Delphine isn’t sure how she ended up in this position- a song bird with clipped wings and a gilded cage. Where did everything go wrong? The answer is the man who commands her to sing.
View More“Berhenti menghina ibuku!” bentak Austin pada keluarganya.
Tangannya mengeluarkan api bersamaan dengan perkataaannya. Pesta keluarga menjadi kacau, semua orang berhamburan karena api yang dikeluarkan Austin. Austin memiliki kekuatan luar biasa di dalam tubuhnya. Tidak banyak yang tahu, hanya Orangtua dan juga kakek yang selalu menyayanginya.Dalam sekejap mata, pemandangan di hadapannya berubah menjadi neraka yang dipenuhi api. Austin panik bukan main saat tidak bisa mengontrol kekuatannya. Ia mengeluarkan kekuatan lainya, kekuatan itu adalah angin. Austin berniat memadamkan api dengan hembusan angin yang bisa ia keluarkan. Tapi sangat disayangkan, kekuatan itu tidak bisa dikontrol lagi olehnya dan menyebabkan api semakin besar.Para kerabat sangat terkejut dengan kekuatan yang dimiliki Austin, selama ini kekuatan itu disembunyikan dari khalayak umum karena Austin tidak bisa mengontrolnya. Ibunya pun selalu mendapat hinaan dari keluarga besar lantaran ia hanyalah seorang wanita yang berasal dari kampung, dan melahirkan anak seperti Austin. Austin terkenal sebagai pemuda yang aneh di kalangan keluarganya karena Austin tidak pernah berbaur dengan meraka.Bagi mereka kasta sangat penting, sehingga mereka terus menghina Ibu Austin disetiap ada kesempatan. Perlakuan mereka membuat Austin tidak tahan melihat ibunya dihina. Austin pemuda berusia dua puluh tujuh tahun, hidupnya selalu terkurung karena kekuatannya. Dia menghadiri acara keluarga karena permohonanya pada sang kakek, siapa sangka permohonan itu menjadi bencana besar bagi keluarga Jacob.“Tenang sayang… kamu harus tenang….” Ibunya berusaha menenangkannya, tetapi api itu malah mengenai ibunya.“Tidak!... apa yang aku lakukan?... Mom… Momy….” teriaknya frustasi.Karena emosi itulah kekuatannya lebih tidak terkontrol, api melahap semua yang dilewatinya, tidak terkecuali orangtuanya. Malam ini menjadi malam mengerikan bagi keluarga Jacob.Austin melihat tubuh orangtuanya terbakar, ibunya berteriak histeris kerena tidak tahan dengan panas api yang membakar tubuhnya. Begitu juga dengan yang lainnya, mereka berteriak. Malam yang seharusnya menjadi hari membahagiakan bagi pasangan tua Jacob menjadi malam yang memilukan. Pekikan suara orang-orang yang terbakar membuat Austin berteriak seperti orang gila lalu pingsan.***“Anak pembawa sial! Pergi kamu dari keluarga Jacob!!” usir pamannya yang selamat. Dari ratusan orang yang hadir di pesta semalam, hanya empat orang saja yang selamat. Austin, sang Kakek, paman Robert dan juga sepupunya yang bernama Wilson.Austin pingsan selama dua hari, tapi saat dia belum sepenuhnya sadar sudah mendapat makian dari sang paman. Kakek yang sangat menyayanginya hanya terdiam sambil memandangi foto istrinya dengan pandangan sendu.“Mommy!....” Austin berteriak memanggil ibunya begitu ia sadarkan diri.“Mommy kamu sudah mati! Kamu yang membunuhnya! Kamu juga yang membunuh seluruh keluarga kita!” balas paman Robert dengan membentak.“Tidak!... tidak!... kalianlah yang membunuh ibuku! Kalian yang membunuhnya!” teriak Austin histeris.“Dasar anak gila! Anak seperti ini yang Ayah kasihi?! Tahu dia memiliki kekuatan seperti itu sudah aku usir dari dulu!”Austin melihat kedua tangannya, kesedihan melingkupi hatinya. Kini orang-orang yang sangat menyayanginya telah pergi karena kekuatannya. Hanya tersisa sang Kakek, tetapi Kakeknya sudah seperti mayat hidup yang selalu memandangi foto mendiang istrinya.“Kek, Kakek….” Austin terus memanggil Kakeknya, tetapi sang Kakek tidak bergeming, masih terpaku dalam duka.“Berisik kamu! Bawa dia keluar, buang saja dia ke manapun!” paman Robert memerintahkan anak buahnya untuk membuang Austin dari keluarga Jacob. Mereka tidak menerima monster seperti Austin.“Jangan lupa tutupi kasus kebakaran itu, bilang saja pada media kalau itu hanyalah ketidak sengajaan. Jangan sampai keluarga Jacob dikucilkan karena monster ini!” sambung pamannya lagi sambil menunjuk wajah Austin dengan jarinya.“Aku mohon paman, jangan buang aku. Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain kalian. Aku juga tidak tahu dunia luar seperti apa,” mohon Austin.Selama ini dia terkurung di dalam kastil mewah, orangtuanya memutuskan untuk mengurungnya karena takut Austin mencelakai orang lain di luaran sana. Dua puluh tujuh tahun dihabiskannya dalam keheningan, hanya ada sang kakek dan orangtuanya yang selalu menghiburnya.“Tidak! Kamu monster pembawa sial! Pergi kau dari keluarga Jacob! Dan jangan pernah kembali lagi!”Austin memohon pada pamannya, bahkan dia sudah bersimpuh di bawah kaki sang paman. Bukannya merasa iba dengan sang ponakan, pamannya menendang Austin sampai dia terpental ke belakang. Austin takut pada dunia luar, dia takut menjadi penyebab kekacauan karena kekuatannya.Memohon pada sang paman tidak membuahkan hasil, lalu Austin memohon pada sang Kakek. Tapi sang Kakek benar-benar tidak bergeming layaknya patung. Kejadian di pesta pernikahannya menjadi pukulan terberat baginya. Jangankan untuk mengenali cucu kesayangannya, mengenal dirinya pun tidak."Bawa dia cepat! Lempar saja dia ke jurang biar mati sekalian, aku tidak perduli," ucap sang Paman sarkas."Ya, aku pantas mati, aku pantas mati, sudah tidak ada lagi orang yang menyayangiku, aku pantas mati," ucap Austin sambil menangis. Dia sudah putus asa dengan hidupnya, baginya hidup tanpa orang yang menyayanginya sangat mustahil. Selama ini, Austin selalu bergantung dengan mereka yang menyayanginya.Austin diseret paksa oleh pengawal Robert, di luar sedang turun salju, tapi sang paman tidak memberikan mantel. Austin pasrah diseret oleh mereka. Tubuhnya dilepar kedalam mobil oleh pengawal Robert."Mom... aku ingin menyusulmu Mom...." Austin menangis di dalam mobil. Tangisnya terasa pilu sampai membuat pengawal merasa kasihan."Haruskah kita melemparnya ke jurang? Aku merasa kasihan dengan pemuda ini. Meskipun dia salah, tapi dia juga tidak mau semua ini terjadi," ucap salah satu pengawal yang memegang senapan laras panjang."Aku juga merasa kasihan, kita buang dia di pinggir jalan saja, siapa tahu ada yang menolongnya," balas pengawal lainnya.Kedua pengawal berseragam serba hitam yang dilengkapi senjata itu merasa iba dengan nasib Austin. Mereka memutuskan membuang Austin di kota Racoon City yang letaknya sangat jauh dari tempat tinggalnya, Madripoor City.Kedua pengawal itu mengeluarkan Austin dari dalam mobil, dan meletakkannya di pinggir jalan penuh salju layaknya barang. Salah satu pengawal menutupi tubuh Austin dengan mantel yang ia miliki, lalu meninggalkan Austin sendiri di kota yang tidak pernah dia ketahui.Austin melihat kepergian kedua pengawal itu dengan pandangan sedih. "Kenapa kalian tidak membunuhku saja? Aku ingin menyusul kedua orangtuaku di surga," gumamnya."Mungkin mereka ingin membuatku mati kedinginan, baiklah, semoga aku cepat mati," gumamnya lagi sambil memejamkan mata.Rasa putus asa sudah hinggap di dalam hatinya, tidak ada lagi harapan hidup untuknya. Harapan itu semua sirna saat melihat kematian kedua orangtuanya dengan mata kepalanya sendiri. Dingin salju sudah menembus tulang, bibir sudah berubah menjadi biru, tubuhnya pun sudah tertutup tumpukkan salju, hingga hanya terlihat wajahnya saja. Meski begitu, Austin tetap tersenyum, membayangkan saat bertemu orantuannya di surga."Mom, Dad, tunggu aku, aku akan menyusul kalian."Once at home, Delphine is a whirlwind getting upstairs as she becomes giddy about the thought of dressing up. It’s definitely one of the joys of opera, she finds, is getting to dress up fancy. Not the fancy her parents paraded her around in, but the fancy that’s more subtle. Demure. Mindful. Delphine will never dress the ways her parents used to dress her- like some doll to be shown off when really she wants her voice and personality to be what draws people in. Tiberius watches in amusement as his mate all but tears up their room in the search for perfect outfits. He finds it cute, really, how excited she gets to dress herself up. Delphine always looks radiant, but even more so when she’s smiling, happy, and in her element. He suspects she could’ve been a fashion designer if opera didn’t work out for her. Or a model. He’d love to see that. “Ti,” Delphine approaches him shyly and he nearly gets a hard on at the mere sight of her little smile. “Do you… can I pick your outfit too?” He
It becomes easier after that as if some unspoken agreement has been made between Delphine and Tiberius. He doesn’t force her to do things she doesn’t want to and she no longer tries to fight him or run away. He eats more meat that she could possibly stomach and she looks just like a prey eating her ‘bunny food’ as Tiberius calls it. It’s easy, Delphine decides, it’s easy to pretend he doesn’t still scare her, that she has no itch beneath her skin to disappear, and it’s easy to get excited every time the Opera and its changes are involved. Tiberius doesn’t touch Delphine as much, either, opting to keep his hands to himself as if in apology for attacking her the first time. She gets to decide on physical contact, if any, and that lifts a weight off her shoulders, too. Delphine gets to decide on her own outfits and her own scents via perfume and shower gels. Tiberius grunts from behind his desk at the opera house, “Why the fuck are they charging me extra for the smooth siding?” Delph
Surprisingly, Tiberius leaves Delphine to her own devices as he goes to his home office. She supposes there’s trust because of all the guards rather than any true trust in her. In the end, why he leaves her alone doesn’t matter as much as the fact that she is alone. Delphine feels devious, almost, that she access to the large house with little supervision. So she explores every nook and cranny so that when it’s time to run again, she’ll have some sort of advantage. The house itself is large enough to boast four bedrooms, not including the office, three and a half baths with an expansive living room. The living room leads into an equally massive kitchen with eight burners, two ovens, a walk in pantry, and a fridge to match. There’s also the three car garage they came through and the back yard with its built in fire pit and brick oven. If Delphine hadn’t grown up in an actual mansion, she would’ve said this house is one just based on the general sizes of everything. Delphine
Delphine feels as if she might start hyperventilating soon as Julian steps out of the house and cannot meet her eyes. She doesn’t think he sold her out, not intentionally anyway, but that doesn’t make her feel any better. Does he hate her now? Everything is changing because of her and no doubt he’ll get in trouble alongside Marcus for helping her. Then she thinks of Marie, who willingly betrayed her trust, and she feels her heart pick up speed in anger. What did she do to deserve this? Why does everyone want to control her? She zones out as Tiberius talks with Julian who, as far as Delphine can tell, is acting as head of the boarding house in Marie’s absence. She doesn’t hear their words, it feels as if her ears are stuffed with cotton and all she can focus on is the pounding of her heart. Delphine feels itchy as if she has to move, scream, or just do anything to expel all the nervous energy building in her. She has never felt this nervous before not even on her first performance n
Delphine decides she hates Tiberius, he’s controlling and entirely too handsy. He dictates what she dresses in, what she smells like- which is stuff she normally uses and smells like, but she doesn’t understand how he knows that- and where she goes. Delphine left home because this is exactly what her parents would do and more, taking all her choices and all her freedom from her. Her eyes tear up as they near the opera house and a calloused hand squeezes her knee. “Don’t be too down, Delphie, I promise this is for you,” Tiberius drives with ease, like someone of his status would. Delphine shakes her head and pulls closer to the car door, “You don’t get it. You’re just some alpha who gets what he wants!” Tiberius doesn’t say anything as he parks and they get out of the car. Delphine is tempted to turn and make a run for it, but she has a feeling he would catch her before she even makes it out of the parking lot. He slides an arm around her waist, pulls her close, and kis
Tiberius is momentarily disjointed when he nexts wake up especially because he remembers a little bird falling asleep in his arms and now said bird is not there. He wants to growl at the prospect of her having slipped out and escaped from him, but Tiberius tempers his rage to think clearly. If Delphine had run then one of his pack members would’ve awoken him the moment they couldn’t find her. Tiberius takes a deep breath to scent the air and calm himself before getting up and going downstairs. He finds Delphine there, sitting at the kitchen island with a mug of tea in her hands. The maid, Pollonia, must already be out and about with the cleaning, cooking, and other things Tiberius doesn’t have the energy for. Grey eyes cut over to him and he beams at the fact Delphine hasn’t tried to run again. He slides an arm around her shoulders pulling her closer to his chest before placing a chaste kiss on the top of her head. “You didn’t try to run and you’ve met Pollonia,” Tiberius sits in
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Comments