Oliv dan Raka berhenti bersuara saat Achi dengan ragu-ragu berjalan masuk ke dapur. Matanya liar memandangi setiap sudut ruangan. Ada rasa kagum dibaluti rasa bersalah. Jantungnya berdegup kencang tidak tahu apa yang harus ia kerjakan. Tantangan hidup yang baru baginya bekerja sambil kuliah, tanpa sepengetahuan Ibu.
Achi menelan salivanya. "Ehm, hai. Perkenalkan namaku Achi. Mohon bantuannya dan tegur aku bila salah," jelasnya membuat suasana menjadi lebih canggung.
haduh,, jadi makin canggung. Harus gimana dong?. Keluhnya didalam hati.
Beberapa saat kemudian Oliv membalas, "Achi, kenalin aku Oliv," pungkas perempuan yang rambutnya pirang se punggung dan lebat itu mengulurkan tangan, berharap segera dijabat.
Achi pun masih terpesona dengan cantiknya Oliv, kemudian laki-laki yang berada disebelakang Oliv berambut sedikit gondrong itu ikut bersuara.
"Hai Achi! aku Raka. Panggil aja Raka gausa pake kakak."
Oliv langsung memberi tatapan jijik. "Hidih! Pede banget lu! Achi aja nggak ada niat manggil kakak." Tukasnya "Iya kan, Chi?" Tanyanya menatap Achi yang bingung memilih jawaban. "Halah! bilang aja iya."
Achi menarik ujunh bibirnya kikkuk kemudian mengiyakan secara pelan. Tingkah Oliv yang blak-blakan begini mirip dengan Mas Bejo. Baguslah atmosfir disini cukup bagus untuknya mencari uang sekaligus belajar bersosialosasi.
"Achi, jangan tersinggung sama sikapnya Oliv ya. Mulutnya memang tajam setajam silet, suaranya nyaring senyaring power ranggers megaforce Gia Moran." Raka mengambil plastik bening bergambar yang sudah terpotong berbentuk persegi dari dalam laci.
Oliv juga menunjukkan reaksi yang sama. Dia berjalan dan mendekati tempat Achi berdiri kemudian merangkul bahu Achi, membuat si empunya bahu terheran. "Kita sebenarnya ada tiga orang. Aku, Raka, dan Reno-- Oliv menghitung dengan presentasi jari tangannya.
--"Tapi Reno lagi nggak ada jadwal dan dia itu manajer sini."
Achi mendengarkan dengan seksama sambil sesekali mengangguk paham dan mulutnya spontan membentuk huruf setengah O.
"Jadi, pada biasanya Ibu Wina datang mengechek dua atau tiga kali dalam seminggu. Reno selalu datang tiap pagi untuk buka toko dan datang lagi di malam hari ketika akan tutup toko, meskipun hari itu bukan jadwal kerjanya. Lalu Raka dan aku kebetulan dapat jadwal hari ini."
Sementara Oliv menjelaskan, Raka bergegas membersihkan tangannya di wetafel kemudian melihat arloji di tangan. "Teman-teman ku yang cantik jelita, mas Raka izin pamit. Mau bobok cantikzz ala-ala Elsa frozen." Raka menanggalkan topi kerjanya.
"Oh iya! tolong kerjaanku di lanjut dong. Bungkus kue yang cantik ya-- laki-laki itu sudah memegang kenop pintu lantas menoleh lagi ke belakang--
"Pesanan Ibu Wedang."
"Iyaiya hati-hati di jalan. Jangan ngebut, licin loh, itu jalan."
"Hati-hati di jalan." Ujar Achi sekedarnya
"Yes babby."
Raka menutup kenop pintu dan berganti pakaian lalu Oliv mengajak Achi membungkus kue coklat kering. Oliv mengajarkannya dengan sangat hati-hati.
"Bu Wina, saya pulang duluan." Teriak Raka dari luar ruangan kerja Bosnya.
"Ya! Terima kasih kerjaannya!" Teriak bos dari dalam ruang kerjanya.
"Sama-sama Bu!" Raka berlenggang keluar dengan hati yang gembira.
Sore-sore begini apalagi sehabis hujan biasanya pelanggan tidak datang. Biasanya malam selalu ramai, jadi mereka punya waktu untuk berkenalan secara santai.
"Achi, nanti aku gabungin ke grup kerja ya. Disitu kita biasanya saling komunikasi dan curhat-curhat. Grupnya ada dua sih. Yang satu ada Bu Wina yang satunya lagi nggak ada. Jangan kasih tau Bu wina ya awas loh! Ini rahasia rekan kerja."
"Oke..."
Pukul sembilan pagi Achi dikejutkan dengan kedatangan Reno membelakangi pintu kosnya setelah berhasil menggedor lima kali. Buruk ini buruk sekali Reno terlalu nekat! Achi sebenarnya ingin mengusir Reno karena jadwal mencucinya pagi ini, tapi dengan keras kepalanya Reno di support penyakit lupa nya Achi, mereka pun pergi. Masih dengan sisa jengkelnya meninggalkan pakaian yang belum sempat dibilas Achi menggepalkan tangannya berniat memukul helm yang sedang Reno pakai. Lihat wajah kesal Achi terpampang di helm mengkilat Reno.. Sudahlah lima menit lagi Reno bilang akan sampai ke tempat tujuan.“Kamu jengkel sama saya?” begitu pertanyaan Reno setelah mereka selesai memakirkan motor.Bodoh sekali, sebenarnya siapa yang mempermainkan siapa? maksudnya siapa yang butuh siapa yang dimarahi?“Sedikit.” Singkat jelas dan padat tapi Reno tidak sedikitpun membentaknya meskipun terlihat dari wajah, Reno naik darah tapi s
Tengah malam Ariye sengaja menelpon Pak Jimy selaku direktur Rumah Sakitnya. Sambil mengahadap ke sisi jendela besar yang menampakkan lampu-lampu perkotaan. “Halo? gimana Dokter Ari?” tanya suara dari seberang sana. “Pak direktur saya harap Anda tidak mencampuri urusan itu.” “Maksudnya?” “Saya tidak apa di cap buruk tapi ini demi pasien saya. Saya tidak mau dia terluka gara-gara Anda menyuapnya,” kata Ariye tanpa perlu basa-basi. Speecleesh Pak Jimmy setelah sepuluh detik kemudian. “HAHAHA… Saya sangat terkejut Dokter, atas pengakuan Anda. Ternyata Anda ini cukup pintar ya dalam melumpuhkan strategi. Tapi, ini tentang reputasi tolong pandang diri Dokter Ariye sebagai Dokter yang di cap sebagai prestasinya yang gemilang. Saya tidak mau itu terjadi.” “Hal-hal yang Anda takutkan itu tidak akan terjadi. Saya yakin itu tolong sepakati ini.” Jimmy sempat diam lagi selama dua menit lalu kembali menjawab dengan menghela napas terlebih dahulu.
Ariye diserbu beberapa teman dokternya. Laki-laki yang mukanya ditutupi plester itu sempat tertawa pelan, sangat memuakkan melihat orag-orang yang pura-pura peduli tapi sebenarnya hanya sebatas penasaran. Perlu dijelaskan bahwa yang namanya peduli itu hanyalah kebohongan yang sering dibenarkan. Dia memilih pergi dengan alasan jam kerjanya sudah selesai. Berita itu cepat terseba sampai ketelinga direktur Rumah Sakit karena siapa sih yang tidak mau membuat predikat dokter muda berprestasi, reputasi diatas rata-rata itu bisa dipandang buruk gara-gara satu jam yang lalu. Sementara Reno terdiam disudut kursi bangsal Mia sambil termenung. Pikirannya masih melayang mengenai pembicaraan sepuluh menit yang lalu tentang permintaan tutup mulut dan berpura-pura tidak ada yang terjadi. Cih ingin sekali ia menghajar direktur saat itu juga. Sampai suara ketukan pintu menyadarkan lamuan, Reno melihat sisi tenang Dokter Ariye yang berjalan kearahnya. Reno sempat terkejut meliha
Laki-laki itu terduduk setengah hari tanpa melakukan pergerakan sedikitpun. Minggu keempat belum juga ada kabar baik. Separah itu kah kecelakaan yang dialami Mia?. Diamnya Reno adalah amarah yang ditahan, tawanya Reno adalah kepalsuan, tegasnya Reno adalah pembenaran. Tiba-tiba saja ia memberontak keluar, menabrak apapun yang menganggu jalannya. Mata merah, ujung rambutnya basah dan tangannya dikepal erat. Dia menendang pintu ruang kerja Dokter. Satu sampai lima kali ia gagal kemudian mendobrak dengan bahu nya sekuat tenaga alhasil pintu itu terbuka lebar. Menjadi seorang yang memberontak seperti orang yang tidak punya akal adalah kebencian dalam hidupnya. Ariye kaget, belum sempat ia menarik napas tiba-tiba kerah bajunya sudah dicekam. Ini tentang harga diri dan nyawa jelaslah tindakan gila Reno adalah suatu pembenaran. "Anda harus bertanggung jawab! Saya tidak peduli apapun itu. Saya mau dia hidup secepatnya!" Ariye berusaha tenang meski tau apapun itu muka
Achi terbangun pukul lima pagi, ia menguap lebar, melakukan perenggangan otot-ototnya sampai berteriak kecil karena badannya terasa remuk. Mood nya pagi ini tak seburuk kemarin mungkin karena panggilan video semalam berhasil meruntuhkan benteng introvertnya. Satu lagi yang Achi ketahui, mereka saling bercerita dengan jujur ceplas-ceplos, tidak ada yang perlu mereka tutupi. Achi sempat bertanya kenapa harus video call atau menelpon ditengah malam dan mereka memberitahu alasannya. Oliv merasa susah tidur, Raka suka bermain game, dan Reno dipaksa Raka. Seperti biasa biasa pergi kuliah. “Pak Dosen kemana ya tumben nggak datang?” perempuan yang duduk paling pojok mulai bosan. Namanya Sharun dia mahasiswi yang aktif bertanya dalam kelas. Pertanyaan yang diajukan berbobot, dia cantik, putih, matanya besar dengan bulu mata lentik, kulitnya putih cerah. Setiap kali melihatnya Achi pasti insecure. “EH! Diem-diem semuanya, gue dapet kabar Dosen,” kata Vino dengan pe
Di ruang kelas yang sudah ramai, entah kenapa suasana kelas berubah mencengkram dari biasanya begitu juga tatapan mereka yang tampak berapi-api. Ah.. mungkin karena tugas presentasi mereka berlomba-lomba mendapatkan poin plus dari dosen. “Ci, lu dah siap?” tanya Lodeh teman sekelompoknya memberi tatapan horor. Achi mengangguk sebagai jawaban iya tapi di dalam jantungnya berdegup sangat kencang bahkan keringat dingin mulai keluar lagi seperti tadi pagi. Achi berharap prensentasinya dengan teman-teman kelompoknya berjalan lancar. Diwaktu yang sama dengan lingkungan yang berbeda berhadapan dengan teman-teman yang Achi pikir mereka orang-orang pintar dan hebat, seperti presentasinya kini Lodeh sedang mencatat beberapa pertanyaan. Achi bingung di tambah matanya tak sengaja beradu pandang dengan dosen. Ah buruk katanya tapi ia harus yakin benar salahnya urusan belakang, jangan terlalu takut dan lakukan saja. Lodeh selesai mencatat, tampak sekali dari raut w