Biya tahu permintaannya gila. Siapa yang waras meminta sahabat kakaknya sendiri untuk mengajarinya berciuman? Namun, keberanian polos itu justru mengubah segalanya. Bagaswara, direktur dingin itu, seharusnya menolak mentah-mentah. Tapi tatapan Biya—adik sahabatnya—mampu meruntuhkan logikanya. “Bisa ajarin aku, nggak?” “Selama saya bisa.” “Ajarin apa?” “Ajarin aku… ciuman.” Satu kalimat itu menyeret Biya ke dunia bahaya dan gairah yang tak pernah ia bayangkan. WARNING 21+
View MoreBiya tak pernah menyangka, hidupnya sebagai mahasiswa bisa berubah semiris ini. Hidupnya terasa lurus-lurus saja, tanpa drama yang berarti.
Semua itu berubah ketika Mahes, pacarnya selama hampir setahun, tiba-tiba memutuskan hubungan. Alasannya membuat Biya hancur sekaligus marah hanya karena ia menolak berciuman. Bagi Biya, menjaga diri bukan hal memalukan, tapi justru prinsip yang ia pegang teguh.
“Ih, kasihan ya,” suara seseorang terdengar di koridor.
Sayangnya, di mata Mahes, sikap itu dianggap membosankan, polos, dan tidak menarik. Sejak saat itu, Biya merasa harga dirinya runtuh. Perasaan itu tumbuh menjadi luka yang sulit sembuh, sekaligus melahirkan sebuah tekad baru. Ia ingin membuktikan pada dirinya—dan diam-diam pada Mahes—bahwa ia tidak sepolos dan semembosankan itu.
“Itu kan yang diputusin Mahes cuma gara-gara nggak mau dicium. Sok suci banget.”
Biya menunduk, berusaha tak peduli, meski telinganya panas dan matanya mulai berair. Apa salahnya menjaga diri? Memangnya itu dosa?
Sepanjang jalan pulang, bisikan dan tawa meremehkan terus menghantui. Dadanya sesak, langkahnya terasa berat. Hingga akhirnya, ketika ia melewati lorong belakang kampus, Biya berhenti. Pandangannya terpaku pada pemandangan yang menusuk jantungnya.
Mahes—lelaki yang baru saja memutuskan dirinya—kini tengah menempelkan bibirnya pada seorang mahasiswi lain, tangannya melingkar mesra di pinggang perempuan itu. Air mata Biya luruh seketika.
Sialan.
Baginya, yang paling menyakitkan bukan sekadar ditinggalkan. Tapi fakta bahwa Mahes bisa dengan ringan berkata ia terlalu polos, lalu beberapa hari kemudian dengan mudah menunjukkan "kemesraan" itu di depan umum, seolah membuktikan kalau keputusan meninggalkan Biya memang benar.
“Ini tuh tempat belajar! Dasar brengsek!” Biya menunduk, menahan suara agar tidak pecah.
Ia berbalik, langkahnya gemetar, tak ingin lagi melihat. Dadanya perih, bukan hanya karena diejek, tapi karena Mahes membuktikan semua ucapan kejamnya dengan tindakan.
Sesampainya di rumah, Biya langsung membanting pintu. Tasnya ia lempar ke sofa, tubuhnya ikut terjerembab menyusul. Lutut ditarik ke dada, matanya masih sembab.
“Kenapa ini kenapa?” tanya Abangnya, Arsen, seraya di kursi seberang.
Di sampingnya, Bagas—teman dekat abangnya yang kebetulan sedang mampir—ikut mendengar.
“Orang-orang bilang aku nggak menarik, cuma karena aku nggak mau dicium. Mereka ketawa, bilang aku cupu, nggak seksi. Mahes juga… dia—” suaranya pecah, tak sanggup melanjutkan.
“Siapa Mahes? Pacar kamu? Abang labrak ya! Bener bener ya!”
Masih dengan mata sembab, Biya mendongak. Air matanya masih menempel. “Gak usah!”
Bukan emosi kesal yang ia lihat. Justru abangnya tertawa.
Yang ia dapatkan bukan tatapan marah, melainkan tawa keras abangnya.
“Biyaaa, kamu tuh! HAHAHAHA.” Arsen terbahak sambil menggeleng, seolah masalah Biya hanya remeh-temeh.
Biya menatapnya tak percaya. “Bang, aku serius!” suaranya pecah, matanya memerah lagi.
Tawa Arsen perlahan mereda, tapi bukan karena sadar. Ia masih menyeringai. “Ya ampun, Biya… gara-gara nggak mau dicium aja kamu dibikin nangis? Kenapa sihh kamuu?”
Biya ingin membantah, tapi terhenti ketika menyadari Bagas masih duduk di sana. Lelaki itu diam, hanya menatapnya lurus. Tatapan yang sama sekali berbeda dari Arsen—tidak mengejek, tidak meremehkan. Ia menatap Biya lurus.
Perempuan itu melemparkan bantal ke arah Arsen yang masih tertawa. Kemudian melangkah lari ke kamarnya.
Di kamar, ia berdiri di depan cermin besar, menatap wajahnya yang lelah tapi penuh tanda tanya. Jari-jarinya menyentuh pelan bibirnya yang sering kali terasa kaku dan tak percaya diri.
Matanya menelusuri lekuk wajah, bahu, hingga ke rambut yang selama ini ia anggap biasa saja. Ada getar halus di dadanya—antara ragu dan berharap.
Jarinya pelan menyentuh bibirnya sendiri, seolah mencari jawaban yang tak mudah ditemukan. Bibir Biya memang bukan tipe bibir tipis atau tebal, bisa dibilang berada ditengah-tengah. Dulu, saat masih SMP, SMA, ia merasa insecure dengan bibirnya, tapi itu berubah saat mulai kuliah sarjana.
Ada kekhawatiran tersembunyi di balik kata-katanya, sebuah ketidakpastian tentang tubuh yang selama ini ia merasa asing dengannya sendiri.
“Apa aku gak menarik?”
Biya menghela nafas panjang, mencoba menerima bayangan dirinya yang selama ini ia pandang sebelah mata.
Perihal tubuh saja bisa menjadi ejekan untuk orang lain, memangnya dosa ya kalau tidak seksi? Kalau semua wanita dimuka bumi ini memiliki bentuk tubuh yang dianggap seksi, itu artinya tidak ada keberagaman dalam manusia.
Benar? Harusnya sih iya.
Biya menghela nafas lelah, mencari validasi dalam pikirannya sendiri bahwa dengan begini saja sudah cukup.
Bukan gue yang nggak seksi, tapi mereka yang otak mesum. Sambil menatap pantulannya di cermin, Biya memiliki ide gila.
Beberapa menit kemudian, ia keluar lagi ke ruang tamu. Arsen sudah tidak ada. Hanya Bagas yang masih duduk, menunduk ke arah laptopnya.
“Abang kemana, Mas?” suara Biya lirih.
“Salin dokumen di ruang kerjanya,” jawabnya tanpa menoleh pada Biya. Biya menghela nafas, mengumpulkan keberanian yang tersisa.
“Mas, ada sesuatu yang mau aku omongin,” suaranya pelan, nyaris bergetar.
Bagas tersenyum ramah, menatapnya penuh perhatian.
“Ada apa?”
Biya mengumpulkan kata-kata, menyiapkan langkah pertamanya dalam perjalanan yang tak mudah ini.
“Bisa ajarin aku, nggak?”
“Selama saya bisa,” begitu jawabnya yang semakin mempercepat debaran jantungnya. Bagas menatapnya dengan tenang, menunggu adik sahabatnya mengatakan niatnya.
“Ajarin apa?” tanyanya lagi.
“Ajarin aku ciuman.”
Biya benar-benar tidur nyenyak sepanjang malam. Matahari sudah naik, menembus jendela dengan cahaya lembut, ketika tubuhnya perlahan bergerak, bangun dari tidur panjang yang damai. “Hngg,”Matanya setengah terbuka, masih terasa kantuk yang menempel. Namun, pandangan aneh menebar ke seluruh ruangan, merasa asing dengan berbagai furniture yang ada. Perlahan, kakinya turun dengan pandangan menjelajahi ruangan dan perlahan mengarah ke pintu untuk membukanya, mencari tahu dimana dirinya berada.“Ini dimana?”Wajar saja jika Biya tidak mengingatnya, karena dulu saat dirinya datang ke villa, tidak sempat berkeliling, hanya beradu mulut di sofa- dalam artian panas. Di tengah kebingungannya, aroma hangat yang masuk ke hidungnya langsung membangkitkan kesadarannya aroma masakan yang familiar, menenangkan, dan anehnya, menimbulkan rasa nyaman.“Siapa yang masak?” gumamnya pada diri sendiri sembari berjalan ke arah aroma berada.Tepat di dapur sana, Biya melihat Bagas sedang menyiap
Blitz menyambar bertubi-tubi, menyilaukan mata. Wartawan semakin menempelkan tubuh ke pagar, mengabaikan hujan yang kian mengguyur kota, mikrofon terangkat tinggi.“Pak Arsen! Benarkah tuduhan itu benar?”“Apa benar Pak Dharma dan Bu Kirana pelaku tabrak lari?”“Apakah Anda berencana mundur dari posisi direktur utama?”Pertanyaan datang seperti hujan peluru, tak memberi ruang untuk bernapas. Arsen diam. Rahangnya mengeras, tangan mengepal kuat, tanpa melirik ke arah kamera, dirinya langsung masuk ke mobil.Mengerti bahwa tuan rumahnya akan keluar, satpam rumah langsung bergegas membuka pagar yang mana membuat wartawan mulai berdesakan ingin mendekat pada mobil. Blitz kamera terus menyala membuat Arsen semakin muak dengan semua ini.“Sialan,” ucapnya pelan tapi tegas.Mobil Bugatti itu berhasil keluar dari kerumunan yang langsung membuat semua penjaga kewalahan agar mereka tidak sampai masuk dan menggedor rumah. Arsen terus gelisah menuju rumah sakit, berharap bahwa adiknya itu baik-ba
Arsen kelimpungan dengan semua notifikasi mengenai klarifikasi akan skandal yang dihadapi. Bahkan sekretarisnya tidak berhenti menelepon atasannya itu untuk menanyakan bagaimana keadaan di sana.“Pak, bagaimana kalau kita memberikan pengamanan ketat dua kali lipat pada nona Biya di rumah sakit?” suara sekretaris terdengar dari speaker ponsel, panik tapi tegas.Arsen menelan ludah, pikirannya bergerak cepat. “Lakukan. Segera kontak tim pengamanan pribadi—pastikan hanya orang-orang yang terverifikasi yang boleh masuk. Koordinasikan dengan pihak rumah sakit: batasi kunjungan, minta satu ruang isolasi jika perlu. Jangan beri celah.”“Siap, Pak.” Sekretaris menutup sambungan dan langsung mem-broadcast perintah itu ke semua saluran.Biya sedang sendirian di rumah sakit karena Arsen harus cepat menyelesaikan skandal, sedangkan Kirana dan Dharma pulang karena ada yang menelepon dan memberitahu siapa sebenarnya Bagas. Orang suruhan yang dibayar untuk mematai-matai gerak-gerik mencurigakan, mak
“Sebentar lagi, Ardhanaya. Sebentar lagi, kalian akan hancur.”Kalimat itu begitu dalam, begitu gelap, begitu terasa bagaimana benci yang mendalam dalam relung si pria. Anak lelaki yang menjadi korban atas pengecut yang lari dari tanggung jawab dan membiarkan yang tersisa merana.Setelah menimang beberapa waktu, Bagas mengambil handphone dan memanggil nomor Nando untuk melakukan perintah selanjutnya. Perintah yang akan menjadi penentu akan bagaimana hidup dua orang tersangka di masa depan.“Lakukan sekarang.”Perintah itu singkat, dingin, tanpa ruang untuk ragu. Di ujung telepon, Nando mengangguk- meski tidak terlihat, lalu menutup sambungan dengan gerakan cepat.Di gudang tua yang remang, layar laptop menyala, lampu indikator ponsel berkerlap-kerlip. Nando memberi kode. Satu per satu file yang selama ini terkunci rapi dibuka dengan laporan kecelakaan lama, salinan BAP, rekaman CCTV yang sempat disimpan, nama-nama, tanggal, hingga korespondensi yang selama dua dekade tertutup rapat. S
Mengurus membantu perusahaan dari dalam?Membantu menutupi celah ketika bisnis goyah.Membantu menjaga kepercayaan investor saat ia harus sering ke luar negeri.Namun sekarang, sebuah fakta baru mencuat di kepalanya. Apa mungkin, semua bantuan itu bukan ketulusan, melainkan bagian dari rencana besar Bagas? Membantu untuk kemudian menghancurkan dari dalam, dengan cara yang paling menyakitkan.Arsen terdiam, merasakan keringat dingin merambat di tengkuknya.Jika benar begitu, berarti ia sendiri yang membuka pintu, memberi jalan, dan membiarkan musuh masuk ke jantung pertahanan keluarganya.“Fuck,” desisnya dengan meremas rambutnya frustasi.Di sisi lain, Bagas yang baru saja keluar dari area rumah sakit merasakan sore menyapu wajahnya, namun sama sekali tidak menenangkan. Jemarinya masih terasa hangat, seperti sisa genggaman tangan mungil yang tadi nyaris tak mau melepasnya. Biya.Matanya menatap kosong ke jalanan yang dilewatinya, lalu terkekeh miris. Sial. Seharusnya tidak selemah ini
Setelah Biya benar-benar terlelap, Bagas bangkit perlahan dari sisi ranjang. Ia menarik napas panjang, berusaha mengatur detak jantung yang masih saja berdegup keras sejak pertengkarannya dengan Arsen. Tatapannya singkat kembali ke wajah Biya yang damai dalam tidur, lalu ia melangkah keluar ruangan.Di sofa ruangan, Kirana dan Dharma memandang Bagas dan Biya yang terlelap duduk dengan wajah cemas. Begitu melihat Bagas berdiri, keduanya langsung berdiri.“Sudah tertidur, Nak?” tanya Kirana buru-buru.“Sudah tertidur, Tante. Mohon dijaga baik-baik, jangan sampai stresnya bertambah,” ucap Bagas, suaranya sengaja ia buat seramah mungkin.Namun, hanya sekilas mendengar nama Kirana terucap dalam benaknya saja, ada bara kecil yang kembali menyala. Bagas menggenggam erat ponselnya di saku celana, menahan perasaan yang sulit ia kendalikan.“Saya pamit pulang terlebih dahulu, Om, Tante.”Kirana mengangguk kecil. “Terima kasih sudah membantu Biya, entah bagaimana jadinya kalau kamu tidak ada tad
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments