"Pak Nicho adalah pengganti saya. Beliau adalah CEO baru dan beliau juga memang sudah berkecimpung di dunia penerbitan. Ia adalah CEO dari PT. Nicho Jaya Prima. Pasti kalian tidak asing mendengar nama perusahaan tersebut. Perusahaan baru yang langsung masuk ke dalam daftar top ten. Pak Nicho, perusahaan kami akan banyak belajar darimu."Bu CEO menepuk tangannya terlebih dahulu. Lalu, diikuti dengan para karyawan lainnya, spontan bertepuk tangan dan berdiri."Bu Pramita, justru saya yang harus banyak belajar dari Anda. Perusahaan penerbitan Anda sudah lama eksis. Selalu dalam daftar top five dalam sepuluh tahun terakhir ini." Nicho mendongakkan kepalanya, memandang tampilan video call di dinding. Ditampilkan dengan proyektor."Semua itu berkat Tuhan Yang Maha Esa yang selalu menyertai PT. Pramita dan kami juga memiliki para pegawai yang sungguh berdedikasi tinggi dengan PT. Pramita. Tanpa kalian semua, perusahaan penerbitan kita belum tentu bisa seprestasi saat ini.""Baiklah, saya har
"Memangnya kau berani bayar berapa?""Gracia! Gitu cara kamu tanya sama bos kamu! Hah? Atau mau saya pecat?""Pecat aja. Biar nanti jadi trending, seorang CEO pengganti memecat seorang karyawan saat hari pertama dia memimpin.""Kau yakin taglinenya akan kayak gitu? Yang lebih cocok adalah, Dikarenakan seorang CEO muda dan ganteng datang memimpin, seorang karyawan melabrak CEO.""Iih...""Mulai besok meja kamu ada di luar pintu ini. Dan masalah gaji, tenang saja. Aku akan membayar gaji pegawai sesuai kinerja dan tanggung jawab yang diembannya.""Apa untungnya bagi saya jadi sekretaris bos?""Hari ini saya sangat bertoleransi dengan sikap judes kamu ya, tidak di hari lain," Nicho berdiri, mengancing jasnya. "Untungnya adalah kamu akan banyak belajar hal mengenai seluk-beluk dunia kepenulisan dan kamu akan belajar langsung dari ahlinya. Ilmu yang mahal loh itu.""Saya tetap nggak minat!" Gracia melipat kedua tangannya di depan dada. Sedang matanya m
"Tertuang air panas. Cuman karena kamu nih tanganku bisa kayak gini.""Kamunya yang nggak hati-hati. Mengapa salahin saya? Sini coba saya lihat tanganmu."Nicho pelan-pelan menyentuh lengan Gracia."Udah Pak Nicho. Cukup. Tadi air panasnya habis, terpaksa saya buat baru. Saat sudah mendidih, saya angkat pancinya. Namun, karena airnya terlalu banyak, tertumpah. Hasilnya begini. Sekarang puas Pak Nicho?" Ia berbalik ke belakang. Mendongakkan kepala.Jarak antara Pak Nicho dari dirinya tak lebih dari satu meter."Puas menertawakan saya? Puas karena kecerobohan saya?" Ia menahan tangis.Sekarang tangannya sudah cukup perih, ditambah sekarang Nicho tahu kalau dia ceroboh. Bakal batal jadi sekretarisnya kalau begini."Sekarang kita ke rumah sakit!" Nicho tak menjawab pertanyaan Gracia. Ia berbalik ke kursinya. Mengambil jasnya yang ia sematkan disana. Menutup komputer dengan buru-buru."Nggak perlu." jawabnya singkat. Gracia segera berjalan ke arah pin
Masih dengan kebingungan, Gracia menatap sekeliling. Lalu menelisik badannya. Takut-takut ada yang salah dengan penampilannya.Perutnya juga tidak buncit. Hal yang paling ia sukai dari dirinya sendiri adalah perutnya tidak memiliki lemak yang berlebihan. Flat."Iih...apaan sih." Ia ngotot, minta penjelasan."Kita sekarang antri ke dokter spesialis apa?" Nicho malah balik bertanya."Dokter spesialis kulit.""Biasanya dokter spesialis kulit menangani apa lagi?""Ha?" Sepertinya ia melupakan sesuatu. Cepat-cepat ia mencari papan nama kecil di atas pintu ruang praktek dokter.Ketemu."Dokter spesialis kulit dan jenis kelamin."Ia kaku. Jika dirinya bisa lihat mukanya di cermin. Mungkin sekarang ia sedang pucat pasi. Terasa hawa dingin menggerogoti badannya perlahan-perlahan sampai ke wajahnya."Sudah tahu?" Nicho bertanya menelisik.'Sepertinya ia sudah tahu.'Satu per satu pasien masuk dan keluar silih berganti. Hiruk-pikuk pasien ya
"Tangan kamu gimana sekarang? Masih sakit?" Nicho mencoba mencairkan suasana. Sejak keluar dari jalan Gajahmada, mereka tidak bersua sama sekali."Masih." jawabnya pendek. Gracia hanya memandang depan. Melihat kerumunan kendaraan mungkin lebih baik. Daripada harus melihat Nicho yang kini jadi bosnya.Sinar matahari masuk menembus kaca. Menyinari muka Gracia. Silau. Dengan cepat, ia menurunkan papan cermin dari langit-langit mobil. Setidaknya bisa menghalau silaunya sinar matahari."Maafkan aku ya. Karena saya kamu jadi begini.""Iya nggak apa-apa. Saya yang kurang hati-hati.""Kamu masih marah sama saya?""Nggak kok. Malas ngomong aja."'Buset. Ini anak kalau udah mode malas. Parah sekali.'"Mau singgah makan dulu nggak?""Langsung pulang ke kantor aja pak. Saya lagi malas makan.""Yah, nggak boleh gitu. Kita makan aja sekarang ya.""Iih, bapak ribet sekali sih. Saya bilang pulang, yah pulang. Saya masih banyak kerjaan nih.""Iya.
"Pak Nicho, bapak hanya sebatas bos saja. Tenang, aku nggak akan merugikan perusahaan." Gracia melipat tangannya. Enggan untuk duduk ataupun dekat-dekat dengan Nicho.Apalagi ruangan Bos Pramita yang ditempati Nicho ini, hampir semuanya transparan. Hanya pintu yang masih normal. Pintu yang terbuat dari kayu. Dinding belakang Nicho juga normal. Lemari kayu berjejer sepanjang dinding tersebut.Bu Pramita sengaja mendesain ruangannya transparan supaya karyawan lain bisa mencontohi dirinya. Saat sudah duduk di ruang kerja, saat itulah langsung kerja. Tak ada alasan ngantuk. Tak ada alasan baru sampai.Aturan Bu Pramita memang tak neko-neko."Saya bos kamu dan kamu pegawai saya. Jadi, sebagai pegawai seharusnya mendengar apa yang diperintahkan bos.""Iya tentu saja. Tapi itu untuk pekerjaan saja. Bukan dalam hal salep kayak gini. Toh tangan saya baik-baik aja.""Baiklah. Sekarang angkat dus yang ada di pojok dinding disana dan rapikan isinya," Nicho menunjuk
Gracia berjalan keluar dari ruangan editor menuju ruang penulis. Ruangan mereka saling berhadapan. Dipisah dengan lorong yang menghubungkan pintu utama dan area tengah kantor.Ananta sedang sibuk menatap layar komputer sedang jarinya mengetik keyboard. Kadang cepat, kadang lambat, kadang berhenti.Matanya awas membaca setiap kata, setiap kalimat, dan setiap paragraf yang ditampilkan di layar. Sesekali membuka-buka buku yang tergeletak rapi di mejanya."Nih, bestie!" Gracia menyodorkan map di depan muka Ananta. Menghalangi pandangannya dari layar komputer."Gracia!" Ananta mendongakkan kepalanya. Lalu, menyenderkan punggungnya ke kursi empuk yang didudukinya. "Apa ini?" Diraihnya map itu."Itu hasil tulisan kamu yang membahas pemanasan global. Hasil tulisanmu diterima, cuman ada beberapa kata dan kalimat yang perlu diubah dan ditambah.""Ok. baiklah. Aku hampir lupa mengenai artikel ini. Lama juga diterimanya ya. Satu bulan sejak aku ajukan.""Itu...s
"Cia, kau belum pulang?""Please deh. Jangan sok tanya deh. Kayak nggak tahu aja.""Iya deh.""Kelewatan ya Bu Lina. Gara-gara jadi kepala, sekarang dia jadi keras kepala.""Ush...udah ah. Yang penting kerja, Cia. Aku pulang dulu ya. Selamat lembur Gracia sayang!""Awas kau, Efa!" pekik Gracia walaupun Efa sudah tidak tampak. Ia telah pergi dari ruangan.Kini ia hanya sendirian. Ruangan terkesan seram. Apalagi lampu memang tidak dihidupkan, kecuali kalau gelap.Susunan meja editor berbentuk huruf "U" Meja di tengah dan yang paling besar adalah meja kerja Bu Lina. Sebelah kirinya meja Gracia, sedang di sebelah kanan adalah mejanya Efa.Jadi, Gracia dan Efa saling berhadapan sedang Bu Lina bisa mengawasi mereka dengan leluasa."Ayo, Gracia. Untung aku suka dengan pekerjaanku. Kalau nggak, bisa stress.""Psst. Cia, hari ini aku nggak lembur ya!" Ananta masuk ke dalam ruang editor, sembari memijat-mijat lehernya."Yah. Tak friend nih!""Aku nggak kuat lagi Cia. Leher aku pegal banget. Dar