Manusia memang bisa memilih bagaimana caranya hidup. Melalui kehidupan dengan mengemban kehormatankah? Atau ternyata sebaliknya. Hidup dengan tidak ada penyesalan adalah keberanian yang naif. Namun hidup penuh dengan rasa penyesalan adalah si pecundang yang tak tahu berterima kasih. Menariknya bagi manusia, dia bisa memilih bagaimana caranya hidup namun tidak dengan kematian. Manusia terbiasa lupa dengan kematian, dia tidak memikirkan itu sebelum tidur. Manusia terlalu berani, yang dia pikirkan sepanjang waktu bisa dipastikan mengenai hirup pikuk kehidupan. Mau makan apa ya sehabis ini? Apakah aku bisa mengejar mimpiku? Apakah aku di jalan yang tepat? Kira-kira aku akan punya anak berapa ya? dan lainnya. Lucunya, ketika manusia disibukan dengan sandang pangan papan dan hiburan dalam kehidupan, kematian sudah menantinya di suatu waktu. Memandangi jiwa mereka sambil cekikikan karena tergelitik, lihat betapa bodohnya para manusia, mereka kira mereka hidup selamanya. Kurang lebih begitu
“Dia baik-baik saja kan?” “Tidak perlu khawatir, dia masih bernafas.” “Kita perlu tidak bangunkan dia?” “Jangan.” “Tapi aku ingin dia bangun. Aku ingin dia tahu di mana kita sekarang.” Terganggu dengan keributan, aku membuka kelopak mataku perlahan. Yang pertama aku sadari ternyata rembulan sudah tergantikan oleh matahari. Di hadapanku teman-teman yang kuantar kepergiannya di depan gerbang. Ada Yuuta, Kemala dan Deon. Melihat aku mulai sadarkan diri, mereka berucap sukur dan tersenyum bersamaan. Seperti biasa Kemala dengan rasa cemas yang berlebihan, seketika menyambar tubuhku yang terlentang sesudah tahu aku tersadar. “Memangnya kita di mana?” kepalaku masih pening tidak bisa mengingat jelas apa yang terjadi semalam. “Kita ada di pesisir pantai. Tenang saja, kita sudah aman di sini.” timpal Deon, semeringah senyumannya. Aku sendiri masih kebingungan, bagaimana aku bisa kembali bersama mereka, sedangkan terakhir kali ingatanku, aku sedang menodongkan moncong senjata ke kep
Awan kelabu mengintili ke mana aku berlalu, aku tidak terganggu hanya termangu tidak tahu apa yang dia mau. Matahari tidak lagi muncul di atas langit di hari-hariku. Dia pergi tertiup angin barat, sedangkan aku berdiri di utara. Esoknya kutunggu di langit utaraa, ia tak muncul lagi. Walau begitu, aku tetanp menunggu, tidak lelah jiwaku demi kehidupan yang baru. Tidak cukupkah di musim dingin aku sabar berlabu? Tuhan berikan aku musim semi yang matahari kembali bersinar di langit biru. “Kenapa aku terbangun di kelas?” “Teman-teman bangun! Kenapa kita ada di sini?” Suaranya datang dari arah depan. Aku masih memejamkan mata. Terasa kedua kelopak mataku menempel rekat. Sulit sekali untuk tersingkap. Kesadaran sudah terkumpul di seluruh kujur tubuhku. Namun yang aku nikmati di dalam gelapnya pejaman mata ini hanyalah warna-warna yang terbentuk acak, tidak menentu, bergerak-gerak, meliuk-liuk. “Eden bangun!” Warna suaranya bertambah dari arah sebelah kananku. Kepala ini seperti mengg
Manusia itu terlempar, ada tanpa tahu dari mana mereka berasal dan hendak ke mana mereka akan pergi. Hutan yang membentang, gelap gulita dan dingin, bersinarkan rembulan dibantu pelitnya sinar bintang nun jauh. Kecemasan selalu ada di pelupuk mata manusia di bumi. Manusia itu terlanjur hidup, terlanjur ada. Terlanjur di suatu hari membuka mataya dan mendapati matahari di langit. Terlanjur yang berarti tidak memiliki pilihan selain hidup karena Dia Yang Maha Ada, ada. Manusia itu tanpa henti berlari selama hidupnya. Sebagian karena mengejar apa yang ada di depannya. Sebagian lagi karena lari dari apa yang menguntit di belakang tengkuknya. Kedua kakinya tanpa henti mengitari bumi bak Adam yang mencari Hawa. Manusia, hiduplah sebagai manusia. Itulah kutukan yang ada di dunia. “Selamat datang di sekolah tanpa nama ini. Sekolah yang hanya akan membawa kalian semua kepada suka cita.” tangannya membentang kesamping, suaranya melambung megah. Seisi kelas tidak memberikan respon pada
Ternyata semuanya telah siap. Selagi kita menikmati pertunjukan jeruji besi itu menancap di lorong sekolah, Kronos dan Kyos mempersiapkan sesuatu. Mereka mengambil dua meja dari luar kelas dan menjejerkannya di depan. Setelah semua murid duduk rapi di bangkunya masing-masing, Thea mulai berkeliling, mengitari kelas dengan membawa sebuah kotak yang berisikan banyak potongan kertas. Dia menyodorkan dan meminta kami untuk mengambil secarik kertas secara acak dari dalam kotak tersebut. “Hari ini kita bermain permainan tradisional khas jawa tengah, cublek-cublek suweng. Kalian pasti pernah mendengarnya.” Pak Darma membuka permainan pertama kami. “Peraturannya sederhana, Thea telah membagikan nomor urut kepada kalian. Nomor satu sampai lima akan bermain terlebih dahulu. Satu dari lima orang tersebut akan menjadi Pak Empo yang harus tertelungkup di atas meja. Empat lainnya berdiri mengitari Pak Empo dan membuka telapak tangannya di atas punggung pak Empo.” Kronos menunjukan kelereng beruku
“Aku tidak memintamu menyelamatkanku. Kau tidak perlu melakukan itu!" “Aku tidak menyelamatkanmu.” jawabku singkat. Memang tidak, aku menggantikan posisinya di permainan tadi memang bukan karena dia. Kantin sekolah ini terasa berbeda. Kantin sekolah kami yang dulu ramai bagai pasar loak, begitu banyak bebunyian berkumpul di Sana. Suara bukantin yang memanggil nama murid yang memesan makanan. Sekelompok murid populer dengan gayanya slengean, tertawa terbahak-bahak. Beberapa dari mereka ada yang bernyanyi lagu yang sedang hits di beberapa minggu ini. Ada juga yang memakai kantin sesuai dengan fungsinya, makan siang. Kantin sekolah kami pun tidak luput dari fungsinya sebagai tempat sepasang kekasih anak SMA yang makan siang berbarengan, seperti yang selalu dilakukan oleh Eden dan Innana. Begitu juga di kantin sekolah ini. Eden dan Innana masih memilih duduk bersama untuk menyantap makan siang bersama, bedanya kini Eden tak bergeming melihat kekasihnya terisak-isak, air matanya melenyap
Pak Darma menyiapkan semuanya. Loker sekolah yang lengkap dengan peralatan pribadi, alat mandi, baju tidur, pakaian dalam hingga kantong tidur. Kami pun diberi sandal, sehingga kami tidak perlu khawatir alas kaki yang kami gunakan ketika mandi. Setelah mengeksekusi dua murid, Pak Darma dan yang lainnya meninggalkan kami. Aku bisa bilang begitu karena sehabis Karisma pergi, aku tidak lagi mendengar suaranya lagi keluar dari speaker. Kami yang tadinya kebingungan, perlahan memahami apa yang harus kita lakukan di sisa waktu kami.Di posisi ini, tidak ada yang bisa aku lakukan. Bahkan bukan hanya aku yang merasa dilumpuhkan oleh Pak Darma, seisi kelas. Bara, yang terbilang mempunyai sabuk hitam, terikat erat melingkari image-nya, hanya bisa terdiam, menahan tangannya untuk tidak merusak sesuatu di kelas ini. Cctv lebih menakutkan daripada petir di hujan badai di tengah malam. Kami memahami, di setiap sudut kelas dan ruangan yang ada di sekolah ini, terpasang cctv yang bergandengan dengan
“Aku tidak mau makan ini Jessica!” Aku melempar piring plastik kecil berwarna merah muda, lengkap dengan spageti karangan Jessica. “Kau melawan pada ibu mu? Kau mau ibu kutuk jadi batu?” Jari telunjuknya menuding tepat di depan mata ku. Dia berperan galak secara natural. “Jessica, benda itu tidak bisa dimakan.”Aku berdiri, menjauh dari telunjuk itu. Dia terus menyodorkan bagian dari tumbuhan yang mirip seperti mie. Aku tidak tahu namanya apa, tapi ia menjalar di atas tanaman pagar. Jessica berperan sebagai ibu yang berlaga mampu memasak. Aku mengisi kekosongan peran yang dimainkan oleh Jessica. Tadinya aku menawarkan diri berperan sebagai Athena, diriku sendiri, tapi ditolak mentah-mentah olehnya. Jessica bilang kita harus berperan bukan menjadi diri kita, baru permainannya akan menjadi menyenangkan. Tapi aku bingung, aku di kehidupan nyata pun menjadi seorang anak, kenapa ketika bermain dengannya harus berperan sebagai anak juga. Aku kira dia bilang kita tidak boleh memerankan p