Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Serayu terpaksa menikah dengan Abra, dokter arogan sekaligus pewaris rumah sakit ternama. Pernikahan yang semula tanpa cinta dan penuh sandiwara itu perlahan berubah, berlayar menuju dermaga cinta. Namun, campur tangan mertua serta hadirnya mantan kekasih Abra menjelma badai yang mengguncang rumah tangga mereka. Bertahan ataupun berpisah, keduanya tetap meninggalkan luka.
View More“Gimana, Abra, enak nggak sup iganya?” tanya Riani, sang ibu, sambil menatap anak sulungnya yang tengah makan dengan lahap. Siang akhir pekan itu, beliau sengaja datang tanpa kabar ke apartemen putranya untuk makan siang bersama.
“Enak,” jawab Abra singkat. Senyum pun merekah di wajah Riani mendengar jawaban itu.
Serayu, sang istri, ikut menoleh ke arah Abra. Ia mengangguk pelan tanda setuju, lalu tersenyum kaku saat bahunya dirangkul hangat oleh sang suami.
Tatapan Riani jatuh pada tangan putranya yang tengah membelai lengan menantunya dengan lembut. Seketika beliau mengangkat pandangan, menatap Serayu tajam. Serayu dapat menangkap arti dari tatapan itu—sejak awal pertemuan, Serayu sudah dapat merasakan aura ketidaksukaan itu. Bahkan senyum yang sesekali dilemparkan sang mertua pun seakan menyimpan ejekan yang tak terucapkan.
“Memang enak sekali. Ini masakan Aileen,” ucap Riani tiba-tiba, sengaja menyebut nama mantan kekasih Abra.
Abra sontak tersedak begitu nama itu meluncur, setelah sekian lama tak pernah terdengar lagi. Serayu refleks meraih segelas air dan menyodorkannya pada sang suami. Namun sebelum sempat diterima, tangannya ditepis kasar oleh Riani. Dengan tatapan dingin, sang mertua menyodorkan gelas lain pada Abra.
Tidak sampai di situ, Riani melanjutkan, “Tadi Aileen mampir ke rumah. Dia bilang sekarang pindah tugas ke sini. Tambah cantik dia,” ujar Riani. “Sudah cantik, pintar masak … karirnya pun bagus,” lanjutnya seakan lupa pada keberadaan Serayu. “Harusnya dulu itu kamu sabar menunggu dia S2. Mama lebih cocok dia jadi istri kamu—”
“Mama,” potong Abra cepat, menghentakkan sendok ke piring, menandai berakhirnya selera makan siangnya.
‘Kamu selalu membela istrimu ini,’ begitu ujar Riani, kalimat yang terasa serupa bergema dalam batin Serayu, karena hampir selalu dilontarkan setiap kali mereka berjumpa.
Serayu Naumira—biasa disapa Serayu—adalah seorang mahasiswi yang tengah menjalani koas di rumah sakit ternama di kotanya. Terlahir dari keluarga sederhana, ia menempuh pendidikan berbekal beasiswa. Menikah muda sebenarnya tidak pernah ada dalam rencana Serayu, hingga takdir mempertemukannya dengan Abra, lelaki yang kini menjadi suaminya.
Semua berawal dari hari pertama koas Serayu yang berubah menjadi awal malapetaka. Ia terlibat kecelakaan dengan mobil mewah milik Abra, dokter bedah arogan—yang sialnya— sekaligus pewaris rumah sakit tempatnya bertugas. Serayu berniat bertanggung jawab, tapi Abra justru melihat kesungguhan Serayu sebagai kesempatan. Tuntutan sang ayah membuatnya harus segera menikah demi menduduki jabatan tertinggi di rumah sakit keluarga.
Abra menawarkan jalan keluar yaitu pernikahan kontrak. Sebagai gantinya, ia menghapus tuntutan atas kecelakaan itu. Serayu menolak, masih ingin berusaha menebusnya. Namun ia tertampar kenyataan bahwa usaha ayahnya saja tengah merosot. Terhimpit waktu dan keadaan, Serayu akhirnya tak punya pilihan selain menerima tawaran tersebut—tentu saja tidak ada yang tahu perihal perjanjian itu.
Berbanding terbalik dengan sang ayah, pernikahan itu tidak pernah mendapat restu penuh dari ibu Abra. Riani dengan statusnya sebagai istri pendiri rumah sakit swasta ternama, terbiasa hidup di lingkaran orang-orang terpandang. Ia ingin menantu yang sepadan dengan keluarganya: berpendidikan tinggi, bersosialisasi di kalangan elit, dan tentunya berasal dari keluarga berada. Semua itu tidak ada dalam diri Serayu. Tidak ada kebanggaan sedikit pun, Serayu, di hati ibu mertuanya. Bagaimana mungkin perempuan seperti itu mendampingi Abra, calon penerus rumah sakit keluarga yang selama ini dibangun dengan kerja keras dan nama besar?
Gadis sederhana yang dibesarkan dengan penuh keterbatasan itu, kini harus menghadapi pandangan rendah sang mertua setiap kali berhadapan. Tak jarang sang mertua membanding-bandingkan menantunya dengan Aileen—mantan kekasih Abra yang dianggap jauh lebih sempurna. Pencapaiannya selalu disanjung, penampilannya pun sering dijadikan bahan pujian. Semua itu dilakukan di hadapan Serayu, tanpa peduli betapa perihnya hati sang menantu mendengarnya.
Abra sering mencoba menengahi, membela istrinya di hadapan ibunya sendiri. Tetapi sikap itu justru membuat Riani semakin yakin bahwa Serayu telah mempengaruhi anaknya.
Tatapan Riani selalu tajam setiap kali menyorot Serayu. “Apa sebenarnya yang sudah kamu lakukan sampai seorang anak berani melawan ibunya sendiri?” Pertanyaan itu Riani tujukan langsung pada Serayu, nadanya tajam penuh tuduhan. “Sampai detik ini Mama masih tidak bisa menerima pernikahan kalian! Kamu sadar nggak, kalau istri kecilmu ini hanya mengincar hartamu, memanfaatkan popularitasmu di dunia kedokteran!”
Benalu dalam keluarga. Mendompleng nama besar suami untuk memudahkan kelulusan. Mengincar harta. Dan masih banyak lagi kalimat yang hampir selalu dilontarkan Riani setiap kali berhadapan dengan Serayu.
Namun, Serayu tidak lagi mengambil hati atas ucapan-ucapan kasar itu. Bukankah setiap pernikahan memiliki ujiannya sendiri? Demikian ia menenangkan diri. Ia memilih menganggap semua itu hanya kerikil kecil yang harus ia lewati dalam rumah tangganya. Meski begitu, setiap kali kata ‘pernikahan’ terlintas dalam hati dan pikirannya, ada getir yang tak pernah bisa ia sembunyikan.
“Abra, antar Mama pulang—” potong Abra. Namun sebelum sempat melanjutkan ucapannya, Riani sudah lebih dulu bersuara lantang.
“Kamu berubah sejak menikah dengannya,” tuduh Riani dengan nada dingin.
Abra tidak menanggapi, hanya menghela napas lalu menoleh pada istrinya. “Masuklah dulu, Saya akan antar Mama pulang,” titahnya berbisik, meminta Serayu masuk ke dalam kamar.
Serayu menurut, tapi belum genap langkahnya tiba-tiba suara Riani membelah keheningan.
“Ceraikan Serayu, Abra!”
***
Abra akhirnya memutuskan mengantar ibunya pulang, menyisakan ketegangan yang masih tertinggal.
Bohong kalau hati Serayu tidak terluka mendengar semua ucapan mertuanya, tapi ia menahan diri untuk tidak larut dalam kesedihan. Serayu tetap berusaha menghormati mertuanya.
Tidur di kamar terpisah, ia memilih kembali ke kamarnya—menumpahkan perhatiannya pada tumpukan buku dan catatan selama koas. Besok pagi ia harus sudah kembali ke rumah sakit. Jadwalnya padat, menjadi calon dokter hampir tak memberi ruang baginya untuk bernapas jika sudah beraktivitas.
Ia membaca berlembar-lembar halaman, menyoroti teks dengan stabilo, mencatat ulang poin penting, hingga kepalanya terasa berat. Di tengah kesibukannya, denting ponsel terdengar. Serayu refleks meraihnya, hanya pesan dari grup kampus. Senyum getir pun tersungging, disertai tanya yang bahkan enggan ia akui—apa yang sebenarnya ia tunggu? Apakah diam-diam ia berharap ada pesan untuknya dari Abra?
Tubuh dan pikirannya lelah, kepala Serayu tertunduk di meja hingga akhirnya tertidur.
Saat terbangun, ruangan kamar sudah temaram. Ia mengucek mata, lalu melirik jam di ponsel—pukul sepuluh malam. Ia refleks melangkah keluar kamar. Apartemen itu gelap, hanya cahaya lampu dari balik jendela yang masuk, menorehkan bayangan panjang di lantai.
“Mas Abra… belum pulangkah?” bisiknya sendiri, sepi menjawab.
Sunyi menemani Serayu saat ia menyantap makan malam seorang diri, jemarinya sibuk membalas riuh ramai pesan di grup kampus, tapi tidak mengusir sepi. Hingga detik berikutnya, layar ponsel menampilkan notifikasi baru—sebuah pesan dari Abra. Serayu terpaku menatap kalimat singkat yang suaminya tuliskan. Ruangan yang sunyi semakin terasa mencekam membuat matanya memanas.
[Saya tidak pulang malam ini.]
Tidak ada yang istimewa malam itu, tapi Serayu bersyukur sempat bertemu dokter Sedanu. Setidaknya ia bisa pulang dengan selamat dan aman.Pagi ini, seperti biasa, koas selalu datang lebih awal dibanding para dokter. Jadi, pagi-pagi sekali Serayu sudah siap dengan setelan rapi. Namun, matanya membulat saat melihat Abra sudah duduk di meja makan dengan pakaian kerjanya. Biasanya lelaki itu berangkat lebih siang.Ragu-ragu, Serayu melangkah mendekat. Haruskah ia ikut sarapan bersama, apalagi menu di meja tampak disiapkan pas untuk dua orang.Abra mengangkat pandangan, lalu sekadar menggerakkan kepala—memberi isyarat agar Serayu duduk di hadapannya. Apa Serayu bisa menolak? Tentu tidak. Sejauh ini, ia hanya dituntut menurut.Pelan-pelan, Serayu pun duduk. Saat itu juga, Abra mengeluarkan ponselnya, meletakkannya di atas meja, lalu mendorong ke arah Serayu.Mata Serayu membulat. Di layar ponsel itu, jelas terlihat fotonya saat masuk ke dalam mobil Sedanu. Bibirnya baru saja terbuka hendak m
“Katanya dokter Meta mau resign dan penggantinya sudah ada,” ujar salah seorang rekan saat mereka beriringan menuju lobi rumah sakit.Serayu mengangguk pelan. Ia baru saja menuntaskan stase Ilmu Kesehatan Anak, sehingga kabar itu membuatnya ikut merasa kehilangan dokter spesialis anak yang selama ini membimbingnya.“Katanya juga … dokter barunya cantik,” lanjut rekannya, membuat Serayu terkekeh kecil. Tentu saja, karena yang bicara adalah rekan lelaki. Beberapa teman lain ikut bersorak menggoda.“Cewek cantik aja cepat banget tanggapannya, ya!” candaan itu mengundang tawa singkat sebelum akhirnya mereka terpisah di depan pintu utama.Serayu menghentikan langkahnya. Sebenarnya ia malas pulang. Sekilas ia berpikir, apa sebaiknya ia sukarela mengambil jaga tambahan saja supaya tidak perlu kembali ke apartemen malam ini?Larut dalam lamunannya, Serayu tersentak ketika suara tegas menyapanya.“Pulang dengan saya,” titah Abra, berlalu tanpa menoleh.Serayu ingin menolak, tapi lelaki itu suda
Serayu menyembulkan kepalanya, mengintip Abra yang piawai menyiapkan sarapan. Sejak menikah, ia nyaris tak pernah benar-benar menjalankan perannya sebagai seorang istri. Pernah sekali ia mencoba memberanikan diri memasak untuk sang suami, tetapi hasilnya berakhir gagal dan Abra tidak mengizinkannya lagi menyentuh dapur.Sejak kecil, Serayu terbiasa bekerja untuk dirinya sekaligus membantu orang tuanya. Padatnya aktivitas membuatnya jarang menyentuh dapur—selalu ibunya yang menyiapkan makanan untuk keluarga tanpa mengizinkannya membantu karena beliau tahu selelah apa anaknya. Bahkan hingga dewasa, kebiasaan itu berlanjut. Saat kuliah, ia pun mengambil pekerjaan freelance yang menyita waktu dan tenaganya.Serayu menghela napas, lalu menegakkan tubuh dan melangkah keluar kamarnya. Suara langkahnya membuat Abra menoleh. Lelaki itu sempat tertegun melihat Serayu sudah rapi dengan wajah datar.“Duduk. Sebentar, saya siapkan—”“Saya tidak sarapan,” potong Serayu cepat. “Permisi.”Ia melangkah
Pagi-pagi sekali Serayu sudah tiba di rumah sakit. Sebelum memulai aktivitas, denting pesan masuk mengusik perhatiannya. Refleks ia meraih ponsel. Keningnya berkerut begitu layar menampilkan notifikasi dari mertuanya. Seketika jantungnya berdetak tak nyaman saat jemarinya menyentuh layar, membuka pesan itu.[Foto]Dalam bidikan kamera tampak Abra berjalan di halaman rumah sang mertua, tangannya menggenggam tangan seorang wanita. Mereka melangkah beriringan. Meski wajah wanita itu membelakangi kamera, Serayu seolah tahu persis siapa dia.[Sampai rumah jam berapa Abra semalam?]Melihat kedekatan Abra dengan wanita dalam foto itu membuat darah Serayu berdesir. Ingatannya langsung melayang pada pesan Abra semalam yang mengatakan, ia tidak pulang. Bibir Serayu melengkung tertawa getir. Tanpa sadar, rahangnya mengeras menahan rasa yang sulit ia deskripsikan.Ia menutup layar ponsel, memilih untuk tidak membalasnya. Apa yang harus dia katakan? ‘Mas Abra tidak pulang.’ Kalimat itu justru hanya
“Gimana, Abra, enak nggak sup iganya?” tanya Riani, sang ibu, sambil menatap anak sulungnya yang tengah makan dengan lahap. Siang akhir pekan itu, beliau sengaja datang tanpa kabar ke apartemen putranya untuk makan siang bersama.“Enak,” jawab Abra singkat. Senyum pun merekah di wajah Riani mendengar jawaban itu.Serayu, sang istri, ikut menoleh ke arah Abra. Ia mengangguk pelan tanda setuju, lalu tersenyum kaku saat bahunya dirangkul hangat oleh sang suami.Tatapan Riani jatuh pada tangan putranya yang tengah membelai lengan menantunya dengan lembut. Seketika beliau mengangkat pandangan, menatap Serayu tajam. Serayu dapat menangkap arti dari tatapan itu—sejak awal pertemuan, Serayu sudah dapat merasakan aura ketidaksukaan itu. Bahkan senyum yang sesekali dilemparkan sang mertua pun seakan menyimpan ejekan yang tak terucapkan.“Memang enak sekali. Ini masakan Aileen,” ucap Riani tiba-tiba, sengaja menyebut nama mantan kekasih Abra.Abra sontak tersedak begitu nama itu meluncur, setelah
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments