Share

Bab 6

Author: Alita novel
last update Last Updated: 2024-06-15 06:28:10

Astaghfirullah. Ibu benar-benar bikin malu saja. Dia masih berdebat dengan pegawaiku tentang pesanan itu. Padahal tinggal bilang di awal jika dia mau aku mengirimkan makanan ke rumah. Pasti akan aku lakukan. Biasanya juga seperti itu. Atau jika Ibu butuh uang, maka dia akan pergi saat sore hari. Makanya dia tidak pernah bertemu dengan pegawaiku yang hanya mengambil shift malam.

Gegas kumatikan kompor. Melepas sarung tangan plastik. Agar bisa melerai perdebatan mereka. Para pembeli pasti tidak nyaman melihat adegan ini. Ibu selalu berteriak jika marah. Dia mulai mendorong pegawaiku yang bernama Lila hingga hampir terjatuh. Untung saja aku dengan sigap menahannya.

“Cukup Bu. Jangan bikin malu di warungku. Kenapa tadi tidak minta aku antarkan makanan ke rumah?” tanyaku sudah berdiri di depannya. Wajah Ibu masih merah padam.

“Ini semua juga gara-gara kamu yang tidak menyiapkan makanan apapun untuk kami. Seharusnya sebagai istri kamu tetap ingat dengan kewajiban menyediakan makanan untuk suami yang baru saja pulang bekerja. Jangan mentang-mentang sekarang sudah punya usaha yang penghasilannya lebih tinggi dari gaji suamimu malah lupa dengan kewajiban sebagai istri,” ujar Ibu yang mulai menebarkan fitnah.

Bisik-bisik para pembeli, pedagang lain hingga orang lewat yang sengaja berhenti semakin terdengar kencang. Ibu tersenyum puas karena berhasil menghasut semua orang yang ada disini. Selama ini aku selalu diam saat Ibu menjelek-jelekkan di depan para tetangga. Membuat citraku jadi buruk. Aku tidak ambil pusing karena jarang menghabiskan waktu di rumah. Bagiku asal bisa menjauh dari para tetangga yang toxic sudah cukup untukku.

Kini beliau menebar fitnah di warung yang sudah aku dirikan selama empat tahun ini? Jatuh bangunku dalam membuka usaha sambil tetap menjadi Ibu rumah tangga. Mengasuh si kembar sekaligus membersihkan rumah, memasak, mencuci piring dan pakaian, menjemur. Semua sudah aku lakukan. Tidak akan kubiarkan Ibu merusak usahaku. Entah apa motifnya melakukan hal itu.

“Aku sengaja nggak mau masak makanan karena uangku sudah habis untuk bayar sewa ruko Bu. Belum lagi membayar cicilan rumah dan mobil yang di pakai Mas Aksa. Bulan depan masih ketambahan mencicil motor anak perempuan Ibu. Kurang baik apa aku sebagai menantu?” sangkalku tenang. Bisikan orang-orang seketika berhenti.

Ibu membelalakan matanya kaget. Karena baru kali ini aku berani membantahnya di depan umum. Biasanya aku akan memilih diam atau hanya sekedar berlalu melewati Ibu yang tengah bergunjing tentangku di depan para tetangga. Dia pasti tidak menyangka jika aku berani melawan. Ibu salah tempat karena sudah meremehkanku. Disini adalah wilayah yang harus kujaga demi tetap bisa mengais nafkah untuk anak-anak.

“Pekerjaan rumah juga tetap kulakukan. Aku yang setiap hari menyapu, mencuci piring, memasukan baju ke dalam mesin cuci dan pengering. Menjemur pakaian. Masih memasak untuk bekal kami di warung. Selalu aku sediakan banyak untuk suamiku, Ibu dan kedua adik iparku jika makanan di rumah kalian masih kurang. Jika aku pulang dari warung jam sembilan malam masih membereskan kekacauan rumah dengan mencuci bekas makan suamiku. Belum lagi masih harus mengurus si kembar. Ibu salah kalau mengatakan aku tidak tahu diri. Padahal tadi aku hanya bertanya kenapa Ibu tidak memintaku mengantar makanan ke rumah untuk mengganjal perut kalian. Malah melantur kemana-mana,” penjelaskanku sudah cukup membuat orang-orang mengerti. Banyak orang yang hendak pergi dari depan warungku.

