Ajari Aku Ciuman, Mas CEO

Ajari Aku Ciuman, Mas CEO

last updateLast Updated : 2025-08-25
By:  DaisyUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
7Chapters
14views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Biya tahu betul permintaannya sangat tidak masuk akal. Siapa yang waras datang ke kantor seorang direktur utama hanya untuk meminta diajari berciuman? Tapi itulah Biya nekat, polos, sekaligus terlalu jujur pada keinginannya sendiri. Bagaswara, pria berusia 35 tahun yang dingin dan penuh wibawa, seharusnya menolak mentah-mentah. Namun, ada sesuatu dari tatapan Biya- adik sahabatnya yang membuatnya berhenti berpikir logis. Satu kalimat dari bibirnya, “Saya akan ajari kamu, tapi dengan cara saya,” sudah cukup menyeret Biya ke dalam dunia yang sama sekali belum pernah ia bayangkan. Di balik pintu tertutup ruang kerjanya, Bagas perlahan menunjukkan bahwa belajar ciuman bukan sekadar tentang bibir yang bertemu. Ada ketegangan, ada rasa yang sulit dijelaskan, bahkan ada bahaya yang Biya sendiri tidak sadar sedang ia dekati. Semakin sering mereka bertemu, semakin kabur batas antara “sekadar belajar” dengan sesuatu yang lebih dalam. Sedangkan Biya, yang awalnya hanya penasaran, mulai merasakan debar yang tak lagi bisa ia sebut sebagai belajar.

View More

Chapter 1

Bagian 1 - No Kissing, Ended

Biya tak pernah menyangka, hidupnya sebagai mahasiswa bisa berubah semiris ini. Hidupnya terasa lurus-lurus saja, tanpa drama yang berarti.

Semua itu berubah ketika Mahes, pacarnya selama hampir setahun, tiba-tiba memutuskan hubungan. Alasannya membuat Biya hancur sekaligus marah hanya karena ia menolak berciuman. Bagi Biya, menjaga diri bukan hal memalukan, tapi justru prinsip yang ia pegang teguh.

“Ih, kasihan ya,” suara seseorang terdengar di koridor.

Sayangnya, di mata Mahes, sikap itu dianggap membosankan, polos, dan tidak menarik. Sejak saat itu, Biya merasa harga dirinya runtuh. Perasaan itu tumbuh menjadi luka yang sulit sembuh, sekaligus melahirkan sebuah tekad baru. Ia ingin membuktikan pada dirinya—dan diam-diam pada Mahes—bahwa ia tidak sepolos dan semembosankan itu.

“Itu kan yang diputusin Mahes cuma gara-gara nggak mau dicium. Sok suci banget.”

Biya menunduk, berusaha tak peduli, meski telinganya panas dan matanya mulai berair. Apa salahnya menjaga diri? Memangnya itu dosa?

Sepanjang jalan pulang, bisikan dan tawa meremehkan terus menghantui. Dadanya sesak, langkahnya terasa berat. Hingga akhirnya, ketika ia melewati lorong belakang kampus, Biya berhenti. Pandangannya terpaku pada pemandangan yang menusuk jantungnya.

Mahes—lelaki yang baru saja memutuskan dirinya—kini tengah menempelkan bibirnya pada seorang mahasiswi lain, tangannya melingkar mesra di pinggang perempuan itu. Air mata Biya luruh seketika.

Sialan.

Baginya, yang paling menyakitkan bukan sekadar ditinggalkan. Tapi fakta bahwa Mahes bisa dengan ringan berkata ia terlalu polos, lalu beberapa hari kemudian dengan mudah menunjukkan "kemesraan" itu di depan umum, seolah membuktikan kalau keputusan meninggalkan Biya memang benar.

“Ini tuh tempat belajar! Dasar brengsek!” Biya menunduk, menahan suara agar tidak pecah.

Ia berbalik, langkahnya gemetar, tak ingin lagi melihat. Dadanya perih, bukan hanya karena diejek, tapi karena Mahes membuktikan semua ucapan kejamnya dengan tindakan.

Sesampainya di rumah, Biya langsung membanting pintu. Tasnya ia lempar ke sofa, tubuhnya ikut terjerembab menyusul. Lutut ditarik ke dada, matanya masih sembab.

“Kenapa ini kenapa?” tanya Abangnya, Arsen, seraya di kursi seberang.

Di sampingnya, Bagas—teman dekat abangnya yang kebetulan sedang mampir—ikut mendengar.

“Orang-orang bilang aku nggak menarik, cuma karena aku nggak mau dicium. Mereka ketawa, bilang aku cupu, nggak seksi. Mahes juga… dia—” suaranya pecah, tak sanggup melanjutkan.

“Siapa Mahes? Pacar kamu? Abang labrak ya! Bener bener ya!”

Masih dengan mata sembab, Biya mendongak. Air matanya masih menempel. “Gak usah!”

Bukan emosi kesal yang ia lihat. Justru abangnya tertawa.

Yang ia dapatkan bukan tatapan marah, melainkan tawa keras abangnya.

“Biyaaa, kamu tuh! HAHAHAHA.” Arsen terbahak sambil menggeleng, seolah masalah Biya hanya remeh-temeh.

Biya menatapnya tak percaya. “Bang, aku serius!” suaranya pecah, matanya memerah lagi.

Tawa Arsen perlahan mereda, tapi bukan karena sadar. Ia masih menyeringai. “Ya ampun, Biya… gara-gara nggak mau dicium aja kamu dibikin nangis? Kenapa sihh kamuu?”

Biya ingin membantah, tapi terhenti ketika menyadari Bagas masih duduk di sana. Lelaki itu diam, hanya menatapnya lurus. Tatapan yang sama sekali berbeda dari Arsen—tidak mengejek, tidak meremehkan. Ia menatap Biya lurus.

Perempuan itu melemparkan bantal ke arah Arsen yang masih tertawa. Kemudian melangkah lari ke kamarnya.

Di kamar, ia berdiri di depan cermin besar, menatap wajahnya yang lelah tapi penuh tanda tanya. Jari-jarinya menyentuh pelan bibirnya yang sering kali terasa kaku dan tak percaya diri.

Matanya menelusuri lekuk wajah, bahu, hingga ke rambut yang selama ini ia anggap biasa saja. Ada getar halus di dadanya—antara ragu dan berharap.

Jarinya pelan menyentuh bibirnya sendiri, seolah mencari jawaban yang tak mudah ditemukan. Bibir Biya memang bukan tipe bibir tipis atau tebal, bisa dibilang berada ditengah-tengah. Dulu, saat masih SMP, SMA, ia merasa insecure dengan bibirnya, tapi itu berubah saat mulai kuliah sarjana.

Ada kekhawatiran tersembunyi di balik kata-katanya, sebuah ketidakpastian tentang tubuh yang selama ini ia merasa asing dengannya sendiri.

“Apa aku gak menarik?”

Biya menghela nafas panjang, mencoba menerima bayangan dirinya yang selama ini ia pandang sebelah mata.

Perihal tubuh saja bisa menjadi ejekan untuk orang lain, memangnya dosa ya kalau tidak seksi? Kalau semua wanita dimuka bumi ini memiliki bentuk tubuh yang dianggap seksi, itu artinya tidak ada keberagaman dalam manusia.

Benar? Harusnya sih iya.

Biya menghela nafas lelah, mencari validasi dalam pikirannya sendiri bahwa dengan begini saja sudah cukup.

Bukan gue yang nggak seksi, tapi mereka yang otak mesum. Sambil menatap pantulannya di cermin, Biya memiliki ide gila.

Beberapa menit kemudian, ia keluar lagi ke ruang tamu. Arsen sudah tidak ada. Hanya Bagas yang masih duduk, menunduk ke arah laptopnya.

“Abang kemana, Mas?” suara Biya lirih.

“Salin dokumen di ruang kerjanya,” jawabnya tanpa menoleh pada Biya. Biya menghela nafas, mengumpulkan keberanian yang tersisa.

“Mas, ada sesuatu yang mau aku omongin,” suaranya pelan, nyaris bergetar.

Bagas tersenyum ramah, menatapnya penuh perhatian.

“Ada apa?”

Biya mengumpulkan kata-kata, menyiapkan langkah pertamanya dalam perjalanan yang tak mudah ini.

“Bisa ajarin aku, nggak?”

“Selama saya bisa,” begitu jawabnya yang semakin mempercepat debaran jantungnya. Bagas menatapnya dengan tenang, menunggu adik sahabatnya mengatakan niatnya.

“Ajarin apa?” tanyanya lagi.

“Ajarin aku ciuman.”

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
7 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status