“Aku kemari untuk mengambil kembali apa yang menjadi milikku, termasuk rumah ini.” David mengernyit.
“Apa maksudmu—“ Sebelum menyelesaikan ucapannya, Alvin segera memotong ucapannya.
“Aku akan merebut apa yang seharusnya menjadi milikku walau harus membunuhmu, David.” David membelalak saat Alvin mengarahkan pistol kepadanya.
“Apa kau bercanda? Singkirkan senjata itu!” perintah David.
“Tidak akan! Kau harus mati sekarang juga, David!”
Dor ... Dor....
Suara tembakan itu bergema hingga sampai ke kamar yang ditempati Clara. Clara terbangun karena terkejut dan mengintip sekilas keluar. Ia membelalak saat mendapati sang ayah tergeletak tak berdaya.
“Dengan ini, kami tidak akan jatuh miskin. Terima kasih saudaraku, istirahatlah dengan tenang bersama istrimu.” Alvin bangkit berdiri dan menatap kamar Clara. Ia memberi aba-aba pada para bawahannya untuk masuk ke kamar Clara. Clara yang melihat itu langsung menutup dan mengunci pintu kamarnya. Ia pun bersembunyi di bawah ranjang dan menutup rapat-rapat matanya berusaha menyingkirkan bayangan kematian ayahnya di kepalanya.
“Hiks ... ini mimpi hiks ... ini hanya mimpi hiks....” Di tengah isakannya, seseorang menutup mulutnya hingga ia ketakutan dan berusaha melepaskan diri.
“Sstt....” Clara menatap pria di sebelahnya dan berhenti meronta.
“Tenanglah, Paman akan menyelamatkanmu. Yang perlu kau lakukan saat ini adalah diam dan dengarkan Paman, oke?” Clara mengangguk dengan yakin. Ia tidak tahu siapa orang di sebelahnya ini namun, ia merasa orang di sebelahnya baik.
“Bagus. Paman akan membawamu ke suatu tempat dan kau akan aman di sana.” Clara kembali mengangguk. Suara pintu yang diketuk secara kasar terdengar dari luar membuat Clara gemetar.
“Tidak usah takut. Mereka tidak akan bisa menangkapmu selagi ada Paman di sini. Kita akan pergi sebelum mereka menemukanmu.” Clara mulai tenang dan percaya pada pria paruh baya itu. Namun, kepalanya terasa berat hingga ia tak mampu membuka matanya. Ia pun pingsan dan membuat pria paruh baya itu menghela napasnya.
‘Dia pasti shock setelah melihat kematian ayahnya,’ batin pria paruh baya itu.
Alvin berdecak kesal melihat para bawahannya menendang pintu kamar Clara.
“Dasar tidak berguna!” Ia pun mendekat ke pintu kamar Clara dengan pistol di tangannya lalu, menembak knop pintu itu dan menendang pintu itu hingga terbuka.
“Cari dia!” Para bawahan Alvin masuk dan memeriksa seluruh isi kamar Clara namun, tidak menemukan siapapun di sana. Pintu jendela kamar yang terbuka memperkuat dugaan jika Clara kabur dari jendela itu.
“Lapor, Tuan. Nona Clara tidak ada di kamarnya. Dia kabur melalui jendela.” Alvin mengernyit.
“Bagaimana mungkin? Apa dia melompat?” Alvin menatap jendela kamar Clara yang terbuka.
“Cari dia ke bawah." Salah satu anggota Alvin turun ke bawah dan tidak menemukan Clara sama sekali.
"Dia juga tidak ada di sini, Tuan." Alvin mengernyit.
"Hah ... ayah dan anak sama saja merepotkannya. Kita cari dia lain kali, dan kau, jemput istri dan anakku. Lalu kalian, bersihkan tempat ini. Bakar mayat David atau apapun terserah. Yang pasti, tidak ada yang tahu jika terjadi pembunuhan di tempat ini.”
"Siap laksanakan, Tuan," jawab para anggota Alvin.
Alvin mengambil ponsel dari saku celana dan menghubungi seseorang.
“Halo Pak, bisakah anda datang ke rumah kakak saya sekarang?”
“....”
“Baiklah, saya tunggu ya kedatangannya. Terima kasih.” Alvin mematikan teleponnya dan mengawasi para bawahannya membersihkan mansion yang akan ia tempati.
“Tidak!!!” Clara berteriak dan duduk seketika. Napasnya tersengal-sengal mengingat mimpi yang menghampirinya.
“Clara, Ayah pergi dulu, ya. Rebutlah kembali apa yang menjadi milikmu. Jangan sampai Alexander Group jatuh ke tangan yang salah.”
“Ayah, aku berjanji akan membalas dendam atas kematianmu.” Tatapan mata Clara kini berapi-api. Ia sudah bertekad untuk membalas dendam pada pamannya.
“Bagus, itulah yang diperlukan untuk bergabung dengan kami.” Clara menatap bingung pada pria paruh baya yang menyelamatkannya tadi.
“Perkenalkan, aku Albert. Aku asisten kepercayaan ayahmu dan juga teman terbaik ayahmu.” Clara terlihat ketakutan.
“Hei, kemana tatapan semangatmu tadi? Kenapa kau ketakutan seperti ini?” tanya pria bernama Albert.
“Bagaimana aku bisa mempercayaimu? Bahkan saudara kandung ayahku tega menghabisi ayahku.” Albert tersenyum maklum. Gadis ini baru saja melihat kematian ayahnya dan hal itu wajar, jika ia tidak sembarang percaya pada orang lain.
“Kau ingin tahu, kenapa ayahmu dibunuh?” Clara mengangguk.
“Itu karena, ayahmu mendapatkan harta warisan dari kakekmu sedangkan pamanmu tidak. Karena itulah dia berusaha untuk merebut kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya mengingat, pamanmu adalah anak kandung kakekmu.” Clara berusaha memahami apa yang dijelaskan Albert padanya.
“Apa kau ingin bilang jika ayahku bukan anak kandung kakekku?” Albert mengangguk.
“Kau benar, ayahmu bukan anak kandung kakekmu. Tapi, ayahmu mendapatkan harta warisan sedangkan pamanmu yang anak kandung tidak mendapat apapun. Kau tahu apa alasannya?” Clara menggeleng.
“Itu karena kakekmu tidak bisa mempercayai pamanmu. Pamanmu berencana menggunakan harta warisan itu untuk hal-hal yang tidak baik. Karena itulah, kakekmu mewariskan hartanya kepada ayahmu agar digunakan untuk kebaikan.” Clara pun tahu penyebab ayahnya dibunuh dan lagi-lagi, karena harta ayahnya menjadi korban.
“Paman, aku semalam bermimpi bertemu Ayah.” Albert mengangkat sebelah alisnya.
“Mimpi apa?” tanya Albert.
“Ayahku berpesan padaku untuk merebut kembali apa yang menjadi milikku. Apakah yang dimaksud Ayah, harta warisan?” Albert tersenyum menanggapinya.
“Sekarang, Paman ingin bertanya. Apa yang akan kau lakukan jika berhasil merebut harta warisan itu?” Clara menggaruk dagunya pertanda ia sedang berpikir.
“Aku ingin menyumbangkan sebagian harta warisan itu untuk panti asuhan dan sebagiannya lagi akan kugunakan sebagai modal usaha.” Albert mengangguk paham.
“Pemikiranmu persis seperti ayahmu. Kau tahu, ayahmu berhasil membentuk sebuah perusahaan besar dengan harta warisan itu. Paman yakin, perusahaannya saat ini diambil alih oleh pamanmu setelah kematian ayahmu.” Clara menatap lurus ke depan.
“Kalau begitu, aku akan merebut perusahaan yang telah dirintis oleh Ayah darinya. Paman Alvin harus menerima ganjaran akibat perbuatannya itu.” Albert mengusap rambut sepinggang Clara.
“Karena itulah, Paman membawamu kemari. Kau harus banyak berlatih untuk melawan pamanmu itu.” Clara menatap bingung.
“Kenapa berlatih?” tanya Clara.
“Pamanmu bukan orang yang mudah untuk dijatuhkan, Clara. Dia adalah ketua mafia terkejam dan tidak akan segan dalam menghabisi siapapun yang menghalangi jalannya. Kau perlu senjata untuk melawannya, paham?” Clara mengangguk.
“Kalau begitu, aku akan berlatih sungguh-sungguh Paman. Latihlah aku sekeras mungkin agar aku bisa mengalahkan brengsek itu,” Albert tertawa renyah.
“Kau masih muda, tidak baik mengumpat seperti itu. Tidurlah ... kau harus bangun pagi besok.” Clara mengangguk.
“Ubah kembali surat wasiatnya dan letakkan nama putriku di dalamnya.” Pria yang merupakan pengacara itu hendak membantah ucapan Alvin,
“Jangan ada bantahan yang keluar dari mulutmu. Nyawa keluargamu ada di tanganku dan aku bisa membunuh mereka kapan saja.” Pengacara itu meneguk salivanya.
“Baik, akan saya ubah secepatnya. Ada lagi yang anda perlukan, Tuan?” Alvin menggeleng.
“Tidak, terima kasih. Kau boleh pergi.” Pengacara itu membungkuk dan meninggalkan rumah David yang kini dimiliki oleh Alvin.
Alvin mendudukkan dirinya di sofa dan menikmati sofa empuk tersebut.
TBC
"Bisakah anda bangun sendiri, Nona?! Berhentilah bersikap seperti tuan putri, Nona! Cepat bangun!" Clara terbangun dari tidurnya dan menatap datar gadis dengan make up tebalnya itu. "Bangun juga kau akhirnya. Ikut aku sekarang jika tidak, aku akan dimarahi oleh Tuan Albert." Clara mengangguk dan menuju ke kamar mandi. "Mau kemana kau?!" tanya gadis itu ketus. "Ke kamar mandi," jawab Clara singkat. Clara bertanya-tanya, kenapa gadis ini berujar ketus padanya. "Cih, jangan membuang-buang waktumu, Nona. Kita disuruh berkumpul ke ruang latihan sekarang." Tangan Clara pun ditarik kasar oleh gadis itu membuat Clara harus menahan emosi. "Jangan menyentuh tangan saya sembarangan, Nona. Saya bisa saja mematahkan tangan anda sekarang juga." Gadis itu tidak menghiraukan ucapan Clara dan menarik tangan Clara hingga keluar kamar. Clara yang kehabisan kesabaran pun langsung melingkarkan tangan gadis itu ke lehernya sendiri dan menendang lutut gadis itu.&nbs
3 tahun terlewati, Clara dan Naomi duduk berhadapan. Keduanya saling menatap remeh seolah yakin, jika salah satu dari mereka pasti lulus ujian terakhir. "Hari ini adalah ujian tahap terakhir. Ujian ini menguji kecepatan kalian dalam merakit pistol yang ada di hadapan kalian. Siapa yang selesai duluan, dia harus menembak lawan di hadapannya." Para gadis mengangguk dan melaksanakan instruksi Albert. Mereka merakit pistol itu dengan cepat diiringi dengan jam yang terus berdetak. "Kalian harus menyelesaikan rakitan pistol itu dalam waktu tiga menit. Jika lewat dari tiga menit, kalian tamat. Jika berhasil menyelesaikan kurang dari tiga menit, kalian dinyatakan lulus." Mendengar itu para gadis mempercepat rakitan pistol mereka dan kepanikan mulai melanda. Tidak disangka, Clara telah selesai terlebih dahulu dengan waktu 30 detik. Ia mengarahkan pistolnya ke arah Naomi membuat Naomi membelalak. Ia bahkan baru setengah dalam merakit pistol. Nyawanya sudah teranc
"Setelah ditutupnya kasus kematian Tuan David Alexander, kini para polisi kembali bergerak setelah mendapat laporan dari Tuan Alvin Alexander, mengenai identitas pembunuh Tuan David Alexander." Alvin yang melihat itu menyeringai lantaran rencananya hampir berhasil untuk menangkap Clara. 'Kau akan menyaksikan penderitaan putrimu di penjara, David. Dengan begitu, tidak ada lagi orang yang akan merebut kekayaanku.' Seringaian Alvin semakin lebar saat foto Clara terpampang di layar televisi. "Pelaku bernama Clara Alexander diduga telah melakukan pembunuhan terhadap Tuan David demi mendapatkan harta warisan Tuan David. Pelaku juga melarikan diri saat dipergokki oleh Tuan Alvin yang menyaksikan pembunuhan di hadapannya. Untuk itu, Tuan Alvin memerlukan bantuan dari para masyarakat setempat. Selain untuk meringankan pekerjaan polisi, beliau akan memberikan hadiah bagi siapapun yang menemukannya. Bagi siapapun yang menemukannya, hubungi nomor yang
Di ruang interogasi, Clara dan pimpinan kepolisian duduk berhadapan. "Kuharap, kau mengakui semua perbuatanmu dan memudahkan kami dalam bertugas." Clara tidak menjawab dan memasang wajah dingin di hadapan polisi. "Apa benar, kau membunuh ayahmu untuk mendapat harta warisan?" Tatapan Clara menajam ketika mendengar pertanyaan polisi tersebut. "Entahlah, pikirkan saja sendiri. Lagipula, tidak ada gunanya aku menjawab." Polisi itu mendengkus mendengar jawaban Clara. 'Cih, gadis ini ingin mempersulit ternyata,' batin polisi itu. "Jangan bertele-tele, Nona. Cukup jawab iya, atau tidak. Bekerja samalah dengan kami, Nona. Tidak sulit, kan?" Clara tersenyum miring. "Apa untungnya? Dengan menangkap dan menginterogasiku, apa kalian bisa menghidupkan kembali ayahku?" pertanyaan yang diberikan Clara membuat polisi tersebut terdiam. "Kalian tidak bisa menjawab pertanyaanku? Ayolah, kalian kan polisi. Pasti sering mendapat pertanyaan seperti
"Apa itu?" tanya Clara. "Aku akan menghasut hakim agar tidak menjatuhkan hukuman padamu." Clara mendengkus. "Dengan bukti yang sudah jelas, kau ingin membuat hakim tidak menjatuhkan hukuman padaku? Khe, yang benar saja," ujar Clara sarkas. "Apa salahnya? Toh, aku punya bukti yang asli." Clara memiringkan wajahnya dan tersenyum miring. "Bukti apa? Bukti jika pamankulah yang membunuh ayahku?" Vincent mengangguk. "Sebelum CCTV dihapus, orang kepercayaanku menyalin rekamannya dan menyerahkannya padaku." Clara menyilangkan tangan dan kakinya. "Menarik. Kuakui kau berani bertindak sejauh itu tanpa sepengetahuan pamanku." Vincent tersenyum. "Jika bukan kepercayaan tinggi pamanmu itu, aku tidak akan bisa melakukannya." Clara ber oh ria. "Pamanku percaya padamu? Itu artinya, kau bersekutu dengan pamanku. Aku tidak yakin kita bisa bekerja sama. Permisi." Clara hendak bangkit namun, tangannya ditahan oleh Vincent. "Kita pu
Kejadian sebelum Clara menghubungi Albert dari penjara.... Di kamar bak istana, Naomi terlihat senang dan heboh sendiri. Ia senang, karena Clara tidak ada lagi di hadapannya. "Akhirnya, tidak ada lagi pengganggu antara aku dan Felix. Selamat menikmati penderitaanmu di penjara, Clara. Bukan itu saja, aku juga mendapat banyak uang berkat itu. Ah, senangnya...." Naomi memeluk ponselnya dan berbaring di kasus queen sizenya. "Belanja apa ya hari ini? Hah, sudah sekian lama aku tidak kemana-mana dan tidak belanja keluar. Ow, kulitku yang malang ... berkat latihan itu kulitku menjadi kasar. Setidaknya, aku bisa belanja online." Naomi membuka aplikasi belanja pada ponselnya dan melihat benda menarik di sana. Tanpa disadari oleh Naomi, Felix mengintip dari celah pintu dengan tatapan bak elang. Tok, tok, tok.... "Masuk!" Pintu terbuka, Felix berjalan masuk ke ruangan Albert.
Kembali pada kejadian setelah Clara menghubungi Albert Clara kini tinggal sendirian di penjara. Berkat Vincent, Clara sedikit lebih leluasa untuk menghubungi Albert dan juga lebih leluasa untuk melakukan apapun di penjara. Bahkan, para sipir sangat ramah padanya meskipun tak ada ketulusan dibaliknya. Tiga orang gadis yang mencari masalah dengannya telah dipindahkan di penjara lain. Meski begitu, ia merasa kesal lantaran ia harus di penjara atas kesalahan orang lain. Terlebih, pembunuh ayahnya sendirilah yang menjebloskannya. "Tidak apa-apa, ini baru dimulai. Akan kuikuti permainanmu, Paman Alvin." Clara meremat koran yang ia baca sebelumnya. Koran tersebut menceritakan betapa hebatnya Alvin dalam mengelola perusahaan hingga mendapatkan penghargaan. Tak ada yang tahu, jika perusahaan itu milik ayahnya yang direnggut paksa oleh pamannya dengan cara yang tak semestinya. "Nona Clara, ada seseorang yang ingin bertemu dengan anda." Clara mend
Keesokan harinya, Albert kembali datang untuk membesuk Clara. Namun, ia urungkan niatnya sebentar tatkala melihat Vincent mendatangi kantor polisi. Ia mengalihkan langkahnya menuju kafe di seberang kantor polisi dan memesan kopi di sana. "Paman, bukankah Paman ingin ke kantor Polisi?" Albert mendongak dan menatap Felix yang menjulang tinggi di hadapannya karena berada dalam posisi berdiri. "Ada seseorang yang menemui Clara dan Paman tidak ingin mengganggunya." Felix mengernyit penasaran. Ia pun duduk di kursi dan ingin mendengar lebih lanjut mengenai seseorang yang menemui Clara. "Siapa dia, Paman?" tanya Felix. "Vincent Alexander. Dia anak angkat David, ayah kandung Clara." Felix membelalak. "Lalu, apa dia tahu jika Tuan David meninggal?" Albert mengangguk ragu. "Kurasa, ia mengetahuinya. Tidak mungkin pemuda itu mengajak Clara bekerja sama untuk menghancurkan Alvin tanpa mengetahuinya. Hanya saja, Paman belum bisa percaya sepenuhnya