Dengan cepat aku memanggil mereka yang langsung menolehkan kepala padaku. “Kalau ada yang merekam tolong di hapus ya. Jangan sampai satu Indonesia tahu tentang pertengkaran saya dengan mertua. Saya nggak mau aib keluarga jadi konsumsi publik.”

Semua orang kompak setuju. Aku juga bicara hal yang sama dengan para pedagang. Meminta maaf pada para pembeli yang sudah mengantri di kursi belakang. Menyerahkan pelayanan pada Lia. Lalu berjalan lagi menghampiri Ibu. Sudah ada pegawaiku yang akan melayani mereka.

“Lebih baik Ibu pulang sekarang. Kasihan Mas Aksa dan kedua anak perempuan Ibu sudah menunggu. Mereka pasti belum makan. Atau Ibu mau makan di warung saja. Berbagi bekal dengan Mawar dan Melati?” tanyaku yang membuat Ibu semakin mendelikan matanya marah.

“Nggak perlu. Aksa masih punya uang untuk beli nasi bungkus di luar,” jawabnya lalu melenggang pergi dengan membawa lima bungkus burger king size. Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Tidak heran dengan kelakuan mertuaku itu yang selalu ingin menang sendiri.

Tidak masalah. Toh sebentar lagi aku akan terlepas dari keluarga mereka yang toxic. Semua bukti sudah berhasil aku kumpulkan selama tiga tahun ini. Lewat rekaman kamera CCTV yang sudah tersimpan rapi di hardisk. Tinggal menunggu saat yang tepat untuk menggugat cerai Mas Aksa. Sekaligus menyiapkan diri untuk menjelaskan pada anak-anak tentang perpisahan orang tua mereka.

***

Tepat jam sembilan malam kami hendak pulang dari warung. Si kembar sudah memakai jaket mereka. Lengkap dengan masker dan helm. Aku berjongkok di hadapan mereka untuk memberi pengertian tentang kamar yang akan kami tempati. Menggenggam tangan mereka yang juga sudah memakai sarung tangan kecil yang akan menghangatkan tubuh.

“Kalian sudah tahu kalau mulai hari ini Uti dan Tante-tante akan tinggal bersama kitakan sayang?" Dengan berat hati aku bertanya hal seperti ini pada mereka. Pasalnya anak-anakku tidak pernah bisa dekat dengan keluarga Mas Aksa.

Awalnya aku tidak tahu kenapa Mas Aksa berubah setelah kami melakukan usg di usia kehamilanku yang menginjak tujuh bulan. Menunjukkan bahwa dua janin yang saat itu tengah kukandung adalah perempuan. Hingga akhirnya aku tahu jika Ibu menginginkan anak pertama kami adalah laki-laki agar bisa menjaga keluarga. Membuat Mas Aksa ikut terpengaruh dengan ucapan Ibunya.

“Iya Bu. Tadi kami dengar dari tetangga yang jajan kesini?” jawab Melati jujur. Mereka memang tidak bertanya padaku seharian ini. Anak-anak sudah terbiasa melihatku sibuk. Jadi, mereka baru akan bertanya banyak hal saat kami sudah di rumah.

“Iya sayang. Karena itulah mulai malam ini Mawar dan Melati akan tidur bersama Ibu. Mulai besok setelah pulang sekolah kita akan langsung pergi ke warung.”

“Kenapa Bu?” tanya Mawar bingung.

“Ibu tidak ingin kalian mendengar ucapan menyakutkan dari Uti dan Tante-tante. Untuk masalah makan akan Ibu masak di warung saja. Oke?”

“Siap Bu.” Jawab si kembar kompak.

Kali ini Melati yang duduk di depan. Sedangkan Mawar duduk di belakang. Angin malam menerjang tubuh kami. Aku tahu hal ini tidak baik untuk anak-anak. Walaupun aku terbiasa membawa mereka sejak balita karena tidak ada yang menjaga di rumah. Tetap saja aku merasa khawatir. Namun, tidak ada pilihan lain yang bisa kuambil. Aku harus bekerja untuk menyambung hidup.

