Share

Terrible Luck

3 tahun terlewati, Clara dan Naomi duduk berhadapan. Keduanya saling menatap remeh seolah yakin, jika salah satu dari mereka pasti lulus ujian terakhir.

"Hari ini adalah ujian tahap terakhir. Ujian ini menguji kecepatan kalian dalam merakit pistol yang ada di hadapan kalian. Siapa yang selesai duluan, dia harus menembak lawan di hadapannya." Para gadis mengangguk dan melaksanakan instruksi Albert. Mereka merakit pistol itu dengan cepat diiringi dengan jam yang terus berdetak. 

"Kalian harus menyelesaikan rakitan pistol itu dalam waktu tiga menit. Jika lewat dari tiga menit, kalian tamat. Jika berhasil menyelesaikan kurang dari tiga menit, kalian dinyatakan lulus." Mendengar itu para gadis mempercepat rakitan pistol mereka dan kepanikan mulai melanda.

Tidak disangka, Clara telah selesai terlebih dahulu dengan waktu 30 detik. Ia mengarahkan pistolnya ke arah Naomi membuat Naomi membelalak. Ia bahkan baru setengah dalam merakit pistol. Nyawanya sudah terancam sekarang. Clara mengangkat pistolnya dan mengarahkan tembakan ke tembok depannya. Clara menyeringai tatkala ia berhasil tepat sasaran dan menggores daun telinga Naomi. Ia meniup moncong pistol berasap tersebut dan tersenyum miring pada Naomi.

Felix yang melihat itu tersenyum senang. Entah kenapa, ia merasa senang saat Clara menjadi orang pertama yang lulus?

"Clara lulus," ujar Felix. Naomi yang mendengar itu, langsung menggebrak meja membuat pekerjaan para gadis terhenti.

"Aku tidak percaya ini. Kita berlatih bersama-sama dengan durasi yang sama. Tapi, kenapa kau bisa merakit secepat itu, hah? Apa kau dilatih secara khusus oleh Tuan Albert? Khe, curang." Clara mendengkus.

"Sayang sekali, aku tidak pernah dilatih secara khusus oleh Tuan Albert. Bukankah kita semua, diperlakukan sama sebagai calon agen profesional? Akui saja kekalahanmu, Nona." Naomi mendecih.

"Tidak! Kau menang karena beruntung, Clara. Lain kali, aku pasti menang darimu. Aww...." Naomi merintih memegangi telinganya dan membelalak menatap tangannya berdarah.

"Oh tidak, apa yang terjadi dengan telingaku? Ini pasti karenamu, Clara. Lihat saja nanti, kau akan mengalami apa yang kualami." Setelah mengatakan itu, Naomi merintih sambil memegang telinganya. Telinganya seperti mau lepas dari tempatnya.

Albert yang melihat itu tersenyum. "Kau beruntung, Naomi. Kau hanya ditembak di bagian telinga. Tidakkah kau ingin melihat yang lain?" Dahi Naomi mengerut. Ia menatap para gadis di samping maupun di hadapannya. Banyak yang terkapar akibat tembakan di tubuh mereka. Hal ini membuat Naomi terkejut bukan main, dan memegang dada kirinya tanpa sadar.

"A-apa yang terjadi?" tanya Naomi tergagap.

"Sejujurnya, ujian ini adalah ujian bertahan hidup. Seharusnya, Clara menembak dada kirimu. Dengan kata lain, kau akan bernasib sama dengan mereka." Naomi mengingat kembali saat Clara mengarahkan pistol padanya. Clara sempat ingin menembakkan pistol itu ke jantungnya namun, tembakan Clara tadi hanya menggores telinganya dan mengarah ke dinding. Jika dipikir-pikir, ia memang beruntung tidak bernasib seperti yang lainnya. Kenapa Clara tidak menembaknya seperti yang lain?

"Kalaupun aku beruntung, apa masalahnya? Aku dipastikan lulus dalam ujian ini dan akan menjalankan misi bersama Tuan Felix dan Clara. Dalam misi ini, aku akan mengalahkan Clara dan menjebloskan Tuan Alvin ke penjara." Tuan Albert tersenyum miring.

"Sebelum itu terjadi, obati telingamu sebelum kau mati kehabisan darah." Naomi yang menyadarinya pun langsung berlari ke ruang pengobatan.

"Ayahmu pasti bangga melihatmu dari atas sana, Clara." Clara mengedikkan bahunya.

"Ayahku selalu bangga melihatku, Tuan Albert." Albert tertawa mendengarnya.

"Baiklah. Bagi yang berhasil dalam ujian terakhir, silakan beristirahat." 

"Sudah tiga tahun, kalian tidak juga menemukannya? Apa saja yang kalian kerjakan selama ini?" Sang istri yang bernama Risa menenangkan sang suami yang sedang menahan emosinya.

"Maaf, Tuan. Kami tidak bisa menemukan Nona Clara sama sekali. Gadis itu seperti lenyap ditelan bumi." Alvin menghela napas kasar. Ia melipat tangan dan mengetuk-ngetuk kakinya di lantai.

"Ayah dan anak sama-sama merepotkan." Risa mengusap bahu sang suami.

"Tenanglah, sayang. Setidaknya, kau sudah mendapatkan perusahaan yang harusnya dimiliki oleh anak itu. Kita sudah kaya raya dan kau tidak perlu menjalankan bisnis laknat itu lagi." Alvin tersenyum dan mengusap punggung sang istri.

"Kita bisa hidup tenang, jika gadis itu mati istriku. Tidak ada anak yang diam begitu saja melihat kematian orang tuanya. Gadis itu akan datang dan membalas dendam lalu, merebut kembali hak miliknya. Mulai dari rumah, warisan, dan lain sebagainya. Kau mau hidup miskin?" Risa yang mendengar itu pun menggeleng.

"Tentu saja aku tidak mau, sayang. Kalau begitu, temukan dia secepatnya." Sang suami mengangguk. Ia mengusap dagunya untuk mencari cara agar Clara bisa ditemukan.

"Bolehkah saya menyarankan sesuatu, Tuan?" tanya pemuda bernama Vincent. 

"Silakan," jawab Alvin.

"Menjadikan Nona Clara buronan." Alvin mengernyit mendengar saran Vincent.

"Apa kau yakin?" Vincent mengangguk.

"Kita juga harus memberikan imbalan bagi siapa yang bisa menemukannya." Alvin manggut-manggut. Ia nampak suka dengan rencana Vincent.

"Baiklah, aku setuju. Tidak salah aku menjodohkanmu dengan putriku." Vincent menyeringai.

"Jika dipikir-pikir, aku tidak ingin kau membunuh Clara, suamiku. Lebih tepatnya, dia harus menderita sebelum kematiannya." Alvin yang mendengar itu pun tersenyum dan mengecup kening sang istri.

Alvin memeluk sang istri dan berkata, "Aku setuju. Aku ingin kakakku melihat penderitaan anaknya dari atas sana. Terima kasih, sayang. Kau telah memberi ide brilliant untukku." Risa membalas pelukan suaminya.

"Sama-sama, suamiku," balasnya.

'Sayang sekali, Alvin. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi,' batin Vincent.

Clara masuk ke ruang pengobatan dan menatap datar Naomi yang sedang diobati oleh perawat.

"Aww, sakit! Pelan sedikit, bisa tidak?!" bentak Naomi.

"Maaf Nona, saya akan lebih pelan lagi." Clara mengambil alih tugas perawat dan mengobati telinga Naomi membuat Naomi terkejut.

"Apa yang-" ucapan Naomi terhenti saat Clara meletakkan jari telunjuknya di mulut Naomi.

"Maaf, aku mengambil pekerjaanmu. Aku yang telah membuatnya terluka jadi, aku harus bertanggung jawab." Naomi mendengkus mendengar Clara.

"Khe, tidak usah berpura-pura, Clara. Kau berusaha mencuri perhatian agar dikira baik, bukan? Dasar munafik!" Clara berdecak kesal dan menekan telinga Naomi hingga sang empu meringis.

"Bicaralah sepuasmu, Naomi. Jujur saja, kau tidak menarik untuk kubunuh. Tembakan tadi hanya gertakan untukmu." Clara menutupi daun telinga Naomi dengan perban dan membuang sisa perban yang tidak terpakai ke tong sampah.

"Kau tidak perlu khawatir, aku pernah mengikuti kegiatan PMR selama 3 tahun di sekolah. Aku cukup pandai dalam mengobati. Aku permisi." Clara keluar dari ruang perawatan, meninggalkan kebingungan di wajah perawat.

Perawat itu menatap perban di daun telinga Naomi.

"Dia terlihat ahli. Perbannya bahkan lebih rapi dariku." Naomi yang mendengar itu mendengkus dan keluar dari ruang perawatan. 

'Akan kubuat gadis itu pergi dari rumah ini,' batin Naomi sambil mengepalkan tangan.

TBC

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status