LOGINMujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Serayu terpaksa menikah dengan Abra, dokter arogan sekaligus pewaris rumah sakit ternama. Pernikahan yang semula tanpa cinta dan penuh sandiwara itu perlahan berubah, berlayar menuju dermaga cinta. Namun, campur tangan mertua serta hadirnya mantan kekasih Abra menjelma badai yang mengguncang rumah tangga mereka. Bertahan ataupun berpisah, keduanya tetap meninggalkan luka.
View More“Gimana, Abra, enak nggak sup iganya?” suara Riani mengisi ruang makan.
Serayu melirik suaminya yang menjawab singkat, “Enak,” sambil tetap makan.
Senyum puas muncul di wajah sang mertua, senyum yang sudah sering Serayu lihat, tapi tak pernah terasa hangat.
Abra merangkul bahu Serayu dengan santai. Sentuhan itu membuatnya kaku, bukan karena tidak nyaman, tapi karena ia tahu mata Riani sudah memperhatikan.
Dan benar saja, tatapan tajam itu langsung menusuk, seolah menilai bahwa Serayu tak pantas berada di sana.
“Ini masakan Aileen,” ucap Riani tiba-tiba.
Nama itu menghantam Serayu lebih kuat daripada nada suara yang mengatakannya.
Abra tersedak spontan, dan saat Serayu hendak memberinya air, Riani menepis tangannya seolah ia hanya gangguan. Sang mertua yang kemudian menyodorkan gelas pada Abra, membuat batas antara mereka semakin jelas, bahwa Serayu tetap orang luar.
“Aileen mampir tadi. Sekarang dia pindah tugas ke sini,” lanjut Riani. “Tambah cantik, pintar, karirnya bagus… Harusnya dulu kamu sabar nunggu dia S2.”
Ucapan itu menusuk, bukan karena Serayu cemburu, tetapi karena ia sudah terlalu sering dibandingkan dengan perempuan yang bahkan belum pernah ia temui.
Abra menahan ibunya dengan satu kata, “Mama.”
Saat itu juga Serayu tahu makan siang itu sudah berakhir untuknya.
“Kenapa, Abra? Nyatanya, sampai detik ini Mama memang tidak pernah merestui pernikahan kalian,” ujar Riani tanpa ragu. Ia menatap Serayu dengan tajam, seperti bagaimana ia selalu menatap menantunya itu.
“Ma, sudahlah.” Abra mulai kesal, tapi masih menahan diri.
Sementara Serayu, ia hanya bisa menundukkan kepalanya. Ia tahu, ia hanyalah koas dari keluarga sederhana yang masuk rumah sakit itu lewat beasiswa.
Hidupnya berubah sejak kecelakaan kecil dengan mobil milik Abra, dokter bedah muda yang arogan dan pewaris rumah sakit. Berniat bertanggung jawab, Serayu menyadari jumlah uang yang dikeluarkan untuk memperbaiki mobil itu cukup besar.
Hingga akhirnya, tawaran pernikahan kontrak muncul dari Abra sebagai jalan keluar. Serayu sudah menolaknya, tapi keadaan keluarganya yang serba kekurangan memaksanya menerima.
Tak ada yang tahu perjanjian itu, termasuk Riani, yang sejak awal menolaknya. Serayu terlalu “biasa” untuk keluarga besar itu.
Apa pun yang Serayu lakukan selalu tampak salah di mata Riani. Bahkan hal sekecil menaruh gelas pun bisa menjadi alasan untuk merendahkannya.
“Abra, sampai kapan kamu mau dibutakan oleh istri kecilmu itu? Dia ini hanya mengincar hartamu, memanfaatkan popularitasmu di dunia kedokteran!” seru Riani tak tahan lagi. Tatapannya kembali terarah pada Serayu. “Kamu ini dari keluarga miskin, modal beasiswa, harusnya kamu sadar diri.”
Serayu kembali menunduk, tak tahu harus merespon dengan kalimat apa. Ia tahu, pernikahan ini hanya di atas kertas, tapi apa yang ibu mertuanya katakan tentang latar belakang keluarganya benar-benar meluikai hatinya.
“Ibu Riani, saya memang dari keluarga miskin, tapi saya nggak pernah punya niatan buruk pada Mas Abra dan keluarga,” lirih Serayu berusaha membela diri.
Awalnya, ketika menerima perlakuan buruk dari sang ibu mertua, Serayu tak ingin ambil pusing. Ia hanya perlu bertahan hingga kontrak pernikahannya dengan Abra berakhir. Namun lama-kelamaan, ibu mertuanya semakin keterlaluan.
“Di dunia ini tidak ada maling yang mengaku, Serayu! Saya nggak tahu, apa yang sudah kamu perbuat sampai bisa mencuci otak anak saya dan berani melawan ibunya sendiri,” cibir Riani tanpa perasaan.
Serayu meremas ujung bajunya di bawah meja. Tatapannya terarah ke arah Riani dengan penuh rasa tidak terima.
Abra yang melihat ekspresi Serayu langsung mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan istrinya di bawah meja. Seolah memberi instruksi untuk tidak lagi membalas ucapan ibunya agar suasana tidak semakin keruh.
“Sejak awal semua sudah berjalan lancar. Abra hanya tinggal menunggu waktu untuk menikah dengan Aileen, tapi tiba-tiba kamu muncul dan mengacaukan semuanya. Seharusnya kamu nggak usah menampakkan diri di hidup anak saya,” lanjut Riani seolah masih belum puas menyudutkan sang menantu.
“Ma, dari awal Abra memang nggak ingin menikah dengan Alieen,” sahut Abra menyanggah.
“Iya karena perempuan ini lebih dulu mencuci otakmu, Abra!” seru Riani makin kesal.
Serayu makin merasa kesal. Ia tahu, tiap kali kejadian seperti ini datang, Abra memang berusaha membelanya. Entah apa motif sebenarnya, setidaknya Serayu sedikit merasa terbantu meskipun rasanya juga percuma karena ibu mertuanya itu sama sekali tak bisa dibantah.
Jika saja Abra bersikap abai, mungkin hidup Serayu akan semakin terasa terperosok. Sudah terjebak dalam pernikahan kontrak, masih juga ditindas di keluarga suaminya tanpa pembelaan sedikitpun.
“Sudahlah, Abra antar Mama pulang,” kata Abra pasrah. Ia berdiri dan bersiap untuk pergi dari ruang makan.
“Kamu benar-benar berubah semenjak menikah dengannya,” tuduh Riani dengan nada dingin.
Abra tidak menanggapi, hanya menghela napas lalu menoleh pada istrinya.
“Masuklah dulu, Saya akan antar Mama pulang,” titahnya berbisik, meminta Serayu masuk ke dalam kamar.
Serayu menurut, tapi belum genap langkahnya tiba-tiba suara Riani membelah keheningan.
“Ceraikan Serayu, Abra!”
Serayu berbalik membalas pelukan Abra. “Sekarang? Ayo,” ajaknya, lebih pada keberanian yang dipaksakan. Jujur saja, tubuhnya lelah. Namun, bukankah ia tak berhak untuk menolak ajakan suaminya? Abra menatap Serayu dalam-dalam. Lalu ia menggesekkan hidung mereka, gemas. “Tidak sekarang,” ucapnya lembut. “Nikmati saja soremu. Malam nanti… kamu milik saya.” Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir Serayu. Lalu, keduanya saling menatap. Serayu tidak menangkap kekecewaan di mata Abra, hanya tatapan penuh pengertian. “Saya mau di sini saja. Mau lihat matahari tenggelam dari sini,” tambah Abra. Serayu tersenyum kecil. “Oke, sayang.” Senja perlahan turun, menumpahkan warna jingga ke permukaan laut yang tenang. Abra duduk bersandar di kursi santai, dada telanjangnya disapa angin sore, kulitnya hangat oleh sisa matahari. Ia tampak begitu menyatu dengan pemandangan yang menenangkan. Serayu melangkah mendekat dari belakang mengenakan balutan baju pantai dan kain shawl tipis yang j
“Semuanya sudah, Sayang?” tanya Abra pada Serayu yang sedang memoles wajahnya tipis-tipis di depan meja rias. Lelaki itu mendekat, mengecup puncak kepala sang istri penuh sayang.“Sudah, dong.” Serayu tersenyum menatap Abra melalui pantulan cermin.Hari kelulusan Serayu berlalu tanpa banyak drama, berakhir penuh rasa lega. Serayu telah dinyatakan lulus. Gelar dokter kini resmi tersemat di namanya, meski ia tahu kalau perjuangannya belum benar-benar berakhir.Beberapa hari lalu, wisuda berlangsung berkesan. Jay dan Vera turut hadir menyampaikan selamat dan turut mendoakan hal baik. Ada kebanggaan yang terselip hari itu dan tidak akan Serayu lupakan.Hari ini, giliran mereka memberi jeda pada kesibukan. Suami istri itu akan berlibur, lebih tepatnya honeymoon yang lama tertunda.“Jangan cantik-cantik,” ujar Abra sedikit menunduk, memeluk Serayu dari belakang. “Cantiknya cukup saat berdua dengan saya saja.” Serayu tertawa geli mendengar kalimat itu keluar dari mulut suaminya sepagi ini. “K
“Cemburu?” tanya Serayu, mencolek dagu Abra. “Pikiran saya bilang tidak,” jawab Abra pelan, “tapi hati saya bilang iya.” Serayu tersenyum, lalu menyandarkan kepalanya pada lengan besar Abra. Di dalam mobil yang sunyi, terdengar helaan napas dalam. Tangan Abra terangkat, jemarinya menarik pelan dagu Serayu, seolah memainkannya. “Harusnya hatinya seyakin itu,” ujar Serayu lembut, “karena saya nggak mungkin berpaling.” Abra terdiam sesaat. Mobil tiba-tiba menepi, membuat Serayu mengernyit bingung. “Mas, kenapa?” Baru saja ia hendak menegakkan duduknya, Abra menarik Serayu ke arahnya. Sebuah ciuman panas datang tiba-tiba, seolah lama tertahan akhirnya dilepaskan di bibir rasa cherry itu. Wanita itu sendiri sempat terpaku oleh tindakan tiba-tiba suaminya itu. Ia mendorong tubuh Abra hingga kecupan itu terlepas. “Mas, tiba-tiba sekali,” keluhnya.Mobil terparkir di sisi jalan yang lengang. Lampu-lampu kota memantul di kaca depan, menciptakan bayang-bayang samar di wajah mereka. Seray
Serayu dan Sedanu kompak menoleh ke arah sumber suara. Wanita yang menyapa itu sedikit menunduk, pandangannya jatuh pada Serayu.“Amalia?” Serayu terkejut.Amalia sempat berteriak kecil karena Serayu mengingatnya, lalu buru-buru mengecilkan kembali suaranya. Dari kejauhan, Abra menoleh sekilas sebelum berpamitan pada lawan bicaranya. Ia melangkah mendekat ke meja tempat dua wanita itu kini sudah saling berpelukan.“Kalian saling mengenal?” tanya Sedanu, terdengar oleh Abra. Keduanya kompak mengangguk.“Mas,” sapa Amalia yang baru saja menyalami Sedanu—pada Abra yang kini berdiri di sisi istrinya.Pandangan Amalia kembali jatuh pada Serayu, ia tersenyum menatap Serayu dan Abra bergantian. “Sini, duduk sini,” ajak Serayu sambil menarik kursi di sampingnya.Amalia tak juga memalingkan wajahnya, terus menatap Serayu dan Abra tanpa berkedip. Karena merasa diperhatikan terlalu lama, Serayu akhirnya mengulurkan tangan dari kejauhan, menutup pandangan Amalia ke arah mereka berdua dengan sebela






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Ratings
reviewsMore