Sesampainya di rumah lampu ruang tamu sudah mati. Aku mengajak anak-anak pergi ke kamar mandi untuk mencuci tangan dan kaki mereka. Melewati Mas Aksa yang tengah duduk di sofa ruang tengah. Dia menatapku nyalang saat kami lewat. Aku menatapnya berani. Pasti Ibu sudah melapor tentang kejadian di warung tadi. Dengan sedikit memutar balikan fakta sehingga membuat aku yang bersalah. Kami berjalan lagi melewatinya menuju kamar. Tatapan menusuk itu tidak kunjung berhenti bersarang di punggungku. Rupanya Mas Aksa mau menuruti perintahku untuk menata semua barang anak-anak di kamar kami. Termasuk dengan kasur ukuran sedang untuk tempat tidur mereka berdua.

“Kalian langsung tidur di kasur bawah ya sayang. Semuanya sudah di rapikan sama Ayah.”

“Iya Bu.” Lagi-lagi si kembar menjawab dengan kompak. Mereka benar-benar anak yang penurut.

Aku lalu keluar kamar. Berjalan menuju dapur untuk mencuci piring kotor yang menumpuk. Bekas makan Mas Aksa dan keluarganya yang kini terlelap tidur di kamar mereka. Tiba-tiba saja Mas Aksa sudah mencekal tanganku. Amarahnya siap di muntahkan saat ini juga. Dengan mata yang mendelik semakin tajam.

“Kenapa tadi kamu mempermalukan Ibu di warung Nia? Pakai menyuruh Ibu untuk membayar makanan di warung menantunya sendiri,” hardik Mas Aksa sambil mencengkram tanganku erat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 90

    Aku masih diam. Kaget karena lamunan yang tiba-tiba buyar. Tubuhku gemetar dengan pikiran kosong. Melihatku yang masih saja, Mas Aksa menuntunku duduk di sofa. Dia membawa teh hangat dan mengambil pisang rebus dari dandang lalu menyajikannya di meja. Wajah Mas Aksa tampak sangat khawatir melihatku yang masih diam sejak tadi. Pikiranku buntu. Aku menghela nafas berulang kali agar lebih tenang. Tanpa sadar tangisku sudah pecah. Mas Aksa membawa tubuh ini dalam pelukan. Harum parfum yang masih menempel di bajunya membuatku tenang. Baru kali ini Mas Aksa memperlakukanku selembut ini. Tidak pernah terbayang akan mendapat pelukannya setelah lima tahun pernikahan yang menyiksa. Keputusan untuk rujuk yang kulakukan demi anak-anak justru membawa hubungan kami menjadi lebih dekat lagi.“Aku minta maaf jika ada salah padamu.” Tangan besarnya mengusap punggungku lembut. Getar suaranya sangat terasa dalam setiap gerakan tangannya. Aku menggeleng. Ini semua bukan salahnya. Berusaha meredam tangisan

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 89

    Malam semakin larut. Kami sudah selesai makan malam bersama. Setelah bicara dengan Mas Aksa, Ibu akhirnya mau menginap di rumah ini bersama Rosi dan Syntia. Walaupun besok pagi harus bangun pagi sekali untuk pulang agar bisa jualan di rumah. Alhamdulillah dari berjualan Ibu punya uang yang lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Penghasilan Rosi dan Syntia juga membantu. Sehingga uang dari Mas Aksa bisa ditabung untuk biaya persalinan Rosi kelak. Semuanya akan terasa cukup jika tidak berfoya-foya. "Besok libur jualan saja dulu Bu," kata Mas Aksa begitu kami pindah ke ruang tengah. Aku masih sibuk mencuci piring dibantu Rosi dan Syntia. Rani sudah kembali ke rumahnya sebelum adzan maghrib berkumandang. Memastikan jika keluarganya juga aman di rumah. "Kalau libur pelanggan Ibu jadi pergi Sa. Ibu sudah tidak sakit lagi. Saat badan masih sehati, lebih enak dibuat bekerja. Lagipula setelah jualan, badan Ibu jadi lebih segar karena terus bergerak." "Jualan Ibu sudah mulai habis?

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 88

    Kami turun ke lantai satu bersama setelah mengambil wudhu. Salat berjamaah di musola. Selain Rani, Bapak dan anak-anak, hanya Rosi yang ikut karena Ibu dan Syntia masih tertidur. Kami memutuskan membiarkan mereka tidur sebentar lagi sampai setengah jam ke depan. Setelah salat ashar, anak-anak sudah mengajak Mas Aksa untuk melihat tanaman mereka.“Besok kita jadi beli tanaman baru Yah?” tanya Mawar bersemangat.“Jadi dong.”“Aku dan Mawar juga mau beli pakai uang tabungan kita sendiri Yah.” Melati sudah memekik senang memikirkan ide itu. Aku hanya bisa menggeleng mendengar ocehan anak-anak yang sangat bersemangat setiap kali bermain dengan ayah mereka. Pandanganku sempat teralih sebentar ke teras.Melihat Bapak bersantai di teras samping melihat menantu dan kedua cucunya. Rosi yang kembali masuk kamar, Rani duduk di sofa ruang tengah untuk mengetik novel dengan tangan lain yang kadang memegang ponsel lain yang menampilkan rekaman kamera CCTV di rumahnya. Agar bisa tetap memantau keadaa

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 87

    Usai cairan infus Ibu sudah habis, kami pulang ke rumah dua lantai untuk sementara waktu agar bisa memantai keadaan Ibu yang belum sepenuhnya pulih. Ibu dan Syntia menatap bingung saat mobil sudah berhenti di depan pagar. Ibu terlihat tidak enak, tetapi tidak bicara apapun. Aku menekan bel agar Rani membukakan pagar. Tidak lama kemudian gadis itu sudah keluar. Saat pagar terbuka, mobil pegawai Hanin masuk. Aku berjalan mengikuti di belakang. “Kamu turun dulu Don. Pasti capek nunggu kita seharian ini,” ucapku pada pegawai Hanin yang siang ini bertugas sebagai sopir dadakan kami. Aku memang sudah mengenal beberapa pegawai Hanin yang sudah lama bekerja dengannya. Salah satunya adalah Doni. Karena Doni sering menemani Hanin jika ada pekerjaan di luar. Dia juga sudah di angkat sebagai manajer toko dan memegang semua pekerjaan saat Hanin sibuk menyelesaikan pekerjaannya sebagai programmer. “Terima kasih Mbak. Maaf merepotkan.” Meski bicara seperti itu, Doni tetap terkekeh pelan. “Nggak

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 86

    “Apa maksud kalian? Adik saya sudah berpisah dari suaminya sejak sebulan lalu. Dia sudah tidak ada tanggung jawab atas semua hutang yang ditinggalkan Varo. Apa buktinya jika adik saya juga terlibat?” kata Mas Aksa menengahi. Dia berhasil meredam emosi berkat Pak RT yang memanggil Limas agar kedua rentenir itu tidak melanjutkan keributan. Suasana ruang tamu benar-benar kacau. Tidak hanya keluarga dan dua preman itu, banyak tetangga yang melihat dari luar sehingga ruang tamu terasa sesak. Aku tidak lagi mendengar apa saja yang mereka bicarakan karena sudah membawa Ibu ke kamar. Membaringkan beliau di tempat tidur, melepas sandalnya lalu menaikan selimut. Wajah Ibu tampak kesakitan. Ia terus memegang pinggul sebelah kanan sejak tadi. Tubuhnya juga terasa dingin dengan keringat yang tampak di dahi dan seluruh tubuh. Erangan kesakitan Ibu sudah tidak terdengar separah tadi saat aku baru saja datang. Hanya wajahnya yang masih tampak pucat. Aku berjongkok agar bisa sejajar dengan Ibu. “A

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 85

    Rasanya seperti kembali saat kami masih pacaran. Pergi bedua hanya untuk ke minimarket sambil bergandengan tangan. Melibat banyak orang yang juga datang bersama pasangan masing-masing sambil bergandengan tangan seperti kami. Membuat tidak banyak orang yang mengamati kami. Bedanya dulu aku dan Mas Aksa hanya akan berjalan bersisian karena tidak mau bergandengan tangan dengannya sebelum menikah. Sekarang kami menunjukkan kemesraan di depan umum. Setelah belanja di minimarket aku memesan taksi online lagi. Kami menunggu di parkiran. Mas Aksa menenteng satu kantung plastik besar di tangan kanan dan tangan kiri menggenggam tanganku. Banyak orang yang melihat dengan beragam pandangan. Ada yang tersenyum melihat kemesraan kami. Ada juga yang menggeleng dengan wajah jengah. Seolah sudah sering melihat pemandangan serupa. Ada juga yang merengut sebal."Maaf aku belum bisa menjadi kepala keluarga yang baik. Doakan rejekiku lancar ya agar bisa membelikan barang apapun yang kau mau." Tiba-tiba s

