Share

Episode 7.

Aku membulatkan mataku karena tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.

Yoon Seonghwa, dengan santainya mengizinkan para perampok itu untuk bersenang-senang denganku. Amarahku mendadak menyentuh ubun-ubun. Iblis di dalam tubuhku pun meraung, merasa tidak terima dengan ucapan kakak satu darahku itu.

“Yoon Seonghwa,” panggilku, merasa terkhianati dan dia tetap bergeming, bahkan dia tak menoleh kepadaku ataupun melirikku. Menyebalkan.

“Ini pelatihanmu. Aku yakin kau bisa bela diri jika dilihat dari pakaianmu yang kau pakai saat pertama kali Aquilla membawamu kemari.” Akhirnya dia bersuara namun tetap saja menyebalkan di mataku.

Aku mendengus kesal, mengarahkan mataku untuk melihat salah satu dari mereka, para perampok itu, mendekatiku dengan senyuman nakalnya. Mungkin pria gendut dengan tangan yang diselimuti oleh kotoran itu berpikir kalau anak perempuan ini lemah.

Tapi, pemikiran kolot itu benar-benar tidak sesuai sama prinsip hidupku.

Begitu dia berada dalam jangkauan seranganku, aku langsung melayangkan bogem mentah ke dagunya. Sekeras mungkin hingga terdengar suara retakan dibalik desis kesakitan. Sepertinya ada beberapa giginya yang patah dan juga tulang rahangnya bergeser sedikit.

Aku sendiri sedikit terkejut. Pukulanku biasanya tidak menyebabkan kerusakan separah itu. Apa karena faktor aku sekarang bukan lagi manusia, staminaku bertambah? Kalau itu benar, hebat sekali!

Karena serangan mendadak itu, sisa gerombolan perampok itu meradang. Berdiri dengan amarah yang mencapai ubun-ubun, menggenggam senjata mereka yang berupa kapak penuh karatan, pipa besi, dan sebuah pasak kayu. Satu lawan empat, dan mereka bersenjata. Ini tidak adil walaupun aku sekarang bukan seorang manusia.

“Keparat!” Salah satu dari mereka mengumpatiku sembari mengacungkan kapak berkarat itu ke udara. Berlari hendak menerjangku.

Secepat kilat aku menghindar, melompat beberapa senti ke samping kemudian melayangkan tendanganku pada punggung rapuh pria kurus kering itu. Tak memberiku waktu untuk sekedar menegakkan kembali tubuhku, sisa perampok lainnya menyerangku secara bersamaan. Dan tentunya mereka semua dengan mudah dikalahkan olehku.

“Sisakan satu di antara mereka untuk terus hidup. Percayalah, meminum darah manusia yang sudah mati itu sama saja kau memakan daging kadaluwarsa.” Seonghwa bersuara, menginterupsi kegiatanku saat melihat satu persatu dari perampok itu tumbang.

Aku mengangguk, menyengir lebar hingga gigi taringku berkilauan di bawah sinar bulan. Dapat kulihat preman di depanku gemetar ketakutan, menjatuhkan pasak kayunya karena terkejut atas jati diriku.

“Vampir!” jeritnya yang terdengar nyaring membelah keheningan malam. Iblis dalam tubuhku menertawai ketakutannya.

Aku menerjang tubuh kurus itu saat preman itu hendak mundur, berlari menjauhkan diri dari monster yang ada di hadapannya itu. Aku menangkapnya dengan begitu mudah, membuka secara paksa perpotongan lehernya hingga membuat preman ini mengerang kesakitan. Sepertinya aku tak sengaja membuatnya cedera.

Iblis di dalam tubuhku meraung, mendorongku untuk langsung menancapkan taringku yang semakin mencuat keluar. Mengoyak lapisan daging itu untuk mendapatkan lebih banyak darah yang mengalir di pembuluh darah.

“Hanya empat teguk.” Seonghwa kembali bersuara. Sepertinya dia menangkap keraguanku dalam menentukan seberapa banyak yang harus kuminum, “Itu cukup untuk menahan rasa laparku selama sebulan. Jika kau melewatinya, kau terancam akan berubah menjadi Vampir.”

Ancaman yang bagus dan terdengar menakutkan bagi mereka yang tidak tahu kengerian menjadi seorang Vampir. Aku hanya mengangguk untuk membalas ucapan Seonghwa barusan. Kemudian bersiap-siap untuk menancapkan gigi taringku ke leher preman ini.

Suara cekikan dan geraman yang terdengar seperti suara seekor tikus terjepit pintu terdengar saat gigi taringku menusuk bongkahan daging tipisnya. Tenggorokan dibanjiri panasnya darah yang terasa nikmat, hingga membuatku tak sadar terus menyedotnya dan bahkan mengoyak sedikit gumpalan daging itu untuk memuaskan dahagaku.

Aku melupakan sudah berapa teguk darah yang kuminum, terjebak dalam euforia yang kurasakan saat merasakan darah. Hingga semuanya berakhir saat Seonghwa menarik paksa kepalaku untuk lepas dari batang leher preman ini yang lemas tak berdaya.

“Hampir saja kau terjun bebas dari batasanmu.” Seonghwa menatapku dengan rahang yang mengeras, sepertinya dia marah karena aku melanggar perintahnya.

Aku melepaskan tubuh preman itu yang meluruh begitu saja seperti tidak memiliki tulang. Wajahnya pucat pasi, kehilangan banyak darah yang membuatnya sekarat dan akan mati untuk beberapa waktu lagi.

Apakah kalian bertanya apa aku merasakan sebuah rasa penyesalan yang mendalam karena memangsa manusia?

Jawabannya adalah... aku tidak tahu.

“Kau tidak merasa bersalah?” tanya Seonghwa saat melihat wajahku yang datar-datar saja saat melihat jasad preman tersebut.

Aku menggeleng pelan, “Aku tidak tahu. Aku tidak bisa mendeskripsikan perasaanku saat ini dengan untaian kata.” Aku berucap jujur karena aku menyadari kalau aku tidak bisa membedakan jenis-jenis perasaan yang sedang kurasakan. “Apa kau juga takjub denganku karena ini?”

Seonghwa menatapku dengan tatapan tidak percayanya kemudian mengangguk, “Dari semua Seraphie dan bahkan Vampir muda pun, baru kali ini aku bertemu dengan seseorang sepertimu.” Dia mendongak menatap horizon yang berwarna biru gelap, “Pelajaran selanjutnya. Kau akan mendapatkan alarm secara otomatis ketika fajar akan tiba sebentar lagi. Dan itu adalah waktu yang tepat untukmu mempersiapkan diri untuk tidur.”

“Tidur? Kita benar-benar makhluk nokturnal?” tanyaku menatapnya terkejut. “Aku pikir Seraphie bisa beraktivitas di siang hari karena lebih unggul dari Vampir. Ternyata sama saja, ya?”

“Beda cerita jika kamu dirasuki oleh Rasi Bintang itu sendiri.” Seonghwa lekas menjawab pertanyaanku tanpa memberiku jeda waktu, “Atau, kau bisa beraktivitas di siang hari jika usiamu sudah tua. Dan itu juga diperlukan pelatihan secara intens selama ratusan tahun untuk bisa menjadi makhluk yang tak memerlukan tidur.”

Aku mengangguk, memberikan sinyal mengerti kepada Seonghwa yang mengajakku untuk kembali ke bangunan tua, tempat di mana kami tinggal saat ini.

Kami kembali berjalan melewati hutan, kemudian melintasi padang rumput yang luas untuk sampai di bangunan tua itu. Tanpa obrolan tak berguna, hanya sesekali Seonghwa menjelaskan tata krama para makhluk immortal yang ada di dunia ini.

“Seonghwa,” panggilku saat kami berhasil melewati luas padang rumput, “Kenapa kau mau menjadi seorang Seraphie?”

Kulihat dia berhenti berjalan, terlihat terkejut dengan pertanyaanku yang terduga dan terkesan mendadak. Atau mungkin ia sudah menduga pertanyaan tersebut akan terucap dariku, adik satu darahnya itu.

Dia menoleh, melirikku dari balik bahu kokohnya yang terbalut oleh jubah berwarna hitam. “Memangnya ada alasan kenapa aku menjadi Seraphie selain berusaha untuk mengakhiri penderitaan yang dialami oleh dunia ini? Aku punya dendam, pada Zhou Yanchen. Dan untuk membalaskan dendamku, aku harus sekuat dia dan menjadi Seraphie adalah satu-satunya jalan untuk mencapai tujuanku.”

Aku terdiam. Sedikit tertegun dengan tekad yang terselip di setiap ucapannya barusan. Aku bisa merasakan seberapa besar kebenciannya terhadap pria yang bernama Zhou Yanchen. Aku ingin bertanya, siapa Zhou Yanchen itu. Tapi, kuurungkan karena sepertinya Seonghwa terlihat enggan untuk menjawab.

“Pertemuan kita sampai di sini dulu, Adik.” Dia berbalik dan memberiku sebuah senyuman lembut yang terlihat tulus kali ini. “Aku harus pergi ke arah Tenggara. Pelajaran selanjutnya akan disampaikan oleh Aquilla sendiri. Dan kau bebas bertanya tentangku kepadanya.”

Seonghwa mendekat padaku, memberikan sebuah usapan lembut di puncak kepalaku kemudian secara tak terduga dia tiba-tiba saja berlari, secepat angin hingga aku kesulitan melihatnya yang bergerak seperti sebuah bayangan hitam tersapu angin.

To Be Continue.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status