Saya yakin kalian semua sudah tidak asing dengan yang satu ini. Kalau bapak bertanya apa itu stoikiometri. Materi ini hanya sebagai perkenalan diantara kita. Sekarang saya akan menulis suatu reaksi.”(Dosen berkacamata tebal dengan rambutnya yang botak bagian depan itu secara perlahan menulis sambil mengeja tulisannya pada white board). Tujuh koma lima mili NaOH plus tujuh koma lima mili HCL ….
"Hah..."Achi menutup buku kimia setebal kamus, mencabut earphone dari telinga, dan mem-pause hasil rekaman suara dosen. Dia mengangkat kedua tangan ke atas diiringi tarikan badan mengikuti arahan kedua tangan, membuat tulang-tulang dan urat-urat yang kaku jadi lebih rileks. Hari pertama kuliah sangat berat rupanya.
Achi menguap lebar-lebar disusul suara perut yang keroncongan. Ah iya dia lupa sarapan akibat telat bangun. Dipaksakan berpikir sekalipun, tidak akan bisa fokus lantas menutup buku tebal milik perpustakaan dan meletakkan ke dalam rak. Achi memutuskan pulang ke kos dari pada makan di kantin kampus katanya si biar lebih hemat.
Begitu Achi keluar dari ruangan, terlihat taman yang sangat luas dipenuhi rumput hijau, Achi melewati beberapa mahasiswa yang hanya sekadar duduk bercengkrama. Mereka duduk berkelompok, ada yang sibuk dengan leptop beberapa kali ikut berbincang dengan teman semejanya, ada juga yang sekedar ngobrol ketawa-ketiwi sambil menikmati cemilan. Topiknya tidak jauh-jauh dari ghibahin dosen atau ghibahin kating ganteng.
Pulang ke kos dengan berjalan kaki pada aspal yang basah akibat hujan semalam. Aroma tanah yang sangat menyengat dan aroma daun pohon juga tak mau kalah. Achi sungguh menyukai suasana setelah hujan. Pandangannya tertarik pada sebuah taman bermain yang kosong. Berhenti sebentar menikmati kekosongan mungkin ada baiknya, angin sepoi-sepoi datang berbisik menggertakkan rasa kemudian diam-diam melumpuhkan pikiran, Ah Achi tergoda untuk duduk sebentar di sebuah ayunan kayu.
Achi menghela napas, kedua tanggan bersatu menghangatkan. Matanya menatap ke tanah yang basah tapi juga tidak terlalu becek, sungguh ini kedamaian yang Achi harapkan. Hari-harinya berat dan sungguh melelahkan, orang-orang disekitar tertawa dan tersenyum dengan seribu masalah, mereka punya seseorang untuk berbagi cerita. Tapi tidak dengan dia yang memilih diam sebagai teman, faktor terlalu fokus ke pendidikan sampai tidak tahu bagaimana membuat pertemanan atau membuat percakapan seru. Sekali lagi Achi menghela napas. Sebenarnya mengeluh terlalu sering adalah suatu hal yang buruk, karena ilmu tidak akan di dapat. Tapi, Achi terlalu nyaman untuk menghilangkan sisi itu. Rasanya satu masalah yang mencekik tenggerokkan berkurang.
Perutnya berbunyi lagi, tapi yang ini lebih keras dibandingkan yang tadi. Tangannya secara spontan memegang, sedangkan tangan kanannya memijat kepala yang sakit. "Hah..," sekali lagi membuang napas, sudut bibir mungilnya tertarik, pantes aja sakit kepala. Karena semalam tidak bisa tidur di suasana kamar baru. Reflek kepalanya menengadah ke langit yang terlihat mendung Aku terbiasa terburu-buru melakukan suatu hal setiap harinya, aku selalu melewati waktu-waktu istirahat. Achi berbicara kepada batinnya, ah sayangnya perut tak mau mengerti, para cacing sudah tak sabar lagi. Dia pun lagi-lagi mentertawakan dirinya yang menyukai sepi.
....
