Share

04. Aira's

"Aku rela memisahkan diri. Dari pada bersama namun terluka."

Aira

***

Jam beker berbunyi nyaring membangunkanku tepat di pukul 04.00. Walau masih mengantuk tetap terpaksa bangun sebab hari ini jadwalnya aku mencuci baju.

Aku duduk di tepi ranjang. Rasanya kepala ini pusing dan badan terasa dingin. Apa karena kemarin sore aku menerobos hujan? Sudahlah! Dari pada kena marah ayah lagi mending aku mencuci baju sekarang.

Aku mulai mengumpulkan pakaian kotor yang berserakan di kamar. Selanjutnya aku berjalan menuju kamar ayah dan ibu. Di luar kamar sudah ada satu keranjang pakaian kotor milik mereka.

Aku membawa semua pakaian kotor ke belakang. Mencuci pun ibu melarang menggunakan mesin. Kata dia, "Jangan pake mesin cuci biaya listrik mahal. Ini dipake kalo Ayu sama Andi ada." Pasti semuanya tentang mereka berdua, anak kebanggaan ibu dan ayah.

Sebelum mencuci aku terlebih dahulu mencuci wajah agar tak merasa ngantuk. Sebenarnya badan terasa remuk tapi apa boleh buat pekerjaan rumah sangat menumpuk.

Mengembuskan napas panjang lalu duduk sambil memandang cucian yang sangat banyak. Aku harap sebelum jam enam semuanya sudah selesai.

Sambil mengucek pakaian otakku tak berhenti mengkhayal. Menerawang masa depan yang selalu membuatku meringis takut.

Kata ayah orang bodoh adalah kehadiran buruk;

Jika di antara lima jemari tangan ada yang putus maka keindahannya akan hilang;

Jadi jika keluarga 5A memiliki anggota yang bodoh seperti Aira, berarti 5A tak memiliki keindahan khas-nya.

Aku tersenyum kecut. Mengingat apa yang selalu ayah katakan. Ternyata orang bodoh adalah perusak kebahagiaan seseorang.

Tak terasa aku sudah selesai mencuci tepat pukul 05.06. Langsung saja aku jemur.  Setelah  selesai buru-buru aku sholat subuh.

Setiap sujud terakhir selalu ada permintaan pada sang kuasa. Permintaan ini selalu dibarengi tangisan, berharap semua terkabulkan.

Selesai sholat aku langsung bergegas ke dapur untuk memasak sarapan sederhana. Nasi goreng adalah andalannya. Saat berkutat di dapur aku sudah melihat ibu dan ayah mengenakan pakaian kerja mereka.

Lalu aku masih memakai baju tidur yang telah lusuh. Sekarang sudah pukul enam. Mereka biasa berangkat pukul 07.00. Masih ada waktu untuk aku mandi dan berangkat bersama.

Ibu dan ayah sudah duduk di meja makan menunggu sarapan. Mereka sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Tak lama aku selesai dan membawa tiga piring nasi goreng lalu diletakkan di depan mereka masing-masing.

Tak ada percakapan untuk pembuka pagi ini. Kami hanyut dalam keheningan dan menikmati nasi goreng tanpa pujian.

Aku mendengus. Mungkin selamanya akan seperti ini, berbeda jika kak Ayu dan kak Andi yang memasak mereka pasti terus memuji tak henti.

Ayah sepertinya masih marah, terlihat dari sorotan mata tajamnya. Bahkan aku takut untuk sekedar menatap sekilas, dan aku hanya mampu melihat dari ujung mata.

Nasi goreng milikku lebih dulu habis. Hendak pergi namun ibu malah memanggil. "Aira!"

Aku kembali duduk dan mengangguk. Ibu menoleh malas. "Kamu jangan berangkat sekolah sama ibu lagi," ucapnya yang membuat aku menatap heran.

"Kenapa?"

"Anggap saja sebagai hukuman atas perbuatan kamu tadi malam," jelas ibu yang diangguki ayah.

Hati ini kembali sakit. Banyak hukuman mengintai dalam hidupku. Atas kesalahan sederhana yang seharusnya tak dipermasalahkan.

Dengan tatapan sendu aku mengangguk patuh. "Baik, Bu, Yah!"

"Satu lagi! Kamu pulang cepat nanti, karena kamu harus bantu Ibu masak. Sore ini Andi pulang, kamu juga harus pindah kamar ke kamar dekat dapur."

Satu kali lagi hati ini kembali sakit. Ini memang sudah menjadi tradisi. Saat dua anak kesayangan ayah dan ibu pulang aku harus pindah ke kamar dekat dapur.

Karena jika hanya kak Andi yang pulang pun aku tidak diperbolehkan tidur di kamar kak Ayu, karena dulu tak sengaja aku menjatuhkan satu piala milik kak Ayu. Jadi sampai sekarang ayah dan ibu melarang.

Dengan hati terpaksa pula aku mengangguk patuh. "Baik! Nanti Aira beresin barang-barangnya pulang sekolah."

Ayah dan ibu mengangguk dan langsung meninggalkan aku sendirian. Setelah mereka pergi barulah air mata ini dapat luruh.

Tanganku mengepal kuat untuk menahan isak tangis serta sesak di hati. "Mengapa aku selalu kalian sakiti?" lirihku.

***

Ini hari terakhir Mos. Dari jadwal yang ku baca banyak sekali kegiatan yang akan dilaksanakan. Tapi aku sama sekali tak punya semangat untuk melakukan aktivitas tersebut.

Aku tengah duduk di bangku tepi lapangan sendirian. Tak enak badan, pagi-pagi sudah dibuat menangis, dan sekarang tidak ada teman untuk bertukar cerita.

Indro? Aku tidak tau di mana anak itu. Mungkin belum datang atau … sedang mengobrol dengan teman-teman barunya.

Mungkin aku memang ditakdirkan untuk selalu sendiri. Hanya kak Andi yang mampu menerima aku apa adanya. Tapi ayah dan ibu selalu melarang kedekatan kami, dengan alasan, "Aira bodoh mana mungkin akan nyambung sama kamu yang pintar."

Aku kembali tersenyum kecut. Dulu diperlakukan bak ratu, namun sekarang seperti pembantu. Di usia remaja yang seharusnya terbang bebas tapi aku berbeda. Selalu dituntut untuk menjadi orang pintar oleh ayah dan ibu dan bukan kemauanku.

Melayang aku

Kau buat kuterbang tinggi di awan

Terhanyut aku

Setiap kudengar syair cintamu

Nyatakah semua

Yang terjadi pada setiap hariku

Kuterhanyut saat kau berjanji

Dan kau wujudkan mimpi yang terindah

Di setiap malam agar aku tersenyum

Terjaga dari tidurku

Dan kau jadikanku ratu di kerajaan cintamu

Agar aku pun bahagia

Hidup berdua denganmu selamanya

Nyatakah semua

Yang terjadi pada setiap hariku

Kuterhanyut saat kau berjanji

Dan kau wujudkan mimpi yang terindah

Di setiap malam agar aku tersenyum

Terjaga dari tidurku

Dan kau jadikanku ratu di kerajaan cintamu

Agar aku pun bahagia

Hidup berdua denganmu selamanya

Selamanya kau rasakan indah harimu

Dengar kasihku, selalu tersenyum dirimu oh kasih

Denganku selalu selamanya

Dan ku wujudkan mimpi yang terindah

Di setiap malam agar kau tersenyum

Terjaga dari tidurmu

Dan ku jadikan kau ratu di kerajaan cintaku

Agar kau pun bahagia

Hidup berdua denganku

Selamanya

Mungkin peran ayah dan ibu tak seperti dulu yang selalu memperlakukan aku bak ratu. Tapi aku selalu berkhayal bahwa mereka tetap sama seperti dulu.

Lagu yang baru saja aku nyanyikan sedang tranding. Aku suka mendengarnya, rasanya bisa meneduhkan hati yang selalu gundah.

Walau tak nyata terjadi, aku berharap suatu saat nanti semuanya kembali seperti dulu. Ayah dan ibu yang tak pernah marah, kak Ayu yang tak pernah membentak, dan kak Andi yang tak akan meninggalkan aku sendirian.

Janji mereka masih terpatri dalam hatiku. Walau semuanya berakhir ketika …

"Aira berbeda dengan Ayu dan Andi Pak Adam."

"Maksudnya Bu?"

"Ayu dan Andi memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Berbeda dengan Aira! Nilai akademiknya sangat rendah bahkan di bawah KKM."

"Tapi Aira selalu aktif di rumah."

"Apa Aira di rumah selalu belajar?"

Ayah menggelengkan kepalanya perlahan. "Tapi dia sering membaca."

Kulihat lapangan yang terbentang luas. "Mengapa aku dibedakan?"

***

Tbc

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status