Biya tahu betul permintaannya sangat tidak masuk akal. Siapa yang waras datang ke kantor seorang direktur utama hanya untuk meminta diajari berciuman? Tapi itulah Biya nekat, polos, sekaligus terlalu jujur pada keinginannya sendiri. Bagaswara, pria berusia 35 tahun yang dingin dan penuh wibawa, seharusnya menolak mentah-mentah. Namun, ada sesuatu dari tatapan Biya- adik sahabatnya yang membuatnya berhenti berpikir logis. Satu kalimat dari bibirnya, “Saya akan ajari kamu, tapi dengan cara saya,” sudah cukup menyeret Biya ke dalam dunia yang sama sekali belum pernah ia bayangkan. Di balik pintu tertutup ruang kerjanya, Bagas perlahan menunjukkan bahwa belajar ciuman bukan sekadar tentang bibir yang bertemu. Ada ketegangan, ada rasa yang sulit dijelaskan, bahkan ada bahaya yang Biya sendiri tidak sadar sedang ia dekati. Semakin sering mereka bertemu, semakin kabur batas antara “sekadar belajar” dengan sesuatu yang lebih dalam. Sedangkan Biya, yang awalnya hanya penasaran, mulai merasakan debar yang tak lagi bisa ia sebut sebagai belajar.
View MoreBiya tak pernah menyangka, hidupnya sebagai mahasiswa bisa berubah semiris ini. Hidupnya terasa lurus-lurus saja, tanpa drama yang berarti.
Semua itu berubah ketika Mahes, pacarnya selama hampir setahun, tiba-tiba memutuskan hubungan. Alasannya membuat Biya hancur sekaligus marah hanya karena ia menolak berciuman. Bagi Biya, menjaga diri bukan hal memalukan, tapi justru prinsip yang ia pegang teguh.
“Ih, kasihan ya,” suara seseorang terdengar di koridor.
Sayangnya, di mata Mahes, sikap itu dianggap membosankan, polos, dan tidak menarik. Sejak saat itu, Biya merasa harga dirinya runtuh. Perasaan itu tumbuh menjadi luka yang sulit sembuh, sekaligus melahirkan sebuah tekad baru. Ia ingin membuktikan pada dirinya—dan diam-diam pada Mahes—bahwa ia tidak sepolos dan semembosankan itu.
“Itu kan yang diputusin Mahes cuma gara-gara nggak mau dicium. Sok suci banget.”
Biya menunduk, berusaha tak peduli, meski telinganya panas dan matanya mulai berair. Apa salahnya menjaga diri? Memangnya itu dosa?
Sepanjang jalan pulang, bisikan dan tawa meremehkan terus menghantui. Dadanya sesak, langkahnya terasa berat. Hingga akhirnya, ketika ia melewati lorong belakang kampus, Biya berhenti. Pandangannya terpaku pada pemandangan yang menusuk jantungnya.
Mahes—lelaki yang baru saja memutuskan dirinya—kini tengah menempelkan bibirnya pada seorang mahasiswi lain, tangannya melingkar mesra di pinggang perempuan itu. Air mata Biya luruh seketika.
Sialan.
Baginya, yang paling menyakitkan bukan sekadar ditinggalkan. Tapi fakta bahwa Mahes bisa dengan ringan berkata ia terlalu polos, lalu beberapa hari kemudian dengan mudah menunjukkan "kemesraan" itu di depan umum, seolah membuktikan kalau keputusan meninggalkan Biya memang benar.
“Ini tuh tempat belajar! Dasar brengsek!” Biya menunduk, menahan suara agar tidak pecah.
Ia berbalik, langkahnya gemetar, tak ingin lagi melihat. Dadanya perih, bukan hanya karena diejek, tapi karena Mahes membuktikan semua ucapan kejamnya dengan tindakan.
Sesampainya di rumah, Biya langsung membanting pintu. Tasnya ia lempar ke sofa, tubuhnya ikut terjerembab menyusul. Lutut ditarik ke dada, matanya masih sembab.
“Kenapa ini kenapa?” tanya Abangnya, Arsen, seraya di kursi seberang.
Di sampingnya, Bagas—teman dekat abangnya yang kebetulan sedang mampir—ikut mendengar.
“Orang-orang bilang aku nggak menarik, cuma karena aku nggak mau dicium. Mereka ketawa, bilang aku cupu, nggak seksi. Mahes juga… dia—” suaranya pecah, tak sanggup melanjutkan.
“Siapa Mahes? Pacar kamu? Abang labrak ya! Bener bener ya!”
Masih dengan mata sembab, Biya mendongak. Air matanya masih menempel. “Gak usah!”
Bukan emosi kesal yang ia lihat. Justru abangnya tertawa.
Yang ia dapatkan bukan tatapan marah, melainkan tawa keras abangnya.
“Biyaaa, kamu tuh! HAHAHAHA.” Arsen terbahak sambil menggeleng, seolah masalah Biya hanya remeh-temeh.
Biya menatapnya tak percaya. “Bang, aku serius!” suaranya pecah, matanya memerah lagi.
Tawa Arsen perlahan mereda, tapi bukan karena sadar. Ia masih menyeringai. “Ya ampun, Biya… gara-gara nggak mau dicium aja kamu dibikin nangis? Kenapa sihh kamuu?”
Biya ingin membantah, tapi terhenti ketika menyadari Bagas masih duduk di sana. Lelaki itu diam, hanya menatapnya lurus. Tatapan yang sama sekali berbeda dari Arsen—tidak mengejek, tidak meremehkan. Ia menatap Biya lurus.
Perempuan itu melemparkan bantal ke arah Arsen yang masih tertawa. Kemudian melangkah lari ke kamarnya.
Di kamar, ia berdiri di depan cermin besar, menatap wajahnya yang lelah tapi penuh tanda tanya. Jari-jarinya menyentuh pelan bibirnya yang sering kali terasa kaku dan tak percaya diri.
Matanya menelusuri lekuk wajah, bahu, hingga ke rambut yang selama ini ia anggap biasa saja. Ada getar halus di dadanya—antara ragu dan berharap.
Jarinya pelan menyentuh bibirnya sendiri, seolah mencari jawaban yang tak mudah ditemukan. Bibir Biya memang bukan tipe bibir tipis atau tebal, bisa dibilang berada ditengah-tengah. Dulu, saat masih SMP, SMA, ia merasa insecure dengan bibirnya, tapi itu berubah saat mulai kuliah sarjana.
Ada kekhawatiran tersembunyi di balik kata-katanya, sebuah ketidakpastian tentang tubuh yang selama ini ia merasa asing dengannya sendiri.
“Apa aku gak menarik?”
Biya menghela nafas panjang, mencoba menerima bayangan dirinya yang selama ini ia pandang sebelah mata.
Perihal tubuh saja bisa menjadi ejekan untuk orang lain, memangnya dosa ya kalau tidak seksi? Kalau semua wanita dimuka bumi ini memiliki bentuk tubuh yang dianggap seksi, itu artinya tidak ada keberagaman dalam manusia.
Benar? Harusnya sih iya.
Biya menghela nafas lelah, mencari validasi dalam pikirannya sendiri bahwa dengan begini saja sudah cukup.
Bukan gue yang nggak seksi, tapi mereka yang otak mesum. Sambil menatap pantulannya di cermin, Biya memiliki ide gila.
Beberapa menit kemudian, ia keluar lagi ke ruang tamu. Arsen sudah tidak ada. Hanya Bagas yang masih duduk, menunduk ke arah laptopnya.
“Abang kemana, Mas?” suara Biya lirih.
“Salin dokumen di ruang kerjanya,” jawabnya tanpa menoleh pada Biya. Biya menghela nafas, mengumpulkan keberanian yang tersisa.
“Mas, ada sesuatu yang mau aku omongin,” suaranya pelan, nyaris bergetar.
Bagas tersenyum ramah, menatapnya penuh perhatian.
“Ada apa?”
Biya mengumpulkan kata-kata, menyiapkan langkah pertamanya dalam perjalanan yang tak mudah ini.
“Bisa ajarin aku, nggak?”
“Selama saya bisa,” begitu jawabnya yang semakin mempercepat debaran jantungnya. Bagas menatapnya dengan tenang, menunggu adik sahabatnya mengatakan niatnya.
“Ajarin apa?” tanyanya lagi.
“Ajarin aku ciuman.”
“Mas, nggak keberatan ngajarin aku sampai bisa?”Ini sama saja menyerahkan diri pada singa untuk dimangsa.Biya tidak tahu- bahwa selama tujuh tahun terakhir, Bagas menahan gejolak yang terus menggerogoti dirinya. Nafsu, rindu akan sentuhan, dan juga sepi yang menempel erat bagai racun. Tujuh tahun, ia memilih tak menyentuh wanita manapun, membiarkan dirinya terkubur dalam tumpukan proyek dan pekerjaan.Dan kini, tanpa sadar, Biya datang dengan polosnya. Menyerahkan diri dengan dalih belajar ciuman. Seolah ia tak paham bahwa yang sedang ia datangi bukan sekadar pria biasa, tapi seekor singa yang sabarnya sudah lama teruji, dan sekali diterobos, bisa menghabisi segalanya.Bagas menatap layar ponselnya, mendengar suara Biya yang gemetar di seberang. Jari-jarinya mengepal di meja, rahangnya mengeras. Ia tahu, satu kata “iya” darinya cukup untuk meruntuhkan semua batas.Dan Biya, gadis itu benar-benar tidak sadar sedang berdiri di mulut jurang.“Kalau begitu, datang lagi besok ke kantor s
“Lo gila!”Begitulah reaksi Lesi akan cerita yang baru saja keluar dari bibir Biya setelah menceritakan bahwa dirinya sudah berciuman dengan Bagas.Tidak pernah Biya sangka bahwa ide gila yang keluar dari bibir Lesi, mampu membawanya pada realisasi gila- menghasilkan debaran aneh.“Bi, gue nggak tahu kalau lo segila ini,” tentu saja Lesi tidak percaya- mengingat temannya selama ini terlihat tenang, kalem, bahkan sering dianggap terlalu polos—ternyata berani juga melakukan hal semacam itu.Biya terdiam, hanya bisa terus memegangi bibirnya yang masih terasa hangat, seakan bekas sentuhan Bagas enggan pergi. Ada getir, ada malu, tapi lebih dari itu- ada sesuatu yang tak bisa ia definisikan.“Lo… nyesel nggak?” tanya Lesi hati-hati, kali ini suaranya merendah.Biya mengangkat wajahnya perlahan, menatap sahabatnya dengan mata yang sedikit berkaca. “Gue nggak tahu, Les. Gue bahkan nggak ngerti kenapa hati gue berdebar kayak gini. Harusnya gue takut, kan? Tapi kenapa malah pengen lagi?”Lesi
Pintu terdorong pelan, tapi belum sempat pintu terbuka lebar, suara berat Bagas langsung memotong cepat.“Sakti, simpan dulu di mejamu. Nanti saya lihat.”Biya menahan napas, tubuhnya masih gemetar yang masih dalam rengkuhan Bagas. Jarak tipis keduanya, membuat detak jantung terdengar nyaring. Dari luar terdengar jeda sejenak sebelum Sakti menjawab, “baik, Pak. Kalau begitu saya pamit dulu.”Suara langkah menjauh, pintu kembali tertutup perlahan. Bagas mengusap wajahnya kasar, lalu menunduk sebentar. Biya tetap menunduk, mencengkeram sisi kemeja si pria, merasa nafasnya tak karuan.Tatapan Bagas sempat jatuh ke arahnya lagi—tajam, berat, dan penuh sesuatu yang tak terucap. Tangan besarnya terulur, menyentuh dagu Biya dengan lembut tapi kuat, mengangkat wajah itu untuk mendongak kembali agar tak bisa lari dari tatapan itu.“Ada permintaan khusus untuk cara berciuman kamu?”Biya membelalak, pipinya semakin panas. Ternyata Bagas tidak ingin membuang waktu dan meneruskan apa yang sudah te
Satu kalimat yang mampu membuat Biya terdiam, menelan ludah, sedikit menyesal karena terlalu nekat. Dan disinilah dirinya berada di dalam lift menuju lantai paling atas, ruang kerja direktur utama. Jantungnya berdegup kencang bukan main, seolah hendak meloncat keluar dari dadanya.Langkahnya pelan, bahkan tangannya gemetar saat mengetuk pintu besar yang menunjukkan betapa tingginya selera seseorang di balik pintu ini.“Masuk.”Begitu pintu terbuka, Biya disambut oleh ruangan luas dengan jendela kaca besar yang menampilkan pemandangan kota yang indah. Meja kayu gelap, kursi kulit, dan rak penuh dokumen membuat suasana terasa serius dan asing.Aroma kopi hitam samar-samar tercium, bercampur wangi kayu furniture mahal. Dan di sana, di balik meja kerjanya, Bagas sudah duduk. Jasnya dilepas, kemeja putihnya digulung hingga siku, membuat sosoknya terlihat lebih santai tapi tetap berwibawa.Ia menatap laptop di hadapannya sejenak, lalu menutupnya perlahan.Tatapannya naik, langsung bertemu ma
Bukan Biya kalau tidak nekat datang ke kantor Bagas hanya untuk meminta tolong-yang dalam prakteknya lebih terasa seperti memaksa. Gadis itu berdiri dengan dagu terangkat, meski jelas gugup, mencoba terlihat percaya diri di hadapan meja resepsionis yang modern dengan permukaan kaca mengkilap.“Sudah membuat janji dengan Pak Bagas?” suara mbak resepsionis terdengar formal, datar, tapi matanya jelas menilai Biya dari ujung rambut hingga sepatu.“Belum, Mbak.” Biya menggeleng, senyumnya dipaksakan.“Maaf, kalau begitu tidak bisa ya.”Biya menghela nafas, lalu bersandar sedikit ke meja, suaranya menurun jadi setengah memohon. “Tolong banget, Mbak. Teleponin aja dulu. Bilang yang nyari adiknya Arsen.”Resepsionis itu menghela nafas lelah, wajahnya menahan jengkel. Dengan setengah hati ia meraih gagang telepon, jarinya baru akan menekan tombol saat Biya menoleh ke arah lift- dan jantungnya langsung berdegup lebih cepat.Di sana, pintu lift terbuka, menampakkan Bagas keluar dengan langkah te
Arsen keluar dari ruangannya dengan membawa salinan dokumen. Tanpa banyak bicara, Biya langsung berdiri, jantungnya berdegup kencang. Ia menghindari tatapan Bagas yang masih terlihat kebingungan dengan permintaan aneh dari adik sahabatnya itu.Dengan langkah cepat, Biya berjalan menuju dapur, meninggalkan Bagas yang masih termenung, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.“Udah gue cek, semuanya aman,” tutur Arsen sambil menyerahkan dokumen salinan dengan nada santai.Tapi Bagas hanya terdiam, tatapannya tertuju ke lantai, wajahnya nampak berat dan penuh pikiran.“Heh, kenapa lo?” Arsen bertanya, sedikit heran melihat sikap temannya itu.Arsen menatap dokumen di tangannya, tapi terhenti sejenak dan memandang Arsen dengan lirih berkata, “Masih ada yang kurang, Sen. Bagian data di Canada.”Arsen menepuk jidatnya pelan- menandakan dirinya lupa untuk memberikan dokumen tersebut. Lalu, ia kembali masuk ke ruangannya untuk memeriksa dan mengambilkan bagian yang belum terbawa.Sedangkan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments