Manusia itu terlempar, ada tanpa tahu dari mana mereka berasal dan hendak ke mana mereka akan pergi, maka dari itu manusia hidup dalam kecemasan. Athena terbangun di sebuah sekolah dengan jeruji besi. Hanya ada satu guru di sekolah itu, yaitu Pak Darma. Eden kira Pak Darma adalah pintu untuk mereka keluar dari sekolah itu, namun sayangnya Pak Darma merupakan awal dari mimpi buruk mereka. Setelah menemukan buku catatan rahasia milik Nadia, Athena mulai menyusun rencana untuk melawan Pak Darma. Akankah Athena dan teman-temannya dapat melarikan diri dari cengkeraman Pak Darma?
Lihat lebih banyakAwan kelabu mengintili ke mana aku berlalu, aku tidak terganggu hanya termangu tidak tahu apa yang dia mau. Matahari tidak lagi muncul di atas langit di hari-hariku. Dia pergi tertiup angin barat, sedangkan aku berdiri di utara. Esoknya kutunggu di langit utaraa, ia tak muncul lagi. Walau begitu, aku tetanp menunggu, tidak lelah jiwaku demi kehidupan yang baru. Tidak cukupkah di musim dingin aku sabar berlabu? Tuhan berikan aku musim semi yang matahari kembali bersinar di langit biru.
“Kenapa aku terbangun di kelas?”
“Teman-teman bangun! Kenapa kita ada di sini?”
Suaranya datang dari arah depan. Aku masih memejamkan mata. Terasa kedua kelopak mataku menempel rekat. Sulit sekali untuk tersingkap. Kesadaran sudah terkumpul di seluruh kujur tubuhku. Namun yang aku nikmati di dalam gelapnya pejaman mata ini hanyalah warna-warna yang terbentuk acak, tidak menentu, bergerak-gerak, meliuk-liuk.
“Eden bangun!”
Warna suaranya bertambah dari arah sebelah kananku.
Kepala ini seperti menggendong tumpukan batu candi. Sungguh berat sekali. Kedua tanganku membantu mendorong badan ini yang terbaring kedepan untuk bisa segera bangun. Awalnya semua tulangku terasa remuk dan kini mulai terangkai kembali, sepotong demi sepotong bak puzzel yang belum terangkai. Sambil memegangi kepala, aku mulai membuka kelopak mata. Cahaya menyeruak masuk kasar. Pertama-tama pandanganku masih kabur, bentukan warna acak yang berjumlah banyak masih menari-nari di udara, selanjutnya aku bisa dapati aku sedang duduk di bangku kelasku.
“Kepalaku sakit Nana.”
Aku menoleh ke asal suara, ke bangku Eden. Dia memegangi kepalanya sama seperti aku.
“Bukannya kita terakhir berada di bus sekolah?”
“Iya, di bus sekolah menuju rumah”, jawab Innanna.
Ternyata yang sedari tadi memanggil-manggil untuk segera sadar adalah Innana dan Kemala. Mereka berusaha meraih pundak-pundak yang masih berbaring lunglai di atas meja, tertidur lelap seperti orang mati. Langkah mereka tidak tegas, jalannya sempoyongan seakan bumi sebagai pijakan bergoncang. Tangannya berpegangan di apa saja yang ada, pundak seseorang, meja, tembok apa pun itu. Tangannya menyanggah beban badan mereka yang belum bisa disanggah seutuhnya oleh kedua kaki.
kesadaranku telah berkumpul seutuhnya, namun sekujur badanku masih mati rasa. Rasanya tidak sanggup untuk berdiri dan membantu Innana dan Kemala. Sambil menyender, dengan segenap energi yang masih aku miliki, aku meraih bahu seseorang yang tidak begitu jauh. Bahunya masih ada di dalam jangkauanku.
"Hai, siapa namamu? Ayo bangun!" tanganku meraih bahu kanannya.
Tidak, aku tidak amnesia. Aku tahu siapa nama anak laki-laki yang duduk di sampingku. Tepat satu minggu yang lalu dia memperkenalkan dirinya di depan kelas. Anak campuran Indonesia-Jepang itu, memperkenalkan dirinya lancar menggunakan bahasa Indonesia. Logat yang melekat tidak berbau Japaniess melainkan Javaness. Hanya saja aku ragu untuk memanggil namanya. Aku tidak tebiasa memanggil nama seseorang selain namaku di dalam sendiri.
“Yuuta, namaku Yuuta..” perlahan bahunya bergerak, kepalanya mengangkat sampai aku bisa melihat wajahnya.
“Iya, Yuuta, ayo bangun!”
Aku menarik kembali tangan kiriku setelah melihat dia terbangun. Di pipinya terjiplak guratan-guratan merah berornamen sesuai dengan meja, menandakan seberapa lama durasi pipi itu menyangga kepalanya. Dia terduduk, menyender ke belakang. Dia memang sudah sadar, namun matanya terlihat seperti belum terbuka sepenuhnya. Atau mungkin karena dia campuran Jepang jadi memang hanya sampai situ kemampuan matanya untuk terbuka.
Perlahan, satu per satu dari teman-teman mulai terbangun dari tidurnya. Setelah menyadari di mana kami terbangun, mulailah muncul pertanyaan mengapa kita berada di kelas? Ingatanku jelas, tidak buram, tidak kabur, aku sedang berada di bus sekolah yang berjalan menuju rumah. Seperti biasanya kami pulang bersama seragam putih yang berbau matahari, diiringi dengan genjrengan gitar anak laki-laki yang berkumpul di tempat duduk paling belakang bus dan bernyanyi bersamaan, menyatukan suara fals mereka. Riuh di dalam bus bersatu dengan hiruk-pikuk kota Jakarta di siang hari. Bunyi klakson angkutan umum yang beradu dengan para pengendara motor, memperindah genjrengan gitar si pujangga yang sedang menarik perhatian anak-anak gadis sebayanya.
Aku mengingatnya detail, aku duduk di baris keempat dari depan, dekat jendela dan tempat duduk di sampingku masih kosong. Walau begitu, tetap saja ada kemungkinan aku salah, aku mabuk karena es Nutrisari bi Ijah, atau kepalaku terbentur daun pintu kelas sehingga ingatan itu adalah ingatan yang aku buat sendiri. Tapi rasanya tidak mungkin, seisi kelas mengingat hal yang sama. Eden bilang kala itu aku sedang menggenjrer gitar dan kamu Michael, yang bernyanyi, walau kami tahu semua itu tidak bisa disebut sebagai nyanyian. Melodi juga ingat jelas dia sedang membicarakan rencana liburannya besama Anita dan Dinar. Ketika semua mengingat hal yang sama, itu berarti ingatan itu bukan mimpi belaka dan seharusnya kita sudah sampai rumah!
Aku meraba laci meja dan menemukan tasku tergeletak di sana. Seperti memiliki pikiran yang sama, aku dan teman-teman mulai mencari ponsel untuk setidaknya memastikan hari apa, tanggal berapa, dan jam berapa sekarang. Aku mulai merogoh-rogoh isi tas. Setiap kantung aku periksa, setiap resleting aku buka, sampai aku keluarkan semua benda yang ada di dalam tas. Semua usahaku berakhir nihil, aku tidak menemukan benda itu
“Apa kita dirampok? Aku tidak menemukan ponselku.” kata Dinar mewakili isi pikiranku.
“Aku juga tidak dapat menemukan ponselku. Tapi aku tidak yakin kita telah dirampok. Lihat! Dompetku utuh dengan isinya.” Jessica mengacungkan dompet panjang berwarna merah muda dengan glitter putih.
Kepalaku masih terlalu pening untuk mencoba mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. Tertidur seperti orang mati, terbangun di kelas, memiliki ingatan terpotong yang sama, ponsel tidak ada. Kami terdampar di kelas ini begitu saja, menerka-nerka apa yang sebenarnya telah terjadi, terlebih lagi apa yang akan terjadi setelah ini karena dengan keadaan serba membingungkan ini aku mencium sesuatu yang tidak beres. Mataku berkeliling, memperhatikan seisi kelas yang gaduh. Teman-teman mulai mengkonfirmasi ingatan terakhir mereka satu sama lain. Mereka mengkonfrimasi bahwa mereka belum gila karena ingatan itu begitu jelas namun seperti tidak nyata.
Kita sedang ada di dalam bus sekolah untuk pulang kan?
Aku menemukan hal yang aneh, kelas ini tidak memiliki jam. Biasanya ada jam dinding di atas papan tulis kapur itu. Bukan hanya itu, seingatku sekolah kami tidak memiliki cctv di setiap sudut kelas. Ada namun tidak di setiap sudut kelas juga. Aroma kelas ini pun aneh, tidak seperti biasanya. Seperti aroma kayu basah dan rasanya sangat segar.
“Ini bukan kelas sekolah kita...” Yuuta menyadarinya hal yang sama.
“Lihat! Jendela kita ditutupi tralis.” Benar, jendela di sekolah kami tidak terpasang teralis. Tentu saja tidak, sekolah mana yang memasang teralis di jendela kelas?
“Bukan hanya itu. Ini memang jendela, namun aku tidak bisa melihat apa yang ada di seberang jendela ini.” Yuuta menunjukan jendelanya yang seperti tidak berfungsi, tidak terlihat apa pun dari jendela itu, kecuali gelap.
“Ini bukan kelas kita. Tengok!” Pekik Eden terkejut setengah mati, tidak memepercayai apa yang dia dapati.
Semua anak berebut melihat ke arah yang Eden tunjuk. Jendela yang terletak di sisi lain kelas berfungsi dengan baik. Jendela itu terletak berjejer sedikit tinggi di atas kepala kami, jika kami duduk di bangku kelas. Aku dan yang lainnya segera berdiri dan menemukan hal yang kepalaku tidak mampu menerimanya.
Ini tidak mungkin, apakah aku masih tertidur dan berada di dalam mimpi?
“Apa semua ini?!” desit Jessica seolah tidak percaya, dia berusaha membuka pintu kelas untuk memastikan apa yang dia lihat dari dalam kelas adalah nyata.
“Kenapa pintunya terkunci?!” Jessica mulai terlihat kesal, darahnya mendidih, memuncak ke kepala, tangannya terus menggoncang-goncangkan gagang pintu kelas dengan kasar.
Kemala, dia satu-satunya yang terduduk kembali setelah melihat apa yang ada di sebrang jendela. Matanya terbelalak memandang kosong ke udara. Kedua tangannya di atas meja, bergantian saling menggenggam dan sesekali mengelus-elus punggung telapak tangan.
“Seingat aku, sekolah kita tidak berada di dalam hutan.." Ingatan Bara sama seperti ingatan kami semua.
Kelas sunyi, kengerian mulai menggerogoti setiap tenggorokan sehingga tidak satu pun dari kami bisa berkata-kata. Pertanyaan seperti aku berada di mana? atau apakah aku masih bermimpi? bergulat sengit di dalam setiap benak. Aku sendiri masih belum percaya dengan apa yang aku lihat sekarang. Pohon-pohon yang menjulang tinggi, dedaunan rimbun nan hijau. Aku hampir tidak melihat langit karena daun-daun itu bekerjasama menutupinya. Tidak, seharusnya aku tidak dapat menemukan pohon-pohon itu di sekolah kami, di sekolah SMA yang mana terletak di pusat kota Jakarta.
“Selamat pagi anak-anakku tercinta.” Bergema, suaranya bergema seperti datang dari dalam dan luar kelas.
“Itu suara pak Darma!” Salah satu dari kami mengenali suara itu.
“Pak Darma, kita ada di mana?”
“Duduk dengan tenang semuanya.” Suara Pak Darma terpancarkan dari speaker yang menempel di pojok atas kelas. Aku sadari itu setelah menelusuri sumber suaranya terpencar.
Bersamaan dengan kami merapikan diri, duduk di bangku masing-masing, tiga murid, dua laki-laki dan satu perempuan, masuk melalui pintu yang terkunci tadi. Mereka menggunakan seragam sekolah yang sama seperti kami, putih dan abu-abu. Kedua anak laki-laki itu mendorong troli makanan dan yang satu lagi berjalan ke arah meja guru, membuka laptop, lalu menghadapkan layarnya kepada kami.
“Kepala kalian pasti berat sekali.” Masih Pak Darma yang berbicara, dan kini kami dapat melihatnya dari layar laptop tersebut.
“Itu mungkin karena kalian dehidrasi. Teman kita akan membagikan sebotol air putih dan roti untuk sarapan.”
“Teman kita” siapa? Ketiga anak itu?
Pak Darma terduduk di hadapan, mungkin layar laptop lainnya yang menghubungkan kami. Pak Darma adalah wali kelas kami, kelas XII. Sebagai wali kelas tentu kami dekat, hampir setiap hari kami bertemu dengannya. Pak Darma merupakan seseorang yang tidak asing di dalam kehidupan kami, tetapi hari ini, melalui layar laptop itu, aku merasakan Darma yang lain.
“Pak Darma, kita berada di mana ini?” Eden tidak membuang waktu, dia langsung menanyakan hal yang paling penting dari tumpukkan pertanyaan yang ada. Kami pun menyahuti pertanyaan Eden, tanda bukan hanya Eden yang mempunyai pertanyaan itu.
“Kita berada di sekolah.” Jawabnya datar, benar saja hangatnya menghilang. “Sekolah yang saya bangun untuk murid-murid terbaik seperti kalian.”
Tentu jawaban dari Pak Darma memupuk kebingungan di setiap kami. Jawaban yang seharusnya mencerahkan sesuatu yang buram, ini malah menambah keruh sehingga mata kami tidak mampu melihat jelas apa yang sebenarnya sedang terjadi.
“Sekolah ini bapak dedikasikan untuk murid-murid terbaikku. Hanya di sekolah ini, kita akan bermain bersama, tentu akan sangat menyenangkan.”
“Tapi Pak, kita sudah kelas XII, tidak ada waktu untuk bermain. Kita harus mempersiapkan diri untuk ujian kelulusan.” Salah satu dari kami menyuarakan ketidaksetujuannya.
“Kalian tenang saja.” Pak Darma tersenyum dingin. “Setelah keluar dari sekolah ini, kalian tidak perlu lagi ujian, tidak perlu lagi menghadapi masa depan. Kalian tidak harus tumbuh dewasa.”
Apa yang dia bilang barusan?
“Bapak akan menyelamatkan kalian semua.”
Penemuan sebuah pulau terpencil dengan begitu banyak mayat anak remaja yang terkubur menggegerkan, bukanhanya tingkat nasional akan tetapi seluruh dunia. Wajah kami bertujuh tepampang dalam segala bentuk berita dengan berbagai macam bahasa, yang isinya sama saja: Ketujuh remaja ini berhasil selamat dari permainan mematikan yang diciptakan seorang guru maniak. Banyak yang mengira kami mengarang cerita. Mereka kira kami hanya lah sekumpulan anak remaja yang mengkonsumsi narkoba dan tidak sengaja membunuh teman sekelas karena di dalam pengaruh obat-obatan.Tentu saja Eden pasang badan dan menjelaskan dengan argument yang rapi, lengkap dengan bukti-bukti bahwa kami tidak asal mengarang cerita saja. Deon menyalahkan Eden karena terlalu membeberkan seluruh cerita tanpa filter kepada orang-orang yang asal, sehingga kalimat-kalimat ambigu bisa menjadi dasar lahirnya teori-teori konspirasi tidak masuk akal. “Kalian tahu kan, kasus ini murni kegilaan Pak Darma, tidak ada teori konspirasi yang me
Bab 36; Angin Berhembus ke RumahTerik matahari terhalang dedauan yang bertengger di tangkai-tangkai. Angin yang halus menyentuh tengkuk, kusadari ia membawa aroma bunga lili yang menarikku ke dalam malam itu. Tak ingin kuulangi bagaimana rasa di dalam hati menghadapi dirinya yang tak berhati. Tapi apakah itu terlambat? Aroma bunga lili sudah mengetuk rasa takutku sedari tadi.“Athena..” dipanggilnya namaku, suaranya lembut datang dari tenkuk.Tubuh ini membeku, berdiri, membujur kaku di balik pepohonan. Kedua lutut menggeras tak mampu bergerak, aku kepalkan kedua tanganku yang bergetar. Mata ini hanya tertuju pada satu titik yaitu gerbang sekolah. Aku tidak mendengar derap kaki mendekat. Semuanya hening hanya ada suara angin yang menggerakkan ranting dan daun. Aku yakin aku seharusnya tidak menemukan sesuatu yang mengendap-endap mendekati. Aroma bunga Lily of the valley dari semakin menguat, bunga Lily yang duluku cium dari saputangan, seolah mencekik tenggorokan. Harum sekali sampai
Pagi-pagi buta Yuuta dan Bara telah mencari batang pohon yang kokoh dan meraut di salah satu ujungnya. Kemala dan Innana menyiapkan makanan, dan sisanya mencari seresah daun kering dan ranting pohon untuk membuat api, lagi. Semuanya bekerja dalam diam, ditemani kicauan burung yang menggema dari dalam hutan.Udara dingin bekas semalam masih melayang-layang, hembusan nafas kami terlihat jelas, seperti asap, teradu dengan suhu hangat dalam tubuh. Hari keempat, hiruk-pikuk di dalam benakku bertambah empat kali dari hari sebelumnya. Bagaimana jika tidak ada jalan keluar? Bagaimana jika pulau ini tidak dilewati nelayan atau kapal apa pun itu? Bagaimana jika Pak Darma berhasil menemukan kami di sini? Apa yang harus aku lakukan jika bertemu dengan dia di sini? atau pertanyaan yang lebih mengganggu, bisakah aku membunuh Pak Darma jika bertemu kembali? Aku dikeroyok pertanyaan-pertanyaan di dalam pikiranku sendiri. Jika aku memiliki tubuh di dalam pikiranku sendiri, mungkin aku sudah babak belu
“Dia baik-baik saja kan?” “Tidak perlu khawatir, dia masih bernafas.” “Kita perlu tidak bangunkan dia?” “Jangan.” “Tapi aku ingin dia bangun. Aku ingin dia tahu di mana kita sekarang.” Terganggu dengan keributan, aku membuka kelopak mataku perlahan. Yang pertama aku sadari ternyata rembulan sudah tergantikan oleh matahari. Di hadapanku teman-teman yang kuantar kepergiannya di depan gerbang. Ada Yuuta, Kemala dan Deon. Melihat aku mulai sadarkan diri, mereka berucap sukur dan tersenyum bersamaan. Seperti biasa Kemala dengan rasa cemas yang berlebihan, seketika menyambar tubuhku yang terlentang sesudah tahu aku tersadar. “Memangnya kita di mana?” kepalaku masih pening tidak bisa mengingat jelas apa yang terjadi semalam. “Kita ada di pesisir pantai. Tenang saja, kita sudah aman di sini.” timpal Deon, semeringah senyumannya. Aku sendiri masih kebingungan, bagaimana aku bisa kembali bersama mereka, sedangkan terakhir kali ingatanku, aku sedang menodongkan moncong senjata ke kep
Manusia memang bisa memilih bagaimana caranya hidup. Melalui kehidupan dengan mengemban kehormatankah? Atau ternyata sebaliknya. Hidup dengan tidak ada penyesalan adalah keberanian yang naif. Namun hidup penuh dengan rasa penyesalan adalah si pecundang yang tak tahu berterima kasih. Menariknya bagi manusia, dia bisa memilih bagaimana caranya hidup namun tidak dengan kematian. Manusia terbiasa lupa dengan kematian, dia tidak memikirkan itu sebelum tidur. Manusia terlalu berani, yang dia pikirkan sepanjang waktu bisa dipastikan mengenai hirup pikuk kehidupan. Mau makan apa ya sehabis ini? Apakah aku bisa mengejar mimpiku? Apakah aku di jalan yang tepat? Kira-kira aku akan punya anak berapa ya? dan lainnya. Lucunya, ketika manusia disibukan dengan sandang pangan papan dan hiburan dalam kehidupan, kematian sudah menantinya di suatu waktu. Memandangi jiwa mereka sambil cekikikan karena tergelitik, lihat betapa bodohnya para manusia, mereka kira mereka hidup selamanya. Kurang lebih begitu
Dalam permainan, demi meraih kemenangan, terkadang kau harus mengorbankan ratumu sendiri. Aku tidak ada henti-hentinya memandangi gemerlap langit bertabur bintang. Menikmati sisa malam, atau mungkin bisa dibilang sisa nafas yang kumiliki. Bulan sudah bergeser dari atas langit ke arah barat, bertanda sedikit lagi malam akan terganti fajar. Bintang-bintang gemerlap meramaikan suasana antara aku dan Pak Darma. Dalam sunyinya malam, di tengah hutan, aku tidak pernah menyadari bahwa malam di bumi begitu menawan. Dalam senyap kami mempersiapkan tarian penutup. Pak Darma menyalakan sepasang lampu tembak yang terletak di sekeliling lapangan basket sebagai sumber cahaya di sekolah. Aku menggeret satu meja dan disusul sepasang kursi untuk kita bermain di tengah lapangan. Air bekas hujan yang tercampur darah segar masih menggenang. Suasananya seperti aku membawa alat pancung ke pemakamanku sendiri. Bau amis semerbak menelilingi kami berdua. Setelah semuanya tertata, kami duduk bersebrangan,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen