Zero: Forgotten Lost berlatar dunia medieval pasca-apokaliptik setelah bencana yang disebut Cataclysmic Catastrophe memusnahkan sebagian besar umat manusia dan menyebabkan munculnya makhluk dan monster tak dikenal, yang disebut Nyxaroth. Umat manusia beradaptasi dengan ancaman tersebut dan seiring waktu membangun kembali peradaban. Ceritanya mengikuti Fabio yang Amnesia, yang terbangun dari tidurnya didunia tidak dikenalnya dan berangkat menjelajahi dunia baru ini.
View MoreRasa dingin dan lembap menyelimuti tubuh Fabio. Dia membuka matanya perlahan, mendapati dirinya berbaring di atas tanah yang keras dan basah. Aroma anyir dan tanah busuk mengisi udara, menyesakkan dada setiap kali dia mencoba bernapas. Pandangannya buram, tetapi dia bisa melihat bayang-bayang pohon-pohon besar yang melingkari tempatnya berada, seperti raksasa yang mengawasinya.
Dia menggigil, merasakan angin yang menusuk kulit, meskipun ia mengenakan pakaian yang tampaknya sudah compang-camping. Ketika mencoba bangkit, tubuhnya terasa berat, seperti ada sesuatu yang hilang darinya—bukan hanya kekuatan, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam. "Di mana... aku?" Fabio bergumam, suaranya serak, hampir tak dikenali oleh dirinya sendiri. Tidak ada jawaban, hanya gema kecil dari suara burung-burung asing yang terdengar di kejauhan. Dia mengedarkan pandangan, mencari petunjuk. Di sekitarnya, tumbuh-tumbuhan yang tampak tak wajar menyembul dari tanah. Beberapa bersinar redup dalam kegelapan, memancarkan cahaya kehijauan yang menciptakan bayangan aneh. Pohon-pohon besar di sekitarnya memiliki akar yang mencuat dari tanah, seperti mencoba meraih sesuatu di atas. "Siapa aku..." dia berbisik lagi, lebih pada dirinya sendiri. Fabio mengangkat tangannya, memperhatikan bekas luka di telapak tangan kirinya. Bekas itu seperti rune yang tergores, membentuk pola yang rumit. Namun, dia tidak ingat dari mana asalnya. Tidak ada satu pun memori yang terasa nyata di kepalanya—hanya kekosongan yang menyakitkan. Sebuah suara mendesing dari kejauhan, diikuti oleh lolongan panjang. Suara itu membuat rambut di tengkuk Fabio berdiri. Nalurinya menyuruhnya bergerak, meski otaknya masih bingung. Dengan cepat, dia memeriksa kantong kecil di pinggangnya. Sebuah belati tua dengan bilah yang berkarat adalah satu-satunya benda yang dia miliki. "Bagus," gumamnya pahit. "Setidaknya aku tidak sepenuhnya tak bersenjata." Langkah kakinya perlahan membawanya keluar dari area itu. Setiap gerakan terasa berat, seolah-olah dia bergerak di dalam mimpi buruk yang tak berujung. Tapi dia tahu satu hal pasti: dia harus bergerak, harus bertahan, dan harus mencari jawaban tentang siapa dirinya—dan apa tempat mengerikan ini. Suara lolongan itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat. Fabio berhenti, menatap ke arah sumber suara dengan tubuh yang tegang. Matanya menatap tajam, dan meskipun jantungnya berdebar kencang, dia tidak membiarkan rasa takut menguasai dirinya. "Kalau ini ujian pertama... aku akan memastikan aku lolos," desisnya sambil mengangkat belatinya. Dengan nafas yang berat, Fabio melangkah ke kegelapan, menuju suara ancaman yang tidak dia kenal, tanpa mengetahui bahwa ini hanyalah awal dari petualangan panjang dan penuh bahaya. Lolongan itu semakin dekat. Fabio menahan napas, menyelinap di antara akar-akar pohon yang menjulang seperti dinding. Dia mencoba memusatkan pendengarannya, tetapi hanya suara gemerisik daun dan gemuruh samar di kejauhan yang terdengar. Kemudian dia melihatnya. Di celah antara dua pohon besar, makhluk itu berdiri, membungkuk