan ketakutan mencekiknya. Jika kemungkinan itu benar, maka ini bukan lagi sekadar mimpi buruk. Ini adalah neraka tanpa jalan keluar."Hah! Itu mustahil... Aku.. Tidak, aku harus memastikannya dulu.." Racau Selenia.Raven tertawa kecil, sebuah suara rendah yang terdengar lebih seperti ejekan daripada hiburan."Memastikannya?" ulangnya, masih dengan cengkeraman di dagu Selenia, mempermainkannya seolah wanita itu hanyalah boneka porselen rapuh yang berada sepenuhnya dalam genggamannya. Selenia menepis tangannya dengan kasar, terengah. Napasnya berat, dadanya naik turun dalam kepanikan. Baru terlewat dua minggu sejak kejadian mengerikan selama tiga hari yang dialaminya, mana mungkin..."Aku... Aku butuh waktu," katanya, lebih kepada dirinya sendiri. Tangannya mencengkeram perutnya, masih berusaha memahami segala kemungkinan yang berputar liar di kepalanya. "Tidak ada waktu untuk kebimbangan, sayang," suara
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments