Share

Episode 8.

Sedikit mengentakkan kakiku dengan sengaja karena kesal, Aku melangkah menuju Aquilla. Kuharap pria tampan itu masih berada di ruangannya.

Seonghwa benar-benar pergi, tanpa memberikanku sebuah kesempatan untuk menyusulnya karena rasa penasaran yang melambung tinggi ke atas langit. Alhasil, aku merasa kesal seperti seorang anak kecil yang ditinggal kakak tercintanya.

Dan itu membuatku merinding.

Aku terperanjat terkejut saat pintu coklat yang hendak kubuka tiba-tiba terbuka dengan sendirinya. Menampilkan wajah dingin Aquilla yang melemahkan sedikit otot wajahnya. Baru kali ini kulihat wajah terkejutnya itu.

“Fajar masih lama, cepat sekali kau kembali,” ucapnya segera menutup kembali pintu coklat tersebut dan kami berdiri saling berhadapan. Sial, tinggi badanku hanya sebatas tulang selangkanya saja. Dan itu membuatku harus mendongak untuk menatap tepat di mata ungunya.

“Yoon Seonghwa meninggalkanku di pinggir padang rumput seorang diri. Kau pasti tahu ke mana dia pergi dengan hubungan darah yang kau ucapkan itu,” aduku, merengek seperti anak kecil. Kulihat Aquilla tak memberi reaksi apa pun, hanya mendatarkan wajahnya sambil menunduk untuk menatapku.

Aquilla melenggang pergi seraya mengisyaratkanku untuk mengikutinya, “Yoon Seonghwa memang selalu begitu.” Kakinya yang panjang itu berbelok ke arah pintu yang mengarah ke taman belakang bangunan tua ini. “Biar kutebak, Seonghwa hanya menjelaskan dasar dari Kehidupan Seraphie, bukan?”

“Yang pada intinya, kita harus menjaga jiwa kita agar tidak hancur dan menjadikan kita sebagai seorang Vampir. Aku harus meminum darah sebulan sekali dalam empat kali teguk dalam upaya mempertahankan jiwa tersebut,” ujarku memberikan kesimpulan yang kuambil dari pelajaran yang Seonghwa sampaikan.

“Dan kau ingin memuaskan pertanyaanmu yang mana dulu?” Dia bertanya dengan sangat tepat, seakan-akan dia baru saja membaca pikiranku yang ruwet karena banyaknya pertanyaan.

“Kenapa Seonghwa memilih untuk menjadi Seraphie? Apalagi bekerja di bawah kuasamu yang seorang Rasi Bintang Kematian?” Aku memutuskan untuk menanyakan soal Seonghwa terlebih dahulu karena jujur, aku penasaran dengan masa lalu kakak satu darahku itu.

Aquilla menghentikan langkahnya tepat di bawah sebuah pohon mati. Batang-batangnya yang seharusnya ditumbuhi oleh dedaunan lebat itu menambahkan nilai estetika pemandangan langit malam hari ini.

“Aku pertama kali bertemu dengan Seonghwa dalam keadaan yang sama sepertimu. Sekarat namun Seonghwa masih sedikit lebih jauh dari kematian. Dia sekarat karena dengan sangat berani berhadapan dengan Zhou Yanchen, salah satu komplotan Wu Xiaoji yang bertugas di dunia ini. Selanjutnya kau bisa membayangkannya sendiri.”

Aku mengangguk mengerti kemudian mendongak untuk menatap langit yang entah kenapa sekarang tiba-tiba muncul sebuah Aurora. Berwarna ungu dan menari-nari dengan begitu indah di atas sana. Saat kuperhatikan dengan saksama, Aurora itu seolah-olah sedang berkomunikasi dengan seseorang yang berada di sebelahku. Rasa penasaran tiba-tiba membuncah, membuatku tak sadar menoleh kepada Aquilla yang mendongak untuk menatap Aurora tersebut.

Aku baru menyadari bahwa di leher kanan Aquilla terdapat sebuah tato berbentuk naga yang warna memudar, seakan-akan berbaur dengan kulit putih pucatnya itu. Matanya pun kini bersinar merah, bukan lagi berwarna ungu yang membuatku takjub sekaligus iri.

“Aquilla,” panggilku tapi dia tetap bergeming pada posisinya. Dia terlihat terlalu terikat dengan pemandangan Aurora berwarna ungu tersebut. “Apa yang sedang kau lakukan?”

“Tidak ada.” Dia menjawabnya secepat mungkin yang membuatku terkejut. “Hanya sebuah kebiasaanku ketika Aurora itu datang.”

“Apakah kau pernah berkomunikasi dengan Nebula melalui Aurora ratusan juta tahun yang lalu?” Dia terdiam yang membuatku merasa bersalah karena menanyakan sebuah pertanyaan yang terdengar rancu, mungkin. “Maafkan aku karena menyinggung sesuatu yang tidak ingin kau bicarakan.”

Kami berakhir diselimuti keheningan. Membiarkan suara-suara alam memenuhi indra pendengaran kami. Sebuah keadaan yang membuatku tak nyaman sebenarnya, tapi aku enggan untuk membuka suara karena Aquilla terlihat enggan untuk beranjak dari posisinya.

“Aquilla,” panggilku lagi saat keberanian berhasil kukumpulkan hingga membuat perutku bergejolak tidak enak. “Apakah kita akan terus menetap di sini?”