Ojek yang dinaiki berhenti di depan pagar kosannya. Pekarangan kos-kosannya cukup luas dan asri. Ada dua berugak tempat anak-anak kos nongkrong sambil bermain kartu domino ataupun sekedar duduk bermain game online. Kosannya tersedia wifi gratis tapi bayarnya ditangung anak-anak kos.
"Achi!. Sini ikutan main."
Seorang laki-laki berbadan besar dan kulitnya sawo matang menyapa dari sana. Beberapa teman laki-laki yang lain ikut melihat. Achi menoleh tau bahwa yang memanggilnya adalah Mas Bejo yang logat maduranya kental. Dia adalah orang yang langsung menyapa Achi dihari pertama menerima kunci kamar kosnya tanpa kenal malu.
"Nggih Mas Bejo, lanjut. Saya mau bersih-bersih dulu," jawabnya. Sebenarnya Achi belum tahu nama lengkap Mas Bejo. Tapi orang-orang kos biasa memanggilnya dengan sebutan Mas Bejo. Akhirnya Achi juga ikutan.
"Ouh!sibuk terooss. Orang penting Achi ini, makanya dia nggak mau kumpul bareng kita," ujar Mas Bejo sambil manyun.
Ah, padahal teman duduknya yang lain tidak protes kok. Itu si karena Achi dan mereka tidak saling kenal meski tau mereka semua yang duduk disitu adalah penghuni kamar kos ini, tapi Achi tidak tahu namanya.
"Bukan gitu..," ucapanya Achi sengaja menggantungkan kalimat. Dengan cepat Mas Bejo menyambar "Halah! Alesan kamu."
"Udahlah mas Bejo, jangan paksa dia. Anak kuliah memang gitu. Selalu sibuk," sahut seorang laki-laki yang rambutnya keriting.
"Heh! Sok tau kamu, memangnya kamu kuliah?!" Mas bejo mengangkat kedua alisnya serta dagu dengan nada sedikit mengejek.
Achi geleng kepala mendengarnya. "Saya masuk dulu."
"Siap," jawab orang yang satu.
"Lanjut." Di susul satu suara lagi.
"Nggih."
"Lannjoot!"
"Yowes," kata mas Bejo.
Mencuci tangan dan kaki mengganti pakaian dengan pakaian rumah lalu mengambil bahan makanan dari dalam kulkas kecil. Achi mengambil sayuran hijau seperti kol, wortel dan kentang tiga jenis itu ia tumis kering dan untuk lauknya dia masak telur ceplok. Dan begitu masakannya selesai dimasak dia langsung melahapnya. sampai piring itu kosong dia bersender didinding untuk rehat sejenak sambil memijat kepalanya yang sakit dan tak kunjung sembuh.
dimana obat itu? tanyanya didalam hati.
Achi mengorek-ngorek isi tas nya, seingatnya sudah menaruh obat sakit kepala didalam tas kuliahnya khusus di simpan pada botol kecil. Keringat dinginpun mulai menetes dari pelipisnya, mulai kewalahan mencari-cari dan membongkar kotak obat.
masa habis sih?! perasaan baru beli. Kata Achi mengumpat pelan disusul desahan frustasi. Kepalanya sangat sakit walaupun Achi obati dengan mengikat kepala lalu tidur, sakit kepalanya akan timbul lagi esok atau tengah malam dan itu sangat menggangu. Dari pada begitu obat adalah pilihan yang jelas. Lantas dia memutuskan keluar rumah untuk membelinya di apotik. Jarak apotek tidak jauh dari kos jadi ia tidak perlu repot memesan taksi ataupun menunggu ojek datang. Ah syukur kata Achi dalam hati saat sampai di apotik dalam suasana sepi. “Obat sakit kepalanya." “Obat sakit kepala apa, mbak?” “***h**.” Apoteker itu mengangguk dan berkata, "silakan tunggu sebentar mbak." Achi pun duduk di kursi samping etalase obat-obatan. Langit sedang mendung tanpa aba-aba petir besar datang disambut kilat, hujan langsung turun begitu deras. Langit berubah menjadi gelap. Achi menelan air ludahnya karena takut, pikir
"Anak baru itu kayaknya nggak bakal datang," sahut Oliv yang lagi menaruh kue bolu coklat ke dalam kotak dengan sangat hati-hati. "Nggak boleh berpikiran buruk gitu, Liv. Mungkin di perumahannya masih hujan." Raka mengelap meja pelanggan yang sudah kinclong tapi di ulang berkali-kali karena malas melakukan pekerjaan yang lain. "Haduh, Ibu pusing dengar kalian ngomong. Kalau dia datang langsung aja kasih tau apa yang harus dikerjakan," tukas Ibu Wina sang bos toko yang sedang kebingungan karena hujan deras tokonya jadi sepi. suara motor berhenti di parkiran lantas mereka bertiga langsung menoleh serentak saat itu perempuan dengan kemeja kotak-kotak, rambut panjang yang urak-urakan karena di terpa angin. Mata Oliv membulat saat tau yang datang adalah anak baru kemudian dengan semangatnya berkata, "eh ibu! ibu!" "IYA! IYA! Ibu juga liat Oliiv..," kesal Ibu Wina Achi pun masuk dengan kikuk sambil membawa map berwarna coklat."Permisi Ib
Oliv dan Raka berhenti bersuara saat Achi dengan ragu-ragu berjalan masuk ke dapur. Matanya liar memandangi setiap sudut ruangan. Ada rasa kagum dibaluti rasa bersalah. Jantungnya berdegup kencang tidak tahu apa yang harus ia kerjakan. Tantangan hidup yang baru baginya bekerja sambil kuliah, tanpa sepengetahuan Ibu. Achi menelan salivanya. "Ehm, hai. Perkenalkan namaku Achi. Mohon bantuannya dan tegur aku bila salah," jelasnya membuat suasana menjadi lebih canggung. haduh,, jadi makin canggung. Harus gimana dong?. Keluhnya didalam hati. Beberapa saat kemudian Oliv membalas, "Achi, kenalin aku Oliv," pungkas perempuan yang rambutnya pirang se punggung dan lebat itu mengulurkan tangan, berharap segera dijabat. Achi pun masih terpesona dengan cantiknya Oliv, kemudian laki-laki yang berada disebelakang Oliv berambut sedikit gondrong itu ikut bersuara. "Hai Achi! aku Raka. Panggil aja Raka gausa pake kakak." Oliv
Begitu pesawat yang dinaikinya mendarat, pemuda itu langsung menerobos penumpang yang ada di depannya. Jantungnya berdegup sangat kencang sangking khawatirnya ia sampai lupa dirinya membawa koper. Namanya beberapa kali di panggil memakai pengeras suara, mungkin sampai yang ke seratus kalinya barulah laki-laki itu tersadar dan berlari lagi ke dalam menuju sumber suara."Pak, lain kali hati-hati jangan terlalu tergesa-gesa karena kami yang akan kesusahan." Jelas petugas itu dengan nada jengkel begitu juga ekspresinya tapi biarpun demikian, laki-laki yang bernama Reno itu tidak bisa menyerap omongan petugas dengan baik karena pikirannya jauh ke tempat lain. Tanpa aba-aba saat koper itu sudah di tangannya, Reno berlari setelah mengucapkan terima kasih.Reno mengorek saku celananya dan mengerluarkan sebuah kunci mobil. Mobil putih di garasi khusus penitipan kendaraan itu melaju kencang di jalan raya. Seperti pembalap, Reno bahkan melewati lampu merah tiga kali. Di per
Pukul lima pagi Achi sudah bangun, padahal baru tiga jam yang lalu bisa tidur. Pertama, Achi selalu memulai paginya dengan membersihkan kamar kos lalu mandi dan sarapan. Pada jam tujuh Achi sudah harus masuk kelas, jadi jam enam ia sudah beres dan pergi ke jalan raya menunggu taksi.butuh waktu lima belas menit menuju kampusnya, Achi sampai tanpa harus menunggu kemacetan. Kali ini jam kelasnya di ruang sembilan lantai dua. Achi menaiki tangga dengan bersemangat karena suasana dan mood nya pagi ini cukup bagus. Seseorang dengan suara agak berat memanggilnya dari belakang."Achi!"Achi pun berhenti melangkah dan menoleh ke belakang, seorang laki-laki memakai jaket seperti Dilan dan senyumanya dengan percaya diri berjalan mendekat. Achi bingung siapa gerangan."Kamu benar Achi, kan?""Iya,,""Aku Malvyn, kita satu angkatan satu organisasi. Jam sembilan nanti ada rapat di ruang 2 ya pesan dari kadep an sekdep jangan lupa hadir."
Dosen yang diberikan gelar killer itu justru memberikan applause pada Achi, dan sungguh satu ruangan dibuat terpukau bahkan Achi juga tidak menyangka. Tapi, applause itu harus dipertahankan agar dipandang sebagai mahasiswa aktif, disayangi dosen, pintar, bukan sekedar mahasiswa cari nama atau famous sesaat, mencari sensasi. Pada intinya Achi pengen ilmu itu melekat bukan sekedar singgah.Setelah Dosen keluar, mereka pun satu-persatu meninggalkan ruang kelas. “Achi?! duh gawat banget tadi,” kata Tania mengejutkannya.”Gue nggak habis pikir sih, kalau lo nggak bisa jawab duh bisa mati kita semua.”“Gila sih! Lo the best banget dah,” sahut Sola datang dari bangku pojok baris dua dari depan.“Gue nggak belajar sama sekali, gue kira tuh Dosen, nggak datang lagi kayak minggu-minggu kemaren.”Tania mendudukkan pantatnya ke kursi di sebelah Achi, tak lama kemudian Vino berjalan mendekati mereka dengan menenteng tas b
“sebelumnya, kakak ucapkan terima kasih teman-teman dan adek-adekku sudah menyempatkan waktunya pada rapat pagi ini. Eehm kaka langsung ke intinya.“ (30 menit kemudian) Satu persatu diantara mereka keluar ruangan, tidak dengan Achi yang sengaja di suruh jangan keluar dulu oleh ketua dan sekretaris divisinya. “Achi, kamu kan penanggung jawab di kegiatan besok, jadi ini beberapa tugas yang harus kamu pantau selama kegiatan itu berlangsung. “Oke kak.” Kata Achi menerima selebaran yang diberikan Kak Devi selaku ketua divisi. “Selamat bertugas, dek. Semangat,” ucap Kak Devi dan Kak Clarin bersamaan. “Ohiya!? Dev, Dek, nanti sore kan kita lanjut rapat tapi aku lupa ngasih tau kalau kita kan ada pratikum sama Pak William, ingat nggak?!” tanya Clarin membuat Devi langsung membulatkan mata sambil menepuk dahinya sendiri. Sementara Achi hanya diam, dia juga tidak akan bi
Monitor hemodinamik dan saturasi itu menggambarkan gelombang denyut jantung Mia Kolly, tekanan darahnya, oksigen yang diserap, temperatur, dan frekuensi pernapasan rendah. Bahkan selang pembantu dipasangkan.Waktu menunjukkan pukul delapan malam, posisi Reno masih sama, duduk bersandar di balik pintu dengan matanya yang merah, sampai seorang perawat mengetuk dari luar. Reno segera mengelap mukanya, menarik ingusnya kemudian membukakkan pintu.“Maaf Sus, silakan masuk,” katanya lirih.Suster berkulit putih, hidung mancung, bulu mata lentik, wajahnya polos tanpa make up itu bertanya, “Mohon maaf, Mas ini walinya pasien?”“Ya, benar sus.”“Ah,,syukurlah,” ucap perawat itu terdengar lega bagi siapapun yang mendengar setelah itu Reno langsung menyambar dengan pertanyaan, “Ada apa Suster? pacar saya baik-baik saja kan?” tanya Reno tampak khawatir.“Cepatlah Anda ke ruang Dokter Ariy