Share

05. Aira's

"Elusan lembutmu dulu, masih membekas di benak. Seakan memberitahukan bahwa kau masih menyayangiku sebagai seorang anak."

Aira

***

Upacara bendera siang tengah dilaksanakan untuk penutupan kegiatan Mos yang t'lah berhasil dilaksanakan dalam waktu satu minggu ini.

Berdiri di antara barisan paling depan mengharuskan aku untuk bersikap sempurna tanpa menambah gerakan lain.

Mendengarkan ibu yang sedang berbicara di depan karena menjadi pembina upacara juga salah satu penyebab aku untuk tetap taat.

"Terima kasih anak-anak. Berkat kalian semua Mos tahun ini berjalan lancar walau kemarin ada sedikit kendala tapi tak apa, yang penting kalian tetap menjadi anak berprestasi dan mampu membanggakan orang tua serta sekolah. Ibu lihat kalian ini adalah anak-anak pintar yang sekolah harapkan." Mungkin juga ibu tengah menyindirku.

Aku rela mendengar semua perkataan ayah dan ibu yang akan membuat hati ini sakit. Sebenarnya badanku semakin tidak enak, namun tak berani berbicara pada siapapun.

Mata sudah berkunang-kunang, dada sesak, tenggorokan sakit dan kepala pusing yang akhirnya membuat aku ambruk tak mampu bertahan sampai upacara selesai.

Sebelum benar-benar hilang kesadaran aku melihat semua orang mengerubungi dan yang paling depan adalah Indro, ibu dan Ridwan.

Saat mata benar-benar ingin menutup kurasakan tubuh melayang. Samar-samar wajah Ridwan sangat dekat dengan wajahku.

Setelah itu tidak ada lagi yang kurasakan sampai saat membuka mata, aku sudah berada di UKS. Sambil mengucek mata agar penglihatan semakin jelas, terlihat Ridwan tengah bermain ponsel di bangku dekat pintu.

Aku meringsut duduk barulah Ridwan menyadari. Dia buru-buru memindahkan kursinya ke samping ranjang tempatku.

"Kamu udah enakan?" tanya dia.

Aku mengangguk pelan. "Udah!"

"Kamu demam! Tadinya aku mau bawa kamu ke rumah sakit, cuma bu Adila melarang karena katanya kamu kalo sakit cuma butuh istirahat cukup," jelas Ridwan yang membuat aku membisu.

Mata pun terasa perih setelah mendengarnya. Mengapa ibu seperti tak peduli dengan kondisiku.

Ridwan menyentuh tanganku. "Kamu gak pa-pa?" tanya dia yang menyadari aku terdiam.

Aku menggeleng sambil menyeka air mata yang akan luruh. "Gak pa-pa. Aku emang cuma butuh istirahat yang cukup aja."

Ridwan seperti tak percaya sepenuhnya. "Tapi kayaknya kamu butuh ke rumah sakit, deh. Soalnya muka kamu pucat banget," ucap dia sambil terus memandangi wajahku.

"Gak usah! Aku mau pulang. Ibu nyuruh aku pulang cepet," ucapku yang hendak turun dari ranjang namun Ridwan mencegah.

"Sekolah baru bubar sepuluh menit lalu. Memangnya bu Adila gak bareng sama kamu?" tanya Ridwan yang membuat aku tegang.

"Gak!" jawabku singkat.

Ridwan seperti kaget dengan responku. "Yaudah biar aku anter pulang," tawar Ridwan yang aku balas gelengan kepala.

"Kenapa? Lumayan gak akan sesak kayak naik angkot," ujarnya.

"Terserah saya mau pulang naik apa! Yang penting saya tenang," ketusku.

"Maksudnya?" tanya Ridwan.

Aku sudah berjalan satu langkah. "Kamu gak tau kehidupan aku bagaimana! Jadi jangan pernah dekat sama aku tanpa ada hal penting atau keperluan mengenai sekolah," jelasku tanpa melirik.

"Apa salahnya aku menolong kamu. Sudah tugas aku sebagai ketua osis untuk bertanggung jawab."

"Aku tau! Tapi selain itu jangan pernah dekat dengan aku." Aku lihat ekspresi wajah Ridwan yang terkejut.

Aku berjalan meninggalkan Ridwan sendiri di UKS. Walaupun badan ini masih terasa tidak enak, aku terpaksa harus pulang awal sesuai perintah ibu.

Sudah beberapa menit menunggu angkot di depan gerbang sekolah tapi masih tak kunjung datang. Padahal ini sudah lewat jam 14.00 aku bisa kena marah oleh ibu karena pulang telat.

Dari pada menunggu angkot yang tak pasti lebih baik aku berjalan kaki dan berharap nanti angkot datang.

Baru sampai halte bis aku sudah merasa kelelahan mungkin efek dari tidak enak badan. Akhirnya aku memutuskan untuk beristirahat sejenak di halte.

Saat aku menunduk suara mobil berhenti. Belum sempat berbicara suara seseorang sudah lebih dulu membuka keheningan ini.

"Masih belum pulang juga? Katanya disuruh pulang cepet!"

Perlahan aku mengangkat wajah. Ridwan sudah berdiri sambil bersidekap di depanku. "Lho?" Aku terkejut mengapa dia belum pulang?

"Aku, kan, udah bilang tadi biar diantar aja. Kenapa nolak, Ra?" tanya dia yang langsung duduk.

Anak ini memang so dekat dan so kenal. Padahal jabatan dia tinggi di sekolah ini, apalagi dia sangat pintar sampai-sampai setiap olimpiade selalu juara.

"Gak pa-pa!" jawabku singkat.

"Kamus cewek emang isinya kata-kata dengan arti yang sulit," gumamnya.

"Maksudnya?" tanyaku.

"Kamu kenapa nolak aku anter pulang?" Pertanyaan yang sama.

Aku menatapnya tanpa ekspresi. "Andai kamu tau gimana kerasnya hidup aku. Pasti kamu gak akan pernah mau kenal sama aku!" ujarku dengan air mata yang berlinang.

Ridwan kembali menatapku. "Kamu kenapa?"

Aku memalingkan wajah dan berdiri. "Aku permisi keburu sore," pamitku yang langsung berlari.

Aku kembali menangis siang ini. Masalah selalu menghantui seperti tak ingin pergi dari hidupku. Walau kecil hukuman yang aku dapatkan tetap sama.

"Aku capek!" lirihku sambil berlari.

Keringat sudah membanjiri tubuhku. Di bawah terik matahari tubuh ini menahan sesak akibat berlari. Aku tahu dengan hal ini tak akan membuat aku cepat sampai ke rumah karena seringnya berhenti.

Rasa pusing juga semakin terasa. Tubuh semakin lelah, dan perjalanan masih jauh. Waktu sudah menunjukkan pukul 14.50 aku sudah telat hampir satu jam setengah.

Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang? Ibu dan ayah pasti akan marah besar. Apa mungkin juga kak Andi sudah sampai rumah. Jika ya! Sudahlah hukuman pasti kembali datang.

Belum sempat kaki ini melangkah lagi suara klakson mobil terdengar nyaring di belakangku. "Mau sampai kapan kamu lari dalam kondisi sakit, Ra?" Ridwan lagi.

Aku menggeram sambil menghentakkan kaki. "Arrggghh!"

Mobil maju menjadi di sampingku. "Ra daripada kamu telat pulang karena jam segini belum sampe, mending aku anter sampe depan komplek," tawar Ridwan kembali.

Aku terdiam dan berpikir keras. Jika sampai gerbang komplek mungkin ayah dan ibu tidak akan melihat dan gak akan marah.

Setelah menimbang aku menoleh pada Ridwan. "Gak pa-pa emang?" ringisku.

"Kalo gak boleh kenapa aku nawarin, Ra?"

"Buka aja, Ra! Kita buru-buru biar orang tua kamu gak marah."

Aku langsung masuk ke mobil. Tak lama kemudian mobil berjalan dengan kecepatan tinggi. Tak ada percakapan lagi setelah itu, bahkan aku terus terdiam memikirkan alasan yang pas agar nanti tak kena marah ayah dan ibu.

"Memangnya bu Adila galak kalau di rumah?" tanya Ridwan menghancurkan lamunanku.

"Akh! Kalo aku nakal ibu marah," jawabku sambil tersenyum kecut.

"Sebenarnya ada hal yang mau aku tanyain ke kamu," ucap Ridwan.

"Apa?" tanyaku.

Ridwan menarik napas panjang. "Kenapa setiap kamu melakukan kesalahan kecil bu Adila selalu menghukum dengan hukuman yang keras, Ra? Padahal kamu anaknya. Yang aku kenal sejak masuk SMA bu Adila itu gak pernah membentak anak muridnya."

Setelah mendengar penuturan Ridwan aku langsung membenturkan kepala ke kursi. "Karena aku bodoh! Dan orang bodoh yang mereka benci!" batinku menjerit.

Aku tersenyum kecut. "Ibu bilang kenakalan selalu diawali dari hal kecil. Makanya aku selalu dihukum jika melakukan kesalahan." Aku melirik Ridwan yang malah tersenyum hambar.

Diperkirakan Ridwan kurang percaya dengan perkataanku. "Lagian gak penting juga buat Kak Ridwan," ucapku.

"Aku boleh, kan, melindungi kamu, Ra?"

Jika bukan karena perbedaan mungkin aku akan berkata iya. Tapi karena perbedaan dan aku selalu dibedakan membuat bibir ini kelu untuk menjawab.

Aku bahkan membisu dan membiarkan Ridwan menunggu jawaban yang takkan pernah keluar dari bibirku.

"Udah sampai, Kak!" ujarku datar.

Aku keluar dari mobil setelah mengucapkan terima kasih. Ridwan seperti enggan berkata lagi saat melihat aku seperti terbebani oleh pertanyaan sederhananya.

Aku berjalan masuk komplek meninggalkan mobil Ridwan yang masih terparkir. Tubuhku semakin tak enak sekarang. Mungkin saat membuka pintu rumah suara bentakkan ayah menyambut kedatanganku.

Air mataku luruh tak terbendung. "Ayah-ibu mengapa aku dibedakan?"

***

Tbc

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status