"Ada hal-hal yang lebih indah dari senja. Senyummu, dan perasaan yang terukir dalam setiap detik saat bersamamu." -Keenan Aksara
°°°°° Ketiga teman Keenan berdiri di bawah semburat jingga yang perlahan memenuhi langit sore. Parkiran sekolah mulai lengang, hanya tersisa beberapa siswa yang masih berkumpul. Di depan gerbang, Keenan menghentikan motornya tepat di depan Alsha dan Aline. Dengan gerakan yang anggun namun tanpa banyak usaha, ia melepas helm full-face-nya. Rambutnya sedikit berantakan, tapi justru menambah kesan karismatik yang alami. "Oalah, ke neng Alsha toh, kirain mau kemana," ujar Abhi, suaranya terdengar iseng, sementara dia mengambil helm dari motornya dan tersenyum kecil. Nevan memutar matanya dengan malas, "Yuk, susul Pak Ketu," katanya dengan sedikit cengengesan sambil menepuk-nepuk jok motornya, seolah siap berangkat kapan saja. "Tunggu dulu," Nevan menyahut dengan nada setengah jengkel. "Enak aja nyuruh-nyuruh, Lo kira gue anak buah lo?" Kafka, duduk di motornya, hanya tersenyum tipis. Di bawah helmnya, ada ekspresi tenang dan sedikit misterius yang sering ia tunjukkan. Ia memperhatikan Keenan dari kejauhan, yang masih sibuk mengobrol dengan Alsha dan Aline. Bagi Kafka, Keenan selalu punya caranya sendiri untuk menarik perhatian tanpa perlu berusaha keras, dan itulah yang membuatnya diam-diam terhibur. Abhi tertawa ringan. "Gak nyuruh kok, cuma perintah kecil aja," ujarnya sambil bercanda. Nevan melotot kesal, tapi tawa Abhi dan Kafka membuat suasana jadi lebih ringan. Tiba-tiba, suara Keenan menggelegar dari seberang, membuyarkan obrolan mereka. "WOY!" teriaknya, suaranya tegas dan jelas, memanggil mereka untuk segera bergabung. Nevan dengan sigap memakai helmnya dan menyalakan motornya, suara mesinnya langsung menggelegar. "Siap hadir, bos," jawabnya sambil menoleh ke arah Abhi, yang segera naik ke belakangnya untuk boncengan. Motor Abhi masih terparkir di bengkel, korban dari ulah geng Davin kemarin malam, tepat setelah Abhi baru pulih dari sakit. Kafka, meski lebih tenang dari yang lain, juga tak mau ketinggalan. Dengan gerakan santai namun teratur, ia memasang helmnya, menyalakan mesin motornya yang menyala lembut, lalu perlahan melaju ke arah Keenan. Meski suasana di sekitar mereka mulai tenang, Kafka tetap bergerak dengan kesan anggun dan percaya diri, menikmati setiap momen tanpa terburu-buru. Hanya dua motor yang menderu, membawa mereka mendekat ke Keenan, yang berdiri dengan tatapan menunggu. Saat mereka bertiga sampai, Keenan langsung melontarkan pertanyaan ke teman-temannya. "Siapa yang mau bonceng Aline? Gue traktir seminggu," kata Keenan, melontarkan tawarannya dengan tawa kecil di sudut bibirnya. Cahaya oranye menyentuh wajahnya, mempertegas garis rahangnya yang kuat, membuatnya tampak begitu yakin pada dirinya sendiri. Nevan, yang berdiri di samping, langsung menyahut sambil mengangkat tangan. "Hus! Lo bareng Kafka aja. Gue nganterin Aline," katanya, sambil menarik Abhi menjauh. Kafka yang mendengar itu menggeleng pelan, wajahnya yang biasanya datar berubah sedikit serius. "Gak, gak! Gue gak mau bonceng Abhi," ucapnya tegas, suaranya terdengar tenang namun penuh penolakan. Abhi, yang selalu punya kata-kata candaan di ujung lidahnya, langsung menyeringai. "Lo jatuh dari langit, Kaf? Soalnya setan