Zara remaja selalu tampil ceria, menawan dan hidup berkecukupan. Orang-orang nampak menyukai sikapnya yang manis, apalagi senyumannya yang berlesung pipit dengan gigi gingsul yang mempertegas pesona alaminya Namun saat beranjak dewasa, keadaan seolah menarik semua keceriaannya. Meninggalnya sang ayah meninggalkan duka mendalam yang dialami Zara. Ayahnya bukan hanya meninggalkan duka bagi keluarganya, namun juga beban piutang yang tak sedikit nominalnya. Zara dewasa dilingkupi oleh kemurungan dan kesedihan. Hingga sebuah keadaan membuatnya terjebak dalam belenggu seorang pria berkuasa.
View MoreHingar bingar di sebuah klub malam di pusat kota nampak semakin hidup kala malam semakin gelap. Menelan pasang mata akan keindahan dunia yang fana. Menenggelamkan ratusan jiwa dalam kubangan hasrat.
Lampu temaram menari-nari di atas lantai dansa yang berkilauan, memantul dari gelas-gelas kristal berisi minuman mahal. Musik house berdebar-debar menggetarkan dada, membaur dengan aroma parfum mahal dan napas-napas mabuk. Bayangan-bayangan menari di balik tirai sutra, menyembunyikan bisikan-bisikan rahasia dan tatapan-tatapan penuh nafsu. Kemewahan semu menyelimuti ruangan, namun di baliknya tersimpan kegelapan yang mencekam. Zara benci ketika dirinya harus berada di tempat ini. Dirinya terus bergerak tak nyaman dan gelisah seolah ada bahaya yang diam-diam mengintai di belakang sana. Berulang kali Zara menurunkan kain yang melilit tubuhnya sebatas paha. Namun begitu pahanya sedikit tertutup, bagian atas tubuhnya akan menyembul keluar karena tertarik melindungi bagian bawahnya. Sapaan nakal dan tatapan genit dari lelaki hidung belang berulang kali Zara abaikan. Ia menahan napas setiap kali bisikan mesum dan tatapan genit lelaki hidung belang itu menyapanya, seolah mereka tak lebih dari udara yang berlalu begitu saja. 'Sial, kenapa bekerja di sini membuatku seperti jalang saja?!' gerutu Zara dalam benaknya. Sang bertender yang berada di balik meja hanya terkekeh melihat Zara yang semakin tertekan dengan keadaan. Jika saja ia tak terlalu butuh uang malam ini, ia tak akan mau bekerja di tempat ini. Tempat dimana manusia-manusia liar yang hanya ingin kesenangan semalam. Namun Zara bukan ingin mencari kesenangan. Ia hanya ingin mencari kebutuhan yang mendesak dirinya. Tiba-tiba, seorang pria dengan setelan hitam yang nampak acak-acakkan dengan berani menghampiri Zara dan menyentuh bahu gadis itu. Gerak tubuh dan tatapan matanya yang tak sinkron menandakan bahwa pria itu tengah mabuk. "Hei bitch, mau menikmati malam bersamaku?" tanyanya dengan wajah mesum. Bau alkohol terasa menusuk indra penciuman Zara membuatnya mual seketika. "Enyahlah!" Teriak Zara mendorong bahu pria itu. Pria itu terdorong ke belakang dan menatap sengit wanita yang baru saja ia goda. Ia merasa terhina dengan penolakan wanita itu. "Hei, dia hanya bisa menuangkan alkohol ke dalam gelasmu, tidak untuk kau raba-raba tubuhnya." Sahut sang bertender yang tengah meracik minuman. "Dia hanya sedang jual mahal!" ujarnya penuh yakin. Matanya menelusuri tubuh mulus yang memandangnya garang. "Kamu mau dibayar berapa? Aku sanggup memberinya." ucapnya pongah. Ia merasa begitu tertantang menaklukkan wanita di hadapannya ini. Zara hanya diam memandang sinis. Sang bertender pun dengan cepat menyela, "Cepat antar ini ke ruang VVIP nomor 6, biar aku urus pria ini." Dengan sigap Zara turun dari kursinya dan memakai masker yang sempat ia buka tadi. Rambutnya yang tergerai ia ke depankan dan semakin menutupi wajahnya yang cantik. Ia lantas pergi meninggalkan pria tadi yang berteriak tak terima diabaikan. "Hey, mau kemana? Dasar kucing nakal!" Zara menghembuskan nafas lega, kini ia tengah berjalan santai melewati lorong yang sepi dan temaram. Ia bisa sedikit tenang karena suasana di lorong