Share

BAB 7 : Galau vs Pergi ke Mal

Semalam Aruna tak mampu memicingkan matanya barang sekejap. Pikirannya melambung jauh pada sosok Lukman. Ia bingung, apakah perlu ia menjawab suratnya atau tidak, atau untuk sementara diabaikan saja. Sampai akhirnya ia pun terlelap dini hari tanpa mampu memberikan keputusan yang jelas atas hal yang harus ia lakukan.

Dan di pagi ini akhirnya ia terlambat bangun. Untung saja, hari ini, hari Sabtu, jadi ia pun libur bekerja. Lalu ia terbangun kala adiknya yang bernama Arumi membangunkannya dengan mengetuk pintu kamarnya.

“Tok..tok..tok. Kak.., kak Runa.. Kak..,” panggil Arumi sambil mengetuk pintu kamar Aruna.

Seketika Aruna loncat dari tempat tidurnya saat mendengar ketukan pada pintu kamarnya dengan menjawab, “Yaa.., tunggu.”

Aruna membuka pintu kamarnya, dan melihat adiknya telah memakai seragam sekolahnya. Kemudian, Aruna berkata padanya, “Maaf ya.. Rumi, kakak kesiangan.., sekarang tolong kamu beli sarapan di tukang nasi uduk di depan yaa..,” pinta Aruna pada Arumi yang masih berdiri di depan kamar, saat ia memberikan uang padanya.

“Yaa kak, berapa bungkus beli nasi uduknya?” tanya Arumi, saat menerima uang yang di berikan Aruna.

“Coba tanya aja semuanya, siapa aja yang mau beli nasi uduk, atau mau beli apa untuk sarapan,” ucap Aruna, lalu Arumi pun berlalu dari hadapannya.

Dengan mengucek-ngucek wajahnya, Aruna melihat pada cermin yang berada di meja hiasnya. Ia hanya ingin memastikan efek dari rasa kantuknya tidak terlihat pada kantung matanya. Setelah itu, ia mengambil ponselnya dan menyalakannya.

Beberapa saat kemudian, ada dua pesan masuk ke dalam ponselnya, dan ketika dilihatnya, Sari dan Lukman mengirim pesan padanya kemarin malam. Sehabis membaca surat dari Lukman, Aruna lupa menyalakan ponselnya, karena ia sibuk memikirkan surat yang ia terima.

[Pesan masuk dari Sari : Runa, kemarin gue liat pak Lukman di Mal sama seorang cewek, dan gue liat sih seperti anak sekolahan gitu. Ternyata buaya darat dia yaa.]

Setelah membaca pesan singkat Sari, Aruna langsung menghubungi rekan kantornya untuk menanyakan kebenaran atas yang ia lihat, hanya saja sampai dua kali ia hubungi, tidak satu pun panggilannya dijawab. Entah mengapa, perasaan hati Aruna seperti terbakar cemburu membaca perihal hal yang dilihat oleh rekannya. Padahal, antara ia dan Lukman belum sama sekali menjadi sepasang kekasih.

Dalam hati ia bergumam, ‘Hmmm, apa ia itu Lukman? Kalau memang bener itu Lukman, kenapa Sari nggak photo dari kejauhan? Atau.. Sari yang berbohong yaa?’

Karena ia ingin mendengar langsung dari mulut Sari, maka Aruna berupaya untuk menghubunginya lagi. Saat ia menghubungi rekan kerjanya, Arumi memanggilnya.

“Kak.., sarapan dulu,” ajak adik bungsunya. Dan itu memutus panggilan telepon ke Sari.

Aruna pun keluar kamar menuju meja makan. Dilihat ayahnya dan kedua adik perempuannya sudah ada di meja makan.

“Apa kamu sakit.., Runa?” tanya ayahnya. Karena tidak biasanya ia terlambat bangun pagi. Lalu Aruna pun menjawab, “Enggak koq, Yah..”

Setelah itu, mereka pun sarapan bersama. Ayah sarapan dengan nasi kuning, sedangkan ia, Arumi dan Arimbi sarapan dengan nasi uduk. Melihat kedua adik lelakinya tidak di rumah, Aruna bertanya pada ayahnya.

“Kemana Aditya dan Andika, Yah?”

“Ooh, pagi sekali mereka udah izin ke ayah, katanya mau latihan futsal bareng pemuda lingkungan di sini, dan katanya akan ada pertandingan antar RW (Rukun Warga),” ucap Darmawan.

“Apa kamu ada rencana keluar hari ini?” tanya Darmawan pada Aruna.