seperti sedang mencium tanah. Sosoknya jauh dari bentuk manusia. Kulitnya hitam pekat, seperti terbuat dari bayangan yang bergerak. Lengan-lengannya panjang, dengan jari-jari yang seperti cakar tajam memanjang. Kepala makhluk itu berbentuk memanjang, tanpa mata, hanya mulut yang dipenuhi gigi tajam yang berkilauan dalam kegelapan. Nyxaroth. Nama itu tiba-tiba muncul di pikiran Fabio, meski dia tidak tahu dari mana. Mungkin sebuah ingatan yang tertinggal, atau hanya insting yang tertanam di benaknya. Makhluk itu sedang memburu sesuatu. Fabio bisa melihat bekas jejak darah di tanah, membentuk pola zig-zag menuju semak-semak di depan makhluk itu. Nyxaroth melangkah perlahan, cakar-cakarnya menggores tanah, sementara suara geraman rendah terdengar dari tenggorokannya. Fabio merunduk lebih rendah, bersembunyi di balik akar besar. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Apakah dia harus menyerang? Atau menunggu makhluk itu pergi? Tetapi saat pikirannya berlomba mencari keputusan, sesuatu terjadi. Dari semak-semak yang berlumur darah, seekor binatang kecil melompat keluar—seperti rusa kecil dengan bulu perak yang berkilauan. Namun, matanya memancarkan cahaya merah, penuh ketakutan. Makhluk itu mencoba melarikan diri, tetapi Nyxaroth bergerak cepat, lebih cepat dari yang Fabio bayangkan. Makhluk itu melompat, cakar-cakarnya menghantam binatang malang itu dengan kekuatan brutal. Terdengar suara retakan tulang yang mengerikan saat tubuh binatang itu terhempas ke tanah. Jeritan terakhirnya menggema di udara, sebelum terdiam dalam kesunyian yang mengerikan. Fabio menahan rasa mual. Dia tidak bisa berpaling, meskipun setiap insting dalam tubuhnya memohon untuk melarikan diri. Dia melihat Nyxaroth menunduk, mulai mencabik tubuh binatang itu, memakan dagingnya dengan rakus. Ini adalah predator, pikir Fabio. Bukan sekadar makhluk liar, tapi pemburu yang hidup untuk membunuh dan menghancurkan. Namun, dalam kesibukan makhluk itu, Fabio melihat sesuatu yang aneh. Di tengah tubuh Nyxaroth, ada semacam inti bercahaya. Cahaya biru kehijauan itu berdenyut, seperti detak jantung, setiap kali makhluk itu bergerak. Dia tidak tahu mengapa, tetapi Fabio merasakan sesuatu yang menarik tentang inti itu. Naluri lain berbicara padanya: jika makhluk ini harus dilawan, inti itu adalah kunci untuk menghentikannya. Tanpa sadar, dia meremas belatinya lebih erat. Nyxaroth tiba-tiba berhenti. Kepala tak bermatanya menoleh ke arah Fabio. Meskipun makhluk itu tidak memiliki mata, Fabio bisa merasakan tatapannya menembus kegelapan, langsung ke arahnya. Sial, pikir Fabio, makhluk ini tahu aku di sini. Nyxaroth mengeluarkan suara geraman rendah, cakar-cakarnya mencakar tanah dengan suara yang mengiris telinga. Makhluk itu mulai berjalan mendekat, meninggalkan sisa-sisa mangsanya di belakang. "Ayo," Fabio berbisik pada dirinya sendiri, menyiapkan posisinya untuk bertarung. Dia tidak punya pilihan lain. Makhluk itu menerjang, dan Fabio melompat ke samping, menghindari serangan pertama. Jantungnya berdebar kencang saat dia berguling dan segera berdiri. Dia tahu dia tidak bisa melawan makhluk ini secara langsung. Dia harus pintar, harus menemukan cara untuk menyerang inti yang bercahaya itu. Pertarungan dimulai. Nyxaroth menerjang lagi, lebih cepat dari yang Fabio duga. Cakarnya mengarah ke lehernya, tajam seperti pisau yang siap mengoyak. Fabio melompat ke belakang, nyaris kehilangan keseimbangan. Udara di sekitar makhluk itu terasa berat, seolah-olah kegelapan yang menyelimutinya memiliki wujud fisik. Makhluk itu mendekat, geramannya rendah dan mengancam. Fabio menggenggam belatinya erat, mencoba tetap tenang meski jantungnya berpacu seperti genderang perang. "Sialan," desisnya sambil melirik sekeliling. Tidak ada tempat untuk lari. Dia hanya memiliki satu pilihan—melawan. Nyxaroth melompat lagi, cakarnya menghantam tanah dan menciptakan lubang besar. Fabio memanfaatkan momen itu untuk menyerang, menusukkan belatinya ke sisi makhluk itu. Namun, kulit hitam legam Nyxaroth keras seperti baja. Belatinya terpental, nyaris membuat Fabio kehilangan senjatanya. Makhluk itu berbalik cepat, memukul Fabio dengan lengan panjangnya. Tubuh Fabio terlempar dan menghantam batang pohon, membuatnya terbatuk keras. Rasa sakit menjalar di seluruh tubuhnya, tetapi dia memaksa dirinya berdiri. "Tak bisa menang dengan kekuatan saja," pikir Fabio. Dia memandangi inti bercahaya di dada Nyxaroth. Itu adalah satu-satunya titik lemah makhluk ini. Tapi bagaimana cara mencapainya? Nyxaroth mendekat lagi, mulutnya terbuka lebar, menampilkan deretan gigi tajam yang mengerikan. Fabio berlari ke arah kanan, mencoba mengelabui makhluk itu. Dengan cepat dia menghindari serangan lain, lalu melemparkan batu ke arah kepala Nyxaroth. Batu itu memantul tanpa efek, tetapi cukup untuk membuat makhluk itu berbalik ke arah yang salah. Saat itu, Fabio mendapatkan ide. Dia memandangi akar besar yang melingkari medan pertempuran. Jika dia bisa memanfaatkan lingkungan... Dengan langkah cepat, Fabio melompat ke atas akar besar, berlari sepanjang lengkungan pohon. Nyxaroth mengikuti, cakarnya menghantam akar dengan keras, mencoba meraih Fabio. Namun, Fabio sudah berada di atas makhluk itu, melompat dengan belati terhunus, langsung mengarah ke inti bercahayanya. Belatinya menembus inti itu dengan suara gemeretak yang memuakkan. Nyxaroth melolong, suara yang menggetarkan udara dan membuat daun-daun di sekitar bergetar. Fabio menggenggam belatinya erat, memutar bilah itu dengan sekuat tenaga. Cahaya dari inti Nyxaroth mulai bergetar, seperti nyala lilin yang hampir padam. Makhluk itu meronta, mencoba menjatuhkan Fabio dari tubuhnya. Tapi Fabio bertahan, menusukkan belatinya lebih dalam lagi. Dengan jeritan terakhir, tubuh Nyxaroth membeku, lalu runtuh ke tanah dengan suara dentuman keras. Fabio terjatuh, tubuhnya terhempas ke tanah bersamaan dengan makhluk itu. Dia terbaring di sana, terengah-engah, menatap langit gelap di atasnya. Udara dingin terasa menyengat, tetapi dia tidak peduli. Dia telah bertahan. Ketika dia akhirnya berdiri, dia melihat tubuh Nyxaroth mulai hancur menjadi debu hitam, tertiup angin dan menghilang begitu saja. Di tempat inti bercahayanya, hanya tersisa serpihan kecil kristal biru kehijauan. Fabio mengambilnya, memeriksa dengan saksama. "Ini... penting," katanya pelan, meski dia tidak tahu mengapa. Dengan napas berat, Fabio menatap ke arah hutan yang gelap dan penuh misteri. Dia tahu ini baru awal dari perjalanan yang jauh lebih berbahaya. Tetapi untuk pertama kalinya, dia merasa bahwa dia memiliki tujuan—dan kekuatan untuk bertahan hidup. Lolongan terakhir Nyxaroth menggema di hutan gelap, menarik perhatian mereka yang ada di kejauhan. Beberapa saat kemudian, dari dalam bayangan pepohonan, muncul pasukan bersenjata lengkap. Mereka mengenakan zirah logam yang tergores bekas pertempuran, dihiasi simbol yang tidak terlihat jelas di tengah kegelapan. Cahaya obor mereka menerangi reruntuhan pertempuran, menyoroti tanah yang porak-poranda dan jejak darah. "Berhenti di sini," perintah seorang pria dengan suara tegas. Dia tampak sebagai pemimpin, dengan mantel yang berbeda dari prajurit lainnya. "Makhluk itu pasti ada di dekat sini. Bersiaplah." Para prajurit merapat, membentuk formasi defensif. Ketegangan memenuhi udara saat mereka mendekati area tempat pertarungan berlangsung. Kemudian mereka melihatnya—sisa tubuh Nyxaroth yang telah menjadi debu hitam, bertebaran seperti abu dingin di atas tanah. Salah satu prajurit melangkah maju, mengangkat obor lebih tinggi untuk memperjelas pandangan. "Tuan, makhluk itu... telah dihancurkan," katanya, suaranya terdengar ragu. "Aneh." Pemimpin pasukan itu berjongkok, memeriksa bekas cakaran besar di tanah dan pohon-pohon di sekitar. Dia menyentuh debu hitam Nyxaroth yang perlahan menghilang dalam angin. "Tidak mungkin makhluk ini mati tanpa perlawanan besar. Siapa yang melakukannya?" "Tuan, lihat ini!" teriak salah satu prajurit. Di dekat sisa debu itu, tubuh Fabio terbaring tanpa bergerak. Pakaiannya compang-camping, tubuhnya penuh luka, dan belati kecil yang berlumuran darah tergeletak tak jauh darinya. Wajahnya pucat, hampir seperti mayat. "Mungkin dia sudah mati," gumam salah satu prajurit. Pemimpin pasukan itu mendekat, memeriksa denyut nadi Fabio. Dia terdiam sejenak, lalu berbicara dengan nada serius. "Dia masih hidup. Tapi nyaris. Luka-lukanya parah." Para prajurit saling pandang, tampak ragu. Salah satu dari mereka bertanya, "Apa dia benar-benar melawan Nyxaroth sendirian? Itu... mustahil." "Mustahil atau tidak, dia di sini dan makhluk itu sudah mati." Pemimpin pasukan itu berdiri, lalu memberikan perintah cepat. "Angkat dia. Kita bawa ke ibu kota. Dia membutuhkan perawatan, dan siapa tahu, dia mungkin punya jawaban." Dengan hati-hati, dua prajurit mengangkat tubuh Fabio yang tidak sadarkan diri. Mereka membungkusnya dengan jubah tebal untuk melindunginya dari dinginnya malam. Sementara itu, pemimpin pasukan itu mengamati sekali lagi tempat pertarungan itu, seolah-olah mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Siapkan jalan pulang," katanya akhirnya. "Kita tidak tahu apakah ada Nyxaroth lain di sekitar." Pasukan bergerak dengan cepat, membawa Fabio melewati hutan yang gelap. Perjalanan itu penuh kehati-hatian, dengan prajurit di garis depan dan belakang memegang obor untuk menerangi jalan. Fabio tetap tak sadar, tubuhnya terombang-ambing di atas tandu darurat yang mereka buat. Setelah perjalanan panjang, mereka akhirnya tiba di luar hutan, menuju medan yang lebih terbuka. Di kejauhan, puncak menara ibu kota tampak samar, bersinar di bawah cahaya bulan. Pasukan itu mempercepat langkah, memasuki gerbang besar yang dijaga ketat. Fabio dibawa ke dalam sebuah ruangan yang hangat dan aman, dikelilingi oleh lentera-lentera yang bersinar lembut. Para prajurit menyerahkan tanggung jawab kepada seorang tabib yang segera memeriksa lukanya. "Dia beruntung masih hidup," gumam tabib itu sambil mulai merawat luka Fabio. Pemimpin pasukan itu mengangguk, lalu memandangi pemuda yang terbaring di depannya dengan ekspresi penuh pertanyaan. "Siapa sebenarnya kau, anak muda? Dan bagaimana bisa kau bertahan melawan makhluk seperti itu?" Namun, Fabio tetap diam, terjebak dalam kegelapan pikirannya sendiri, sementara masa depannya perlahan mulai terungkap di tempat asing ini. Kehangatan yang menyelimutinya perlahan menarik Fabio keluar dari kegelapan yang mencekam. Kepalanya terasa berat, dan tubuhnya lemas, tetapi perlahan ia membuka matanya. Ruangan yang samar-samar dikenalnya berwarna hangat, dengan cahaya lentera yang memantul lembut di dinding batu yang dingin. Tubuhnya terbaring di atas ranjang sederhana, dan di sekelilingnya ada suara bisikan pelan serta langkah kaki yang tenang. Ketika matanya sepenuhnya terbuka, dia melihat seorang wanita berdiri di dekatnya. Wanita itu memiliki mata yang tajam, seolah menembus jiwa setiap orang yang dilihatnya. Rambutnya panjang dan gelap, tergerai dengan rapi, sementara pakaiannya berwarna hitam dan biru gelap, memberi kesan misterius yang kental. “Terbangun akhirnya.” Suara wanita itu lembut namun penuh ketegasan. “Kau sudah cukup lama tak sadarkan diri. Aku Thalysa.” Fabio merasakan mulutnya kering, dan suaranya terdengar serak ketika dia mencoba berbicara. “Si… siapa saya?” Thalysa mengamati Fabio dengan intens. “Kau tidak ingat siapa dirimu?” “Yang bisa saya ingat… hanya nama saya. Fabio.” Perasaan cemas menyelimuti dada Fabio saat ia melihat ekspresi wanita itu yang seolah mencari kebenaran di balik kata-katanya. Ia merasa seolah-olah tubuhnya diperiksa lebih dari sekadar fisiknya. Ada sesuatu yang mendalam dalam pandangan Thalysa. “Nama itu saja?” Thalysa bertanya, tetap tenang, meskipun ada rasa heran yang jelas tergambar di wajahnya. “Tidak ada yang lain yang bisa kau ingat? Tidak ada kenangan, wajah-wajah, tempat, atau perasaan?” Fabio menggelengkan kepala, rasa kekosongan di dalam dirinya semakin menyakitkan. “Tidak… Hanya Fabio. Itu saja. Saya tidak tahu bagaimana saya sampai di sana atau apa yang terjadi.” Wanita itu merenung sejenak, menyusuri ruangan dengan langkah tenang, lalu berhenti di depannya. “Pasti ada sesuatu lebih dari itu. Seseorang tidak mungkin terbangun tanpa ingatan tentang apa pun setelah bertarung dengan makhluk seperti Nyxaroth.” Pada saat itu, pintu ruangan terbuka, dan seorang pria berpakaian zirah, yang Fabio kenali sebagai pemimpin pasukan yang membawanya ke sini, Baizhu, memasuki ruangan. Wajahnya penuh keraguan, dan pandangannya tajam, tidak sepenuhnya yakin dengan cerita Fabio. “Thalysa, apa kau yakin ini tidak hanya kebohongan? Orang ini bisa saja bertindak bodoh atau mencoba mengalihkan perhatian dari sesuatu yang lebih besar,” kata Baizhu, suaranya dipenuhi keraguan. “Kita tidak bisa begitu saja menerima kisah tanpa bukti.” Thalysa menatap Baizhu dengan tenang, tidak terburu-buru dalam merespon. “Baizhu, kamu tahu aku tidak pernah salah dalam membaca seseorang.” “Ya, tapi—” Baizhu mencoba berbicara lagi, namun Thalysa menghentikannya dengan satu pandangan tajam. “Dia tidak berbohong.” Suara Thalysa kali ini sangat meyakinkan, namun tetap rendah dan misterius. “Kau bisa meragukan cerita ini, tetapi kamu tidak bisa meragukan caranya bicara. Aku bisa melihat melalui kata-katanya. Ketidakpastian yang ada di dalam dirinya bukanlah pura-pura. Aku dapat merasakan ketulusan dalam setiap suaranya.” Baizhu terdiam, memandangi Thalysa dengan ekspresi penuh pertanyaan. "Jika itu benar, dan dia tidak berbohong, maka ada lebih banyak yang harus kita pelajari tentang siapa dia. Dan bagaimana dia bisa bertahan hidup melawan makhluk itu." Fabio merasa cemas saat mereka berdua saling berbicara, namun Thalysa kembali menatapnya. “Kau tidak mengingat apa pun tentang dirimu, tapi ada hal lain yang masih terjaga dalam dirimu, Fabio. Entah itu kekuatan atau sesuatu yang lebih dalam. Kau bertahan hidup setelah bertarung dengan Nyxaroth—sebuah keajaiban yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kebetulan.” “Keajaiban…?” Fabio bertanya pelan, mencoba memahami maksudnya. “Keajaiban yang hanya dimiliki oleh mereka yang disebut Saint,” jawab Thalysa, senyumnya sedikit tersenyum, tapi tetap penuh rahasia. “Dan aku rasa… kamu adalah salah satu dari mereka.” Pemimpin pasukan itu akhirnya mengangguk, meskipun raut wajahnya masih penuh keraguan. “Jika memang begitu, kita harus tahu lebih banyak tentang dirinya. Tapi, saat ini, kita tidak punya banyak waktu untuk bertanya. Kita akan bawa dia ke tempat yang lebih aman, Thalysa. Mungkin setelah dia pulih, kita bisa mendapat jawaban lebih banyak.” Thalysa tidak menjawab langsung, namun matanya beralih ke Fabio sekali lagi, menilai lebih dalam. "Baizhu benar, kita memang tidak bisa menunda lebih lama. Namun, aku tetap ingin memastikan apa yang ada di balik semua ini." Thalysa memberi isyarat agar Baizhu mempersiapkan perjalanan mereka, sementara dia tetap berdiri di samping Fabio, menatapnya dengan mata yang tampaknya bisa menembus masa lalu Fabio. "Jangan khawatir," kata Thalysa akhirnya, “Perjalanan ini hanya akan mengungkap lebih banyak. Semua akan terungkap pada waktunya." Namun, meskipun dia tidak berkata sepatah kata pun, Fabio merasa ada sesuatu yang aneh—sebuah ketegangan yang menggantung di udara. Seperti sebuah kebenaran besar yang menunggu untuk ditemukan, dan yang hanya Thalysa yang tahu.Langit Abyysal tak pernah benar-benar gelap, tapi juga tak pernah membawa cahaya. Ia membusuk, seperti luka terbuka yang tidak pernah sembuh. Asap kelabu menggantung tanpa arah, dan bumi di bawah kaki Fabio terasa tidak nyata—seolah setiap langkah hanya membawanya lebih dalam ke dalam kehampaan, bukan ke permukaan.Namun kali ini, ia tidak mencoba masuk lebih dalam. Ia mencoba keluar.Di belakangnya, masih terdengar napas panik Thalysa dan suara serak K yang mencoba menahan luka barunya. Mereka hanya selangkah lagi dari mulut Abyysal, satu loncatan dari kebebasan, dari dunia nyata, dari cahaya yang meski semu, tetap lebih hangat daripada kekosongan ini.Lalu udara berhenti.Tidak, bukan hanya udara—waktu berhenti. Suara berhenti. Gerak berhenti. Bahkan detakan jantung Fabio pun terasa tercekik, digenggam oleh sesuatu yang tak kasatmata.Lalu terdengar suara itu."Lambat sekali, adikku."Langkah-langkah lembut seperti serpihan pasir yang berguguran. Fabio berbalik, dan di ambang kabut
Matahari tidak benar-benar bersinar di atas Benua Iblis—yang menggantung di langit hanyalah semburat merah darah yang tersaring debu dan ampas waktu. Langit tampak seperti luka yang belum sembuh. Di bawahnya, tiga sosok berjalan menuruni lereng berbatu menuju sebuah lembah tersembunyi, dibatasi oleh tebing-tebing tinggi yang menjulang seperti gigi raksasa. Di sanalah, Desa Karowai berdiri—jika tempat ini bisa disebut ‘berdiri’.Fabio dan Thalysa diam membisu. Sejak perjalanan dimulai, K tidak banyak bicara, dan mereka pun tak mendesaknya. Gurun yang mereka lewati seperti menelan suara, dan setiap langkah hanya disertai oleh desir angin yang membawa bisikan. Seperti tangisan yang sudah lama mati, namun belum benar-benar menghilang.Desa Karowai bukanlah desa dalam pengertian manusia. Tidak ada bangunan rapi, tidak ada rumah berbentuk. Yang ada hanyalah struktur batu besar yang menyembul dari tanah seperti tulang-tulang purba, tempat Nyxaroth dari berbagai bentuk bersandar, bermeditasi,