begitu jauh dari hingar bingar musik di lantai bawah. Di dalam ruangan yang temaram dan sunyi, Zara masuk bersama trolinya dan tersenyum di balik kain masker yang dipakainya. Meskipun tak terlihat, namun Zara selalu merasa ia harus senyum terhadap pelanggannya. Zara pun meletakkan botol-botol dan gelas kaca yang begitu mengkilap memantulkan cahaya di atas meja bundar yang dikelilingi 6 orang pria. Ditengah kesibukannya, Zara terkejut dan sedikit gemetar kala melihat wajah yang familiar dari salah satu tamu di ruangan ini. Matanya berkilat tajam memperhatikan setiap gerak tubuhnya. Zara berusaha bersikap tenang, meskipun jantungnya kini berdebar keras takut sosok yang dikenalnya itu mengetahui dirinya yang sebenarnya. Diam-diam Zara menghembuskan nafas lega kala botol pesanan telah kosong di atas trolli-nya. Ia pun mengangguk dan berjalan ke luar ruangan. Namun sebuah suara berat mampu menahan langkah serta tarikan nafasnya. "Tunggu." Jantungnya semakin berdebar tak menentu kala melihat sosok itu masih meneliti dirinya dari tempat duduk. "Kau, kemari." titahnya menggema dalam ruangan temaram itu. "Buka maskermu sebelum keluar." ujarnya kembali memberi perintah. Nadanya begitu lantang tak terbantahkan. "Ada apa tuan? Apa penampilan saya mengganggu?" tanyanya lemah lembut, berharap suara aslinya dapat tersamarkan. "Saya sedang ada masalah dengan rongga mulut dan wajah saya." ujar Zara beralibi. Zara menggigit mulut bagian dalamnya berharap kebohongannya dapat dipercaya. "Cepat buka, atau aku akan menuduhmu sebagai mata-mata musuhku." tuduhnya langsung dan menusuk. Zara semakin tersudut oleh keadaan. Ia tidak tahu harus menggunakan alasan apa lagi untuk menghindari pria yang paling berkuasa di kampusnya itu. "Kau terlalu keras padanya, bro. Rilex saja, kita akan bersenang-senang di sini." timpal salah satu pria yang tengah menenggak alkohol dari botolnya. "Terlalu beresiko kalau kita lengah sedikit." gumam pria yang menuduh tadi seraya menyalakan sebatang rokok. "Nona, bisa tolong kau buka maskermu sebentar? Temanku ingin mengetahui wajah manismu." Salah satu temannya yang lain membujuk Zara dengan genit memunculkan tawa menggema di dalam ruangan. "Pria tua ini masih saja pandai menggoda. Ingat anak istrimu di rumah!" sela yang lainnya dengan tatapan menyela. "Saya jamin saya bukan mata-mata siapapun. Saya di sini juga hanya bekerja untuk malam ini saja." ujar Zara cepat, menimbulkan nada panik yang begitu kentara. "Kata-katamu barusan semakin menambah kecurigaanku." ujarnya semakin menekan kecurigannya. Raut ketakutan di wajah perempuan itu membuatnya semakin yakin ada sesuatu yang mencurigakan dari sosok di hadapannya ini. Zara menggeleng cemas, keinginannya untuk segera keluar dari ruangan ini semakin kuat. Namun tatapan pria itu semakin menyudutkannya. Ia yang tak berpengalaman di dunia malam dan pria dewasa tak tahu harus berbuat apa. Dengan sisa keberaniannya, Zara mendorong trolli yang dibawanya, menghancurkan meja beserta botol alkohol yang masih tersegel. Para pria disana terdiam sesaat melihat kekacauan di hadapannya, namun sedetik kemudian pria arogan tadi lantas berteriak seraya mengejar Zara yang berlari keluar. Matanya memancarkan ketakutan, takut identitasnya akan terbongkar, dan juga takut akan masalah yang akan ia hadapi setelah ini. Zara berlari sekuat tenaga, menyusuri lorong yang kali ini terasa begitu panjang. Di persimpangan, matanya melihat ke belakang di saat suara teriakan menggema tanpa terlihat sosoknya. Zara terus berlari dengan kelengahannya, hingga saat menoleh kembali ke depan, tubuhnya bertubrukan dengan sosok tinggi yang tak siap menahannya. Keduanya ambruk ke lantai dengan Zara yang menindih di atasnya. Keduanya sempat terpaku sesaat sebelum suara itu kembali menakutinya. Zara panik, dilihatnya sebuah pintu yang sedikit terbuka di samping kanannya. Dan entah kekuatan dari mana, ia berhasil berguling memasuki ruangan yang telah ia tendang pintunya menggunakan satu kaki, bersama pria yang ia timpa tadi. Dengan cepat, Zara menutup pintu erat, dengan degup jantung yang masih berkejaran. Ia begitu takut sampai-sampai kedua tangannya mencengkram erat pundak pria di bawahnya. "Kamu menyakiti saya." erang tertahan di bawah sana. Tama bisa melihat wajah yang berantakan dengan masker setengah terbuka. Zara tersentak mendongak menatap wajah yang masih ia tindih. Tanpa sempat mencerna, ia langsung berdiri dan menundukkan tubuhnya meminta maaf. Namun pria itu tak menjawab, Tama hanya terdiam seraya berdiri dengan bahu yang digerak-gerakkan setelah tertekan kuat. "Kenapa berlarian seperti itu? Kamu buronan polisi?" tanyanya menuduh. Zara menggeleng kuat, tatapan resah dan takut nampak semakin jelas menyergapinya. "B-bukan... Saya... Saya takut tamu dari ruangan yang saya masuki tadi menangkap saya." "Memangnya kenapa? Bukannya kau harus senang ada orang yang ingin membayarmu untuk semalam?" tanyanya menusuk. Namun Zara tidak terlalu memikirkan hal itu, hatinya masih kalut dan otaknya serasa kosong karena begitu ketakutan. "D-dia orang berbahaya, saya takut keselamatan saya akan terancam." ucap Zara gugup. Zara terdiam melihat pria itu mengabaikannya. Ia terlihat sibuk dengan ponselnya dan menghubungi seseorang. "Halo, Juan... Sepertinya aku batal bersenang-senang malam ini. Aku akan kembali ke kantor sekarang." ucap Tama tak minat yang disahut protesan dari seberang. Pria itu lantas menutup panggilannya tanpa menghiraukan lawan bicaranya. Setelah itu, si Tama kembali menatap Zara, begitu menusuk dan sarat akan kekesalan. "Kau, sungguh sudah membuat keinginan saya ke sini sirna!" ucapnya geram. Zara semakin menundukkan wajahnya dalam sehingga lehernya terasa pegal, "Maaf... Maafkan saya." lirih Zara. "Sudahlah." ujar Tama sambil berlalu. Tangannya hendak meraih knop pintu, namun Zara menahannya. Tatapannya semakin menajam menatap Zara. "Kenapa kau masih menahanku? Aku tidak mau ikut campur dalam urusanmu!" ucapnya geram. Ia menghempaskan tangan itu dan membuka pintu. Namun gerakan tak terduga membuatnya terkejut begitu mendengar suara gebrakan di hadapannya. Pintu kembali tertutup rapat. Zara terlihat nekad mendorong pintu dengan sekuat tenaga, lalu menggantikan tubuhnya sebagai penahan. Dengan berani Zara menatap Tama yang terdengar mendengus kesal. "S-saya, saya pasti akan dipecat malam ini dan harus mengganti kerugian besar. Orang-orang tadi juga pasti akan terus mencari saya." Zara menceritakan dengan sedih derita yang akan dilaluinya selepas kejadian tadi. Berharap mendapat simpati dari pria tersebut. "Lalu?" Dengan kekesalan yang semakin menumpuk, Tama mengurung Zara dan semakin menekannya ke pintu. "Saya minta tolong, tuan... tolong bantu saya." Zara mengesampingkan ego dan harga dirinya kali ini. Ia yakin pria di hadapannya ini bisa membuat dirinya terlepas dari kejadian yang tengah dihadapinya sekarang. "Kalau... Kalau tuan sudah tak mau senang-senang di sini, saya, saya bisa menyenangkan tuan di tempat lain. Ya, di tempat lain." ucap Zara putus asa. Lebih baik ia memberikan dirinya kepada pria ini dan dapat membantunya keluar dari kejaran rektor yang tengah memburunya itu. Ia percaya pria matang ini bisa membebaskannya, melihat dari aura serta penampilannya yang berkelas, terlihat bukan orang sembarangan. Tama terdiam, memandang tubuh Zara keseluruhan secara intens beberapa saat. Ia memang tergiur untuk bersenang-senang dengan gadis muda ini, melihat tubuhnya yang seksi di balik pakaian mininya ditambah wajahnya yang cantik, membuatnya tergoda. Namun seks bukanlah hal yang perlu ia utamakan selama ini. Ia masih bisa menahan dirinya. Tama menegakkan tubuhnya. Membebaskan Zara dari kukungan tubuhnya. "Tidak, tak ada gunanya untuk saya. Saya sudah tak minat." tolaknya pasti. Hal itu membuat Zara panik, "Tuan tega sama saya? Saya lagi kesusahan. Ibu saya sedang sakit dan bapak saya sudah meninggal. Dia juga meninggalkan banyak hutang yang harus saya lunasi. Tolong tuan." Zara semakin kalut dan tak bisa menahan air matanya. Bisa dipastikan malam ini ia tidak bisa keluar dari tempat ini. Orang-orang tadi akan terus mencarinya dan si pemilik akan terus mengejarnya untuk ganti rugi. Itu semua karena rasa panik dan sikap cerobohnya! "Kamu tidak sadar kalau kamu sedang mengemis kepada saya?!" ucap Tama membentak, membuat Zara berjengkit kaget akan suara kerasnya. Sadar akan intonasi suaranya yang meninggi, Tama melembutkan nada bicaranya, meskipun masih terdengar datar dan sinis. "Saya tidak suka orang yang mengemis belas kasihan kepada saya. Terlalu naif dan tidak bisa mengandalkan dirinya sendiri." "Saya sudah berusaha sejauh ini tuan, tapi saya benar-benar terdesak saat ini." cicit Zara. Ia sudah bekerja keras seharian ini. Ibunya membutuhkan obat serta biaya rumah sakit. Dan ia masih kekurangan uang hingga memutuskan untuk bekerja di tempat hiburan sebagai pelayan. "Tolong bantu saya." ucap Zara penuh harapan. Mata bulatnya memandang penuh harap kepada Tama yang terdiam tengah mempertimbangkan. Hingga beberapa saat kemudian, Tama menghembuskan nafas jengah dan berkata, "Saya akan membantumu, jadi apa yang harus saya lakukan dulu saat ini?" Zara merasakan sedikit angin bebas saat ini, ia pun menatap sumringah kepada Tama seperti anak kecil yang telah diberi hadiah. "Bebaskan saya dari mereka dulu. Dan jangan sampai mereka membuka masker saya dan mengetahui identitas saya." pinta Zara sebelum pintu di belakang tubuhnya terdorong keras hingga ia terlempar ke depan.Di salah satu ruangan di rumah sakit, Zara menatap ibunya yang sadar dan tengah terbaring. Di sampingnya terdapat seorang dokter dan juga perawat yang tengah memeriksa perkembangan kondisi ibunya. Sedari tadi ia memperhatikan dalam diam bagaimana dokter dan perawat itu bekerja, ia tak mau mengganggu kinerja mereka karena kehadirannya itu."Bagaimana keadaan ibu saya dok?" tanya Zara setelah mereka dirasa selesai memeriksa ibunya."Sudah cukup membaik. Mungkin dua atau tiga hari lagi sudah bisa pulang jika grafik perkembangan kesehatannya naik, terutama tekanan darahnya."Zara tersenyum senang, perasaannya amat bersyukur mendengar kondisi ibunya semakin membaik. "Terima kasih, dok.""Oh ya... Pukul 9 nanti ibu anda bisa dialihkan ke ruangan vvip no 11. Nanti ada petugas yang membantu.""Zara, kenapa ibu dipindahin? Kamar vip pula?" tanya Ajeng hera, dari mana sang anak memiliki uang untuk menempatkannya di ruang vip ini."Ehm
Butuh waktu 30 menit waktu yang diperlukan dalam menyelesaikan kontrak perjanjian. Dan selama itu, Zara hanya terdiam, matanya menatap kosong jendela besar yang menghadirkan cahaya hangat di pagi hari.Pikirannya berkecamuk membayangkan kejadian-kejadian yang akan dialaminya di masa depan.Tinta hitam pada lembaran perjanjian itu masih basah, menandakan ikatan yang baru saja terjalin—ikatan yang mengikat Zara pada rahasia kelam bersama Tama.Zara menatap Tama yang menatap puas pada lembaran asli di tangannya,- sementara Zara hanya menerima salinannya.-Isi dari kontrak tersebut benar-benar membuatnya seperti budak saja. Budak yang harus memenuhi segala perintah majikannya. Setidaknya ada poin yang menguntungkan Zara dimana selama perjanjian, Tama akan menanggung semua finansial yang dibutuhkan Zara, berapapun itu."Apa sudah selesai?" tanya Zara memandang Utama datar. Ia perlu udara segar di luar setelah merasa bahwa udara di kamar hotel itu terasa
Zara membuka mata, cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah gorden, menyilaukan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba membiasakan diri dengan cahaya. Ingatan semalam masih begitu jelas, setiap sentuhan, setiap bisikan, setiap janji yang diucapkan ketika merasakan euforia-euforia yang kini terasa hampa dan menyakitkan. Tubuhnya terasa remuk, bukan hanya lelah fisik, tetapi juga lelah batin yang menghancurkan. Sentuhan Utama tadi malam, bukan sentuhan cinta, melainkan transaksi yang memalukan. Setiap sentuhan terasa seperti luka bakar yang tak akan pernah sembuh. Air mata mengalir deras, membasahi bantal yang masih berbau parfum Utama—parfum yang kini menjadi simbol pengkhianatan dirinya sendiri. Ia telah kehilangan sesuatu yang tak ternilai harganya, sesuatu yang takkan pernah bisa kembali. "Ya Tuhan..." gumamnya masih tak menyangka. Berharap ia kini berada di dalam semua mimpi yang tak akan pernah selesai. Ia takut untuk kem
Tama memasuki klub malam yang terletak di pinggiran kota. Tempat itu bukan klub elit yang berisi para borjuis yang selalu meluangkan waktunya untuk membuang uang. Tempat itu begitu gelap dan lebih liar dari yang ia bayangkan. Namun Tama tidak ada tujuan untuk bersenang-senang disana, ia ingin menemui seseorang yang sudah ia rencanakan sebelumnya. Di sampingnya, Juan sang asisten setia berjalan menemani dirinya. Matanya yang jelalatan tampak tak pernah berkedip sejak pertama kali memasuki klub. Memandang pyudr* serta bokong bulat setiap perempuan yang dilewatinya. Tama kemudian menaiki tangga menuju ruangan yang telah diberitahu oleh suruhannya. Sampai disana, ia melihat sosok pria tua yang telah menunggunya, duduk sembari menikmati segelas wine di tangannya. Suasana di dalam ruangan begitu senyap dan redup yang membuat ruangan itu terasa begitu privasi. "Selamat malam,
30 menit waktu yang ditempuh untuk Zara sampai di rumah sakit tempat ibunya di rawat. Ia turun di halte depan dan harus berjalan beberapa ratus meter untuk sampai di pintu utama rumah sakit.Dalam perjalanannya, Zara menikmati semilir angin yang berhembus menerpa tubuhnya. Matahari kini hanya menyisakan cahaya semu berlangitkan kelabu.Suasana sekitar nampak sepi dan hanya terdengar suara deru kendaraan di jalanan.Zara memperhatikan sebuah mobil hitam yang terparkir di depan pintu depan rumah sakit. Ia memelankan langkahnya disaat pandangannya tertuju pada tiga orang pria berpakaian hitam dengan gerak gerik yang mencurigakan.Mereka nampak memperhatikan suasana sekitar hingga tak lama kemudian dua orang yang berpakaian sama nampak keluar dari dalam gedung rumah sakit menghampiri mereka.Zara mencoba abaik dan berjalan seperti biasa. Ia menundukkan pandangannya kala jarak dengan keberadaan mereka semakin dekat. Entahlah, aura orang-orang
Di dalam kamar yang luas itu, Zara telihat sedang menangisi takdirnya yang merasa dipermainkan. Matanya menatap Tama dengan benci. Ia tak menyangka akan dipermainkan oleh pria dewasa yang baru ia temui. "Lalu, apa maksud om membawaku masuk ke tempat tinggal Om Tama? Tidak mungkin kan hanya sekedar meminta dipijat?" tanyanya tergugu. Air mata masih mengalir diiringi isak tangis yang terdengar menyayat hati. Tama menghembuskan nafas kasar, ia tak menyangka akan berakhir secara dramatis seperti ini. Dirinya masih terdiam beberapa saat menunggu tangis gadis itu mereda. Namun yang ada Zara malah bertanya dengan nada keras. Membuat egonya merasa tersinggung. "Ternyata benar, kamu begitu naif. Kamu selalu berprasangka seolah saya begitu buruk. Padahal saya yang membantumu kemarin." ucap Tama membela diri. Sialan, seharusnya ia tak ragu dengan keputusannya tadi. Namun karena rasa iba yang mendominasi, ia menahan hasratnya serta mengurungkan niatn
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments