Share

Terrible Luck

Penulis: blackonix_29
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-18 23:10:56

3 tahun terlewati, Clara dan Naomi duduk berhadapan. Keduanya saling menatap remeh seolah yakin, jika salah satu dari mereka pasti lulus ujian terakhir.

"Hari ini adalah ujian tahap terakhir. Ujian ini menguji kecepatan kalian dalam merakit pistol yang ada di hadapan kalian. Siapa yang selesai duluan, dia harus menembak lawan di hadapannya." Para gadis mengangguk dan melaksanakan instruksi Albert. Mereka merakit pistol itu dengan cepat diiringi dengan jam yang terus berdetak. 

"Kalian harus menyelesaikan rakitan pistol itu dalam waktu tiga menit. Jika lewat dari tiga menit, kalian tamat. Jika berhasil menyelesaikan kurang dari tiga menit, kalian dinyatakan lulus." Mendengar itu para gadis mempercepat rakitan pistol mereka dan kepanikan mulai melanda.

Tidak disangka, Clara telah selesai terlebih dahulu dengan waktu 30 detik. Ia mengarahkan pistolnya ke arah Naomi membuat Naomi membelalak. Ia bahkan baru setengah dalam merakit pistol. Nyawanya sudah terancam sekarang. Clara mengangkat pistolnya dan mengarahkan tembakan ke tembok depannya. Clara menyeringai tatkala ia berhasil tepat sasaran dan menggores daun telinga Naomi. Ia meniup moncong pistol berasap tersebut dan tersenyum miring pada Naomi.

Felix yang melihat itu tersenyum senang. Entah kenapa, ia merasa senang saat Clara menjadi orang pertama yang lulus?

"Clara lulus," ujar Felix. Naomi yang mendengar itu, langsung menggebrak meja membuat pekerjaan para gadis terhenti.

"Aku tidak percaya ini. Kita berlatih bersama-sama dengan durasi yang sama. Tapi, kenapa kau bisa merakit secepat itu, hah? Apa kau dilatih secara khusus oleh Tuan Albert? Khe, curang." Clara mendengkus.

"Sayang sekali, aku tidak pernah dilatih secara khusus oleh Tuan Albert. Bukankah kita semua, diperlakukan sama sebagai calon agen profesional? Akui saja kekalahanmu, Nona." Naomi mendecih.

"Tidak! Kau menang karena beruntung, Clara. Lain kali, aku pasti menang darimu. Aww...." Naomi merintih memegangi telinganya dan membelalak menatap tangannya berdarah.

"Oh tidak, apa yang terjadi dengan telingaku? Ini pasti karenamu, Clara. Lihat saja nanti, kau akan mengalami apa yang kualami." Setelah mengatakan itu, Naomi merintih sambil memegang telinganya. Telinganya seperti mau lepas dari tempatnya.

Albert yang melihat itu tersenyum. "Kau beruntung, Naomi. Kau hanya ditembak di bagian telinga. Tidakkah kau ingin melihat yang lain?" Dahi Naomi mengerut. Ia menatap para gadis di samping maupun di hadapannya. Banyak yang terkapar akibat tembakan di tubuh mereka. Hal ini membuat Naomi terkejut bukan main, dan memegang dada kirinya tanpa sadar.

"A-apa yang terjadi?" tanya Naomi tergagap.

"Sejujurnya, ujian ini adalah ujian bertahan hidup. Seharusnya, Clara menembak dada kirimu. Dengan kata lain, kau akan bernasib sama dengan mereka." Naomi mengingat kembali saat Clara mengarahkan pistol padanya. Clara sempat ingin menembakkan pistol itu ke jantungnya namun, tembakan Clara tadi hanya menggores telinganya dan mengarah ke dinding. Jika dipikir-pikir, ia memang beruntung tidak bernasib seperti yang lainnya. Kenapa Clara tidak menembaknya seperti yang lain?

"Kalaupun aku beruntung, apa masalahnya? Aku dipastikan lulus dalam ujian ini dan akan menjalankan misi bersama Tuan Felix dan Clara. Dalam misi ini, aku akan mengalahkan Clara dan menjebloskan Tuan Alvin ke penjara." Tuan Albert tersenyum miring.

"Sebelum itu terjadi, obati telingamu sebelum kau mati kehabisan darah." Naomi yang menyadarinya pun langsung berlari ke ruang pengobatan.

"Ayahmu pasti bangga melihatmu dari atas sana, Clara." Clara mengedikkan bahunya.

"Ayahku selalu bangga melihatku, Tuan Albert." Albert tertawa mendengarnya.

"Baiklah. Bagi yang berhasil dalam ujian terakhir, silakan beristirahat." 

"Sudah tiga tahun, kalian tidak juga menemukannya? Apa saja yang kalian kerjakan selama ini?" Sang istri yang bernama Risa menenangkan sang suami yang sedang menahan emosinya.

"Maaf, Tuan. Kami tidak bisa menemukan Nona Clara sama sekali. Gadis itu seperti lenyap ditelan bumi." Alvin menghela napas kasar. Ia melipat tangan dan mengetuk-ngetuk kakinya di lantai.

"Ayah dan anak sama-sama merepotkan." Risa mengusap bahu sang suami.

"Tenanglah, sayang. Setidaknya, kau sudah mendapatkan perusahaan yang harusnya dimiliki oleh anak itu. Kita sudah kaya raya dan kau tidak perlu menjalankan bisnis laknat itu lagi." Alvin tersenyum dan mengusap punggung sang istri.

"Kita bisa hidup tenang, jika gadis itu mati istriku. Tidak ada anak yang diam begitu saja melihat kematian orang tuanya. Gadis itu akan datang dan membalas dendam lalu, merebut kembali hak miliknya. Mulai dari rumah, warisan, dan lain sebagainya. Kau mau hidup miskin?" Risa yang mendengar itu pun menggeleng.

"Tentu saja aku tidak mau, sayang. Kalau begitu, temukan dia secepatnya." Sang suami mengangguk. Ia mengusap dagunya untuk mencari cara agar Clara bisa ditemukan.

"Bolehkah saya menyarankan sesuatu, Tuan?" tanya pemuda bernama Vincent. 

"Silakan," jawab Alvin.

"Menjadikan Nona Clara buronan." Alvin mengernyit mendengar saran Vincent.

"Apa kau yakin?" Vincent mengangguk.

"Kita juga harus memberikan imbalan bagi siapa yang bisa menemukannya." Alvin manggut-manggut. Ia nampak suka dengan rencana Vincent.

"Baiklah, aku setuju. Tidak salah aku menjodohkanmu dengan putriku." Vincent menyeringai.

"Jika dipikir-pikir, aku tidak ingin kau membunuh Clara, suamiku. Lebih tepatnya, dia harus menderita sebelum kematiannya." Alvin yang mendengar itu pun tersenyum dan mengecup kening sang istri.

Alvin memeluk sang istri dan berkata, "Aku setuju. Aku ingin kakakku melihat penderitaan anaknya dari atas sana. Terima kasih, sayang. Kau telah memberi ide brilliant untukku." Risa membalas pelukan suaminya.

"Sama-sama, suamiku," balasnya.

'Sayang sekali, Alvin. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi,' batin Vincent.

Clara masuk ke ruang pengobatan dan menatap datar Naomi yang sedang diobati oleh perawat.

"Aww, sakit! Pelan sedikit, bisa tidak?!" bentak Naomi.

"Maaf Nona, saya akan lebih pelan lagi." Clara mengambil alih tugas perawat dan mengobati telinga Naomi membuat Naomi terkejut.

"Apa yang-" ucapan Naomi terhenti saat Clara meletakkan jari telunjuknya di mulut Naomi.

"Maaf, aku mengambil pekerjaanmu. Aku yang telah membuatnya terluka jadi, aku harus bertanggung jawab." Naomi mendengkus mendengar Clara.

"Khe, tidak usah berpura-pura, Clara. Kau berusaha mencuri perhatian agar dikira baik, bukan? Dasar munafik!" Clara berdecak kesal dan menekan telinga Naomi hingga sang empu meringis.

"Bicaralah sepuasmu, Naomi. Jujur saja, kau tidak menarik untuk kubunuh. Tembakan tadi hanya gertakan untukmu." Clara menutupi daun telinga Naomi dengan perban dan membuang sisa perban yang tidak terpakai ke tong sampah.

"Kau tidak perlu khawatir, aku pernah mengikuti kegiatan PMR selama 3 tahun di sekolah. Aku cukup pandai dalam mengobati. Aku permisi." Clara keluar dari ruang perawatan, meninggalkan kebingungan di wajah perawat.

Perawat itu menatap perban di daun telinga Naomi.

"Dia terlihat ahli. Perbannya bahkan lebih rapi dariku." Naomi yang mendengar itu mendengkus dan keluar dari ruang perawatan. 

'Akan kubuat gadis itu pergi dari rumah ini,' batin Naomi sambil mengepalkan tangan.

TBC

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Accept My Revenge   Deep Talk

    Clara beranjak dari kasurnya dan membuka pintu kamarnya. “Oh, Ayah. Ada apa, Ayah?” David tersenyum. “Ayah ingin bicara denganmu, Nak. Sekaligus, Ayah ingin melepas rindu karena sudah tiga tahun kita tidak bertemu.” Clara ber oh ria dan membuka jalan agar sang ayah bisa masuk ke kamarnya. Clara dan sang ayah duduk berhadapan di lantai dengan meja yang menjadi perantara mereka.“Bagaimana kabarmu, Clara? Apa kau baik-baik saja selama Ayah tidak ada?” tanya David.“Clara baik-baik saja, Ayah. Jujur, Clara sedikit kelelahan karena si bedebah itu. Clara harus berlatih dengan keras untuk menghancurkan bedebah itu dan harus mendekam di penjara selama seminggu. Tubuh Clara rasanya sakit karena tidur di tempat yang tidak nyaman. Tapi sekarang, Clara senang karena bisa bebas dan bertemu dengan Ayah lagi,” ujar Clara dengan senyuman manisnya.“Maaf, jika saja Ayah bisa melawan, kau pasti tidak akan kesulitan seperti ini, Nak.” David menunduk dengan rasa bersalahnya.Clara menggelengkan kepala

  • Accept My Revenge   Having Lunch Together

    Having LunchPLAK!” Bunyi tamparan menggema di seluruh ruangan. Calista menatap takut karena baru pertama kali melihat ayahnya semarah ini. “Ma, Papa kenapa? Kok bisa semarah ini?” Nampaknya, suara Calista terdengar sampai telinga Alvin. “Cih, bawa dia ke Distrik Mawar. Akan kuberi dia pelajaran karena tidak berguna sebagai pengacaraku!” perintah Alvin pada anggotanya.Anggota Alvin manut dan membawa Angga pergi dari hadapan Alvin. Alvin berjalan mendekati Calista dan Risa tanpa menghiraukan teriakan . Alvin mengusap rambut Calista. “Maaf, Papa membuatmu ketakutan. Ma, aku harus pergi ke suatu tempat sekarang. Maaf, tidak bisa menemani kalian makan siang.” Risa mengangguk. “Tidak apa-apa. Lain kali, jangan sampai kelepasan.” “Sekali lagi maafkan aku,” ucap Alvin. “Hn, hati-hati. Ayo sayang, kita makan siang. Kau pasti lapar karena seharian berada di pengadilan,” ujar Risa mengalihkan perhatian Calista. Nampaknya, Calista masih shock melihat amarah ayahnya yang mengerikan. Calista

  • Accept My Revenge   Unexpected Moment

    “David/Ayah???” Dengan wajah penuh keterkejutan, Clara dan Albert menyebut nama pria di hadapan mereka. Sementara yang ditatap hanya menatap kebingungan dengan reaksi dua orang di depannya. “Kenapa terkejut begitu?” tanya David heran.“K_kau masih hidup, David? B-bagaimana bisa?” tanya Albert terbata. Dia belum bisa mengendalikan keterkejutannya.“Iya, aku masih hidup. Karena aku masih hidup, seharusnya kalian menyambutku lebih baik lagi,” sindir David sarkas.Clara yang sudah mengendalikan keterkejutannya pun berdeham. “Ekhem, ceritakan semua pada kami bagaimana Ayah masih hidup tanpa terlewatkan!” perintah Clara dengan tegas, tanpa mempedulikan jika dia sedang berbicara dengan ayahnya.“Ayah tidak akan menceritakannya karena yang lebih tahu detailnya Vincent, kakak angkatmu.” David tersenyum pada putrinya. Akhirnya, dia bisa melihat putrinya lagi.“Loh, kenapa tidak Ayah sendiri yang cerita? Tanya Clara terheran.“Karena Vincent yang lebih tahu detailnya. Vincent yang telah menyela

  • Accept My Revenge   The Final Courts

    Hakim yang tak mendapatkan jawaban pun kembali bertanya pertanyaan yang sama. "Saya tanya sekali lagi, Tuan Angga. Bisakah anda menunjukkan bukti lain selain sidik jari ini?" Angga yang sedari tadi diam pun bersuara. "S-saya tidak punya bukti lain, Yang Mulia." "Cih, dasar tidak berguna," rutuk Alvin pelan. "Tapi, saya bisa memberikan bukti yang lebih kuat dari Tuan Ryan asalkan anda memberikan saya waktu satu minggu, Yang Mulia," pinta Angga yang membuat sorakan amarah keluar dari mulut para audiens. Hakim itu mengetuk keras palu tersebut hingga membuat para audiens terdiam. "Maaf, Tuan Angga. Saya tidak bisa memberi tambahan waktu. Saya akui anda berani menuntut hukuman mati terhadap Nona Clara hanya dengan mengandalkan sidik jarinya saja. Padahal, sidik jari itu belum tentu benar adanya. Anda bisa saja dituntut atas pencemaran baik, anda mengerti, Tuan Angga?" Hakim itu menatap tegas pada Angga.Angga mengangguk pasrah, untuk pertama kalinya dia merasa dipermalukan di hadapan s

  • Accept My Revenge   Beginning Of The Courts

    Pada pukul 8 malam, Vincent dan Calista baru saja pulang dari melakukan aktivitas. Menonton bioskop, ke pantai, dan ke mall untuk belanja. Banyak sekali barang belanjaan Calista di tangan Vincent, tapi Vincent tidak mengeluh sama sekali. Vincent sangat mencintai Calista, begitu juga sebaliknya. Setibanya mereka di mansion, Vincent mengecup kening Calista dan tanpa sadar kegiatan mereka dilihat oleh Risa, sang ibu. "Ekhem, cieee yang habis jalan-jalan. Bagaimana kegiatannya? Menyenangkan?" ujar risa hingga membuat sepasang kekasih itu tersentak. Mereka langsung berbalik menatap Risa dengan wajah memerah. "Eh Mama kok ada di sini?" tanya Calista. Risa tersenyum menggoda tatkala melihat wajah sang anak memerah. "Tentu saja Mama menunggumu pulang bersama kekasihmu ini. Bagaimana kencannya? Apa menyenangkan?" "Kencannya sangat menyenangkan. Vincent sangat romantis dan memperlakukanku seperti seorang putri," jawab Calista. Tak lama kemudian, Alvin keluar dari rumah dan mendapati Calista

  • Accept My Revenge   Investigating And Interogation

    Albert pulang ke mansionnya dan disambut oleh maidnya. "Tuan sudah pulang?" tanya Maid itu. Albert mengangguk. "Panggilkan Naomi dan suruh dia ke ruanganku!" perintah Albert. "Baik, Tuan," jawab Maid itu dan meninggalkan Albert. Sementara itu, Albert melangkah ke ruang kerjanya dan membuka komputer yang ada di meja kerjanya. Albert mengetikkan sesuatu di komputer itu dan sayangnya tidak menemukan apapun. Albert mendengkus. "Tidak ada hasil? Khe, yang benar saja! Albert pun mencoba untuk menelusuri lebih dalam dengan melakukan peretasan, tetapi nihil. "Pengacara tidak memiliki akun? Bisa jadi karena kesibukannya dalam menangani kasus klien. Maafkan Paman, Clara, Paman tidak bisa mencari tahu." Akhirnya, setelah tidak mendapatkan informasi apapun, Albert langsung mengirim pesan pada Felix dengan harapan jika Felix akan memberitahukan isi pesan itu pada Clara. Albert menyandarkan tubuhnya di kursi dan menengadahkan kepalanya ke atas.&

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status