Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, kali ini Pak Darma datang langsung ke kelas bersama Kronos dan Kyos. Biasanya jika permainan itu digelar di dalam kelas, dia lebih memilih berinteraksi dengan kami melalui layar laptop. Entah apa alasannya, barangkali jeritan kami akan memantul dan bergema di ruangan sehingga dapat melukai gendang telinganya. Barangkali dia tidak suka suara bising. Tapi lihat lah sekarang, tidak banyak yang tersisa dari kami. Mungkin teriakkan dari segelintir orang tidak akan melukai telinganya. Yang hadir di kelas hanya 7 orang. Setelah kejadian tadi pagi, Melodi lebih memilih mengurung dirinya di UKS. Aku bilang aku tidak apa-apa, tetapi dia tidak menganggapnya. Sering kali ketika orang merasa bersalah, mereka akan menghindar jauh-jauh. Sayangnya di sekolah yang berjeruji ini mirip penjara, jarak sejauh apa pun yang kau inginkan, kau akan bersenggolan kembali ketika waktunya bersih-bersih di toilet. Tapi mungkin saja dia mengurung diri bukan karena merasa bersa
Bolehkah aku bertepuk tangan kegirangan, menari di antara debu kelas di celah-celah sinar matahari dengan tawa menggelitik? Bolehkah? Kami girang karena bahagia. Banyak yang membuat kami bahagia, pertama Eden memenangkan permainan kedua tidak ada yang mati hari ini. Hanya dua poin, tetapi lebih dari satu sudah terbilang banyak. Aku lihat dari jendela kelas, matahari pun mendukung kebahagiaan kami. Ia bersinar dengan segenap hatinya, menghangatkan sampai ke tulang rusuk yang ada di Bumi. “Aku serahkan pada kalian, Aditya, Julian.” Ternyata, kebahagiaan ini terletak bukan di akhir cerita, melainkan di tengah rudal susulan yang segera diluncurkan oleh pihak lawan. Tepuk tangan perlahan menjadi bela sungkawa. Tarian kegirangan menjadi tarian selamat jalan. Kesalahan kami terlena pada kebahagiaan, yang seharusnya kami lebih berharap pada akhir dari peperangan. “Siapa Aditya dan Julian?” terpaksa ceria Kemala terbang, dia pun bertanya. Kronos dan Kyos menoleh kepada satu sama lain. M
“Kau yakin ini akan berhasil?”“Kita tidak pernah tahu sebelum mencobanya.” aku menepis kekhawatiran Kemala. Hanya ada satu pemuda yang ikut bersama kami, para gadis, aku, Innana, Melodi dan Kemala. Bara mendadak ikut hadir karena Innana bilang dia lah satu-satunya yang pernah melihat di mana letak gerbang sekolah ini. Di hari di mana Jessica menangis di kubangan darah yang dia buat sendiri, beberapa anak laki-laki berlari tunggang langgang ke dalam hutan. Bara adalah salah satunya. Sebelum mereka menemukan ujung dari hutan, mereka mendapatkan gerbang besar nan tinggi, terbuat dari besi tempa. Gerbangnya kokoh dan tinggi, dua orang dari mereka, Michael dan Daru, tanpa ragu memanjat gerbang itu. Niat hati ingin segera pergi dari sekolah gila ini, tapi ternyata si senjata laser itu juga terpasang di sisi kiri dan kanan gerbang yang mengakibatkan mereka harus jatuh seperti dedaunan kering yang sudah tidak bernyawa. “Kita membutuhkan denah yang lengkap sekolah ini. Lihat kemarin Kemala
Hujan deras menunda permainan terakhir kami. Permainan yang aku harapkan bisa mengantarkan pulang. Walau entah aku masih punya rumah atau tidak, yang jelas teman-temanku layak untuk meneruskan kehidupan mereka. Aku tidak menyangka bisa memanggil mereka sebagai teman, canggung sekaligus hangat rasanya. Hujan deras berserta petir yang menyambar di setiap menit. Pak Darma dengan dibantu oleh Melodi, memasang beberapa peralatan mengitari lapangan basket. Dia memasang senjata laser otomatis, sama seperti yang terpasang di kelas, di keempat sisi lapangan. Pak Darma menyadari hanya ada mereka berdua yang akan melawan kami. Dan Melodi? Dia baru saja kemarin bergabung menjadi kacung, aku rasa Pak Darma tidak yakin Melodi mampu membidik kening kami dengan tepat. Aku perhatikan air hujan yang terus saja mengguyur, membasahi sekujur tubuh Pak Darma. Dia tidak terganggu dengan air hujan yang sewaktu-waktu membuat kelopak matanya berat dan bolamatanya perdas. Teringat dengan perkataan Deon kemar
