Setelah perjalanan yang melelahkan, Patiwaji dan rombongannya akhirnya sampai di sebuah desa kecil yang terletak di pinggir hutan. Desa itu tampak sederhana, namun memancarkan aura kedamaian yang jarang mereka temui di sepanjang perjalanan. Rumah-rumah terbuat dari bambu dan daun kelapa, dengan atap yang kokoh dan dinding yang rapi. Pohon kelapa berdiri tegak di sepanjang jalan, memberikan keteduhan dari teriknya matahari yang mulai tinggi.
Patiwaji dan Mariam duduk di bawah sebuah pohon kelapa besar, sementara La Balanipa berbicara dengan beberapa orang desa. Suara tawa anak-anak yang bermain di dekat pantai mengalun, memberikan kesan bahwa kehidupan di desa ini berjalan dalam suasana tenang. Namun, di balik kedamaian itu, Patiwaji merasa sesuatu yang lebih besar sedang menanti di balik setiap sudut desa ini. Mariam melirik Patiwaji, yang tampak termenung, matanya menatap laut yang terhampar luas di depan mereka. "Kau tampak cemas, Patiwaji. Apa yang sedang kau pikirkan? Sebelum kau menjawabnya, bolehkah kita mengganti nama panggilan? Aku akan memanggilmu dengan sebutan kakanda agar lebih enak lagi didengar" tanyanya, suaranya penuh perhatian. Patiwaji mengalihkan pandangannya kepada Mariam, dan tersenyum tipis. "Ya sudah, kita ganti nama panggilan kita, saya akan memanggilmu dengan sebutan Adinda. Aku jawab pertanyaanmu yah!! Aku tidak tahu, Adinda. Rasanya seperti ada sesuatu yang lebih besar yang menunggu kita di sini, di desa ini. Lautan Batu mungkin sudah kita lewati, tapi aku merasa seperti ini baru permulaan. Apa yang kita cari, apakah benar-benar ada di sini?" Mariam menghela napas, menatap Patiwaji dengan penuh pengertian. "Kadang-kadang, jawaban yang kita cari tidak selalu terlihat langsung di depan kita. Kehidupan ini, perjalanan ini, terkadang memberi kita lebih banyak pertanyaan daripada jawaban." La Balanipa mendekat, menghentikan percakapan mereka. "Desa ini bukan hanya tempat peristirahatan. Ini adalah tempat di mana banyak rahasia tersembunyi. Di balik kehidupan sehari-hari yang tampak damai ini, ada kisah-kisah yang tidak pernah diceritakan." Patiwaji menatap La Balanipa dengan penasaran. "Apa maksud Kakek?" La Balanipa mengangguk, menyuruh mereka mengikuti langkahnya. "Ikutlah. Aku akan menunjukkan padamu sesuatu." Mereka mengikuti La Balanipa menuju sebuah rumah tua di pinggir desa. Rumah itu tampak sepi dan tertutup rapat, namun ada sesuatu yang aneh tentang tempat itu. Pintu kayunya yang berat terlihat usang, dan jendela-jendela kecilnya tertutup oleh anyaman bambu. Sesuatu dalam diri Patiwaji merasa tidak nyaman, namun ia tidak berkata apa-apa. Mereka memasuki rumah itu dengan hati-hati. Di dalam rumah, suasana terasa gelap, hanya diterangi oleh cahaya yang masuk melalui celah-celah dinding. La Balanipa melangkah ke dalam, membuka pintu sebuah ruangan yang lebih dalam lagi. "Ini adalah tempat di mana rahasia-rahasia desa ini disembunyikan. Banyak yang sudah lupa, tetapi beberapa orang masih ingat." Patiwaji dan Mariam saling berpandangan, merasakan ketegangan yang semakin tebal. Mereka memasuki ruangan itu, yang ternyata dipenuhi dengan berbagai artefak dan lukisan-lukisan kuno. Di tengah ruangan, ada sebuah meja batu besar dengan gulungan-gulungan kain yang tergeletak di atasnya. La Balanipa mendekat, mengambil salah satu gulungan kain itu, dan membentangkannya di atas meja. "Ini adalah peta kuno yang menunjukkan lokasi tempat-tempat sakral di pulau ini," jelas La Balanipa, sambil menunjuk berbagai simbol yang tergambar di peta itu. "Peta ini diwariskan dari generasi ke generasi, namun hanya sedikit orang yang tahu cara membacanya. Setiap tanda pada peta ini adalah petunjuk menuju sesuatu yang sangat penting." Patiwaji melangkah mendekat, mencoba memeriksa peta itu dengan seksama. Namun, ia merasa ada sesuatu yang tidak bisa ia pahami. Simbol-simbol itu tampak terlalu rumit dan tidak seperti apa yang biasa ia lihat. "Kakek, apakah kita harus mengikuti peta ini?" tanyanya, suaranya penuh keraguan. La Balanipa mengangguk. "Peta ini adalah kunci untuk menemukan apa yang tersembunyi di pulau ini. Namun, seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, perjalanan ini penuh dengan bahaya. Banyak yang mencoba mencari tahu, tetapi tidak semua berhasil. Kadang-kadang, apa yang kita cari tidak selalu sesuai dengan apa yang kita harapkan." Mariam merasa cemas. "Jadi, apa yang harus kita lakukan? Kita harus mengikuti peta ini, meskipun kita tidak tahu apa yang akan terjadi Kek?" La Balanipa tersenyum tipis, lalu mengembalikan peta itu ke tempat semula. "Itulah keputusan yang harus kalian buat. Tetapi ingat, tak ada jalan mudah untuk mencapai tujuan besar. Kalian harus siap menghadapi segala rintangan yang datang. Ini bukan hanya soal menemukan sesuatu yang tersembunyi, tapi juga tentang menghadapi diri sendiri dan masa depan pulau ini." Patiwaji terdiam, mencoba mencerna kata-kata La Balanipa. Ia tahu bahwa apa yang dikatakan lelaki tua itu mengandung kebenaran yang mendalam. Namun, di sisi lain, ia merasa takut dengan apa yang mungkin mereka temui nanti. "Aku tidak tahu apakah aku siap, Kek," katanya akhirnya. "Tapi aku tahu satu hal. Aku tidak bisa mundur lagi." La Balanipa menatap Patiwaji dengan tatapan yang penuh makna. "Itulah keputusan yang benar, Nak Patiwaji. Jangan biarkan ketakutan menghalangi langkahmu. Ingat, apa yang kau cari bukan hanya untuk dirimu sendiri, tetapi juga untuk seluruh pulau ini." Setelah beberapa saat, mereka keluar dari rumah tua itu dan kembali ke luar, di mana cahaya matahari sudah mulai redup. Patiwaji merasa seolah-olah masa depan pulau ini berada di tangannya, dan ia harus siap menghadapi apa pun yang datang. Malam pun tiba, dan mereka kembali ke rumah kecil yang telah disediakan untuk mereka. Sambil duduk di depan api unggun, Patiwaji merenung tentang kata-kata La Balanipa. Kehidupan sehari-hari yang sederhana di desa ini tampak kontras dengan perjalanan yang mereka jalani. Di tengah ketenangan desa, ada rahasia besar yang tersembunyi, menunggu untuk diungkap. Mariam duduk di sampingnya, menatap api yang menyala. "Apa yang akan kita lakukan sekarang Kakanda?" tanyanya. Patiwaji memandang bintang-bintang di langit yang gelap. "Aku rasa kita harus mempersiapkan diri. Perjalanan kita belum selesai, dan kita masih jauh dari tujuan kita Adinda." La Balanipa, yang duduk di dekat mereka, ikut berbicara. "Perjalanan ini tidak hanya tentang fisik. Ini juga tentang bagaimana kalian memahami diri sendiri dan tujuan kalian. Setiap langkah yang kalian ambil akan membawa kalian lebih dekat kepada jawaban, tetapi kalian harus siap untuk menerima konsekuensi dari setiap keputusan." Patiwaji menarik napas dalam-dalam. "Aku tahu," jawabnya. "Tapi aku tidak tahu apakah aku benar-benar siap Kek." Malam semakin larut, dan api unggun yang menyala perlahan memudar. Keheningan malam menguasai desa itu, tetapi di dalam hati Patiwaji, ada tekad yang semakin membara. Meskipun perjalanan mereka penuh dengan ketidakpastian, ia tahu bahwa ia tidak bisa mundur lagi. Apa yang telah dimulai harus diselesaikan, dan ia harus siap menghadapi semua tantangan yang ada di depan. Malam di desa itu terasa semakin mendalam. Langit yang gelap menyelimuti alam, hanya diterangi oleh sinar rembulan yang perlahan naik, menghadap ke langit yang penuh dengan bintang-bintang berkelip. Suasana yang tenang di luar seakan bertolak belakang dengan hiruk-pikuk yang ada dalam pikiran Patiwaji. Ia merasa seolah-olah desanya, pulau, bahkan kehidupannya sendiri sedang berputar dengan cara yang lebih besar, lebih dari apa yang ia ketahui. Dengan adanya petunjuk yang diserahkan La Balanipa dan peta kuno yang menggantung di benaknya, pertanyaan-pertanyaan baru muncul di setiap sudut perasaan Patiwaji. Apa yang sebenarnya ia cari? Apa yang harus ia temui di sepanjang perjalanan ini? Apakah memang benar jalan mereka adalah jalan yang benar? Mariam yang duduk di sampingnya, dengan tenang, tidak berkata apa-apa. Ia tahu bahwa pikirannya sedang berputar-putar, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja mereka terima. Keheningan mereka malam itu adalah bukti betapa dalamnya beban yang mereka rasakan. Namun, Mariam tahu, seperti yang selalu dikatakan ibunya, bahwa keheningan juga adalah bagian dari perjalanan menuju pemahaman. Sementara Patiwaji tenggelam dalam pikirannya, La Balanipa yang duduk tidak jauh dari mereka mengamati keduanya. Lelaki tua itu tahu, perjalanan mereka ke depan tidak akan mudah. Setiap orang harus menghadapi ujian mereka sendiri, dan tak jarang ujian itu datang dalam bentuk ketidakpastian, keraguan, bahkan kesendirian. Keheningan yang terasa seakan menggelayuti malam itu akhirnya pecah ketika suara langkah kaki terdengar mendekat. Seorang wanita tua dengan rambut putih yang tergerai dan tubuh yang kurus datang menghampiri mereka. Ia mengenakan pakaian sederhana dari bahan tenunan tangan dan membawa sebuah keranjang yang penuh dengan buah-buahan segar. "Ini untuk kalian," kata wanita tua itu dengan suara yang lembut dan penuh kebijaksanaan. "Aku dengar kalian baru saja datang. Desa ini mungkin tampak sunyi, tapi di balik sunyinya ada kedamaian. Makanan ini mungkin tidak banyak, tetapi ini adalah tanda penghormatan kami kepada para tamu yang datang dengan niat baik." Patiwaji menatap wanita itu, merasa bahwa ia pernah melihat wajah itu sebelumnya, meskipun ia tidak bisa mengingat dari mana. "Terima kasih Nek," jawab Patiwaji dengan tulus. Wanita itu tersenyum, meletakkan keranjang itu di depan mereka dan duduk di dekat api unggun. "Aku tahu kalian mencari sesuatu yang lebih besar Nak. Tetapi sebelum kalian melangkah lebih jauh, cobalah untuk menikmati apa yang ada di sini. Kehidupan sehari-hari di desa ini adalah pelajaran berharga yang kadang-kadang kita lupakan." Mariam mengangguk, merasa bersyukur atas kehadiran wanita itu. "Kami akan menghargai semua ini Nek," ujarnya. "Kami tahu kami berada di tempat yang penuh dengan kebijaksanaan." Wanita tua itu mengangguk pelan, lalu melihat ke arah La Balanipa. "Dia tahu apa yang harus dilakukan La Balanipa," katanya dengan suara yang penuh makna. "Tapi kadang-kadang, sebelum kita berjuang untuk hal-hal yang besar, kita harus belajar dari yang kecil." La Balanipa tersenyum bijak. "Begitu, Tuan Haya. Apa yang kau katakan benar. Setiap orang yang datang ke tempat ini harus belajar dari kehidupan yang sederhana. Kadang-kadang, kita harus menghargai apa yang sudah ada di depan kita, bukan hanya mengejar sesuatu yang lebih besar yang kita rasa lebih penting." Tuan Haya menatap mereka dengan penuh perhatian. "Kehidupan di sini mengajarkan kami satu hal Nak—bahwa segala sesuatu memiliki waktunya sendiri. Semua yang ada di dunia ini, baik yang tampak besar maupun kecil, memiliki tujuan dan peranannya masing-masing." Patiwaji merasa bahwa kata-kata wanita itu mengandung makna yang dalam. Ada sesuatu tentang kedamaian desa ini yang membuatnya merasa terlupakan oleh waktu, seperti dunia di luar desa ini tidak ada. Keputusan-keputusan besar, perjuangan, dan pencarian mereka untuk jawaban—semuanya seakan-akan meredup ketika mereka berada di sini. Di sela-sela percakapan itu, suara anak-anak desa terdengar riang, mereka bermain di tepi pantai. Beberapa di antaranya berlarian di sekitar api unggun, riang melompat-lompat di pasir. Patiwaji menatap mereka, merasa betapa jauh perbedaannya antara kehidupan yang tenang ini dan kehidupannya sebelumnya. Anak-anak itu tidak tahu apa-apa tentang bahaya yang mengancam dunia luar, tentang pencarian yang tengah dilalui oleh Patiwaji dan Mariam. Mereka hanya tahu kebahagiaan yang ada di depan mata mereka, sesuatu yang sederhana dan murni. "Apakah kalian tahu siapa yang pertama kali datang ke pulau ini Nak?" Tuan Haya bertanya, memecah keheningan. Patiwaji dan Mariam saling berpandangan. "Kami tidak tahu Nek," jawab Patiwaji. Tuan Haya tersenyum. "Dulu, banyak orang yang datang ke sini dengan harapan untuk menemukan kekayaan atau kekuasaan. Tetapi hanya sedikit yang memahami bahwa yang paling berharga dari semua itu adalah kedamaian dan keseimbangan alam ini." Mariam merasa ada kebijaksanaan dalam kata-kata itu. "Apakah itu berarti, kita harus mencari kedamaian di dalam diri kita sebelum kita mencari hal-hal besar lainnya Nek?" Tuan Haya mengangguk pelan. "Tepat sekali Nak. Sebelum kita berjuang untuk sesuatu yang lebih besar, kita harus memastikan bahwa hati kita sudah siap. Ketika kita menemukan kedamaian di dalam diri kita, maka kita akan siap untuk menghadapi tantangan apapun yang datang." Percakapan mereka terhenti sejenak, hanya terdengar suara angin laut yang berbisik lembut di sekitar mereka. Malam semakin larut, dan api unggun perlahan mulai padam, meninggalkan cahaya yang temaram. Patiwaji, yang tampaknya tenggelam dalam pemikiran, akhirnya berbicara. "Adinda, apa yang menurutmu harus kita lakukan selanjutnya?" Mariam merenung sejenak, menatap api unggun yang hampir padam. "Aku merasa, meskipun kita sedang mencari sesuatu yang besar, kita juga perlu menghargai perjalanan kita sendiri Kakanda. Kedamaian ini, pelajaran-pelajaran yang kita dapatkan dari kehidupan sehari-hari di desa ini—ini adalah bagian dari perjalanan kita juga." Patiwaji menatapnya dengan penuh pengertian. "Kau benar Adinda, Kita telah melalui banyak hal, tetapi mungkin inilah saatnya untuk berhenti sejenak dan menghargai apa yang ada di sekitar kita." Kehidupan sehari-hari di desa ini, dengan segala kesederhanaannya, memberikan mereka pelajaran tentang ketenangan, kesabaran, dan cara hidup yang lebih dekat dengan alam. Mereka belajar untuk menghargai waktu, sekadar duduk bersama orang-orang bijak, mendengarkan cerita-cerita lama, dan menemukan kedamaian dalam setiap detik yang berlalu. Sebelum mereka bisa melanjutkan perjalanan mereka yang penuh tantangan, mereka harus memastikan bahwa hati mereka sudah siap. Sebelum beranjak, Patiwaji berpaling ke La Balanipa, yang masih duduk dengan tenang di dekat mereka. "Kakek, apakah ada hal yang harus kita persiapkan sebelum melanjutkan pencarian kita?" La Balanipa menatap mereka dengan tatapan serius. "Kalian sudah memahami banyak hal tentang tempat ini Nak. Sekarang, waktunya untuk kalian memutuskan langkah berikutnya. Ketika kalian merasa siap, ikutilah jalan yang telah kalian pilih, tapi ingat, tidak ada jalan yang mudah. Setiap keputusan akan membawa dampak." Patiwaji menatap laut yang membentang luas. "Kami akan melanjutkan perjalanan kami, Kakek. Tetapi kami akan membawa semua pelajaran ini dalam hati kami." Dengan perasaan yang lebih tenang namun penuh tekad, mereka pun bersiap untuk melanjutkan perjalanan mereka.Langit mulai memerah saat matahari tenggelam di balik cakrawala, memancarkan cahaya keemasan yang mencelupkan pulau ke dalam nuansa yang dramatis. Udara di sekitar mereka terasa tebal, penuh dengan kekuatan alam yang seakan meresap ke dalam setiap pori tubuh Tammatea, Mariam, dan Patiwaji. Mereka berdiri di pinggir tebing, menatap laut luas yang terbentang di depan mereka, sementara angin berhembus kencang, membawa aroma laut yang tajam.Perjalanan mereka yang panjang menuju ke titik ini akhirnya membawa mereka ke puncak sebuah penemuan yang lebih besar dari apa yang mereka bayangkan. Kekuatan yang mereka cari bukan hanya sebuah kekuatan fisik atau sihir yang tersembunyi. Ini adalah kekuatan yang lebih dalam, yang berhubungan dengan jiwa dan kehormatan, dengan takdir yang telah ditulis di luar kendali mereka.Mariam memandang Tammatea, matanya penuh kebingungan dan rasa ingin tahu. “Tammatea, kita telah melewati begitu banyak hal. Kita sudah sampai ke sini, tetapi
Tammatea menatap puncak gunung yang semakin dekat di hadapannya. Kabut tebal menyelimuti udara, memberikan kesan bahwa mereka sedang memasuki dimensi lain. Setiap langkah mereka terasa semakin berat, seperti ada sesuatu yang menahan tubuh mereka untuk bergerak maju. Namun, meskipun ada perasaan berat di dalam dada, semangat mereka tetap utuh."Apa yang sebenarnya kita cari?" tanya Mariam dengan suara yang agak gemetar. "Apa yang akan kita temukan di puncak gunung ini?"Tammatea menghentikan langkahnya sejenak dan menatap teman-temannya. "Kekuatan," jawabnya perlahan, matanya menatap jauh ke depan, "Kekuatan yang konon bisa mengubah segalanya. Tapi lebih dari itu, kita juga mencari jawaban untuk semua yang telah terjadi. Kenapa kita dipilih untuk datang ke sini? Kenapa kita harus menghadapi ujian ini?"Patiwaji yang berjalan di sebelahnya mengangguk. "Kita mencari lebih dari sekedar kekuatan. Kita mencari kebenaran. Kebenaran tentang dunia ini, tentang keku
Pagi yang cerah menyelimuti hutan yang sebelumnya begitu mencekam. Udara terasa segar, tetapi ada ketegangan yang tetap menggantung di antara Tammatea, Patiwaji, dan Mariam. Setelah ujian yang mereka hadapi di altar bawah tanah, mereka tahu perjalanan mereka belum berakhir. Petunjuk yang mereka temukan di dalam ruangan itu menunjukkan bahwa tujuan mereka selanjutnya adalah gunung tertinggi di wilayah tersebut—sebuah tempat yang dikenal hanya melalui legenda dan cerita lama yang diceritakan oleh orang-orang yang telah melaluinya. Gunung itu dikenal dengan nama Gunung Gelap, tempat yang konon menyimpan kekuatan alam terbesar yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan dunia, tergantung pada siapa yang menemukannya.Mereka memulai perjalanan mereka pagi itu, memutuskan untuk menempuh jalur yang lebih tinggi ke utara, di mana Gunung Gelap berdiri megah. Setiap langkah mereka terasa semakin berat, seperti beban yang terus meningkat seiring perjalanan mereka. Tammatea mengerti bah
Malam itu, udara hutan terasa semakin berat, seakan ada kekuatan yang mengendalikan setiap helai daun dan batang pohon. Tammatea, Patiwaji, dan Mariam berdiri di tengah hutan, memperhatikan sekitar mereka dengan waspada. Setelah menghadapi ujian alam yang mengguncang batin mereka, perasaan tenang yang sempat mereka rasakan kini tergantikan oleh ketegangan yang tidak dapat dijelaskan.“Sepertinya, kita tidak sendirian di sini,” kata Tammatea dengan suara pelan, namun tegas. Matanya terus mengawasi setiap gerakan di sekitar mereka. Ia merasakan ada sesuatu yang aneh, entah apa, yang sedang mengintai mereka dari balik kegelapan.“Ya, aku juga merasakannya,” jawab Patiwaji, suaranya menggema dalam keheningan malam. Ia menggenggam erat pedangnya, siap jika sesuatu terjadi. “Ini bukan hanya perasaan kita saja. Alam ini sedang mengirimkan sinyal, dan kita harus berhati-hati.”Mariam menggenggam tangan Patiwaji dengan erat, matanya tidak dapat lepas dari bayangan
Matahari baru saja terbenam, menyelimuti hutan dengan cahaya redup yang semakin pudar. Udara terasa lembab, dan suara gemerisik dedaunan memberi kesan bahwa alam sekitar sedang berbisik, menyembunyikan rahasia yang belum terungkap. Patiwaji berdiri di tepi sungai, matanya terfokus pada permukaan air yang mengalir deras. Beberapa langkah di belakangnya, Tammatea dan Mariam berdiri, masing-masing tampak tidak sabar dan waspada. Ketiganya merasa ketegangan yang semakin tebal seiring berjalannya waktu, seolah alam itu sendiri juga merasakan bahaya yang mengintai.“Patiwaji, kita tidak bisa terus berdiam diri,” kata Tammatea dengan suara penuh ketegasan, langkah kakinya mendekat, tapi matanya tetap mengawasi sekitar. “Kita harus mengambil langkah konkret. Riko sudah memperingatkan kita tentang pengkhianatan yang mungkin terjadi. Waktu kita semakin sempit.”Patiwaji hanya mengangguk, pandangannya masih terfokus pada aliran sungai yang deras. Ia tahu Tammatea benar. Waktu
Langit malam yang pekat menyelimuti desa dengan kelam, hanya diterangi oleh cahaya redup dari obor yang menyala di beberapa sudut jalan setapak. Suasana yang seharusnya tenang ini malah terasa penuh ketegangan. Patiwaji, Tammatea, dan Mariam berjalan dengan langkah hati-hati, menuju tempat yang semakin familiar namun penuh dengan misteri. Pikiran mereka terbelah antara keinginan untuk terus maju dan ketakutan akan apa yang akan mereka hadapi.Setiap kata yang diucapkan oleh wanita tua itu terngiang dalam pikiran mereka. “Sahabat atau musuh,” kalimat itu berputar-putar di benak mereka. Siapa yang bisa dipercaya? Mereka telah mendalami perjalanan yang penuh dengan rahasia dan pengkhianatan, dan kini mereka harus menghadapi kenyataan bahwa musuh mereka mungkin ada di antara mereka sendiri. Jika mereka tidak berhati-hati, perjalanan ini bisa berakhir dengan cara yang lebih tragis dari yang mereka bayangkan.Patiwaji berjalan di depan, matanya tajam menatap jalan yang m