"Kalau aku mau uncle Kai menjadi Daddy ku," sela Terry yang entah sejak kapan datang. Semua orang yang ada di ruangan itu mengalihkan fokus mereka pada Terry yang saat ini terlihat begitu berkeringat. Bocah laki-laki itu mengipasi wajahnya yang terlihat memerah menggunakan buku yang entah di dapat dari mana.Terra memperhatikan kakak kembarnya dengan intens. Ada seberkas rasa tak suka saat Terry menyebutkan demikian. Maka dari itu, Terra turun dari pangkuan Kai dan segera menghampiri Terry, lalu memukul tangan bocah laki-laki itu dengan cukup kencang.Terry yang mendapat geplakan kasih sayang dari sang adik tentu saja tak terima. Mata hijaunya menatap Terra dengan tatapan tajam. Rahang bocah laki-laki itu mengetat. Wajahnya yang terlihat memerah karena kelelahan menjadi semakin merah karena marah."Kenapa kau malah memukul tanganku?" Tanya Terry dengan nada setengah berteriak. Ia hampir saja mendorong tubuh Terra ke belakang jika saja Ivy tak menarik gadis kecil itu ke belakang."I
Setelah dirias oleh para pengantin professional selama dua jam lamanya, penampilan Ivy kini berubah drastis. Wanita sederhana yang saat ini sedang kebingungan itu terlihat berkali kali lipat lebih cantik daripada sebelumnya.Wajahnya yang seperti boneka dipoles sedemikian rupa, dengan gaun pengantin putih yang membalut tubuh rampingnya.Setelah memasangkan veil pada kepalanya, para perias itu pergi ke luar dari ruangan itu. Ivy menggigit bibirnya dan memegang dadanya lagi, merasa sesak dan juga tak nyaman.Ditengah kebingungannya itu, tiba tiba saja Ben datang menghampiri dirinya, dengan setelan jas hitam yang nampak gagah membalut tubuh kekarnya.Sejenak keduanya saling terkesima satu sama lain. Wajah Ivy sampai memerah melihat wajah Ben yang berkali kali lipat lebih tampan daripada biasanya. Meskipun kantung mata hitam tak bisa di samarkan dengan sempurna dari wajah pria tampan itu." Ben, jelaskan apa yang terjadi. Mengapa semuanya bisa terjadi seperti ini? Kenapa pernikahannya men
"Ben, kau harus segera menikah. Mommy menginginkan cucu darimu," ujar seorang wanita paruh baya yang kini berkacak pinggang tepat di hadapan seorang pria bernama Ben. Pria yang dipanggil Ben itu memutar mata malas disertai dengan dengusan kesal. Ia mengalihkan tatapannya dari ponsel yang saat ini sedang ia pegang. "Mom, aku masih berumur 29 tahun! Jangan terus menekanku untuk menikah!" Teriak Ben menimpali perkataan ibunya dengan urat leher yang menonjol. "Lagipula, jika Mommy mau memaksa untuk menikah, maka suruhlah Steve karena ia adalah kakakku," balas Ben lagi sambil memalingkan tatapannya ke arah lain. Ini adalah bahasan yang sangat ingin ia hindari. Pernikahan. Hanya satu kata itu saja berhasil membuat Ben yang notebene adalah seorang pria penyuka kebebasan menjadi kesal. Pria itu tak menginginkan ikatan yang akan membelenggunya. Ben tidak suka di atur oleh orang lain. Karena menurut Ben, pernikahan berarti sama saja dengan menyerahkan setengah kebebasan yang ia miliki p
6 tahun kemudian... "Sialan! Apa kau tak punya mata sampai menumpahkan susu milikmu pada celanaku?!" Teriak seorang pria dengan keras pada seorang anak perempuan berambut hitam yang saat ini tengah menundukkan kepala. Tubuh anak perempuan itu bergetar ketakutan mendengar bentakan pria dewasa di hadapannya. Mata bulatnya yang berwarna hijau terang sudah bersiap untuk mengeluarkan air mata. "Ben, tenangkan dirimu, ini hanya kesalahan kecil. Lagipula, adik manis itu tak mungkin sengaja juga menumpahkan susunya," ujar seorang gadis berambut pirang yang saat ini menenangkan pria yang bersiap kembali mengamuk karena celana yang ia gunakan menjadi basah dan lengket. Pria yang dipanggil Ben menatap tajam gadis berambut pirang itu dengan mata cokelatnya sembari mengeratkan rahangnya yang tegas hingga giginya mengatup. Wajah marah dan kesal bercampur menjadi satu di wajah tampannya. "Tapi dia sudah menumpahkan susunya padaku, Marinka. Apalagi kita akan ada meeting dengan Adam Corp setel
Wanita muda itu berjengit kaget saat mendengar uang ganti rugi sebagai kompensasi atas kesalahan buah hatinya. Wajah wanita itu tampak gusar dengan raut wajah bingung yang begitu kentara di wajah cantiknya.Ben sendiri tampak menikmati ekspresi kalut itu, seolah ia sudah menemukan hiburan terbaru untuk mengusir rasa penat akibat pekerjaan yang mencekik dirinya. Wajah wanita muda di hadapannya sebenarnya sangat cantik, lebih cantik daripada Marinka yang berstatus sebagai sekretarisnya. Wajahnya yang mirip boneka itu menghipnotisnya. Dengan mata hijau yang begitu memukau, hidung kecil yang mungil namun mancung, kulit seputih susu dengan bibir merah mungil yang menggoda. Rambutnya yang berwarna hitam terlihat begitu lembut dan halus dan sangat pas dengan potongan rambut hime yang dipadukan dengan wolf cut dibagian depan, lalu rambut panjang yang lurus sebokong dibagian belakang. Tubuhnya seperti gitar spanyol, begitu indah dan memikat. Akan tetapi, pria itu sedikit terganggu dengan ba
Mata Ivy bergulir ke samping dengan genggaman tangan yang menguat pada kedua tangan anaknya. Bibirnya ia gigit dengan napas tertahan, membeku mendengar pertanyaan itu. "Maaf?" "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Tanya Ben mengulangi kalimatnya. Ia dengan sabar menunggu jawaban dari wanita muda beranak dua di hadapannya, ingin memastikan ingatan samar yang tiba tiba saja melintas di kepalanya saat ia melihat wajah Ivy. Pria itu yakin sekali jika wanita muda yang berada di hadapannya ini adalah orang yang selama ini ia cari. "Kita tak pernah bertemu sebelumnya, Tuan," jawab Ivy dengan nada tersendat, seolah kehilangan suara. Tatapan mata Ivy terlihat begitu sendu, dibarengi dengan mata yang berkaca kaca. Ivy segera memejamkan matanya dan melirik kembali tangan yang dipegang oleh Ben. "Anda bisa melepaskan tangan anda, Tuan. Saya harus pulang karena harus bekerja," Ben segera melepaskan tangan wanita muda itu dengan cepat. Pria itu baru sadar jika ia masih memegang tangan Ivy
Ben segera merebahkan dirinya di atas kasur kesayangannya setelah melakukan meeting dengan pemilik Adams Corp. Pria itu merasa kelelahan luar biasa setelah mengalami hari yang panjang. Celana yang kotor ia lempar kedalam keranjang cucian kotor yang terdapat di sudut ruangan. Karena merasa gerah, Ben segera mengendurkan dasi yang mencekik lehernya dan menyalakan air conditioner. Begitu udara yang dihasilkan oleh AC itu memenuhi ruangan, Ben segera menutup matanya. Ia ingin tidur hari ini dan berencana akan pergi ke klub malam nanti untuk mencari wanita yang bisa diajak tidur dengannya. Rasa rileks dapat Ben rasakan saat ini. Dirinya hampir saja terlelap sebelum bantingan pintu yang kasar dan juga keras menghancurkan niatnya, hingga matanya kembali terbuka dengan sempurna. "Sialan! Kau tak bisa membuka pintu dengan lebih santai?" Hardik Ben seraya menatap tajam si pelaku yang saat ini tengah memasang wajah tak berdosa. Ben ingin sekali mencekik orang itu andai saja ia tak ingat ji
"Mengapa anda menanyakan suami saya?" Tanya Ivy pelan, merasa tak nyaman dengan topik pembahasan yang Ben angkat. Ini adalah pembahasan yang normal, namun entah kenapa terlalu sensitif untuk Ivy. wanita muda itu merasa jika Ben terlalu ingin tahu akan urusan pribadinya."Kau masih punya hutang tentang celanaku yang kotor gara gara anak perempuanmu, omong-omong," Ben mengingatkan dengan nada rendah, membuat bulu kuduk Ivy merinding disko karenanya. "Dan lagi, kau bisa meminta pada suamimu untuk ganti rugi yang kau lakukan padaku. Jadi, aku tanya sekali lagi, dimana suamimu?"Wanita muda itu ingin meninggalkan Ben saat ini, berlari sejauh mungkin dari pria itu. Tatapan mengintimidasi dan mendominasi yang Ben keluarkan membuatnya tak nyaman seolah tercekik. Hanya saja ia tak bisa melakukannya untuk sekarang. Ivy tak mau dilaporkan oleh Ben pada atasannya dengan alasan tak melayani konsumen dengan baik yang berakhir dengan pemotongan gaji. Tidak! jangan sampai hal itu terjadi padanya."