LOGINShadow Monroe is left at an orphanage in the human realm. When she tries to run away, she runs into a situation that is much worse by being captured by the Alpha Don, Roman Espinoza. She is then raised by the Mafia to become an assassin and is one of the best. She plans to escape, but things take a very drastic turn. Alpha Roman wants to mate and mark her, but she refuses and goes on the run while unintentionally meeting her mate, Alpha Savon Owens, of the Moon Stone Pack. Alpha Roman will stop at nothing to find Shadow and kill her for running out on him. He reaches out to all of his sources and puts a bounty on her head. Savon has to win Shadow's trust and earn her love before she allows him to mark and mate her. While doing so, Savon helps Shadow find out that she is Alpha Kade's daughter, of the Blood River Pack. In an attempt to reach out to her birth parents and she later reveals that they were killed by Alpha Roman. The Moon Goddess blessed Shadow with unique abilities to aid her in the war to come with Roman on one condition, to accept Savon as her mate and produce an heir. Karissa, the Beta's sister, expected to be the next Luna so she tries to sabotage the Alphas relationship but gets banished. The Beta and Karissa team up with Alpha Roman and attack Moon Stone Pack. Shadow goes back to the human realm and challenges Karissa & Roman. Savon learns of the Beta's betrayal and kills him. Shadow takes her place as Luna and produces a heir, Serenity Owens.
View MoreBab 1
Arisan
Plak ….
Tamparan mendarat di pipi Bela sebelah kiri. Panas, nyeri yang ia rasa. Dengan spontan ia mengusap lembut pipi. Air mata pun berderai tanpa dikomando.
"Aku kan sudah bilang sama kamu, jangan pernah kamu membantah ucapan Ibu!" sungut Imam kepada Bela sembari tangannya menunjuk ke arahnya. Ucapannya begitu lantang dan juga menusuk hati.
"Tapi, Mas. Bela gak pernah membantah, Bela hanya menjelaskan kalau kita sedang tidak ada uang. Jadi kita tidak bisa memberi Ibu uang, itu saja." Wanita itu mencoba memberi pengertian. Merendahkan suaranya berharap suaminya tidak semakin marah.
"Halah, jangan berbohong kamu! Ibu sampai menangis pulang karena menantunya tidak memberi uang untuk berobat. Anak macam apa aku ini dimata orang-orang? Kalau cuma seratus ribu kenapa tidak kau berikan. Bukannya kemarin aku sudah memberimu uang dua ratus ribu?" sungut Imam. Nafasnya tersengal-sengal. Amarahnya membuncah hingga matanya memerah.
"Tapi, Mas. Uang dua ratus ribu itu sudah habis," jawab Bela sembari mengusap air mata yang enggan berhenti.
Imam mendengus kesal. Tak ada jawaban dari bibirnya. Lelaki yang sepuluh tahun menjadi imam itu diam tak berbicara sepatah katapun. Setelah Bela mengatakan uang yang ia berikan habis tak tersisa.
Ya, Bela menikah dengan Mas Imam, setelah dikenalkan oleh saudara jauh. Sepuluh tahun mereka membina rumah tangga. Namun belum juga dikarunia seorang putra. Imam sekarang suami yang mudah marah. Tidak bisa mengontrol emosinya sendiri. Apalagi jika sudah mendapat komporan dari ibunya. Masalah sepele menjadi besar karenanya.
Berkali-kali Bela pulang kerumah dan meminta cerai kepadanya. Tapi berkali-kali juga dia meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya. Tidak melulu cacian pedas yang dilontarkan kepada Bela. Tapi tangannya pun ikut andil. Terkadang tendangan pun sempat ia layangkan. Nasib Bela yang mungkin belum beruntung. Mempunyai suami yang tidak bisa mengatur emosi, ditambah memiliki ibu mertua yang pintar bersilat lidah. Paket lengkap merasakan pahitnya berumah tangga.
Pyar …
Piring kosong yang berada di atas meja dilempar ke sembarang arah olehnya.
Bela sepontan menutup telinganya.
"Astagfirullahaladzim," ucap Bela sembari menangis sesenggukan. Imam menatap tajam ke arah Bela yang masih berdiri di sampingnya.