Matahari sudah terbenam. Dinginnya sehabis senja sudah berkenalan dengan tengkung setiap anak yang bersembunyi di balik pohon. Hutan begitu lembab, basah, becek, licin dan aroma daun melapuk menyebar semerbak. Tumpukkan daun menyamarkan kubangan air bekas hujan tadi pagi. Sepatu, seragam, telapak tangan, rambut, wajah, belakang telinga, semua penuh lumpur dan tanah. Kegelitaan mulai mengisi setiap sudut di dalam hutan. Jarak pandangku pendek, bagaimana tidak, kabut mulai ikut serta, sumber cahaya hanya dari lampu lapangan dan tentu rembulan. Beruntung masih ada rembulan malam ini. Beruntung langit tidak sedang mendung, beruntung langit tidak pelit akan cahaya bintang, beruntung pula langit tidak sedang merundung kami yang sial. Bara yang berjaga sejak permainan dimulai. Sesuai dengan rencana, dia menjadi orang pertama yang berjaga. Tubuhnya yang atletis, matanya yang jeli dan mentalnya yang kuat menjadikan dia garda terdepan. Dengan dia, kami memulai permainan malam ini. Sesuai denga
Matahari sudah terbenam. Dinginnya sehabis senja sudah berkenalan dengan tengkung setiap anak yang bersembunyi di balik pohon. Hutan begitu lembab, basah, becek, licin. Tumpukkan daun menyamarkan kubangan air bekas hujan tadi pagi. Sepatu, seragam, kedua tanganku, rambut, wajah, belakang telinga, semua penuh lumpur. Kegelitaan mulai mengisi setiap sudut di dalam hutan. Jarak pandangku pendek, bagaimana tidak, kabut mulai ikut serta, sumber cahaya hanya dari lampu lapangan dan tentu rembulan. Beruntung masih ada rembulan malam ini. Beruntung langit tidak sedang mendung, beruntung langit tidak pelit akan cahaya bintang, beruntung pula langit tidak sedang merundung kami yang sial. Bara yang berjaga sejak permainan dimulai. Sesuai dengan rencana, dia menjadi orang pertama yang berjaga. Tubuhnya yang atletis, matanya yang jeli dan mentalnya yang kuat menjadikan dia garda terdepan. Dengan dia, kami memulai permainan malam ini. Sesuai dengan peraturan, tentu dia harus mencari Pak Darma, sas
Jika kau jadi Pak Darma, di mana kau akan bersembunyi? Ayo Athena berpikir! Berpikir! Entah datang dari mana, sekelebat memori bermain petak umpet bersama ayah terulang di dalam benak. Kala itu hari terakhir jatah Ayah pulang ke rumah. Kami menghabiskan waktu tidak di mana-mana melainkan di halaman belakang. Apollo dan aku selalu kebosanan jika harus bermain petak umpet hanya berdua. Namun di hari itu tidak lagi, ayah bergabung sebagai yang ketiga. Angin sepoi-sepoi menerbangkan rambutku yang dikuncir dua bak boneka Dakocan. Jemari kaki kecil menapak rumput hijau, sebagian aku injak, sebagian yang lainnya lolos dan berdiri, menggelitik sela-sela jari kaki. Ada pohon mangga di halaman belakang, dan batangnya biasa menjadi bagian permainan petak umpet. Apollo kedapatan berjaga pertama, dia pun menghitung dari satu sampai sepuluh. Dia bilang angka sepuluh sudah banyak karena sepuluh lebih dari satu. Seketika Apollo menutup mata dan di hitungan satu, kaki mungilku berhamburan mencari t
“Bayu..bayuski bayu.. don’t lie by the corner… or a grey wolf will come.. and grab you by your side…” Pak Darma mulai kehilangan akal sehat, dia bersenandung di tengah lingkaran penjara kami. Dia menyadari tidak ada yang bisa dia lakukan. Dia telah terjebak di dalam perangkap buatan kami. Peraturan permainan tidak boleh dilanggar. Menara genteng yang menumpuk harus terus menjulang, syarat untuk Pak Darma keluar dari lingkarannya. Bara menjalankan tugasnya dengan baik. Si penjaga itu lumpuh di dalam lingkaran, menara genteng yang dia tumpuk seratus kali, seratus kali pun runtuh tertimpa lemparan Bara yang mematikan. Bongkahan genteng hancur berkeping-keping, hingga mustahil bagi si penjaga menumpuknya kembali. “He will grab you by the side…and drag you to the forest…drag you to the forest…to the broom bush..do not come to us, wolf … do not wake up our Masha Bayu bayushki bayu…” Mengapa aku bilang lingkaran itu adalah jebakan yang sempurna bagi Pak Darma. Janji adalah janji. Monster