“Mempermalukan gimana? Aku hanya bertanya kenapa Ibu datang ke warung tanpa menelponku dulu. Biasanya juga aku yang mengantar kalau Ibu pesan kebab atau burger. Malah di balas Ibu yang mengatakan jika aku tidak bisa menjadi istri yang baik karena omset usaha sudah lebih tinggai dari gaji suaminya. Kamu tahu Mas, Ibu mengatakan semua itu di depan para pembeli dan pemilik ruko yang lain. Belum lagi ada beberapa orang yang tengah merekam. Aku harus melakukan klarifikasi terhadap tuduhan Ibu,” bantahku tidak terima.
Sejak kami menikah watak Mas Aksa memang tidak pernah berubah. Dia seratus persen percaya pada perkataan Ibu dan kedua adiknya. Tanpa bertanya dulu padaku tentang detail kejadian yang sebenarnya. Siapa yang sudah menyebabkan masalah hingga membesar. Selalu aku saja yang di salahkan.
“Perkataan Ibu benar kok. Kamu memang nggak becus jadi istri. Buktinya hari ini kamu tidak memasakan banyak makanan. Padahal kamu tahu kalau Ibu dan kedua adikku sudah pindah ke rumah ini Nia.” Mas Aksa masih tidak mau kalah. Membuat uratku terasa tegang karena amarah sudah mencapai puncak kepala.
Seperti inilah contohnya. Mas Aksa selalu membenarkan tindakan Ibunya. Tanpa pernah mengingat apa saja yang sudah aku keluarkan untuk keluarganya.
“Nggak becus kamu bilang Mas? Berarti di rumah ini ada sihirnya dong?” tanyaku main-main membuat wajah Mas Aksa semakin marah. Menghadapinya harus bisa santai agar darah tinggiku tidak naik.
“Ngomong apa sih kamu? Jangan mengalihkan percakapan seperti itu,” hardik Mas Aksa tidak terima. Kini aku sama sekali tidak gentar untuk menghadapinya. Tidak seperti di awal pernikahan dulu. Setiap Mas Aksa membentak maka tubuhku akan bergetar ketakutan.
“Loh benarkan? Di rumah ini ada sihir. Pakaian bisa masuk ke mesin cuci sendiri. Terus habis itu pindah ke pengering. Semua pakaian terbang ke jemuran di belakang. Belum lagi dengan piring, gelas dan perabotan memasak yang kotor. Bisa bersih sendiri tanpa perlu di cuci. Lantai rumah ini yang selalu mengkilap karena sapu dan pel yang bisa bergerak sendiri. Makanan yang sudah tersaji di meja makan seolah ada orang yang bisa membuat makanan tanpa memasaknya. Apalagi kalau bukan sihir?” terangku membuat matanya mengerjap kaget. Mas Aksa terdiam. Tidak bisa membantah ucapanku lagi.
Tidak perlu membalasnya dengan urat. Enam tahun berumah tangga aku selalu bisa membalasnya jika Mas Aksa sudah menyinggungku sebagai istri yang tidak berguna.
“Oh ya Mas. Mungkin ada juga donator yang mau mencicil kredit rumah dan kredit mobilmu. Makanya nggak pernah nunggak. Semua itu memang bukan aku yang melakukannya.”
“Cukup Dania,” sela Mas Aksa frustasi.
Setelah aku mengeluarkan jurus ini dia memang tidak bisa lagi menyerangku dengan hal yang sama. Tapi, aku yakin omelan Mas Aksa tidak akan berhenti sampai disini.
“Kalau memang Ibu yang bersalah, kamu tidak perlu menjelaskannya di depan umum. Kamu sudah menjelekkan nama baik Ibu,” kata Mas Aksa mencoba cara lain untuk membela Ibunya.
Dia sama sekali tidak memikirkan dampak kejadian tadi padaku. Yang ada di pikiran Mas Aksa hanya aku yang sudah mempermalukan Ibunya. Padahal sudah aku jelaskan jika akar dari permasalahan ini adalah Ibu yang sudah membuat keributan di warung.
“Lalu aku harus bagaimana?”
“Kamu bisa menasihati Ibu di dalam. Tanpa terdengar oleh orang lain,” jawaban Mas Aksa membuatku terkekeh pelan. Kusentak tangannya yang masih memegangku hingga terlepas.
“Terus bagaimana dengan nasib usahaku Mas? Sudah aku bilang tadi ada yang merekam kami. Jika tidak aku jelaskan lalu video Ibu yang memfitnahku tersebar maka para pembeli pasti akan berkurang. Karena citraku sudah berubah jadi jelek. Aku langsung klarifikasi untuk menyangkal fitnah Ibu. Kalau sampai para pembeliku hilang, gimana aku bisa mencicil kredit rumah dan mobilmu?”
Mas Aksa terdiam. Dia mengalihkan pandangannya dariku. Lagi-lagi dia tidak akan bisa membalas jika aku sudah membahas tentang kredit mobil dan rumah ini. Apalagi sertifikatnya kelak akan atas nama Mas Aksa. Tidak masalah bagiku. Karena seandainya aku tidak kuat lagi maka aku bisa menggugatnya di pengadilan untuk pembagian harta gono-gini. Begitu juga jika rumah dan mobil kelak atas namaku. Pasti Ibu akan menyuruh Mas Aksa untuk mengajukan gugatan harta gono-gini.
“Jangan lembek jadi suami Sa. Istrimu sudah membuat Ibu malu. Bahkan dia terang-terangan menyuruh semua orang untuk menyebarkan video klarifikasinya tadi,” suara Ibu tiba-tiba muncul menyela percakapan kami.
Belum reda amarahku karena Mas Aksa, kini aku harus menghadapinya Ibunya juga. Tinggal beda rumah saja sudah membuatku stress. Apalagi mulai hari ini Ibu sudah tinggal satu rumah bersama kami.
“Tetap saja kamu salah karena sudah menyuruh orang untuk menyebarkan video tentangmu dan Ibu, Nia. Cepat minta maaf pada Ibu.” Perintah Mas Aksa tidak mau di bantah.
Dengan cepat aku mengambil hp lalu menggulir layarnya. Mengabaikan omelan Ibu yang seperti dengung lebah di telingaku. Tiba-tiba saja Mas Aksa sudah merebut hp itu dari tangaku.
“Cepat minta maaf sama Ibu. Jangan main hp sekarang.” Perintahnya lagi dengan mata mendelik tajam.
“Itu ada rekaman kamera CCTV di warungku. Tepat menangkap angle saat aku dan Ibu sedang berdebat tadi.” Tunjukku pada hp yang ada di tangannya.
Wajah Ibu sudah berubah panik saat Mas Aksa memutar video yang ada di hpku. Kepalanya menunduk dalam saat terdengar suaraku yang meminta orang-orang untuk menghapus rekaman mereka. Begitu juga dengan Ibu yang tidak tahu dirinya masuk ke dalam kamar. Tanpa mengatakan apapun.
“Sudah lihatkan. Jadi, aku nggak perlu minta maaf sama Ibumu.” Tekanku lalu mengambil hp. Kakiku melangkah menuju kamar. Mengunci pintu agar Mas Aksa tidur sendirian di sofa ruang tengah. Sebagai bentuk hukumanku untuknya.
***
Pagi harinya aku tetap menjalankan aktivitas seperti biasa. Kali ini aku hanya masak ongseng kacang dan tempe untuk menu makan hari ini. Walaupun Ibu dan kedua adik iparku tidak akan terima. Biarkan saja. Toh aku bisa beralibi jika Mas Aksa belum memberi gajinya padaku bulan ini. Aku yang hafal tanggal gajian suamiku sudah tahu jika kemarin dia memberikan separuh gajinya pada Ibu.
Cucian di keranjang yang menumpuk membuatku menggelengkan kepala. Punya dua adik ipar perempuan yang sudah besar bukannya membantu pekerjaan rumah, malah menyerahkannya padaku. Aku hanya memilah baju kotor milikku, Mas Aksa, si kembar dan Ibu. Lalu melemparkan baju kotor kedua adik iparku ke ember yang tidak terpakai. Aku tidak akan mau mencucikan baju kotor mereka. Enak saja.
Baru saja aku beranjak ke tempar cuci piring, panci dan mangkuk tampak berserakan. Padahal tadi malam aku sudah mencuci piring sebelum tidur. Entah pekerjaan siapa. Segera kucuci semua piring hingga bersih. Bisa saja itu memang bekas Mas Aksa yang tadi malam tidur di luar.
Aku sudah sibuk membuat bekal untuk di bawa ke warung saat Mas Aksa baru saja bangun. Dia berjalan melewatiku menuju kamar mandi. Tidak ada percakapan seperti pasangan suami istri pada umumnya. Aku sudah memutuskan bersikap acuh sejak bisa mandiri dengan membuka warung. Anak-anak juga sudah wangi karena mereka bisa mandi sendiri. Kami hanya sarapan berempat karena Ibu dan kedua adik iparku sudah tidur.
Mas Aksa yang masih marah padaku pergi bekerja tanpa mengucapkan salam. Dia bahkan tidak membuka bekal yang sudah aku siapkan. Baguslah. Dia tidak akan langsung protes saat tahu menunya hanya ongseng kacang dan tempe goreng. Jam setengah tujuh aku dan anak-anak sudah berangkat ke sekolah. Setelah mengantar anak-anak aku langsung menuju warung. Semua pekerjaan rumah sudah beres karena aku memilih bangun jam tiga pagi. Tidak ingin menghabiskan waktu di rumah bersama Ibu mertua dan dua adik ipar yang rese.
Baru saja aku sampai di warung, tampak pegawaiku tengah cekcok dengan wanita paruh baya yang memakai baju gamis dengan dandanan menor. Aku segera turun dari motor lalu menghampiri mereka.
“Maaf kenapa anda membuat keributan di warung saya?”
“Anda menantunya Jeng Yanakan? Cepat bayar hutangnya sekarang juga. Sudah saya tagih selalu mangkir. Dia menyuruhku untuk meminta uangnya padamu.”
Aku masih diam. Kaget karena lamunan yang tiba-tiba buyar. Tubuhku gemetar dengan pikiran kosong. Melihatku yang masih saja, Mas Aksa menuntunku duduk di sofa. Dia membawa teh hangat dan mengambil pisang rebus dari dandang lalu menyajikannya di meja. Wajah Mas Aksa tampak sangat khawatir melihatku yang masih diam sejak tadi. Pikiranku buntu. Aku menghela nafas berulang kali agar lebih tenang. Tanpa sadar tangisku sudah pecah. Mas Aksa membawa tubuh ini dalam pelukan. Harum parfum yang masih menempel di bajunya membuatku tenang. Baru kali ini Mas Aksa memperlakukanku selembut ini. Tidak pernah terbayang akan mendapat pelukannya setelah lima tahun pernikahan yang menyiksa. Keputusan untuk rujuk yang kulakukan demi anak-anak justru membawa hubungan kami menjadi lebih dekat lagi.“Aku minta maaf jika ada salah padamu.” Tangan besarnya mengusap punggungku lembut. Getar suaranya sangat terasa dalam setiap gerakan tangannya. Aku menggeleng. Ini semua bukan salahnya. Berusaha meredam tangisan
Malam semakin larut. Kami sudah selesai makan malam bersama. Setelah bicara dengan Mas Aksa, Ibu akhirnya mau menginap di rumah ini bersama Rosi dan Syntia. Walaupun besok pagi harus bangun pagi sekali untuk pulang agar bisa jualan di rumah. Alhamdulillah dari berjualan Ibu punya uang yang lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Penghasilan Rosi dan Syntia juga membantu. Sehingga uang dari Mas Aksa bisa ditabung untuk biaya persalinan Rosi kelak. Semuanya akan terasa cukup jika tidak berfoya-foya. "Besok libur jualan saja dulu Bu," kata Mas Aksa begitu kami pindah ke ruang tengah. Aku masih sibuk mencuci piring dibantu Rosi dan Syntia. Rani sudah kembali ke rumahnya sebelum adzan maghrib berkumandang. Memastikan jika keluarganya juga aman di rumah. "Kalau libur pelanggan Ibu jadi pergi Sa. Ibu sudah tidak sakit lagi. Saat badan masih sehati, lebih enak dibuat bekerja. Lagipula setelah jualan, badan Ibu jadi lebih segar karena terus bergerak." "Jualan Ibu sudah mulai habis?
Kami turun ke lantai satu bersama setelah mengambil wudhu. Salat berjamaah di musola. Selain Rani, Bapak dan anak-anak, hanya Rosi yang ikut karena Ibu dan Syntia masih tertidur. Kami memutuskan membiarkan mereka tidur sebentar lagi sampai setengah jam ke depan. Setelah salat ashar, anak-anak sudah mengajak Mas Aksa untuk melihat tanaman mereka.“Besok kita jadi beli tanaman baru Yah?” tanya Mawar bersemangat.“Jadi dong.”“Aku dan Mawar juga mau beli pakai uang tabungan kita sendiri Yah.” Melati sudah memekik senang memikirkan ide itu. Aku hanya bisa menggeleng mendengar ocehan anak-anak yang sangat bersemangat setiap kali bermain dengan ayah mereka. Pandanganku sempat teralih sebentar ke teras.Melihat Bapak bersantai di teras samping melihat menantu dan kedua cucunya. Rosi yang kembali masuk kamar, Rani duduk di sofa ruang tengah untuk mengetik novel dengan tangan lain yang kadang memegang ponsel lain yang menampilkan rekaman kamera CCTV di rumahnya. Agar bisa tetap memantau keadaa
Usai cairan infus Ibu sudah habis, kami pulang ke rumah dua lantai untuk sementara waktu agar bisa memantai keadaan Ibu yang belum sepenuhnya pulih. Ibu dan Syntia menatap bingung saat mobil sudah berhenti di depan pagar. Ibu terlihat tidak enak, tetapi tidak bicara apapun. Aku menekan bel agar Rani membukakan pagar. Tidak lama kemudian gadis itu sudah keluar. Saat pagar terbuka, mobil pegawai Hanin masuk. Aku berjalan mengikuti di belakang. “Kamu turun dulu Don. Pasti capek nunggu kita seharian ini,” ucapku pada pegawai Hanin yang siang ini bertugas sebagai sopir dadakan kami. Aku memang sudah mengenal beberapa pegawai Hanin yang sudah lama bekerja dengannya. Salah satunya adalah Doni. Karena Doni sering menemani Hanin jika ada pekerjaan di luar. Dia juga sudah di angkat sebagai manajer toko dan memegang semua pekerjaan saat Hanin sibuk menyelesaikan pekerjaannya sebagai programmer. “Terima kasih Mbak. Maaf merepotkan.” Meski bicara seperti itu, Doni tetap terkekeh pelan. “Nggak
“Apa maksud kalian? Adik saya sudah berpisah dari suaminya sejak sebulan lalu. Dia sudah tidak ada tanggung jawab atas semua hutang yang ditinggalkan Varo. Apa buktinya jika adik saya juga terlibat?” kata Mas Aksa menengahi. Dia berhasil meredam emosi berkat Pak RT yang memanggil Limas agar kedua rentenir itu tidak melanjutkan keributan. Suasana ruang tamu benar-benar kacau. Tidak hanya keluarga dan dua preman itu, banyak tetangga yang melihat dari luar sehingga ruang tamu terasa sesak. Aku tidak lagi mendengar apa saja yang mereka bicarakan karena sudah membawa Ibu ke kamar. Membaringkan beliau di tempat tidur, melepas sandalnya lalu menaikan selimut. Wajah Ibu tampak kesakitan. Ia terus memegang pinggul sebelah kanan sejak tadi. Tubuhnya juga terasa dingin dengan keringat yang tampak di dahi dan seluruh tubuh. Erangan kesakitan Ibu sudah tidak terdengar separah tadi saat aku baru saja datang. Hanya wajahnya yang masih tampak pucat. Aku berjongkok agar bisa sejajar dengan Ibu. “A
Rasanya seperti kembali saat kami masih pacaran. Pergi bedua hanya untuk ke minimarket sambil bergandengan tangan. Melibat banyak orang yang juga datang bersama pasangan masing-masing sambil bergandengan tangan seperti kami. Membuat tidak banyak orang yang mengamati kami. Bedanya dulu aku dan Mas Aksa hanya akan berjalan bersisian karena tidak mau bergandengan tangan dengannya sebelum menikah. Sekarang kami menunjukkan kemesraan di depan umum. Setelah belanja di minimarket aku memesan taksi online lagi. Kami menunggu di parkiran. Mas Aksa menenteng satu kantung plastik besar di tangan kanan dan tangan kiri menggenggam tanganku. Banyak orang yang melihat dengan beragam pandangan. Ada yang tersenyum melihat kemesraan kami. Ada juga yang menggeleng dengan wajah jengah. Seolah sudah sering melihat pemandangan serupa. Ada juga yang merengut sebal."Maaf aku belum bisa menjadi kepala keluarga yang baik. Doakan rejekiku lancar ya agar bisa membelikan barang apapun yang kau mau." Tiba-tiba s