LOGIN"Aaaaaaaaaaaaaa."Bagas membiarkan istrinya itu berteriak kencang sesaan setelah mereka menginjakkan kaki di bandara Belanda.Biya berhenti mendadak, menatap sekeliling dengan mata membulat. Angin belanda terlalu segar di rasa atau memang Biya saja yang berlebihan dalam euphoria kepindahannya ke Belanda.“Mas,” katanya pelan tapi penuh tekanan, “ini, kita beneran pindah.”Bagas menatapnya beberapa detik. Lalu mengangguk. “Iya.”Biya menarik napas panjang, lalu menghembuskannya keras. “Aku kira aku bakal biasa aja. Ternyata enggak.”Bagas mendekat dan memeluk pinggang ramping istrinya. Menatap wajah berseri itu kala mereka benar-benar tiba di Belanda. Perjalanan menuju rumah baru memakan waktu kurang lebih 40 menit- yang mana Biya pun tidak tahu bagaimana penampakan rumah baru mereka."What the- ini beneran rumah kamu?" tanya Biya dengan kekaguman."Rumah kita," koreksi Bagas.Biya kira mereka akan tinggal di apartemen besar di lantai paling atas dengan pemandangan kota. Namun, justru
Biya memutar tubuhnya sedikit, menghadap suaminya. Matanya bertemu dengan mata Bagas yang gelap, penuh cinta dan keinginan.“Aku juga,” Biya mengakui dengan pelan, tangannya naik ke dada Bagas, merasakan detak jantung yang sama cepatnya.Biya berbalik dan kembali bersandar rileks di dada Bagas, napasnya sudah tenang sepenuhnya. Tangan Bagas yang tadinya hanya memeluk pinggang istrinya kini mulai bergerak lebih lambat, lebih berani dengan jari-jarinya menyusuri kulit perut Biya yang halus, naik perlahan hingga menyentuh tepian payudaranya.“Sepertinya memang Mas sudah tidak tahan, sayang,” bisik Bagas yang gagal menekan keinginannya.Biya menggigit bibir bawahnya pelan, merasakan getaran kecil di tubuhnya. “Mas,” desahnya lembut, bukan protes, melainkan seperti undangan.Air hangat di bathtub masih menyelimuti mereka berdua, gelembung busa perlahan menghilang seiring waktu. Bagas tersenyum di balik leher istrinya, bibirnya mencium pelan kulit pundak Biya yang basah.“Hmm?” jawabnya ser
Tidak ada malam pertama yang katanya banyak orang harus dilakukan, karena Biya sudah lebih dulu tertidur setelah bertanya satu hal terakhir pada suaminya itu. Dan saat matahari mulai memunculkan dirinya dengan malu-malu, barulah Biya menyadari bahwa kini hidupnya akan sangat berwarna dengan kehadiran seseorang yang akan menemaninya seumur hidup."MASSS!"Teriakan itu menyadarkan Bagas dari tidurnya, pria itu langsung terduduk dengan mata setengah terduduk. Sangat lucu dengan wajah linglung, rambutnya acak-acakan, ekspresinya kosong beberapa detik sebelum fokus.“Kenapa?” suaranya serak, refleks.Biya duduk di ranjang, selimut terlepas setengah. Wajahnya panik tapi bukan panik besar.“Jam berapa?”Bagas mengerjap, menoleh ke kanan-kiri untuk mencari ponselnya. Namun, sayangnya ponsel itu belum juga ditemukan. "Ponsel, sayang. Di mana?"Benar-benar kekacauan pagi hari, suami-istri yang sedang mencari ponsel. Biya khawatir mereka akan ketinggalan pesawat untuk terbang ke Belanda, menging
Bagi sebagian orang, pernikahan adalah peristiwa sakral. Bagi Bagas, itu adalah momen ketika dadanya terasa terlalu sempit untuk napasnya sendiri.Saat Biya melangkah masuk ke altar, senyum di wajahnya muncul secara otomatis dengan hangat. Ada sesuatu yang mengeras di tenggorokannya, sesuatu yang selama ini tak pernah ia izinkan muncul. Untuk pertama kalinya, Bagas menyadari betapa dekat jaraknya antara kebahagiaan dan air mata.Langkah Biya pelan, gaun putihnya jatuh sederhana, cahaya pagi menyelinap melalui jendela kapel, memantul lembut di rambutnya. Bagas berdiri tegak dengan jemari mengepal tanpa sadar saat Biya sampai di hadapannya dan mengangkat wajah.Mata mereka bertemu.“Beautiful,” ucapnya lirih yang membuat Biya tersenyum.Upacara berjalan dengan tenang. Saat Bagas mengucap janji, ia tidak mencoba terdengar sempurna. Pria itu memilih jujur.“Saya berjanji untuk tidak selalu benar,” katanya, menatap Biya tanpa berpaling. “Tapi saya akan selalu hadir. Saya berjanji memberi k
Dua minggu kemudian.Matteo menyandarkan tubuhnya di balkon vila kecil di pinggiran Danau Como, Italia. Matahari sore menggantung rendah, memantulkan cahaya keemasan di permukaan air yang tenang. Tempat itu tidak ramai, tidak pula berlebihan, tenang, intim, dan terlalu indah untuk disebut kebetulan.“Bapak yakin Ms. Biya tidak akan curiga?” tanya Matteo sambil menyesap espresso-nya.Bagas berdiri di sampingnya, jas tipis berwarna gelap melekat rapi di tubuhnya. “Dia pikir ini hanya makan malam biasa.”Matteo mengangguk pelan, lalu melirik jam di pergelangan tangannya. “Sepuluh menit lagi Ms. Biya sampai. Saya sudah atur kapal kecilnya berlabuh di dermaga pribadi. Tidak ada tamu lain.”Bagas tidak menjawab. Pandangannya terpaku pada danau yang berkilau, tapi jelas pikirannya tidak sedang di sana. Ada ketegangan tipis di bahunya karena hari ini, ia berniat untuk melamar Biya dengan layak dan pantas, tidak sepertinya waktu itu di pantry pagi hari.Bagas terkekeh dengan aksinya terlalu im
Biya membuka mata perlahan. Tatapannya langsung menuju Bagas, menatap dengan keterkejutan yang membuat Bagas tersenyum.“Aku nggak cemburu. Ngapain juga cemburu? Ke siapa juga lagian,” ucapnya lirih.Bagas menghentikan gerakan tangannya sesaat, lalu melanjutkan mengelus rambut Biya dengan ritme yang lebih lambat. Tidak ada respon dari pria itu yang membuat Biya kesal.“Saya akan anggap kamu sudah jujur,” desah Bagas.“Aku serius,” suara itu mulai meninggi dan bukannya menakutkan justru menggemaskan.Bagas akhirnya mengangkat selimut sedikit lalu turut berbaring di samping perempuannya. Menarik tubuh mungil itu, menyelipkan lengan kanan di bawah kepala Biya dan memeluk erat. Biya terdiam sesaat ketika tubuhnya sudah berada dalam dekapan Bagas.“Aku beneran nggak cemburu,” ulangnya lebih pelan, kali ini nyaris berbisik. “Kalau kamu dekat sama Valerie secara profesional, itu bukan urusanku.”Bagas menunduk sedikit, dagunya menyentuh rambut Biya. “Justru itu yang ingin saya pastikan,” kat