“Enggak sih Yah.., memang ayah mau ada keluar rumah hari ini?” tanya Aruna sambil menikmati nasi uduknya. Sementara, kedua adik perempuannya telah selesai menyelesaikan makan siangnya.

Lalu, Arumi berkata padanya, “Kak, Arumi minta uang bayar lesnya.”

Mendengar permintaan adiknya, Aruna langsung menyelesaikan sarapannya dan meninggalkan meja makan berjalan ke kamarnya. Dan memanggil adiknya, “Rumi.., sini...”

Arumi berjalan ke kamar Aruna, sesampai di depan kamar, kakaknya memberikan uang les yang diminta. Lalu Aruna juga sekalian memberikan uang jajan Arumi untuk satu minggu. Arumi yang mendapat uang saku lebih cepat dari biasanya, bersorak bahagia.

“Horeee, uang jajan Rumi, di kasih lebih awal.”

Karena biasanya uang sakunya itu diberikan setiap hari Senin. Mendengar adiknya sudah mendapat uang saku lebih awal, Arimbi berlari kecil menuju kamar kakaknya dan berkata, “Kak, mana uang jajan Arim, koq Rumi aja yang di kasih lebih awal.”

“Katanya kamu hari ini libur tenang? Untuk apa uang jajan? Mendingan belajar, biar lulus dan dapat UI,” ucap Aruna, saat adiknya Arimbi masuk ke kamarnya. Sementara Arumi berpamitan dengan mencium tangannya dan berlalu dari kamarnya.

“Stress laah kak, belajar terus.., pengen jalan sama teman, biar fresh otaknya... Ayoo laah kak, mana uang jajan Arimbi,” rengek Arimbi dengan memegang tangan Aruna. Dan Aruna yang melihat adiknya merengek, meminta uang jajan yang seharusnya diterima hari Senin, lalu memberinya juga pada Arimbi.

“Terimakasih kakak sayang...,” senyum Arimbi dengan wajah ceria sambil mencium pipi kakaknya.

“Ingat Arim, jangan dihabisin.., atur yang benar uangnya..,” teriak Aruna dari dalam kamarnya.

Seperti itulah, sebagian kecil dari kegiatan dan kehidupan Aruna. Sebenarnya ia tidak menjadi tulang punggung bagi keluarganya. Hanya saja, tanggung jawab atas adik-adiknya menyangkut pendidikan adalah jadi tanggung jawabnya bersama adik lelakinya yang bernama Aditya.

Seperti saat ini, ketika ayahnya melihat secara langsung kedua putrinya meminta uang saku ke Aruna, timbul rasa sedih dihatinya, karena harusnya hal itu menjadi beban dirinya.

“Aruna.., ayah pergi dulu sekalian mengantar Arumi ke sekolah,” ujar ayahnya yang telah berada di halaman rumahnya.

“Iyaa, Yah.., hati – hati di jalan,” ucap Aruna yang langsung berlari ke teras, hanya untuk melihat ayah dan adiknya keluar dari rumah. Setelah itu, ia kembali ke dalam kamar lalu meraih ponselnya. Dilihat Sari mengirim pesan lagi padanya.

[Pesan masuk dari sari : Sorry.., Runa, gue baru bangun tidur.., napa? Tumben lo telepon gue.]

Melihat jawaban dari Sari membuat hati Aruna yang sedang kesal karena pesan pertama darinya, bertambah kesal. Sambil menghubungi rekan kerjanya, Aruna ngedumel dalam hati, ‘Dasar ember..., koq balik tanya kenapa, awas aja kalo bohong.’

Panggilan telepon kedua kalinya, baru di angkat oleh Sari, “Tumben lo telepon gue, ada apa?”

Mendengar jawaban Sari seperti tidak terjadi apa-apa, membuat perasaan hati Aruna dongkol dibuatnya. Lalu ia balik bertanya pada Sari rekan kerjanya.

“Laah.., kan lo yang kirim pesan ke gue kemarin, makanya gue tanya lo. Masalah pesan lo yang semalem itu, soalnya gue semalem enggak sempat buka ponsel sama sekali.”

“Ooh.., masalah pesan yang gue kirim ke lo semalem itu. Kan gue cuma ngasih tau lo.., memangnya lo sama pak Lukman udah jadian apa?” Sari berbicara seolah hal itu biasa-biasa aja, dan ia merasa dari nada bicara Aruna, seperti ingin memastikan kebenaran pesannya.

Mendengar Sari bertanya tentang hubungan antara ia dan Lukman, membuat Aruna terdiam sejenak. Ia baru menyadari, kalau dari nada suara dan tanya pada temannya itu, sepertinya ia tidak mempercayai rekan kantornya. Lalu ia mencoba meralat semua yang di ucapkannya dengan berpura-pura menanyakan kebenaran pesannya.

“Hello.., Runa.., lo masih online kan?” tanya Sari karena tidak mendengar suara Aruna di ujung ponselnya.

“Iyaa Sar, gue masih online, gini maksud gue, waktu lo ketemu sama si plontos di Mal.., lo liat dia dari bagian depan apa belakangnya?” tanya Aruna. Dan ia dengan sengaja menyebut Lukman ‘plontos’ karena ia tidak ingin rekan kantornya berpikir aneh-aneh tentang dia dan Lukman.

“Uhmm, emang kenapa? Tumben lo tanya sedetail gitu sama gue? Jangan-jangan lo yang naksir dia yaa? He..he..he.. udah ngaku aja,” ujar Sari dengan gelak tawa yang penuh dengan bahagia.

Aruna yang mendengar Sari meledek dirinya, ikut tertawa.., walaupun ia sendiri nggak ngerti kenapa dia bisa ikut tertawa bersama rekan kantornya. Karena Aruna sudah tidak mampu menahan rahasia tentang surat dari Lukman, akhirnya ia berkata

“Sar.., gue terus terang sama lo, kenapa gue sampai nanya sedetail gitu sama lo,” ujar Aruna pada sambungan telepon.

Sari lalu memotong ucapan Aruna, “Iya, kenapa.., jelasin ke gue.”

“Uhmm, pak Lukman itu, kirim surat ke gue,” ucap Aruna dengan mengecilkan volume suaranya.

Lagi-lagi Sari memotong penjelasan dari Aruna, “Kirim suraat? Ha.. ha.. ha.. , kayak zaman dulu aja. Ini bener-bener serius, Runa?”

“Ya seriuslah, ngapaen juga gue ngomong nggak serius. Gue ngomong sama lo, dua-rius tau!” ucap Aruna dengan nada dongkol.

“Tok.. tok.. tok, ka Runa.. Ka..,” Arimbi mengetuk pintu kamar Aruna yang sudah dengan pakaian rapi.

Dan Aruna yang mendengar ketukan dari daun pintunya menoleh ke arah ketukan itu, lalu berkata pada temannya yang masih berbicara di ujung telepon, “Tunggu ya Sar...”

“Ya Arim, kamu mau kemana?” tanya Aruna melihat adiknya yang telah bersiap-siap keluar rumah.

“Mau kumpul sama teman-teman, pamit dulu yaa ka..,” ucap Arimbi sambil mencium tangan Aruna.

“Ingat! Jangan malam pulangnya, dan kalau di telepon, angkat.. Ok!”

Arimbi tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Lalu kembali ia berbicara pada rekannya, “Hello..., Sar.”

“Iyaa, lanjuut.., gue sekarang yang dengerin lo cerita.”

Lalu Aruna bercerita secara detail dari awal, sewaktu ambil uang ke rumahnya, sampai pada surat yang dia terima. Kemudian dia bertanya pada rekannya “Sar..., menurut lo dia Kadal kan.., kalau memang yang lo liat itu bener.”

“Hmmm, menurut gue sih.., lo jangan salah sangka dulu, tetapi.., gue liatnya dari belakang, bukan dari depan dia, tapi gue pikir, dari perawakannya dan plontosnya, sepertinya dia sih.”

“Yakin lo? Lalu dia tadi pake topi apa nggak?” tanya Aruna dengan penasaran.

“Makanya gue bilang plontos, karena gue liat kepalanya, yaa enggak pake topi laah,” ucap Sari memberikan keterangan secara detail.

“Ooh.. begituuu, Fiks.., berarti bukan dia,” ujar Aruna dengan nada terdengar bahagia dan lega.

Dengan menghela napas dan beban yang terangkat dari hatinya ia menutup pembicaraan dengan mengucapkan, “Ok deh Sar.., gue mau rapi-rapi rumah dulu yaa.., met’ malam minggu.”.

Aruna menutup pembicaraan walaupun terdengar rekannya masih ingin berbicara padanya. Dan entah dari hasil pembicaraan antara ia dan Sari, ada perasaan bahagia, tidak gundah gulana seperti saat pertama ia mendapat pesan singkat dari Sari.

Dengan menghela napas panjang, ia kini membuka pesan dari Lukman, yang memang sengaja tidak ingin ia buka, sampai ia mendengar secara jelas, perihal pesan dari rekan kerjanya.

[Pesan masuk dari Lukman nasabah : Malam adinda.., saya minta maaf, kalau surat yang saya selipkan pada buku kantor itu, membuat kesal hati adinda. Sekali lagi saya minta maaf.]

Aruna tersenyum membaca pesan singkat dari Lukman, tapi ia juga bingung menjawabnya. Lalu ia coba untuk mengirimkan pesan pada Lukman. Hanya saja, baru ia menulis beberapa kata, kembali ia menghapusnya. Hingga akhirnya ia kembali mencoba menulis apa yang di rasakannya saat ini.

[Pesan keluar untuk Lukman : Selamat pagi pak Lukman, maaf saya baru balas pesannya. Kemarin saya lupa menyalakan ponsel saya. Suatu hal yang wajar bagi seorang lelaki bersurat pada seorang wanita. Jadi bapak tidak perlu meminta maaf seperti itu.]

Ada perasaan lega di hati Aruna, saat ia telah mengirimkan balasan atas pesan yang dikirimkan oleh Lukman. Lalu selesai ia mengirimkan pesan, ia pun keluar dari kamarnya dan sudah menjadi kebiasaan bagi Aruna, setiap hari Sabtu ia gunakan untuk mencuci pakaiannya dan pakaian ayahnya. Sedangkan semua adiknya sudah mencuci pakaiannya masing-masing. Setelah memasukkan pakaian di mesin cuci, Aruna kembali ke kamarnya.

Sesampai di kamar, ia mengecek ponselnya. Entah mengapa ia berharap Lukman membalas pesannya. Tetapi, tidak ada satu pun pesan yang masuk pada ponselnya. Kegelisahan hati Aruna membuat ia membaca kembali surat yang sudah ia baca kemarin malam.

Pada saat ia membaca surat untuk kedua kalinya, ia merasa, Lukman adalah sosok lelaki yang romantis. Hingga ia tersenyum-senyum sendiri dan mencoba mengingat dengan detail raut wajah dari Lukman.

‘Ehmm, kalau di pikir-pikir, pak Lukman itu orangnya serius tapi romantis juga, tetapi apa iya dia serius sama gue? Gimana ya caranya gue ngomong ke dia?’

Setelah itu, Aruna kembali pada pekerjaan rumahnya yang belum ia selesaikan. Kini ia mengambil pakaian yang telah di cuci dari mesin cuci untuk dijemur. Dan pada saat ia akan menjemur pakaian yang telah di ambil di mesin cuci, terdengar bunyi ponselnya, seketika Aruna berlari kecil ke kamarnya. Dan entah mengapa ia berharap Lukman yang akan menghubunginya. Sesampai di kamar, dilihat Sari kembali menghubunginya.

“Ya.. Sar, ada apa? Aku lagi sibuk nyuci nih,” ucapnya sedikit ketus, saat menjawab panggilan dari rekannya.

“Runa, kita jalan yukk, nanti gue traktir dah, temenin gue please..” pinta Sari pada Aruna.

“Tapi gue masih mau jemur pakaian,

. Memang lo mau jemput gue?” tanya Aruna, menyetujui rekannya, karena ia merasa ada yang akan di ceritakan Sari padanya.

“Ya udah sekarang gue jalan, lo sekarang mandi yaa.., biar enggak kelamaan gue nunggu lo dandan,” ucap Sari dan menutup perbincangannya dengan Aruna. Sementara Aruna, kembali ke halaman belakang untuk menjemur pakaiannya.

Selesai menjemur pakaian, ia pun bergegas ke kamarnya untuk mandi. Dan ia yang tumben mau di ajak keluar jalan oleh Sari di hari libur, sebenarnya juga curhat padanya. Dan ia juga yakin, kalau Sari ingin Shopping serta curhat padanya.

Sekitar dua puluh menit kemudian, Aruna telah selesai membersihkan diri dan berpakaian rapi. Selang beberapa menit terdengar bunyi klakson mobil dari luar halamannya. Lalu, Aruna pun berjalan membukakan pintu pagarnya.

“Ayoo, masuk dulu Sar,” pinta Aruna saat melihat mobil Sari sudah berada di depan pintu pagarnya.

“Sorry, lain waktu aja yaa gue mampir. Yuk.., kita langsung jalan,” ujar Sari yang masih di dalam mobil, saat Aruna berbicara lewat kaca pada pintu bagian depan.

Akhirnya Aruna pun menutup pintu pagar rumahnya, kemudian ia masuk ke dalam mobil yang di kendarai oleh Sari. Lalu mobil pun membawa mereka berlalu dari halaman rumah Aruna menuju sebuah Mal besar, tempat berbelanja dan makan bagi sebagian orang yang ingin menghabiskan waktunya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
madehilda
cie. cie Aruna mulai tertarik yaa sama si plontos.. lanjut thor
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status