“Tentu saja tidak.” Aku kembali terkejut dengan kecepatannya dalam menjawab pertanyaanku. Tidak ada seseorang yang menjawab secepat itu ketika ia menaruh fokus kepada suatu objek. Kecuali jika kau memang bisa membagikan fokusmu ke dua atau lebih. “Makanya Yoon Seonghwa pergi ke Tenggara malam ini. Mencari-cari jejak Zhou Yanchen untuk kita susul.”

“Memangnya dia itu akan pergi ke mana?” tanyaku dan menyadari bahwa pertunjukkan Aurora itu telah berakhir dan Aquilla akhirnya menatapku yang sedari tadi berdiri di sebelahnya. “Apakah laboratoriumnya tersembunyi dan sangat rahasia hingga membuatnya berputar-putar seperti itu?”

“Lebih tepatnya, dia mencari data-data dari berbagai laboratorium di seluruh dunia untuk keperluan penciptaan virus baru atas perintah Wu Xiaoji.” Wajahnya menggelap, suaranya yang memang sudah merendah semakin terdengar berat. Seakan-akan sedang menahan sesuatu yang mengerikan di tenggorokan. “Kita harus mencegahnya, setidaknya, jangan biarkan hasil penelitiannya di sini berada di tangan Wu Xiaoji. Atau, umat manusia akan benar-benar hancur dari peradaban.”

Aku merinding mendengarnya. Sebongkah es mengganjal di perutnya, membuatnya dingin hingga ke seluruh tubuhku. Suatu hal yang sangat mengerikan dan bagi manusia menyebutnya adalah kiamat.

“Atas dasar apa Wu Xiaoji melakukan ini?” tanyaku karena penasaran. Reptilian sudah mengalami kekalahan pada perang yang terjadi ratusan juta tahun yang lalu. Lantas, bagaimana bisa para Reptilian Sangmixta yang meneruskan kembali perang itu jika saja para manusia yang tersisa dari berbagai dunia bergabung untuk memeranginya?

“Bahkan aku yang seorang Spirit Rasi Bintang Kematian pun tidak mengetahuinya.” Bahuku turun dengan penuh kekecewaan karena tidak mendapatkan jawaban yang membuatku puas. “Kudengar seseorang menuliskan sesuatu pada Kitab Ajaran Lama, bahwa Perang Besar Suci akan kembali terjadi ketika Darah Campuran memimpin dunia dan menyebabkan kekacauan skala global.”

Aku mengangguk, “Itu benar. Dari sanalah kota di mana aku tinggal melakukan tindak pencegahan... tiba-tiba aku merindukan kampung halamanku.”

Aquilla kembali menatapku yang mengerucutkan bibir, merajuk seperti seorang anak kecil yang merindukan kedua orang tuanya. “Lima bulan lagi kita akan pulang.”

“Lima bulan waktu dunia ini?”

Aquilla menggeleng dengan tawa tanpa humor, “Lima bulan waktu di Dunia Ke-8. Yang berarti butuh waktu sekitar tiga ratus tahun di sini.”

Rasanya aku ingin mematahkan leher putih itu dan menonjok wajah yang sedang menyengir tanpa humor itu tepat di bawah hidung.

“Ini tidak lucu karena kau sudah mempermainkan harapan seseorang yang ingin pulang ke kampung halamannya,” kataku seraya melipatkan tanganku di dada dan memberikan Aquilla tatapan tajam. Dia kembali tertawa tanpa humor, terkesan dipaksakan atau memang dia benar-benar memaksakan diri untuk tertawa?

“Masuklah. Fajar sebentar lagi akan tiba.” Aquilla mengibaskan tangannya, menyuruhku untuk masuk ke dalam bangunan tua itu, “Setidaknya beberapa jam lagi fajar akan tiba.”

“Lalu, bagaimana denganmu? Apa kau juga akan tertidur?” tanyaku menatapnya menantang karena merasa kekesalanku kepadanya semakin bertambah.

“Aku? Tentu saja aku akan tertidur juga.”

“Tapi, kata Seonghwa, semakin tua umurmu, kau bisa berkeliaran dengan bebas tanpa tertidur sekalipun,” kataku dengan wajah yang menggebu dan kulihat Aquilla kembali tertawa, cukup keras dan terlihat tidak dipaksakan.

“Dan kau percaya?” Aku mengangguk sebagai jawaban, “Memang tidak salah sih, hanya saja, aku berbeda. Aku hanya roh, yang hanya bisa bertahan di malam hari. Tak punya raga untuk berkeliaran dengan bebas pada siang hari.”

“Tapi kenapa kakimu menapak di tanah?”

TAK!

“Lebih baik kau cepat bersiap-siap untuk tidur. Persiapan tidur seorang Seraphie itu cukup panjang!”

Aku kembali mengerucutkan bibirku, mengusapi bekas sentilan Aquilla yang terasa sakit di dahiku. Dia, Aquilla, memberiku tatapan lembutnya yang membuatku tak bisa berkutik selain menuruti perintahnya.

“Baiklah, aku akan masuk,” ucapku akhirnya mengalah. Tenggorokanku mendadak terasa kering, seolah-olah ada sesuatu hal yang cukup besar menyumbat jalur keluarnya suaraku. “Selamat tidur.”

To Be Continue

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status