biasanya gitu," sindirnya, sambil melempar tatapan nakal ke arah Kafka, yang hanya membalas dengan diam. "Oh, jadi lo mau bilang kalau gue itu setan?" Kafka membalas dengan nada rendah tapi tajam, tangan kanan yang berada di saku hoodie-nya mengepal perlahan, menunjukkan ketegangan yang tak terlihat di wajahnya. Abhi tertawa kecil, lalu mengangkat tangan sebagai tanda damai. "Canda doang, ah elah, jangan baper lah." Di tengah keributan itu, Alsha hanya berdiri di sana, diam. Mata cokelatnya berkilau lembut dalam cahaya senja, sementara ia menatap jam di pergelangan tangannya. Jam hampir menunjukkan pukul tiga sore. Waktu yang berlari cepat membuat pikirannya semakin tergesa. Dia tidak ingin membuang waktu lebih banyak lagi. "Aduh, aku sama Aline naik angkot aja deh. Nggak mau ngerepotin kalian," kata Alsha dengan suara lembut namun tegas. Meski kata-katanya sopan, ada nada akhir yang menunjukkan bahwa ia tidak mau dibantah. Namun Aline, dengan sikapnya yang tak kalah tegas, menarik tangan Alsha, mendekatkan bibirnya ke telinga Alsha dan berbisik, "Biar kita dianter mereka aja. Hemat waktu dan ongkos. Lagipula, kalau naik angkot, kita bisa lama nunggunya." Alsha terdiam sejenak, merenung. Tawaran itu memang masuk akal. Ia mengangguk pelan, setuju dengan saran Aline. Mungkin ini memang cara terbaik. "Yaudah ayo, buruan, keburu stok bukunya abis nih!" teriak Aline, membuat semua mata kembali tertuju padanya. Semangat yang terpancar dari suaranya membuat suasana yang tadinya penuh canda mendadak berubah serius. Kafka yang melihat itu menggumam pelan, suaranya nyaris tak terdengar. "Buset, galak banget nih cewek," katanya, sambil mengalihkan tatapannya ke tanah. Tapi tak lama kemudian, dia menarik napas dalam dan berkata dengan nada yang lebih lugas, "Ya udah ayo, buruan naik. Jangan kebanyakan ngomong." Keenan, yang dari tadi diam sambil memandang Alsha, kembali mengulurkan tangan ke arahnya. Senyum lebar menghiasi wajahnya, membuat sosoknya terlihat begitu percaya diri. "Kamu bareng aku," katanya dengan suara lembut, matanya berbinar di balik visor helm yang sedikit terangkat. Abhi, yang tak pernah kehabisan bahan candaan, langsung menyahut dengan gaya khasnya. "Ah elah, berasa kayak dongeng aja, pangeran menyambut tuan putrinya." Ucapannya membuat Alsha tersenyum tipis, perasaannya sedikit lebih ringan. "Iri bilang, bos!" Nevan menimpali, menambah keceriaan di tengah kesibukan mereka. Abhi hanya mengangkat bahu, senyum tipis di wajahnya. "Gue nggak iri, ya! Gue cuma ngerasa nyes aja, gini amat jadi jomblo." Keluhannya yang dibuat-buat membuat mereka semua tertawa, suasana yang tadi sempat tegang kini berubah hangat. Keenan mengenakan kembali helmnya, kali ini dengan lebih serius. Sebelum mesin motornya mengaum, dia menoleh ke arah Alsha, suaranya terdengar lembut meski dibalut dalam ketegasan. "Jangan lupa pegangan, Sheena." Suara mesinnya menggema, bersamaan dengan deru motor mereka yang mulai bergerak, membelah senja yang semakin memudar. Saat motor melaju di jalan yang mulai sepi, pandangan Keenan terus saja mencuri-curi ke arah gadis yang duduk di belakangnya. Setiap kali tatapannya jatuh pada wajah Alsha yang polos, senyum lembut perlahan terukir di wajahnya. Ada sesuatu yang bergetar dalam dadanya saat tangan kecil Alsha perlahan menyentuh jaketnya, seolah memberi isyarat bahwa ia merasa nyaman berada di belakang Keenan. Jantung Keenan berdebar lebih cepat, tapi ia tetap berusaha mengendalikan motornya dengan lembut, menjaga agar perjalanan mereka tenang dan aman. Namun, pikiran Keenan sesekali teralihkan. Kenangan singkat tentang tatapan Alsha kepada Kafka tadi terus membayang di benaknya. Kekhawatiran kecil mengusik hatinya, seperti awan yang datang tiba-tiba di langit cerah. Dia menarik napas panjang, berharap bisa menemukan cara untuk menyampaikan perasaannya yang sudah lama ia pendam—sebelum terlambat. Begitu tiba di depan toko buku, Keenan menghentikan motornya perlahan. Dengan penuh perhatian, ia menoleh ke belakang, menatap Alsha dan mengulurkan tangannya, berusaha membantu gadis itu turun. "Hati-hati," lirihnya. Alsha tersenyum manis, mengangguk dengan anggun. "Terima kasih, Keenan." Senyum itu, seakan sinar matahari yang menyapa pagi, membuat hati Keenan hangat. Di balik helm yang masih terpasang, ia tersenyum simpul. Namun, tatapannya berubah ketika melihat toko buku yang tampak sepi. Keenan mengernyitkan dahi, merasa ada yang janggal. Biasanya, toko ini penuh sesak jika ada peluncuran novel yang sedang ramai diburu, tapi hari ini, hanya ada beberapa motor terparkir. Alsha dan Aline segera memasuki toko dengan langkah tergesa. Keenan dan gengnya mengikuti di belakang mereka. Sesampainya di dalam, Alsha langsung menuju rak buku yang kosong, wajahnya berubah sendu seketika. “Yah, udah kehabisan kita,” ucapnya dengan nada kecewa. Aline menghela napas kesal. "Gara-gara kalian sih, lama amat debatnya. Sekarang lihat, udah habis kan," ucapnya sambil menatap Keenan dan teman-temannya dengan tatapan tajam. "Sabar ya, Al. Mungkin lain kali kita bisa dapetin buku itu," ucap Aline dengan nada menenangkan. Keenan, yang melihat wajah kecewa Alsha, bergegas mencari di rak-rak lain. Beberapa menit kemudian, dia hanya menemukan rasa lelahnya. Novel yang dicari tidak ada. "Kamu cari apa, Keenan?" tanya Alsha tiba-tiba, menghampiri dengan wajah penuh harapan. "Novel yang kamu mau, Sheena," jawabnya lembut. "Sayangnya, novel itu sudah habis," sahut Alsha dengan nada penuh penyesalan. "Siapa tahu masih ada di belakang atau belum dipajang. Tunggu sebentar, aku akan tanya ke petugas," ucap Keenan, tidak menyerah. Dia mendekati petugas toko, menunjuk pada daftar buku yang dicari. "Permisi, mas. Novel dengan judul ini masih ada nggak?" Petugas yang sedang sibuk menata rak mengangkat kepalanya. "Maaf, dik. Novel itu sudah habis hari ini. Stoknya terbatas." "Beneran nggak ada, mas?" tanya Keenan dengan nada tak percaya. "Iya," jawab petugas itu. "Tapi, tadi saya lihat dua orang laki-laki dengan seragam almamater yang sama seperti kalian. Mereka berhasil mendapatkan novel itu dari stok terakhir," tambah petugas. "Siapa, mas?" tanya Alsha, penasaran. "Maaf, dik. Saya kurang tahu," jawab petugas dengan nada meminta maaf. "Tapi, mas, apa mas nggak punya catatan nama pembeli?" tanya Keenan. "Nggak, dik. Kami nggak menyimpan catatan nama pembeli untuk buku-buku seperti ini," jawab petugas. "Oh, okay. Makasih, mas," ucap Keenan, lalu berpaling dari petugas yang kembali sibuk dengan tugasnya. Keenan melihat Alsha yang tampak kecewa, menghela napas panjang, dan mendekatinya. "Nanti aku bantu cari tahu siapa yang dapat novel itu, Sheena," bisiknya lembut. Dia mundur, melangkah ke arah teman-temannya. "Gue nggak peduli gimana caranya, cari siswa SMANDA yang dapet novel itu," perintah Keenan dengan nada tegas. Abhi, Nevan, dan Kafka saling bertukar pandang sebelum mengangguk mantap, siap menjalankan misi. Tiba-tiba, Abhi mengangkat tangannya, "Kalau nggak dapet, pak ketu? Siswa SMANDA banyak banget, masa kita wawancara satu-satu?" Keenan menatap tajam ke arah Abhi. Nevan yang berdiri di samping Abhi menyikutnya, memberi isyarat agar Abhi tidak banyak bicara. Abhi mengangkat satu alis, bingung dengan isyarat Nevan. Kafka, yang sejak tadi diam, akhirnya berdeham pelan. "Lo tenang aja, biar gue yang ngatasin ini," ucapnya dengan nada yakin. Keenan menatap Kafka dan mengangguk pelan, "Gue percaya sama lo." "Kita semua bakal bantu kok, bos," kata Nevan sambil tersenyum. Keenan hanya diam, lalu melanjutkan langkahnya menuju Alsha dan Aline. Nevan menyikut Abhi lagi, "Lo sih, tuh liat, ngambek kan jadinya." "Kan nanya doang, elah," jawab Abhi. "Lagian pak ketu itu mana ada ngambek, palingan cuma badmood doang," tambah Abhi lagi. Nevan mengepalkan tangan, hendak memukul Abhi, tapi Kafka segera menghentikannya. "Udah, ayo," ucap Kafka dengan nada tegas. Waktu hampir menunjukkan pukul lima sore. Cahaya matahari mulai memudar, menumpahkan semburat oranye dan merah ke langit barat. Bayangan pepohonan di sepanjang jalan memanjang, seakan menggiring langkah-langkah mereka yang mulai melambat saat mendekati rumah Alsha. Udara sore itu mulai dingin, namun perasaan hangat dan nyaman melingkupi hati mereka. Keenan memperlambat laju motornya, dan tak lama kemudian mereka sampai di depan rumah Alsha. Motor itu berhenti perlahan, dan suara mesin yang tadinya berdengung halus kini terdiam seiring Alsha turun dari jok belakang. Keenan masih duduk di motornya sejenak, memandang gadis yang kini berdiri di hadapannya. "Makasih, Keenan, sudah mau nganterin aku dan Aline," ucap Alsha sambil tersenyum. Suaranya terdengar lembut, seperti angin sore yang berembus di antara dedaunan. Senyum itu sederhana, tapi menyimpan kehangatan yang membuat dada Keenan terasa lebih berat dari sebelumnya. Keenan segera melepas helm full face-nya, mengibaskan sedikit rambutnya yang agak basah oleh keringat. Mata cokelatnya menatap Alsha, senyum tipis tersungging di bibirnya. Dia mengangguk perlahan, namun sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa terima kasih. "Sorry, Sheena," gumamnya, suaranya agak pelan, nyaris terdengar penuh penyesalan. "Gara-gara aku, kamu nggak bisa dapetin novel itu." Alsha tertawa kecil, suaranya jernih dan lembut, seperti tetesan hujan pertama di awal musim. Dia menggeleng pelan, menatap Keenan dengan tatapan penuh pengertian. "Kamu ngapain minta maaf? Itu bukan salah kamu, Keenan," jawabnya dengan nada tenang. Matanya, yang selalu memancarkan ketenangan, kini bersinar lembut di bawah cahaya senja yang kian meredup. Keenan terdiam sejenak, masih memandangi Alsha. Gadis itu selalu saja berhasil membuatnya terdiam, tidak dengan kata-kata, tapi dengan kehadiran yang begitu menenangkan. Alsha, dengan mata beningnya yang seolah memantulkan sinar rembulan, memiliki cara tersendiri untuk menyentuh hati Keenan. Setiap senyum yang ia berikan, setiap tawa yang terdengar ringan, membuat Keenan semakin tenggelam dalam perasaannya yang terus tumbuh. Dalam hening itu, Keenan merasa ada sesuatu yang mulai memberat di dadanya. Bukan penyesalan karena gagal mendapatkan novel untuk Alsha, tapi perasaan yang semakin tak bisa ia sembunyikan. Perasaan yang sejak lama ia simpan dalam diam, yang kini perlahan tapi pasti, semakin sulit untuk diabaikan. Keenan tak bisa menahan lagi—tatapan matanya menelusuri wajah Alsha, dari kilauan mata indahnya hingga senyum yang begitu tulus. Gadis ini, si pemilik mata rembulan, tanpa sadar telah mencuri hatinya setiap hari. Ada sesuatu yang selalu memanggil Keenan untuk lebih dekat, lebih memahami, dan lebih melindungi Alsha. Dan perasaan itu, yang dulunya mungkin hanya semburat kecil, kini berubah menjadi gelombang besar yang menenggelamkan dirinya. 'Apa aku tembak aja dia sekarang ya?' batin Keenan. BERSAMBUNGKetika bel istirahat berdering, suara riuh siswa yang berlomba-lomba meninggalkan kelas terdengar menggema. Namun, di salah satu bangku, Keenan tetap duduk diam, tak beranjak. Tatapan matanya terpaku pada Alsha, mengamatinya dalam diam, seolah setiap gerakan gadis itu adalah misteri yang tak ingin ia lepaskan begitu saja."Ayo, Al, ke kantin," suara Aline terdengar, lembut, penuh semangat, ia menggenggam tangan Alsha, mengajak sahabatnya pergi. Alsha sempat melirik ke arah Keenan, namun cowok itu segera mengalihkan pandangan, menyembunyikan ekspresi di wajahnya yang sulit diartikan. "Al!" panggil Aline lagi, kali ini sedikit lebih mendesak. Akhirnya, Alsha mengangguk kecil, menerima ajakan Aline, dan mereka pun akhirnya melangkah keluar bersama.Keenan hanya bisa memandang punggung gadis itu yang semakin menjauh, menyisakan jejak perasaan yang tak terucap. Tak lama, tiga sosok temannya muncul, memperhatikan wajah ketua mereka yang tampak menyiratkan amarah yang sulit ia sembunyikan.
Setelah Athala menghilang dari pandangan, suasana kembali tenang. Mereka semua duduk kembali, meneruskan obrolan yang seakan tak terganggu oleh apa pun yang baru saja terjadi.Keenan menatap Abhi dengan tatapan tajam, seolah mengingat sesuatu yang tertunda. "Lo tadi mau ngomong apa?" tanya Keenan. Dia pergi ke markas, berharap mendengar kabar soal Alsha, namun sepertinya Abhi masih belum memberi informasi yang dicari. Abhi menggaruk kepala yang tak gatal, matanya sedikit menghindar. "E-eh," jawabnya ragu, suara serak yang keluar dari mulutnya menunjukkan dia sedang kebingungan. "Sorry, Pak Ketu, gue lupa mau ngomong apa tadi," lanjutnya, jelas merasa kikuk karena tidak tahu bagaimana melanjutkan percakapan. Keenan mendengus pelan, ekspresinya datar, namun gerakannya cepat. Tanpa peringatan, ia merampas snack dari tangan Abhi, menikmati keripik itu dengan lahap."Eh, Pak Ketu," ujar Abhi terkejut melihat tingkah Keenan yang tiba-tiba. Keenan hanya melotot ke arah Abhi, matanya menyip
Keenan dan Athala tiba di markas. Malam itu sunyi, tapi suasana langsung berubah begitu Abhi dan Nevan melihat mobil putih milik Athala memasuki halaman. Teman-teman Keenan, yang sedang asyik bercanda, langsung bergegas berdiri. Mereka saling bertugas pandang dengan senyum kecil yang penuh arti. Bagi mereka, Athala bukan sekadar kakak bagi Keenan, tapi juga sosok kakak yang selalu hadir untuk mereka semua.Abhi yang langsung menyambut Athala dengan lambaian tangan. "Hey, Bang Athala! Tumben nongol malam-malam gini! Mau gabung sama kita?"Athala turun dari mobil dengan langkah tenang, melemparkan senyum tipis pada mereka. "Lagi kosong aja," jawabnya sambil menepuk bahu Abhi. "Gue kangen ngeliat kalian semua. Udah lama, kan, nggak ngobrol bareng?""Bukan sekadar lama, Bang! Kita udah hampir lupa kapan terakhir kali Abang nongkrong di sini," canda Nevan sambil tertawa.Athala terkekeh pelan, menatap mereka satu per satu. Rasanya hangat, kembali berada di tengah-tengah mereka. Dia tahu, d
Keenan melajukan motornya, membelah jalanan malam yang sepi dengan kecepatan yang menggila. Pikiran-pikirannya berserakan, berkelindan dengan bayangan wajah ibunya yang tulus, penuh ketidakmengertian, dan ayahnya yang terbungkus kepalsuan dan dusta. Kekecewaan semakin membakar dadanya, membuat tangannya refleks memutar gas lebih kencang, seolah berharap kecepatan bisa menghapus segalanya.Di tengah kesibukannya melawan pikirannya, tiba-tiba, dari kejauhan, segerombolan orang berdiri menghadang di tengah jalan. Davin dan teman-temannya, berdiri dalam bayang malam yang samar, seolah sudah menunggu kedatangannya. Keenan ngerem mendadak, membuat roda motornya berdecit keras, meninggalkan bekas yang panjang di aspal. Matanya menatap tajam ke arah mereka, tanpa rasa takut sedikit pun. Tanpa ragu, ia turun dari motor dan berjalan mendekat, tatapannya penuh kemarahan yang tersimpan.Davin tersenyum licik, wajahnya tampak puas melihat Keenan mendekat. "Wah, lihat siapa yang muncul, guys," ucapn
Keenan tetap diam, namun tatapannya tidak berubah, tajam dan penuh kekecewaan. Ini bukan kali pertama ia merasakan ancaman dari sang ayah, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Rasa takut yang dulu menghantuinya perlahan tergantikan oleh keberanian untuk melawan.Ayahnya melangkah maju, mendekati Keenan hingga jarak mereka hanya beberapa sentimeter. "Ingat ini baik-baik, Keenan. Kamu cuma anak kecil yang nggak tahu apa-apa tentang hidup. Kalau kamu masih berani buka mulut soal ini ke Mama, atau ke siapa pun, Papa akan pastikan hidupmu nggak akan nyaman di rumah ini." ucapnya dengan suara yang begitu rendah, namun jelas mengandung ancaman yang serius.Keenan menahan napas, merasakan amarahnya semakin membara. "Silahkan, Pa. Kalau itu yang Papa mau. Tapi itu nggak akan mengubah fakta kalau Papa salah, kalau Papa sudah menghancurkan kepercayaan orang-orang yang sayang sama Papa."Mata ayahnya semakin menyipit, napasnya terengah-engah seolah sedang menahan diri agar tidak meledak lebih
Suasana rumah begitu hening saat malam telah sepenuhnya turun, hanya suara napas lembut Kavin yang terlelap di tempat tidur Keenan yang mengisi keheningan. Keenan menghela napas, menyelimutkan kain lembut hingga menutupi bahu kecil adiknya, lalu melangkah pelan-pelan keluar dari kamar, bersiap menuju markas sesuai janjinya dengan Abhi. Tapi ketika dia sampai di pintu depan, langkahnya terhenti.Ayahnya baru saja pulang, berdiri di ruang tamu dengan tubuh yang tampak kelelahan. Setelan kerjanya masih rapi, namun leher kemejanya terlihat sedikit berantakan, dan mata Keenan tak sengaja tertuju pada satu hal yang merusak semuanya, bekas kecupan lipstik yang samar namun jelas di kerah kemeja ayahnya. Seketika, detak jantungnya terasa lebih keras, menambah tekanan dalam dirinya. Bayangan masa kecilnya seketika muncul, saat dulu, ketika ia tak sengaja menemukan ayahnya bersama wanita lain. Dan saat itu juga, hanya ancaman yang ia dapat.Keenan menatap sang ayah dengan tatapan yang sulit diba
Saat pintu terbuka, suara langkah kecil yang berlari cepat segera menyambut Keenan. Dalam sekejap, Kavin, adik kecilnya, muncul dengan senyuman penuh kegembiraan. Mata bulatnya berbinar seperti menemukan harta karun di hadapannya.“Kakaaaak! Kakak udah pulang sekolah!” seru Kavin dengan nada ceria, melompat ke arahnya tanpa ragu. Keenan mengangkat alis sambil tersenyum tipis, menahan tawa melihat semangat adiknya yang begitu polos.Keenan berjongkok, membuka lengannya lebar-lebar. “Wah, ternyata masih ada yang nungguin Kakak pulang, nih,” godanya sambil merentangkan tangan.Tanpa pikir panjang, Kavin langsung masuk ke pelukan Keenan. Tubuh kecilnya menempel erat, seolah tak ingin melepaskan. Keenan bisa merasakan detak kecil jantung adiknya yang begitu polos, mengalirkan kehangatan yang tidak bisa diukur dengan kata-kata.“Nungguin kakak atau nungguin HP kakak, hm?” tanya Keenan sambil mencubit pipi tembem adiknya.Kavin tertawa kecil, memamerkan sederet gigi kecilnya. “Hehehe… dua-du
Keenan masih tenggelam dalam pikirannya ketika tiba-tiba suara ketukan pelan terdengar di kaca mobilnya. Abhi, Nevan, dan Kafka berdiri di luar dengan senyum penuh arti, seperti sekumpulan kawanan yang siap merecoki pagi seseorang. Tanpa menunggu izin, Abhi menarik pintu mobil dan langsung duduk di samping Keenan, diikuti Nevan dan Kafka yang mengintip ke dalam dengan mata menyelidik."Pagi, Pak Ketu, bagaimana hari ini?" sapa Abhi dengan nada riang, senyumannya lebar, tapi jelas ingin tahu ada apa dengan sahabatnya yang jarang terlihat termenung seperti ini.Nevan, yang berdiri di belakang Abhi, langsung menepuk pundaknya. "Pertanyaan lo, salah, Bambang!" serunya, memandang Abhi seakan-akan baru saja melakukan pelanggaran besar.Abhi menoleh, kebingungan, dan baru tersadar, menggaruk kepalanya dengan canggung. "Eh, iya ya, salah. Ini kan, masih pagi. Sorry sorry."Keenan mendengus pelan, sorot matanya masih tajam namun tak sepenuhnya marah. “Lo pada ngapain sih ke sini? Gue nggak man
Jam dinding menunjukkan pukul enam lewat lima belas pagi, dan udara pagi yang segar menyelimuti jalanan yang masih sepi. Di depan sebuah rumah besar dengan halaman luas, Keenan berdiri dengan tenang di samping mobilnya. Bukan rumah Alsha yang ia tuju pagi ini, melainkan Clara. Jari-jarinya lincah mengetik pesan singkat. "Clara, gue di depan rumah lo. Buruan keluar." Sudah sepuluh menit Keenan menunggu, matanya sesekali melirik jam tangan. Ia bukan tipe orang yang suka menunggu terlalu lama. Setelah pesan itu terkirim, ia bersandar pada pintu mobil, matanya menerawang, memikirkan kejadian semalam. Beberapa menit kemudian, pintu rumah itu terbuka. Clara keluar dengan terburu-buru, rambutnya masih sedikit berantakan, meskipun dia berusaha merapikannya dengan tangannya yang gemetar. Ada kebingungan di wajahnya saat ia menghampiri Keenan, yang kini tengah mengamatinya dengan pandangan datar, namun tajam. “Lo ngapain ke sini?” tanya Clara, suaranya sedikit serak, jelas bahwa ia ma