"Apalagi ini? Kamu hanya masak tahu, tempe setiap hari! Kamu kemana kan saja uang yang kuberikan selama ini?" sungut Imam sambil berkacak pinggang. Lagi-lagi amarahnya meluap. Napasnya memburu, bahunya naik turun. Bela yang tak berani menatapnya hanya bisa mengusap air mata dengan ujung jilbab yang ia kenakan.
"Ah, dasar wanita bod*h!" Ditoyor kepala Bela dengan kuat. Hingga ia berjalan mundur selangkah. Imam pergi begitu saja tanpa mengucap salam maupun berpamitan. Setelah terdengar motor yang ia kendarai melaju meninggalkan rumah. Bela menangis sejadi-jadinya sembari menjatuhkan bobot tubuhnya ke lantai.
"Bela, Ya Allah!" Bu Sulis tetangga sebelah rumah menghampiri setelah mendengar kepergian Imam dengan sepeda motornya. Memeluk wanita itu dan ikut meneteskan air mata.
"Yang sabar ya, Nduk. Ini sudah jadi nasib kamu! Kamu harus ikhlas. Allah tidak akan menguji hambanya melebihi batas kemampuannya. Ini ujian buat kamu, Nduk! Yang ikhlas ya!" Berkali-kali Bu Sulis menguatkan Bela dan meminta sabar menghadapi Imam. Bela hanya bisa menangis di pangkuannya dan mengangguk setiap dia memberi nasehat.
******
Seperti biasa Bela mengerjakan pekerjaan rumah. Meskipun tamparan Imam kemarin masih terasa nyeri dan membekas biru di pipi. Karena warna kulit wanita itu yang putih sehingga jika terbentur apapun dengan keras akan terlihat membekas. Apalagi sebuah tamparan yang cukup kuat bagi seorang laki-laki. Tangan Bela dengan kuat menyikat baju Mas imam satu persatu.
"Assalamu'alaikum, Bela." Terdengar salam dari luar. Membuat Bela menghentikan aktivitasnya.
"Waalaikumsalam," jawab Bela berniat membuka pintu. Belum juga keluar dari kamar mandi, ibu mertua sudah masuk kedalam rumah yang pintunya tadi tidak tertutup.
"Bela, kamu itu bude* apa? Dipanggil dari tadi bukannya menjawab salam malah diem saja! Ngelunjak kamu?!" sungut ibu mertua yang langsung menghampiri Bela yang tengah berada di kamar mandi.
"Bela sudah menjawab, Bu. Hanya saja belum sempat Bela keluar Ibu sudah masuk ke rumah!"
"Halah, ngeles terus kayak Bajai! Imam mana?" Wanita itu menyapu seluruh ruangan mencari anak semata wayangnya.
"Belum pulang, Bu," jawab Bela apa adanya. Karena memang Imam belum pulang kerja.
"Ya sudah, besok ibu mau ngadain arisan di rumah ini. Kamu besok masak yang enak-enak, ibu mau kepasar belanja dulu. Jangan lupa bersih-bersih rumah, ibu gak mau ya besok rumahmu terlihat jorok!" Tangan mertua Bela di lipat didepan dada.
"Kenapa arisannya disini, Bu? Kenapa tidak dirumah ibu sendiri? Rumah ibu kan lebih luas!" Bela heran. Karena memang Bela menempati rumah yang jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan rumah ibu mertuanya.
"Udah gak usah banyak nanyak! Ini juga rumah Imam anak ibu bukan rumah kamu, jadi suka-suka ibu mau ngadain arisan dimana! Sudah, ibu pergi dulu. Jangan bicara saja, mulai bersih-bersih sana!" perintah Ibu sembari pergi meninggalkan Bela yang masih berdiri.
*****
Suara adzan Subuh berkumandang jelas terdengar di telinga. Mata Bela terbuka perlahan. Segera ia mengambil air wudhu untuk menunaikan kewajiban sebagai umat muslim.
Setelah Bela selesai memanjatkan doa. Segera Bela melipat mukena berwarna putih yang mulai memudar itu. Mukena yang diberikan Imam sebagai mahar perkawinan kala itu.
Imam memang tidak pernah meninggalkan sholat, dia selalu rajin pergi ke mushola yang berada tidak jauh dari rumah. Hanya saja sikapnya yang sedikit pemarah seperti tak pantas jika itu menjadi kebiasaannya.
"Bel, Ibu mau ngadain arisan disini?" tanya Imam yang baru saja pulang dari mushola.
"Iya, Mas. Ibu juga sudah belanja. Tinggal masak saja. Memang ada apa?" tanya Bela, dia menjatuhkan bobot tubuhnya di samping Imam.
"Menurut kamu poligami itu apa?" tanya Imam dengan wajah penasaran.
"Poligami? Punya istri lebih dari satu. Memang kenapa Mas dengan poligami?" Dahi wanita itu mengernyit banyak pertanyaan yang terlintas dalam pikirannya. Kenapa dengan Imam? Kenapa dia bertanya perihal poligami? Apakah dia akan menikah lagi? Apakah karena Bela belum bisa memberinya keturunan? Atau memang dia sudah punya wanita yang menjadi madu?
"Gak papa, ya sudah segara lah menyiapkan semuanya. Nanti keburu banyak orang!" perintah Imam. Bela pun langsung bergegas ke dapur. Memotong semua sayuran dan juga menyiapkan piring juga gelas. Acara apapun yang digelar entah itu di rumah sang mertua atau di rumahnya sendiri. Tetap saja Bela seorang yanh menyiapkan segala sesuatunya.
Meskipun rasanya sudah mau patah saja tulang-tulang itu. Tapi jika ia tidak menyelesaikannya tepat waktu, tulangnya akan dipatahkan oleh suami. Miris sekali rumah tangganya ini.
Kali ini menunya spesial. Rendang daging beserta kawan-kawannya. Tak lupa ibu menyiapkan buah-buahan segar yang sudah disimpan didalam kulkas. Tepat jam sepuluh semua makanan sudah siap di meja. Bela segera membersihkan diri sebelum tamu ibu datang. Suara riuh sudah terdengar saat Bela mengenakan jilbab instan berwarna coklat. Ia poles Bibir itu dengan lipstik yang baru ia beli kemarin. Sangat Pas dengan gamis yang kenakan. Bela memutar badan ke kanan dan ke kiri melihat pantulan di cermin membuatnya mengulas senyum.
"Bela," teriak Ibu mertua.
"Iya, Bu. Sebentar!" Bela segera keluar dari kamar dan menghampiri si empunya acara.
"Ada apa, Bu?" tanya Bela tangannya terus membenarkan gamis.
"Lho, kamu kok pake baju gamis sih? Nanti yang bawain minuman siapa?" tanya Ibu setelah melihatnya keluar dengan mengenakan gamis.
"Kan ada Mas Imam, Bu. Bela juga sudah selesai memasak. Lagian masak Bela juga yang masih nganterin minuman?" jawab Bela dengan naifnya.
"Lha kalau bukan kamu siapa? Ibu? Enak aja! Itu tugas kamu, masak nyuruh Imam. Dia itu capek, hari Minggu itu buat istirahat bukan malah ngerjain ini itu! Sudah buruan ganti baju!"
"Tapi, Bu. Bela juga sudah capek. Masak dari subuh!"
"Kamu berani melawan ibu?"
"Bukan begitu, Bu. Tapi …." Belum juga Bela melanjutkan ucapannya tiba-tiba Imam sudah datang menghampiri.
"Ada apa sih ini ribut-ribut? Sampai terdengar dari luar!" Tiba-tiba Imam datang setelah mendengar keributan kecil.
"Ini lho, Mam. Masak Bela nyuruh ibu mengantar minuman buat tamu. Kan gak sopan, menantunya aja malah enak-enakan di kamar. "
"Lho ibu kok bicara seperti itu? Bukan gitu, Mas!" Bela mencoba menjelaskan kepada suami meskipun nanti pada akhirnya dialah yang salah.
"Udah gak usah berisik. Kamu itu gak sopan ya, nyuruh-nyuruh ibu yang sudah tua bawa minuman. Kamu mau ngapain? Tidur? Sudah itu tugas kamu gak usah ngeyel kalo dibilangin!" Bela Pun terdiam. Meskipun sebenarnya Bela tahu pada akhirnya ia yang akan mengantar minuman kepada para tamu. Meskipun dengan berat hati ia melakukannya.
Satu persatu makanan dan juga minuman di antar ke ruang tamu. Banyak ia dengar mereka memuji masakan. Lelahnya akan terobati jika semua orang menyukai makanan yang dibuat.
Kesibukan di dapur membuatnya tidak sempat ikut berkumpul dengan Ibu dan juga tamunya. Meskipun seringkali terdengar candaan yang menghebohkan. Entah apa yang mereka bicarakan. Namun anehnya tak sekalipun ia melihat orang-orang itu mengumpulkan uang jika ini memang acara arisan. Tapi ya sudahlah, toh bukan urusannya. Ucap Bela dalam hati yang tidak ingin kepo lebih jauh.
Setelah acara selesai, satu persatu tamu berpamitan pulang. Lagi-lagi Bela pun bertugas membersihkan piring dan juga gelas kotor.
"Bela, sini sebentar ibu mau bicara!" Segera Bela letakan piring dan juga gelas kotor ke tempatnya semula. Lalu menghampiri mertua yang sudah duduk bersama Ilmam dan seorang wanita cantik.
"Ada apa, Bu? Siapa wanita ini? Kenapa dia tidak pulang seperti yang lain?" tanya Bela penasaran sembari melihat wanita itu duduk berdekatan dengan Mas Imam
I jump into the shower, washing my body as well as my hair. I dry off once I'm done and quickly apply some of the lotions and body sprays that came with the enormously lavish bathroom. I walk towards the closet to see what I can wear. Hmm, he said wear something nice, but he never specified what for. Maybe I can find something in the dresser. I walk over and begin rummaging through the clothes. I start to get frustrated and let out a loud groan. I hear two knocks at the door and groan even louder. "ughh I'm not ready yet. I'll be down in a second Savon."I go back to looking through clothes as the door slowly creeps open. I stop what I'm doing and look towards the door with a scold. A lady pops her head in, but she isn't the one that normally comes into my room. Her head turns in my direction as she scans the room. Once she spots me, her eyes light up, and a smile spreads wide across her face. "Hi! You must be Chloe. I've heard so much about you." She enters the room and close
Shadow's POVFor the rest of the day, I decide to stay in my room.After taking a shower and getting dressed, I sit on the bed in silence as my mind drifts off to my parents. My eyes start to well up with tears. Why did they give me up? Where are they now? Are they still alive? My unanswered questions come to a stop when I hear a knock at the door, but I dont answer it. Im not in the mood to talk. I look at the door to make sure it's locked so a certain someone can't invite themselves in. I don't want to be bothered and would rather be alone right now. I dont want to be a Luna and want to get attached to these people. I dont plan on staying much longer. Another knock comes and before I can tell them to fuck off I hear a soft gentle voice from the other side of the door. "I am sorry to disturb you, Luna. Dinner is ready, and the Alpha wishes for you to join him." I roll my eyes and scoff. He's the last person I want to see right now. I don't want to keep having the Luna conversati
Karissa's PovI watch as the puny disgrace of a she-wolf defeats the pack's gamma in a sparring match. Imbecile. I scoff, how can he call himself a Gamma and get defeated by that bitch. I grit my teeth and ball my fists as I watch a few of the warriors carry Tony off to the pack hospital. To make matters worse, Savon is blinded by the stupid mate bond to see she isn't worthy of him.Dumb mate bond. Selene couldn't have been in her right mind to make...her, Savon's fated mate.Savon walks up to her with a stony expression, and just when I think he is going to order her to the dungeon or leave the pack, he kisses her. He fucking kisses her. I can feel the heat coming from my ears. I grit my teeth and ball my hands into tight fists, causing my nails to dig into my skin and draw blood. My blood is boiling like lava, watching them dance their tongues in each other mouth, but I can't seem to look away. I want to. I need to. I can literally feel my heart breaking into small, sad pieces
"Tony, meet Chloe, the future Luna of the pack."The future Luna. Repeating it made me cringe even more. I'm not worthy of being a Luna, and most definitely not the party planning, dress wearing Luna.My discomfort is noticed by both Savon and the Gamma. I instantly regret it as I look into Savon's eyes, and if I'm not mistaken, I think he let out a light whimper. A pang of guilt stabs me in the heart. "Well, it is a pleasure to meet you, Luna, and I must say, I am very intrigued as well as impressed." I'm happy he change the subject.The awkwardness is killing me, and I don't know how much more I can take. "Thank you, it's nice to meet you, Tony. And sorry about the mess, I guess I owe you one, huh?" I shrug my shoulders while putting my head down and scratching the back of my neck. I can't believe people are still bringing that up. So much for laying low. I mentally roll my eyes and try not to be awkward anymore."Chloe here trained with friend growing up and according to her, sh






Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
reviews