Ben bisa melihat ada riak terkejut di wajah manis milik Ivy. Mata hijau itu terlihat membulat seolah akan keluar dari tempatnya. Mulutnya terbuka, sedikit menampilkan gigi taringnya yang mungil layaknya anak kucing. Wajahnya memucat seperti kertas yang baru saja dibuat, serta tubuhnya terlihat menegang.Ben tertawa kecil menikmati ekspresi itu. Ekspresi submissive yang begitu menggoda. Ia ingin melihat lebih dati ini. Maka dari itu, Ben kembali melontarkan pertanyaan yang bersifat pribadi dengan nadanya yang begitu menggoda, terdengar serak dan juga dominan."Ya, imbalan lain. Kau sudah izinkan untuk masuk ke dalam mobil mewahku ini. Bukankah rasanya tak sebanding jika imbalannya hanya mengucapkan terima kasih saja?"Ivy menggigit bibirnya dengan keras hingga tak terasa melukainya. wajahnya terlihat panik. Mata hijaunya bergulir ke sana kemari tak tentu arah. Otaknya berpikir dengan keras bagaimana caranya agar bisa keluar dari situasi ini."Miss Ivy, kenapa kau tak menjawab pertany
Ivy bungkam. Ia tak ingin menjawab pertanyaan itu. Mengingatnya saja sudah membuatnya membenci dirinya sendiri, apalagi menceritakannya pada orang lain. Ia belum siap dicaci maki oleh orang lain karena kejadian gila itu.Ben sendiri juga tak menekan Ivy untuk menjawab pertanyaannya. Ia hanya diam sembari membiarkan Ivy menangis sesukanya. Ben kebingungan harus apa untuk menghibur wanita beranak dua itu.Suasana di mobil terasa begitu sendu. Hanya suara tangisan Ivy saja yang terdengar menandingi suara hujan deras diluar. Terra dan Terry segera berdiri lalu memegang tangan Ivy yang terjulur bebas."Mommy," panggil si kembar dengan nada sendu. Kedua manik hijau si kembar berkaca kaca, siap untuk menumpahkan air mata yang sudah tertampung di pelupuk mata.Ivy yang mendengar panggilan itu segera menoleh, menatap si kembar dengan matanya yang terlihat sembab. Wanita muda itu segera menyeka air matanya dengan tisu yang berada di tangannya deng
Steve melirik jam yang tergantung di dinding. Sudah pukul 10 malam. Waktu berlalu begitu cepat setelah pertengkarannya dengan Flora ketika berada di dapur tadi.Steve menolehkan kepalanya ke arah jendela yang masih menampilkan hujan badai. Steve mendesah kasar lalu segera meminum kopi yang sudah lama mendingin hingga tandas. Gelas yang sudah kosong itu ia simpan di bawah tempat tidur karena ia sedang malas menyimpannya di atas laci nakas. Setelah itu, pria berambut merah muda itu segera menyimpan naskah yang ia pegang ke atas meja yang letaknya bersebrangan dengan tempat tidurnya, setengah membantingnya karena jaraknya cukup jauh. Beruntung naskah itu tak berhamburan ataupun jatuh ke atas lantai.Steve segera meraih ponselnya yang tergeletak tak jauh dari tempatnya berbaring, lalu segera membuka layar dengan kata sandi yang sudah ia hapal di luar kepala."Ben sudah pulang belum ya?" Gumamnya pelan sambil mengetukkan tangan di dagu, meng
Ethan dan Kai kini tengah duduk di ruang tamu apartemen milik Jake. Kedua pria itu terdiam satu sama lain, enggan mengobrol untuk sekedar memecah keheningan yang tercipta diantara keduanya. Saat ini, Ethan sedang fokus dengan ponselnya—yang mana ia tengah bekerja— sementara Kai sendiri memilih untuk bermain game online. Karena kesal menunggu Jake yang entah sedang melakukan apa di kamar mandi, Kai melempar ponselnya ke samping sofa, lalu meregangkan badannya yang terasa sakit dan juga pegal."Haah, bosannya,"Kai melenguh kecil sembari mengusap dengan lebar. Pria itu hampir saja tertidur karena terlalu lama menunggu Jake yang belum datang hingga saat ini.Ethan melirik ke arah "teman barunya" itu dengan tatapan sinis. Senyuman miring tercetak di wajah tampannya. Ia tak berkata apapun dan memilih untuk melanjutkan pekerjaannya daripada mengomentari tingkah Kai yang membuatnya kesal setengah mati. Sejak awal, Ethan memang kurang
"Oh, Jayden. Aku tak menyangka kalau kau datang ke bar milikku," Archer yang sedang berbicara dengan salah satu koleganya langsung membalikkan badan begitu melihat sahabatnya datang mengunjunginya.Pria berkulit Tan itu tersenyum tipis sembari saat melihat Jayden yang saat ini tengah menaruh payungnya di gantungan khusus yang terletak di samping pintu masuk.Jayden menolehkan kepalanya ke arah sumber suara lalu berjabat tangan dengan Archer, tak lupa juga berjabat dengan para kolega milik pria itu, meskipun Jayden tak mengenalnya."Well, aku sedikit bosan dengan klub milikku. Sesekali aku ingin keluar dan beristirahat sejenak," kelakar Jayden dengan tawa kecil yang mengiringinya. "Aku tak mengganggu waktumu kan, Archer?" Tanya Jayden lagi menyambung perkataannya."Dasar kau ini. Tentu saja kau tak menggangguku. Lagipula, urusanku dengan kolegaku juga sudah selesai," sahut Archer dengan senyuman manis. Pria berkulit Ta
Steve menghela napas panjang sembari memegang lututnya yang terasa sakit. Napasnya terengah dengan dada yang terasa sesak. Bulir-bulir keringat keluar dari sekujur tubuhnya. Badannya terasa panas dan wajahnya terlihat memerah. Pria berambut merah muda itu melepaskan masker yang ia gunakan untuk meraup napas lebih banyak. Steve bernapas menggunakan mulut karena rasa sesak yang tak kunjung hilang akibat terlalu lama berlari dari dua orang yang mengejarnya. Sesekali, pria itu akan menyembulkan kepalanya dari balik tembok untuk melihat apakah orang yang mengejarnya itu berada dekat dengan posisinya saat ini atau tidak."Sialan! Gara gara file ini, aku dikejar oleh mereka sampai kelelahan seperti ini," umpat Steve sembari menyeka keringat yang berada di dahinya. Matanya melirik ke arah file yang terdapat di tangan kanannya.Saat akan keluar dari tempat persembunyiannya, tubuh Steve menegang ketika mendengar suara derap kaki yang m
"Aku tidak mau minta maaf. Aku tidak salah. Aku hanya melindungi Mommy dari tuan Ben," Ucapan itu tentu saja membuat Ivy terkejut. Matanya membulat dengan ekspresi kaget yang tercetak jelas di wajahnya. Ivy memejamkan matanya sejenak, berpikir mengapa Terry bisa membangkang seperti ini.Ivy merasa kecewa dengan sikap Terry. Tentu saja ia merasakan hal itu. Wanita muda itu merasa gagal karena tak bisa mendidik anaknya dengan baik. Ia mendekati Terry dan menaruh tangannya di bahu bocah laki-laki itu. Akan tetapi, sesuatu yang tak biasa terjadi.Terry menepis tangan Ivy tanpa menatap mata ibunya itu. Bocah laki-laki itu memilih untuk menundukkan kepalanya dengan tangan yang terkepal kuat, seolah tengah menahan amarah bisa meledak kapan saja.Karena cara "kasar" pada Terry tak berhasil, Ivy harus menggunakan cara yang biasa ia lakukan. Ivy memeluk tubuh Terry dengan erat. Terry tentu saja meronta ronta sembari mengerang kesal. "Mo
"Buku harian Neva?" Kai bertanya sembari memiringkan kepalanya saat mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Jake. Dahinya berkerut dalam dengan alis yang terlihat menyatu."Darimana kau bisa menyimpulkan jika aku memiliki buku harian Neva?" Tanya Kai lagi menyambung kalimatnya dengan hibur yang terlihat di gigit. Pupil miliknya terlihat bergerak gelisah kesana kemari dengan gerakan yang terlihat tak nyaman saat Jake menyebut kata "buku harian Neva".Jake tersenyum tipis mendengar jawaban dari pria bermata amber itu. Dirinya sudah menduga jika Kai akan sulit untuk diajak bekerja sama.Maka dari itu, Jake kembali melayangkan pertanyaan yang bersifat menjebak untuk mengetes seberapa besar Kai akan menyangkal."Iya. Aku mendengarnya dari Jayden. Katanya kau cukup dekat dengannya kan? Aku pikir, kau pasti tahu atau setidaknya menyimpan buku itu, Kai," ujar Jake dengan nada seraknya, terdengar begitu mendominasi dan juga berkh