"1 minggu!" ucap Ethan menatap tajam pada Grace, matanya menyorot tajam seolah menusuk langsung ke dalam jiwa gadis itu. "Kalau gagal, aku tidak akan melepaskanmu!"
"Baiklah, tapi dalam seminggu ini kau harus pastikan keselamatanku. Andaikan aku mati, maka tidak ada keuntungan bagimu!" jawab Grace.
Ethan tertawa kecil, senyumnya sinis, hampir seperti memandang rendah permintaan Grace. "Kau mengancamku?" tanyanya, nada suaranya mengintimidasi, namun bibirnya masih menyunggingkan senyuman yang meremehkan.
"Tentu saja, tidak! Aku butuh jaminan untuk nyawaku," Grace membalas dengan tegas, "Raymond Scott akan membunuh siapa saja yang menantangnya. Aku akan menjadi sasarannya. Hakim dan para juri ada di pihaknya. Bukti asli telah diserahkan kepada mereka. Namun, semua bukti telah dihapus," jelasnya sambil menarik napas panjang, mencoba menghilangkan ketegangan yang melingkupinya.
Ethan mendengus, mengalihkan pandangannya sejenak. "Kalau sudah tahu kau akan menjadi sasarannya, kenapa ingin ulang membuka kasus ini?" tanyanya dengan nada lebih serius.
Grace menatap Ethan dengan mata yang menyala penuh tekad. "Karena banyak yang telah menjadi korbannya, bukan hanya Raymond. Hakim dan para juri juga harus disingkirkan!" jawabnya dengan penuh keyakinan. Kata-katanya menggema di dalam ruangan yang sunyi.
Ethan terdiam sesaat, memperhitungkan setiap kata yang baru saja didengarnya. Ia kemudian mengangguk perlahan. "Baiklah, aku percaya denganmu kali ini," ujarnya sambil memberi tatapan penuh peringatan. "Kalau kau gagal, kau akan menerima akibatnya."
Grace terdiam sejenak, bibirnya terkatup rapat.
Ethan mendekat, matanya terus mengawasi setiap gerakan Grace. "Kenapa diam? Apakah kau menyesalinya? Kalau iya, kau bisa pergi!" katanya dengan nada yang mulai naik, tubuhnya hendak beranjak dari ruangan itu, seolah tidak ingin membuang lebih banyak waktu.
"Tolong kirim anggotamu untuk melindungi panti asuhan!" pintanya tiba-tiba, suaranya terdengar mendesak namun tetap tenang.
Ethan menghentikan langkahnya, berbalik menatap Grace dengan alis terangkat, keheranan jelas terlihat di wajahnya. "Yang dalam bahaya adalah dirimu, kenapa mereka yang harus dilindungi?" tanyanya dengan nada penuh rasa ingin tahu.
Grace menatap Ethan tanpa berkedip, matanya menunjukkan keteguhan hati yang sulit digoyahkan. "Jangan bertanya! Lakukan saja agar aku bisa tenang menyelidiki kasus ini sampai tuntas," jawabnya cepat, kemudian berbalik meninggalkan ruangan tanpa menoleh lagi.
Ethan menghela napas, menatap punggung Grace yang semakin menjauh. "Orang aneh!" gumamnya pelan, seolah tak percaya pada apa yang baru saja terjadi.
***
Grace menggenggam setir mobil lebih erat, napasnya mulai tersengal-sengal. Rasa sakit yang menghantam dadanya semakin tajam, bekas tendangan Ethan tadi benar-benar memukul titik vital. Wajahnya pucat, keringat bercucuran, tetapi matanya tetap tajam, penuh tekad.
Mobil berhenti mendadak di pinggir jalan. Grace membuka pintu dengan tangan gemetar dan keluar, langkahnya goyah. Ia berjongkok, menahan diri agar tidak jatuh, lalu tubuhnya tersentak saat batuk keras. Cairan merah mengalir dari mulutnya, darah yang pekat menetes ke aspal.
Grace terbatuk lagi, kali ini lebih keras, wajahnya meringis menahan sakit. “Tendangannya bisa mematikan...” gumamnya lirih, suaranya serak dan lemah. Ia merasakan jantungnya berdebar keras, hampir seperti ingin keluar dari dadanya.
"Aku harus bertahan setidaknya seminggu lagi," bisiknya, seakan berbicara pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan diri untuk tidak menyerah. “Walau harus mati, aku tetap harus menjatuhkan Raymond Scott.”
***
Ekin kembali menemui Ethan di penjara, wajahnya serius. Ethan duduk di balik jeruji dengan tenang, matanya memancarkan ketenangan yang berbahaya. Meskipun terkekang, wibawa dan aura kekuasaan Ethan masih terasa begitu kuat, seperti seorang raja yang terkurung di dalam kandang singa.
"Bos, kenapa kita harus melindungi panti asuhan? Mereka tidak ada hubungan dengan Raymond," tanya Ekin dengan nada ingin tahu.
Ethan memandang Ekin dengan tajam, lalu dengan suara yang dalam dan penuh perhitungan, ia berkata, "Selidiki hubungan Jaksa Shin dengan panti asuhan itu! Aku ingin tahu jauh lebih detail tentang gadis itu!" Suara Ethan bergetar dengan tekad, menunjukkan bahwa masalah ini lebih rumit dari yang terlihat.
Ekin mengerutkan kening, berpikir sejenak sebelum bertanya dengan hati-hati, "Apakah janji dia bisa dipercaya?"
Ethan tersenyum tipis, sebuah senyum yang tidak sampai ke matanya. "Tentu saja aku tidak akan begitu mudah percaya dengan kata-katanya," jawabnya tegas, "Tapi aku ingin tahu dia ada di pihak siapa. Dia sangat serius ingin melawan pejabat itu. Oleh sebab itu aku ingin tahu lebih banyak tentangnya. Kalau menyadari sesuatu yang mencurigakan dari dia, segera beritahu aku!"
Ekin mengangguk cepat, merasakan ketegangan dalam ruangan itu. "Iya, Bos," jawabnya dengan patuh.
Ethan menatap Ekin, matanya menyipit dengan rasa penasaran yang intens. "Apakah sudah menemukan anak pemerkosa itu?" tanyanya dengan nada yang lebih rendah, hampir berbisik, seolah mengukur setiap kata.
Ekin menundukkan kepalanya sedikit, "Maaf, Bos. Sejak dia bebas dari penjara, tidak ada yang tahu dia di mana," jawabnya dengan suara yang hampir penuh penyesalan. "Mungkin saja dia sudah meninggalkan kota karena malu."
Wajah Ethan menegang, ingatannya kembali kepada hari-hari penuh amarah dan dendam yang ia rasakan selama dua belas tahun terakhir. "Dua belas tahun aku menyimpan dendam ini, Selagi aku tidak membunuh putrinya dengan tanganku sendiri, aku tidak akan puas. Walau anak itu yang membunuh ayahnya sendiri, aku masih ingin melihat dia menderita. Agar penderitaan ibuku terbalas. Jones Walker terlalu mudah mati begitu saja. Selagi Cecillia Walker masih hidup, aku ingin dia menanggung dosa ayahnya."
Ekin terdiam sejenak, menyadari betapa dalamnya luka yang Ethan simpan selama ini. Ia memberanikan diri untuk berbicara, "Bos, aku telah menyelidiki data Cecillia Walker. Namun, datanya telah dihapus. Apakah dia memang tukar identitas?"
Ethan tertawa singkat, namun tawanya dipenuhi dengan kebencian. "Cari tahu lagi! Aku yakin dia masih hidup. Ke mana pun dia pergi, aku akan mendapatkannya!"
"Bos, Aku mendapat sedikit informasi, Bahwa saat Cecillia Walker ditahan, dia selalu menyebut dirinya ingin menjadi jaksa setelah dewasa," kata Emil.
"Jaksa? Apakah dia bermimpi? Anak yang memiliki sejarah buruk, tidak akan bisa lolos menjadi jaksa," jawab Ethan.
Ethan Christopher adalah remaja yang kehilangan ibunya saat 12 tahun silam. Sang ibu melompat dari bangunan tinggi setelah dilecehkan oleh tersangka Jones Walker.
"Cecillia Walker, kemana pun kau pergi... Aku akan selalu menghantuimu, hanya dengan menganti nyawamu, dendam ibuku baru terbalas," gumam Ethan, matanya menyipit seakan melihat bayangan masa lalu yang tak kunjung pergi.
Di sisi lain, Grace berdiri di depan taman anak-anak dan memandangi seorang anak laki-laki yang duduk sendiri, tanpa pengawasan. Matanya tak lepas dari sosok itu, sementara pikirannya dipenuhi perasaan bersalah dan masa lalu yang menghantui.
"Wilson, maafkan Mama yang jarang datang," batinnya. "Setiap kali melihatmu, Mama teringat malam itu, pria iblis yang menghancurkan masa depanku. Kau tak bersalah, sayang. Mama akan selalu berusaha yang terbaik untukmu. Tapi tak seorang pun boleh tahu kehadiranmu, pekerjaan Mama terlalu berbahaya untuk itu."
Apa yang akan terjadi ketika Ethan Christoper yang kini begitu membenci Grace mendapati bahwa wanita itu adalah orang yang menjadi korbannya saat 5 tahun yang lalu. Selain itu, Grace juga telah melahirkan anak dari hasil hubungan tersebut?
Dua hari berlalu dengan suasana yang penuh harapan dan ketegangan. Siang itu, di sebuah ruangan yang tenang, Wilson duduk di sisi Ethan, menunggu dengan penuh kesabaran. Di dekat mereka, Emil dan Ekin berdiri, menjaga ketat situasi. Ketika Ethan perlahan membuka matanya, ruangan itu seolah dipenuhi cahaya baru.Wilson segera berseru, wajahnya dipenuhi kebahagiaan, “Papa! Papa sudah sadar!”Seruan itu menarik perhatian Emil dan Ekin, yang langsung berseru serentak, “Bos!”Ethan memandang Wilson, putranya, dengan penuh kehangatan. “Wilson,” ucapnya lirih, senyuman kecil menghiasi wajahnya yang masih lemah.“Apakah luka Papa masih sakit?” tanya Wilson dengan nada cemas, wajahnya menunjukkan kekhawatiran mendalam.“Papa tidak apa-apa,” jawab Ethan sambil berusaha bangkit, menyandarkan diri pada tempat tidur. Namun, matanya segera mencari-cari sesuatu, seperti seseorang yang sangat dirindukan.
Ethan mencabut pisau itu dengan tangan gemetar, darah terus mengucur dari luka yang menganga di dadanya. Wajahnya meringis menahan rasa sakit, sementara tubuhnya perlahan jatuh berlutut di depan Grace. Kedua matanya, meski dipenuhi penderitaan, tetap memandang Grace dengan sorot penuh arti. Grace, yang memegang pisau berlumuran darah itu, tak mampu menahan tangisnya. Air matanya mengalir deras, menggambarkan campuran rasa bersalah, penyesalan, dan kebingungan.Dari sisi kanan, Guru Wang muncul, wajahnya tenang namun penuh wibawa. Ia mendekati Grace yang gemetar. "Grace, lupakan dendam masa lalu, demi kebahagiaan masa depan. Anakmu dan dirimu juga," ucap Wang dengan suara penuh kebijaksanaan. Kata-katanya seperti tamparan yang menggema di telinga Grace.Grace menoleh perlahan ke arah Wang, matanya yang merah penuh air mata menunjukkan gejolak batin yang sedang berkecamuk. Pikirannya dipenuhi konflik antara kebencian masa lalu dan kenyataan yang menampar hatinya sekarang
Grace melangkah keluar dari gedung apartemen dengan langkah tegas, tatapannya tajam dan penuh amarah. Malam yang dingin tidak membuatnya goyah, meskipun udara menusuk tulang. Di depan gedung, Ethan berdiri dengan wajah tenang, namun matanya mengungkapkan penyesalan yang mendalam."Grace, kau sudah tahu semuanya," ucap Ethan, suaranya rendah namun penuh beban.Grace menghentikan langkahnya tepat di hadapan Ethan. Tatapannya menusuk, seperti pisau tajam yang ingin menembus hati pria di depannya. "Kau berencana menutupinya sampai kapan? Dengan cara ini kau mendekati kami? Apa tujuanmu sebenarnya? Kau ingin merebut Wilson dariku?" tanyanya dengan nada dingin, suaranya bergetar oleh amarah yang ia tahan."Tentu saja tidak, Grace," jawab Ethan dengan cepat, berusaha menjelaskan. "Aku tidak akan pernah melakukan itu. Selama ini kau yang merawatnya, kau yang memberikan segalanya untuknya. Aku tahu betapa sulitnya hidup yang kau jalani. Aku hanya ingin mencari waktu untu
"Wilson, ikut Mama pulang. Karena ada yang harus Mama selesaikan!" kata Grace dengan nada tegas, meskipun hatinya terasa berat. Wilson, yang biasanya ceria, hanya menatap ibunya dengan bingung. Ia menangkap sesuatu yang berbeda di wajah Grace. Mata Grace berkaca-kaca, seolah menahan sesuatu yang hampir meledak, namun Wilson memilih diam.Beberapa saat kemudianEthan tiba di rumah dengan wajah penuh kegelisahan. Langkahnya cepat, tapi hatinya terasa berat. Begitu masuk ke kamar, ia melihat laporan DNA yang tergeletak di atas meja. Amplop itu kini tampak seperti bukti nyata yang tak bisa ia abaikan. Ethan menghela napas panjang, lalu mengambil laporan itu dengan tangan yang bergetar."Grace, sudah melihatnya," gumam Ethan, usai membaca laporan itu untuk yang kesekian kalinya. Ia mengusap wajah dengan frustrasi, mencoba mengurai kekacauan dalam pikirannya. Tatapannya beralih ke arah kasur, yang hanya terlihat mainan Wilson.Apartemen GraceGrace duduk
Ethan yang terdiam seketika seolah sedang teringat sesuatu, mendadak merasa panik. "Gawat! Laporan DNA ada di rumahku. Aku menyimpannya di kamar, dan aku juga tidak mengunci pintunya. Karena Wilson suka tidur di kamarku," batin Ethan, yang langsung berlari mengejar Grace."Grace Anderson, tunggu aku!" teriak Ethan sambil keluar dari markas dengan wajah penuh kecemasan."Bos, Jaksa itu sudah pergi," ujar salah satu anak buahnya, memberikan informasi dengan raut khawatir melihat reaksi bosnya.Tanpa menjawab, Ethan langsung masuk ke dalam mobilnya. Ia menyalakan mesin dan melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi, tak peduli pandangan heran dari anak buahnya."Kenapa aku begitu lalai? Seharusnya aku kunci laci mejaku," gumam Ethan, sambil menggenggam erat setir. Matanya fokus ke jalanan di depannya, berusaha melewati kendaraan yang menghalangi. Mobil Grace sudah jauh di depan, dan Ethan harus mengejarnya sebelum sesuatu yang tidak diinginkan terjadi
Grace mengemudikan mobilnya dengan perasaan lega. Ia baru saja menyelesaikan misi penting, menahan Dom Hart dan putranya, James, dua sosok yang selama ini selalu lolos dari kesalahan."Sammy, mungkin lebih baik kita tidak bertemu lagi. Anggap saja kita tidak pernah saling kenal. Aku sudah memiliki hidupku sendiri, dan kamu pilih jalanmu sendiri," gumamnya dengan suara penuh tekad, mencoba menghapus bayangan masa lalu yang mungkin akan mengganggu jalannya ke depan.Beberapa saat kemudian, Grace menghentikan mobilnya di depan sebuah gedung besar dengan penjagaan ketat—markas Ethan Christoper. Ia menghela napas panjang sebelum keluar dari mobilnya. Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju pintu utama yang dijaga beberapa anak buah Ethan."Jaksa Shin? Kenapa Anda bisa ada di sini?" tanya Emil, dengan nada terkejut.Grace menatapnya tajam. "Aku ingin bertemu dengan Ethan. Apakah dia ada di sini?""Ada, dia sedang di kantornya. Silakan saja," jawa
Grace dan timnya melangkah masuk ke dalam ruangan, suasana menjadi tegang seketika. Matanya langsung tertuju pada Dom dan Jamez yang tergeletak di lantai, darah mengalir deras dari betis mereka, dengan senjata tajam yang menancap dalam. Pemandangan itu membuat Grace terdiam sejenak, namun ia segera menguasai diri."Bawa mereka pergi!" perintah Grace dengan suara tegas, matanya tetap tajam.Grace kemudian memandang keluar, perasaannya tiba-tiba menjadi kaku. Ia melihat sosok seorang pria yang tak asing baginya. Tubuhnya mendadak tegang."Kenapa dia bisa ada di sini?" batin Grace, matanya menyipit, mencari tahu apakah ia salah lihat atau tidak.Teriakan Sammy keras memecah ketegangan. "Lepaskan suami dan anakku! Jangan sentuh mereka!" Sammy berlari ke depan, berusaha menghalangi para jaksa yang hendak memborgol Dom dan Jamez. Suaranya penuh emosi, penuh kekhawatiran.Sammy yang kesal menoleh ke arah Grace, matanya berkilat tajam dengan kemarahan yang
Berita gempar di siang itu mengguncang masyarakat. Namun, bukan bencana alam yang menjadi perhatian, melainkan pengungkapan kasus besar yang melibatkan pejabat-pejabat korup. Nama-nama besar seperti Dom Hart dan James Hart tercantum dalam daftar penangkapan, membuat kegemparan meluas di seluruh kota.Kemarahan masyarakat memuncak. Mereka mencemooh para pejabat yang telah mengkhianati kepercayaan rakyat. Negara yang seharusnya makmur dan adil, kembali tercoreng oleh skandal korupsi. Gelombang protes mulai terlihat, baik di jalanan maupun di media sosial, menuntut keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu.Di tengah kekacauan tersebut, Grace dan timnya tidak tinggal diam. Dengan langkah tegas, mereka mendatangi gedung kementerian, membawa surat perintah penangkapan. Setiap langkah mereka mencerminkan determinasi dan keberanian.Setibanya di gedung para menteri, Grace mengetuk pintu utama dengan tangan yang mantap. "Kami dari tim penegakan hukum. Ini surat perintah pe
"Kau tidak percaya dengan kataku?" tanya dengan nada serius. Ia melipat kedua tangannya di dada, menatap Grace dengan tajam.Grace menghela napas panjang sebelum menjawab, berusaha menenangkan pikirannya. "Wilson tidak ada hubungan darah denganmu. Tidak ada alasan kau menjadikannya sebagai penerusmu," jawabnya tegas, mencoba menyampaikan logika di balik pemikirannya.Ethan mengangkat alis, senyumnya samar tapi penuh arti. "Aku dan Wilson sangat cocok. Dia juga menyukaiku!" katanya dengan percaya diri, seolah hal itu cukup untuk membenarkan tindakannya.Grace memutar bola matanya, merasa sulit untuk menerima alasan Ethan. "Aku akan segera menjemputnya," ujarnya dengan suara dingin. "Tidak baik tinggal di rumahmu begitu lama. Anak ini akan terbiasa jika dibiarkan seperti ini."Ethan mendengus kecil, tampak tidak setuju. "Jangan terlalu keras," ucapnya pelan namun tegas, nada suaranya sedikit melembut. "Lagi pula, kau sibuk seharian. Kalau dia bersamaku, dia aman. Ada anggotaku yang men