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 84

    Kami pergi ke rumah Pak RT bersama. Bapak di rumah bersama anak-anak. Aku memastikan Bapak mengunci pagar dari dalam lalu keluar. Tidak lupa kuingatkan Bapak untuk mengunci semua pintu di rumah termasuk menambahkan gembok. Walau dengan perasaan tidak nyam, kami tetap harus pergi ke rumah Pak RT. Di rumah Pak RT, Varo diikat dengan tali tambang dan mulut yang ditutup serbet. Melihat kedatanganku, mata pria itu melotot tajam. Salah satu warga lalu melepas serbet yang menutup mulutnya agar dia bisa bicara saat di interogasi. Setelah penutup mulutnya terlepas, Varo justru terdiam. Dia tidak lagi mengerang seperti tadi.“Kenapa anda berusaha masuk ke rumah Bu Nia dengan membawa pisau kecil? Anda tahu itu termasuk tindak kejahatan yang bisa membuat anda dijebloskan ke penjara?” tanya Pak RT langsung pada intinya. Varo tidak menjawab apapun. Dia hanya menunduk. Entah kenapa sekarang dia justru diam. Padahal sosok Varo yang kukenal tidak seperti ini.“Tindakan anda bisa dikatakan sebagai aksi

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 83

    Pekerjaan hari ini tidak banyak setelah aku dan Rani pulang dari sekolah bersama anak-anak. Bapak yang tengah menonton TV hanya menyapa kami lalu bermain bersama kedua cucunya seperti biasa. "Bagaimana sekolah hari ini?" tanya Bapak lembut seperti saat aku masih kecil dulu. Kenangan indah yang hampir saja terlupakan setelah puluhan tahun berlalu. "Seru Kung," jawab Mawar dan Melati pendek. Tidak pernah tertarik jika ditanya tentang sekolah. Justru mereka susah meletakan tas di sofa lalu menarik tangan Bapak untuk pergi ke kamar beliau mengambil mainan mereka. Aku membawa tas anak-anak naik ke lantau dua. Membiarkan anak-anak bersama Rani dan Bapak lalu turun ke bawah. Bapak tidak menceritakan masalah apapun. Berarti tidak ada orang yang mencoba bertamu karena tadi pagi aku melihat Ana yang mengintai rumah ini. Aku duduk di sofa ruang tengah untuk menonton TV yang seperti biasa menayangkan kartun kesukaan anak-anak. Walaupun tidak ditonton karena mereka sibuk bermain kartu bergamba

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 82

    “Ada yang mau aku bicarakan denganmu Mas,” ucapku begitu kami masuk kamar usai melaksanakan salat subuh berjamaah. Waktu kami tidak banyak karena anak-anak sudah mengajak ayah mereka untuk menyiram bunga bersama dengan Bapak. Mungkin kami hanya bisa bicara di kamar untuk beberapa hari ke depan. Selama Mawar dan Melati masih ingin menikmati waktu dengan ayah mereka sepenuhnya, tidak akan ada waktu berdua untuk kami. “Ada apa Nia?” tanya Mas Aksa lembut. Dia mencatolkan kemeja dan sarung lalu meletakan kopiah di dalam nakas. Padahal dulu Mas Aksa adalah tipe orang yang berantakan. Dia akan menyuruhku mencatolkan baju yang diletakan begitu saja di atas tempat tidur. Tidak lupa Mas Aksa berganti baju dengan memakai kaos oblong berwarna hitam dan celana pendek. Pakaian bersantai yang sudah ia pakai sejak lama. Mas Aksa lalu duduk disampingku. Dari jarak sedekat ini aku bisa mencium aroma parfumnya yang tidak berubah. Sungguh wajah Mas Aksa terlihat berkal-kali lipat lebih keren saat dia

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status