Langit Benua Iblis masih menggantung kelabu ketika mereka meninggalkan tempat perkemahan sementara. Pasir kasar bergesekan di bawah sepatu mereka, dan angin dingin dari utara sesekali membawa bau tanah terbakar yang tidak bisa dijelaskan asalnya. “Dari sini, kita akan berjalan ke arah utara selama setidaknya empat jam,” ucap K dengan nada pasti, matanya menatap lurus ke depan. "Barulah kita sampai di desaku." Langkah mereka perlahan, namun mantap, membelah jalur sunyi yang hanya ditandai jejak-jejak makhluk yang telah lama berlalu. Tidak ada rambu, tidak ada jalan. Hanya reruntuhan dan patahan batu yang menjadi penanda bahwa peradaban pernah mencoba tinggal di tanah yang tak kenal ampun ini.Perjalanan mereka tidak benar-benar tenang. Beberapa kali, mereka harus menghadapi mutan Nyxaroth yang mengendap dari balik pasir atau merayap dari celah tanah. Tidak ada bentuk yang konsisten—beberapa memiliki kulit sekeras baja, yang lain lidah bercabang dan penglihatan yang menusuk jiwa. Salah
Malam di gurun Benua Iblis tak pernah ramah. Udara dingin menggigit kulit, dan pasir yang tertiup angin menggores wajah seperti jarum halus. Di kejauhan, langit hitam yang tak berbintang menggantung diam—seolah-olah langit sendiri menahan napas, menunggu sesuatu untuk pecah. Fabio dan Thalysa menyalakan api kecil, cukup untuk memberi cahaya dan sedikit kehangatan, namun tidak cukup besar untuk menarik perhatian. Atau begitulah mereka kira. Hanya dalam sekejap mata, kesunyian itu terkoyak. Bayangan tak bernama melintas di sekitar mereka, samar dan cepat. Thalysa sudah berdiri dengan sihir di ujung jarinya, sementara Fabio mencabut pedangnya, tubuhnya kaku seperti batu, matanya menyapu gurun yang hening. Ia melihatnya—cahaya samar dari kristal merah yang bersinar dari dalam pasir, bergerak seirama napas makhluk yang tidak pernah seharusnya ada. “Bunglon?” Thalysa berbisik, kaget melihat kulit makhluk itu berubah-ubah, menyatu dengan gurun. “Nyxaroth,” jawab Fabio datar. “Tapi… berb
Benua Tengah, yang sering dijuluki sebagai "Etherian" atau "Tanah Para Dewa", merupakan wilayah yang sangat luas dan kaya akan keragaman geografis, budaya, serta spiritualitas. Dalam sejarah panjang Aetherian, Benua Tengah telah lama dianggap sebagai pusat peradaban tertua dan tempat kelahiran para kerajaan besar yang mengukir dunia dengan sihir, teknologi kuno, dan pemikiran tinggi. Julukan “Tanah Para Dewa” tidak sekadar simbolik; melainkan mencerminkan keyakinan kuno bahwa para makhluk agung pertama—baik dari langit maupun dari dalam Aether itu sendiri—pernah menjejakkan kaki di tanah ini, membentuk jejak kekuasaan yang masih terasa hingga hari ini.Secara geografis, Benua Tengah terbagi menjadi berbagai zona ekologis dan struktural yang memberikan tantangan sekaligus kekayaan tersendiri bagi para penghuninya. Di bagian utara terdapat pegunungan tinggi seperti Krinci dan Deretan Pegunungan Thalon, yang membentang dari barat hingga timur, membentuk tulang punggung benua dan menjadi
Angin panas berhembus perlahan melewati jendela kayu penginapan yang menghadap ke arah selatan kota Ebonhold. Saat matahari tergelincir pelan di atas cakrawala berwarna tembaga, Fabio duduk di kursi tua, membuka lembar demi lembar gulungan peta dan dokumen yang mereka temukan selama perjalanan. Thalysa, duduk tak jauh darinya, menyandarkan dagu di atas tangannya, matanya menyusuri garis-garis lengkung pada peta yang menggambarkan benua yang sedang mereka tapaki—Benua Iblis, tanah yang telah lama hanya disebut-sebut dalam cerita buruk dan bisikan tak berani. Malam itu tidak diisi dengan pembicaraan tentang bahaya atau kematian, melainkan percakapan pelan yang penuh dengan rasa ingin tahu. Mereka tidak sedang bersiap untuk perang atau ritual, tetapi mencoba memahami tanah tempat mereka kini berdiri.Dengan luas mencapai 9,2 juta kilometer persegi, Benua Iblis hampir menyamai ukuran Benua Utama, rumah bagi Thalos, Valtor, dan berbagai peradaban besar lainnya yang telah berdiri sejak zaman
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments