"Bisakah anda bangun sendiri, Nona?! Berhentilah bersikap seperti tuan putri, Nona! Cepat bangun!" Clara terbangun dari tidurnya dan menatap datar gadis dengan make up tebalnya itu.
"Bangun juga kau akhirnya. Ikut aku sekarang jika tidak, aku akan dimarahi oleh Tuan Albert." Clara mengangguk dan menuju ke kamar mandi.
"Mau kemana kau?!" tanya gadis itu ketus.
"Ke kamar mandi," jawab Clara singkat. Clara bertanya-tanya, kenapa gadis ini berujar ketus padanya.
"Cih, jangan membuang-buang waktumu, Nona. Kita disuruh berkumpul ke ruang latihan sekarang." Tangan Clara pun ditarik kasar oleh gadis itu membuat Clara harus menahan emosi.
"Jangan menyentuh tangan saya sembarangan, Nona. Saya bisa saja mematahkan tangan anda sekarang juga." Gadis itu tidak menghiraukan ucapan Clara dan menarik tangan Clara hingga keluar kamar. Clara yang kehabisan kesabaran pun langsung melingkarkan tangan gadis itu ke lehernya sendiri dan menendang lutut gadis itu.
Gadis itu meringis kala merasakan lehernya terjepit oleh tangannya sendiri.
"Aku berubah pikiran, Nona. Aku akan mematahkan lehermu jika berani menarik tanganku seperti tadi." Gadis itu meronta berusaha melepaskan diri namun, ia tidak bisa. Tenaga Clara terlalu kuat untuknya.
"Si-sialan, kau! Lepaskan aku!" Gadis itu mengeluarkan suaranya sekuat tenaga namun, Clara menarik tangannya ke belakang hingga lehernya semakin tercekik.
"Kau akan mati jika berperilaku tidak sopan terhadapku, Nona." Clara pun melepaskan gadis itu dan berlalu tanpa menghiraukannya.
"Kurang ajar! Aku tidak terima diperlakukan seperti ini. Lihat saja, akan kubalas kau di ruang latihan." Gadis itu berjalan cepat dan mencoba memukul tengkuk Clara. Namun, Clara berbalik dan segera menangkap tangan gadis itu lalu memelintirnya ke belakang tubuh gadis tersebut.
"Ada apa ini?" Albert datang bersama seorang pria tampan mendekati Clara dan gadis itu.
"Aku ingin mematahkan tangannya karena bertingkah tidak sopan padaku, Paman." Albert menatap gadis itu dengan tatapan bertanya.
"Apa itu benar, Naomi?" Naomi menggelengkan kepalanya.
"Itu tidak benar, Tuan. Gadis inilah yang mencari masalah denganku duluan. Padahal aku sudah membangunkannya baik-baik tapi, dia membentak dan menyerangku. Tentu saja aku tidak terima dan ingin menyerangnya hingga berakhir seperti ini." Clara mendecih.
"Aktingmu sangat bagus, Nona. Sampai-sampai, aku ingin menghancurkan mulutmu." Albert menghela napas.
'Baru hari pertama dia tinggal, sudah ada masalah. Bagaimana nanti?' tanya Albert dalam hatinya.
"Berhenti bertengkar kalian berdua! Jika tidak, aku akan mematahkan tangan kalian!" Clara melepaskan tangan Naomi membuat Naomi memegangi pergelangan tangannya yang sakit.
"Ikut denganku sekarang. Aku tidak ingin ada keributan di sini, paham?" Clara dan Naomi tidak menjawab. Mereka mengikuti Albert dan pemuda tampan itu dari belakang ke ruang latihan.
"Di sini, kalian akan dilatih menjadi agen profesional selama 3 tahun. Siapa yang berhasil bertahan selama 3 tahun, kalian akan langsung diterjunkan ke misi bersama Felix." Para gadis kecuali Clara langsung berteriak senang. Pemuda tampan bernama Felix itu hanya menatap datar namun, telinganya berdengung mendengar teriakan para gadis itu.
"Jika ingin berhasil, tutup mulut kalian dan jangan berisik." Suasana langsung hening setelah Albert berbicara.
"Silakan mulai latihannya. Aku ada urusan sebentar." Albert keluar dari ruang latihan meninggalkan para gadis bersama Felix.
"Berlatihlah dengan serius, karena ini masalah hidup dan mati. Sebelum itu, aku ingin kalian mengambil pedang kayu yang telah disediakan karena aku ingin melihat kemampuan kalian sampai mana." Para gadis mengambil pedang kayu dan kembali ke barisan masing-masing.
