"Kak Dyan. Ish seneng banget tau. Bisa ngobrol bareng kayak gini,"ucap Dhita bahagia. Malam ini ku habiskan waktu di salah satu pusat perbelanjaan di Malang. Riuh nan ramai khas suara mall kadang membuat ku bertanya. Bagaimana pun riuh sekitar, pikiran tetap berfokus pada ponsel yang tak kunjung memberi kabar.
Terakhir kali kemarin begitu sampai di Jatinangor dengan selamat. Tapi semua itu wajar lagian dia kan ke sana karena ada urusan. Harusnya sekarang dia sudah pulang. Tapi ngga tau lah. Mungkin juga sibuk.
"Hayooo tungguin telfon Kak Chandra ya,"yang Dhita membuat ku menggeleng cepat. "Nggak Dhit. Udah mau Magrib. Pulang yuk,"ajak ku. "Ayo. Oiya Kak singgah ke rumah Bunda dulu ya. Baju ku buat nginap ketinggalan. Hehehe ngga papa kan,"tanya Dhita.
"Oke,"ucapku mengangguk sembari fokus dengan tangga eskalator yang tampak monoton. Musik dalam mall terdengar begitu nyaring namun tak sedikit pun membuat ku terasa nyaman. P
Semilir angin tak menyurutkan semangat ku beranjak ke suatu ruangan VVIP rumah sakit lantai 8. Kamar Flamboyan No 14. Dengan beberapa jenis masakan yang telah ku bawa dari rumah.Ku buka pintu kamar menampilkan wajah serius nan rupawan tengah membaca koran di temani sanak keluarga. "Kak Dyan darimana,"tanya Dhita. "Habis masak di rumah tadi,"ucapku menyajikan makanan yang ku bawa. "Aduh Nduk ngga usah repot-repot. Kan bisa pesen,"ucap Nafisa."Nggak papa Bun udah kebiasaan,"ucap ku tersenyum manis. "Nak Dyan ngga ke kampus?,"tanya Alagra. "Nggak Yah. Dyan izin mau jagain Mas Chandra dulu,"ucapku. "Ngga usah Kak. Jangan membuang waktu buat Kak Chandra. Aman aja orang itu,"ucap Dhita menimpali."Nggak papa kali Dhit. Mari makan,"ucapku. Sembari semua orang makan, ku dekati sosok yang tampak serius itu. "1 meter Dek,"ucap Chandra membuat tercengang. "Hah ngapain lagi Mas. Makan yang bener,"ucapku. "Hust 1 meter.
Rumah yang biasanya hanya di isi gombalan dari satu jenis suara seolah tengah bermonolog kini telah berganti menjadi sepasang manusia yang tengah sibuk berdiskusi. "Dek menurut ku konsepnya kurang sesuai. Soalnya kan dalam satu mahasiswa bisa liat soal temannya,"ucap Chandra memberi saran mengenai ujian."Ouh jadi buat 20 paket dimana satu ruangan itu isinya 20 orang gitu,"tanyaku penasaran. "Nah gitu jadi kan kamu buat soal satu soal nih. Kamu pecah bagi ke masing-masing mahasiswa,"ucap Chandra. "Ouh oke-oke. Jadi kan aku udHuek huek"Dek kamu masuk angin?,"tanya Chandra dengan sigap mengurut tengkuk leher ku dan memberi minyak kayu putih. "Kayaknya gara-gara kedinginan. Semalam lupa matikan AC,"ucapku sambil berkumur-kumur."Bentar diam di situ ku buatkan minuman hangat,"ucap Chandra berlalu ke dapur. Di saat yang bersamaan ponsel ku berbunyi pertanda telefon masuk. "Haloo,"uc
Alunan bising kendaraan bersama beberapa riuh lalu lalang di sepanjang jalan Malioboro mengusir sepi dalam benak ku. Air mata ku sudah lupa caranya harus menitik lagi. Apa aku terlalu lemah dengan memilih pergi seperti ini?Hidung yang mulai terasa memanas membuatku segera mengubah pikiran. Aku ingat dulu rekan kuliah ku yang pernah menawari rumah sewa di area ini, namun sudah nyaris setengah jam ku cari tak kunjung bertemu juga. Kontak Chandra yang belum terblokir membuatku kurang leluasa membuka ponsel dengan semua panggilan dan pesan yang enggan ku balas.Namun semua perangkat yang digunakan untuk mendeteksi lokasi sudah terblokir. Dinginnya malam semakin hanya menambah penuh yang melekat."Dyandra,"Seorang wanita dengan rambut sebahu tersenyum lebar. "Eva ya Allah lama ngga ketemu loh,"ucapku bersyukur dalam hati. Sepertinya lelah ku akan usai sebentar lagi. "Kamu kemarin nikah ngga ngundang. Tau-tau
Rasa tak nyaman di sekitar perut ku malah membuatku susah tidur. Kembali mata ku beralih menatap beberapa catatan yang terpasang rapi di atas meja. Besok itu hari yang padat. Harusnya kamu sudah tidur Dyandra. Bukan malah seperti ini.Sebuah pesan mencuat sedari tadi lebih dari batas normal membuatku mematikan laporan dibaca hanya untuk sekedar membaca tanpa berniat mengangkat semua panggilan nya. Semua kalimat yang penuh dusta terasa hambar karena terlalu sering dia mengatakan kata yang sama.Andai dia tau bagaimana rasanya mungkin tidak akan pernah memilih jalan itu. Air mata ku kembali turun sekalipun hanya beberapa tetes. Mengingat semua yang telah ku ikhlaskan untuk terima menjadi semua yang ku buang."Bu Dyan,""Bu Dyan,"Panggilan seorang pria dari luar membuatku terdiam sejenak. Sontak segera ku langkahkan kaki menuju kamar. Akan jauh lebih baik aku tidak pernah tinggal daripada ke
Monitor yang menampilkan gambar 3 dimensi bewarna hitam putih bergerak kesana kemari seolah tengah asyik dengan bahasannya. "Wah adeknya perempuan Bu,"ucap dokter yang melakukan USG. "Bayinya nggak punya masalah kan dok,"tanyaku."Alhamdulillah bayinya sehat Bu,"ucapnya membuatku menghela nafas lega. "Bu jangan terlalu banyak kegiatan yang berat berat dulu ya. Karena Ibu sudah masuk trimester akhir. Mungkin Bapak nanti bisa di ingatin Ibu nya,"ucapnya sontak membuatku membulatkan mata."Baik Dok,"ucap Daffa santai. Sepertinya dirinya memang benar saja random yang dikatakan. "Oiya kalo bisa bapaknya bisa melakukan hubungan intim untuk memudahkan kelahiran bayinya ya Pak,"ucapnya makin aneh aneh. Namun tak seperti biasanya yang selalu menjawab.Bisa ku lihat wajah perjaka itu tampak memerah namun tetap mengangguk pelan. "Kalo komplikasi tidak ada kan Dok,"tanya Daffa menghindari topik yang mulai rancu dalam otaknya. "Tidak
Asap mengepul dari teh melati yang ku seduh menemani jam istirahat tercium begitu hangat. Hari ini hanya ada jam lagi di jam 3 sedangkan sekarang masih jam setengah satu. "Mau salad buah Mbak?,"tanya Daffa memberi ku sekotak salad buah."Terimakasih tapi saya sudah makan Mas,"ucapku. "Nggak papa Mbak. Ibu saya bilang kalo orang hamil bagus kalo makan banyak buah buahan,"ucap Daffa membuatku tersenyum kecil. "Ehm iya deh. Titip salam buat Ibu nya ya Mas,"ucapku sebelum Daffa berlalu keluar dengan jas lab yang belum sepenuhnya terkancing.Pasti kalo aku ada di rumah Nafisa yang akan memberi ku hal yang sama. Kasih sayang Nafisa yang selalu membela ku saat Chandra begitu usil dengan hidup ku. Air mata ku kembali luruh perlahan. Kenapa aku jadi tiba-tiba melakonlis?Padahal aku juga sudah memutuskan bagaimana hidup ku beberapa minggu lalu. Ku tundukkan kepala sembari menutup mata menahan tangis yang kian menderu tak ad
"Dek punya sopan santun sama dosen?,"Riuh dari belakang tak ku hiraukan sembari terus melangkah ke depan. "Maaf Kak tapi saya memang telah mengenal Bu Dyan sebelumnya,"ucap Firly terus mengikuti ku berjalan. "Demi bayi Ibu. Kalo memang bukan Dyandra jangan berhenti,"ucap Firly membuatku berbalik.Ku tatap tajam gadis yang terus mengekori sampai depan sudut ruangan yang terdengar sepi. "Dengar Dek saya bukan Bu Dyandra yang kamu maksud. Karena nama Dyandra itu banyak jadi jangan terlalu berkhayal tentang saya menjadi dosen lama mu,"ucapku. "Tapi hanya Bu Dyandra wadanskuadron 21 yang tau panggilan Your Majesty,"ucap Leni berjalan mendekati ku dengan tatapan dingin."Maaf sepertinya salah paham,"ucapku berusaha sebaik mungkin melindungi identitas ku. "Dyandra Chandra Aklarta Maurya kan,"ucap Leni melipat kedua tangannya di depan dada dengan tatapan interogasi. "Bukan. Saya Dyandra Rajasa,"ucapku mengelak. Gara-gara satu makhluk itu sem
"Mbak Dyan ini loh bagus untuk orang hamil,"ucap Sastro membawakan sekantung buah buahan. "Ya Allah Mbak nggak usah repot-repot,"ucapku tak enak hati. Ucapan Daffa kemarin sore terlalu membuatku benar-benar tak habis pikir."Mbak aku mau tanya boleh?,"tanya Sastro membuatku mengernyitkan kening ku heran sebelum mengangguk mengiyakan. Bersiap saja dibantai sebentar lagi Dy. "Mbak kenapa bisa punya pikiran kabur? Padahal hidup Mbak mapan,"tanya Sastro tepat sasaran seperti yang ku duga.Tanpa berusaha menutupi lagi karna sudah tak berguna lagipun mereka semua juga sudah tau sejak awal hanya saja memilih bungkam dan bertingkah seolah tak tau apa-apa. "Mapan bagi saya itu kalo saya menjadi satu-satunya yang dicintai suami saya,"ucapku menegaskan kata satu-satunya sembari tersenyum lembut menuangkan teh ke cangkir yang masih kosong."Loh Mayor Chandra selingkuh,"tanya Sastro menutup mulutnya tidak percaya. "Saya ngga bisa memutuskan. Hanya saja seperti perjanji