"Aku ingin kau dan kau maju dan berduel sampai salah satu dari kalian tumbang." Felix menunjuk Clara dan Naomi maju dari barisannya. Mereka bersiap dengan posisi menyerang masing-masing.
"Kudengar, kau sangat ahli bermain pedang kayu ini, Clara. Tapi, posisi aneh apa yang kau tunjukkan itu? Kau yakin bisa mengalahkanku?" Clara menatap remeh Naomi.
"Entah posisi apa yang kutunjukkan, kau tidak akan bisa mengalahkanku." Naomi yang mendengar itu emosi dan maju menyerang Clara namun, Clara menangkis serangan Naomi dengan santai.
Naomi menggertakkan giginya karena serangannya tidak mampu menjatuhkan Clara sama sekali. Clara menyeringai dan menjatuhkan pedang kayu milik Naomi hingga membuat Naomi kesal.
"Bukankah sudah kubilang, kau tidak akan bisa melawanku?" Naomi mendengkus.
"Terlalu cepat mengatakan itu, Clara. Aku belum tumbang jadi, aku belum kalah." Naomi mengambil pedang kayunya dan menyerang Clara. Kali ini, seluruh tenaganya ia keluarkan untuk membuat pedang juga tubuh Clara jatuh ke lantai. Namun, ekspektasi tidak sesuai realita karena kenyataannya, dia belum bisa menjatuhkan pedang Clara sedikitpun.
'Mengagumkan.' Felix bergumam dalam hatinya.
Clara tampak seperti menari karena ayunan pedangnya terlihat lembut namun, mematikan. Naomi tidak mampu mengalahkannya meski menggunakan seluruh tenaganya. Hingga akhirnya, Clara membalikkan situasi dan berada di posisi menyerang. Ia menyerang Naomi sekuat tenaga hingga Naomi kewalahan dan....
Tak....
Brukkk....
Pedang kayu Naomi melayang, Naomi pun terjatuh karena tubuhnya ditendang halus oleh Clara. Tepuk tangan pun terdengar dari para gadis yang mengagumi permainan pedang kayu Clara. Namun, Clara tampak tidak puas meski berhasil mengalahkan Naomi. Ia berjalan mendekat dengan pedang kayu mengarah ke wajah Naomi, sementara Naomi beringsut mundur menghindari pedang kayu Clara. Clara mengangkat pedang kayunya dan mendaratkan pedang kayu itu ke kepala Naomi.
Tak....
"Hentikan, Nona. Kau dinyatakan menang jika berhasil membuat lawanmu jatuh." Clara menatap datar Felix. Ia pun berjalan menjauhi Felix dan Naomi lalu, berjalan menuju kulkas untuk mengambil jus yang ia sukai.
Naomi menghembuskan napas lega saat Clara menjauh darinya. Felix menyodorkan tangannya pada Naomi dan dengan senang hati Naomi menerimanya.
"Terima kasih, Felix," ujar Naomi dengan wajah merona dan dijawab anggukan oleh Felix.
"Cieee...." Sorakan terdengar dari para gadis saat melihat Felix memegang tangan Naomi.
"Jangan terbawa perasaan, Nona. Aku menolongmu bukan karena peduli padamu tapi, aku peduli pada setiap wanita." Naomi menundukkan wajahnya menahan malu mendengar itu. Sementara para gadis di ruangan itu menertawakan Naomi.
"Baiklah, kita istirahat dulu dan makan siang sebelum melanjutkan ke latihan selanjutnya." Felix berjalan mendekat pada Clara.
"Kau hebat, Nona Clara. Aku ingin tahu, siapa yang mengajarimu bermain pedang. Gerakanmu itu seperti profesional." Clara menatap Felix dengan alis terangkat sebelah.
"Kenapa kau ingin tahu?" tanya Clara.
"Karena aku tertarik padamu." Ucapan Felix membuat para gadis menatap tajam pada Clara. Mereka tampak tidak suka saat Felix memuji Clara. Ekspresi kesal yang paling terlihat adalah Naomi. Dia mengepalkan tangannya menahan emosi setelah mendengar ucapan Felix yang terdengar seperti menyukai Clara.
"Ekhem ... hati-hati dalam berbicara, Tuan. Para gadis di ruangan ini terlihat ingin mengulitiku karena pernyataanmu itu. Ah, aku lapar sekali karena latihan ini. Tolong, tunjukkan ruang makannya." Felix tersenyum tipis. Ia merasa Clara berbeda dari gadis pada umumnya.
"Baiklah, kita makan sekarang." Felix memimpin di depan diikuti para gadis di belakangnya.
TBC
3 tahun terlewati, Clara dan Naomi duduk berhadapan. Keduanya saling menatap remeh seolah yakin, jika salah satu dari mereka pasti lulus ujian terakhir. "Hari ini adalah ujian tahap terakhir. Ujian ini menguji kecepatan kalian dalam merakit pistol yang ada di hadapan kalian. Siapa yang selesai duluan, dia harus menembak lawan di hadapannya." Para gadis mengangguk dan melaksanakan instruksi Albert. Mereka merakit pistol itu dengan cepat diiringi dengan jam yang terus berdetak. "Kalian harus menyelesaikan rakitan pistol itu dalam waktu tiga menit. Jika lewat dari tiga menit, kalian tamat. Jika berhasil menyelesaikan kurang dari tiga menit, kalian dinyatakan lulus." Mendengar itu para gadis mempercepat rakitan pistol mereka dan kepanikan mulai melanda. Tidak disangka, Clara telah selesai terlebih dahulu dengan waktu 30 detik. Ia mengarahkan pistolnya ke arah Naomi membuat Naomi membelalak. Ia bahkan baru setengah dalam merakit pistol. Nyawanya sudah teranc
"Setelah ditutupnya kasus kematian Tuan David Alexander, kini para polisi kembali bergerak setelah mendapat laporan dari Tuan Alvin Alexander, mengenai identitas pembunuh Tuan David Alexander." Alvin yang melihat itu menyeringai lantaran rencananya hampir berhasil untuk menangkap Clara. 'Kau akan menyaksikan penderitaan putrimu di penjara, David. Dengan begitu, tidak ada lagi orang yang akan merebut kekayaanku.' Seringaian Alvin semakin lebar saat foto Clara terpampang di layar televisi. "Pelaku bernama Clara Alexander diduga telah melakukan pembunuhan terhadap Tuan David demi mendapatkan harta warisan Tuan David. Pelaku juga melarikan diri saat dipergokki oleh Tuan Alvin yang menyaksikan pembunuhan di hadapannya. Untuk itu, Tuan Alvin memerlukan bantuan dari para masyarakat setempat. Selain untuk meringankan pekerjaan polisi, beliau akan memberikan hadiah bagi siapapun yang menemukannya. Bagi siapapun yang menemukannya, hubungi nomor yang
Di ruang interogasi, Clara dan pimpinan kepolisian duduk berhadapan. "Kuharap, kau mengakui semua perbuatanmu dan memudahkan kami dalam bertugas." Clara tidak menjawab dan memasang wajah dingin di hadapan polisi. "Apa benar, kau membunuh ayahmu untuk mendapat harta warisan?" Tatapan Clara menajam ketika mendengar pertanyaan polisi tersebut. "Entahlah, pikirkan saja sendiri. Lagipula, tidak ada gunanya aku menjawab." Polisi itu mendengkus mendengar jawaban Clara. 'Cih, gadis ini ingin mempersulit ternyata,' batin polisi itu. "Jangan bertele-tele, Nona. Cukup jawab iya, atau tidak. Bekerja samalah dengan kami, Nona. Tidak sulit, kan?" Clara tersenyum miring. "Apa untungnya? Dengan menangkap dan menginterogasiku, apa kalian bisa menghidupkan kembali ayahku?" pertanyaan yang diberikan Clara membuat polisi tersebut terdiam. "Kalian tidak bisa menjawab pertanyaanku? Ayolah, kalian kan polisi. Pasti sering mendapat pertanyaan seperti
"Apa itu?" tanya Clara. "Aku akan menghasut hakim agar tidak menjatuhkan hukuman padamu." Clara mendengkus. "Dengan bukti yang sudah jelas, kau ingin membuat hakim tidak menjatuhkan hukuman padaku? Khe, yang benar saja," ujar Clara sarkas. "Apa salahnya? Toh, aku punya bukti yang asli." Clara memiringkan wajahnya dan tersenyum miring. "Bukti apa? Bukti jika pamankulah yang membunuh ayahku?" Vincent mengangguk. "Sebelum CCTV dihapus, orang kepercayaanku menyalin rekamannya dan menyerahkannya padaku." Clara menyilangkan tangan dan kakinya. "Menarik. Kuakui kau berani bertindak sejauh itu tanpa sepengetahuan pamanku." Vincent tersenyum. "Jika bukan kepercayaan tinggi pamanmu itu, aku tidak akan bisa melakukannya." Clara ber oh ria. "Pamanku percaya padamu? Itu artinya, kau bersekutu dengan pamanku. Aku tidak yakin kita bisa bekerja sama. Permisi." Clara hendak bangkit namun, tangannya ditahan oleh Vincent. "Kita pu
Kejadian sebelum Clara menghubungi Albert dari penjara.... Di kamar bak istana, Naomi terlihat senang dan heboh sendiri. Ia senang, karena Clara tidak ada lagi di hadapannya. "Akhirnya, tidak ada lagi pengganggu antara aku dan Felix. Selamat menikmati penderitaanmu di penjara, Clara. Bukan itu saja, aku juga mendapat banyak uang berkat itu. Ah, senangnya...." Naomi memeluk ponselnya dan berbaring di kasus queen sizenya. "Belanja apa ya hari ini? Hah, sudah sekian lama aku tidak kemana-mana dan tidak belanja keluar. Ow, kulitku yang malang ... berkat latihan itu kulitku menjadi kasar. Setidaknya, aku bisa belanja online." Naomi membuka aplikasi belanja pada ponselnya dan melihat benda menarik di sana. Tanpa disadari oleh Naomi, Felix mengintip dari celah pintu dengan tatapan bak elang. Tok, tok, tok.... "Masuk!" Pintu terbuka, Felix berjalan masuk ke ruangan Albert.
Kembali pada kejadian setelah Clara menghubungi Albert Clara kini tinggal sendirian di penjara. Berkat Vincent, Clara sedikit lebih leluasa untuk menghubungi Albert dan juga lebih leluasa untuk melakukan apapun di penjara. Bahkan, para sipir sangat ramah padanya meskipun tak ada ketulusan dibaliknya. Tiga orang gadis yang mencari masalah dengannya telah dipindahkan di penjara lain. Meski begitu, ia merasa kesal lantaran ia harus di penjara atas kesalahan orang lain. Terlebih, pembunuh ayahnya sendirilah yang menjebloskannya. "Tidak apa-apa, ini baru dimulai. Akan kuikuti permainanmu, Paman Alvin." Clara meremat koran yang ia baca sebelumnya. Koran tersebut menceritakan betapa hebatnya Alvin dalam mengelola perusahaan hingga mendapatkan penghargaan. Tak ada yang tahu, jika perusahaan itu milik ayahnya yang direnggut paksa oleh pamannya dengan cara yang tak semestinya. "Nona Clara, ada seseorang yang ingin bertemu dengan anda." Clara mend
Keesokan harinya, Albert kembali datang untuk membesuk Clara. Namun, ia urungkan niatnya sebentar tatkala melihat Vincent mendatangi kantor polisi. Ia mengalihkan langkahnya menuju kafe di seberang kantor polisi dan memesan kopi di sana. "Paman, bukankah Paman ingin ke kantor Polisi?" Albert mendongak dan menatap Felix yang menjulang tinggi di hadapannya karena berada dalam posisi berdiri. "Ada seseorang yang menemui Clara dan Paman tidak ingin mengganggunya." Felix mengernyit penasaran. Ia pun duduk di kursi dan ingin mendengar lebih lanjut mengenai seseorang yang menemui Clara. "Siapa dia, Paman?" tanya Felix. "Vincent Alexander. Dia anak angkat David, ayah kandung Clara." Felix membelalak. "Lalu, apa dia tahu jika Tuan David meninggal?" Albert mengangguk ragu. "Kurasa, ia mengetahuinya. Tidak mungkin pemuda itu mengajak Clara bekerja sama untuk menghancurkan Alvin tanpa mengetahuinya. Hanya saja, Paman belum bisa percaya sepenuhnya
"Hm ... sepertinya, aku mengenal tulisan ini," ujar Vincent. "Kau mengenali tulisan itu? Beritahu aku siapa orangnya!" perintah Alvin yang tak sabaran. "Aku memang mengenal tulisan ini tapi, bukan berarti aku tahu siapa yang menulisnya. Aku hanya merasa familiar saja, Ayah." Alvin menghela napas kesal. Calon menantunya ini suka sekali menjahilinya di situasi darurat. "Kalau begitu, cari tahu sesegera mungkin dan laporkan padaku jika kau menemukannya." Vincent mengangguk. "Beri aku waktu untuk mencari pelakunya, Paman," pinta Vincent. "Baiklah, kupercayakan semuanya padamu." Vincent membungkuk dan keluar dari ruangan Alvin. "Eh, ada Nak Vincent. Kau habis bertemu dengan suamiku, ya?" Vincent membungkuk hormat dan tersenyum manis pada calon ibu mertuanya ini. "Iya, Bu. Ayah bilang, ia baru saja diteror seseorang. Aku ditugaskan untuk mencari tahu, siapa peneror itu." Risa ber oh ria. "Berarti, kau akan sibuk ya?" tanya Risa. "Yah, begitulah. Aku akan sibuk beberapa hari ke depan