Share

BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK
BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK
Penulis: Bond Monosta

Chapter 1. Bom di Siang Bolong

Siang itu suasana kota terlihat begitu ramai oleh hilir mudik orang-orang yang sibuk dengan berbagai aktivitasnya masing-masing. Tak ketinggalan pula sang mentari yang ikut berpartisipasi menerangi hari dengan sinarnya yang begitu terang. Dan ketika suasana semakin siang, sang raja hari itu seakan-akan ingin menampakan keperkasaannya dengan memancarkan sinar yang semakin menyengat hingga membuat orang-orang merasa enggan untuk keluar dari tempat mereka. Udara yang enggan mengembara membuat orang-orang yang beraktivitas di luar ruangan terlihat sibuk mengibas-ngibaskan kipas pada tubuh mereka berharap sedikit udara segar mampu menyejukan tubuh mereka. Suasana jalanan ibu kota provinsi yang macet menghadirkan antrian panjang kendaraan yang dibarengi oleh raungan-raungan keras yang keluar dari corong-corong klakson kendaraan mereka, suara-suara klakson itu melukiskan suasana hati sang pengendara yang tidak tahan lagi dengan keadaan tersebut, dan mereka yang berdesak-desakan di dalam angkutan umum menimbulkan berbagai kegaduhan tersendiri, sirkulasi udara yang kurang bagus dengan air conditioner yang mati pada angkutan umum itu membuat keadaan semakin tidak nyaman. Apalagi, keringat yang bercucuran membasahi tubuh mereka menimbulkan berbagai aroma tak sedap, dan itu terasa semakin menambah penderitaan mereka.

“Boom! Boom! Boom!

Secara tiba-tiba beberapa ledakan muncul dari sebuah pusat perbelanjaan yang berada tepat di pusat kota. Ledakan itu meluluh-lantahkan bangunan tersebut, banyak material keras yang berhamburan mengenai bangunan yang berada tepat di dekat mall itu. Wajah-wajah panik yang berhamburan menjauhi lokasi terjadinya ledakan terlihat begitu jelas serta teriakan histeris menggema silih berganti berbaur dengan asap tebal dari berbagai sisa ledakan. Dan ledakan berikutnya tiba-tiba muncul kembali yang membuat suasana terasa semakin mencekam.  Beberapa saat kemudian terdengar suara raungan sirine dari kendaraan petugas medis dan aparat yang berdatangan mendekati lokasi kejadian, mereka mencoba mengevakuasi orang-orang yang berada di dekat terjadinya ladakan. Namun, para aparat dan tim medis belum berani memasuki lokasi terjadinya ledakan, karena khawatir akan terjadi ledakan susulan. Sedangkan, dari balik reruntuhan terdengar jelas suara tangisan dan teriakan meminta tolong dari korban yang selamat namun dengan kondisi yang belum diketahui keadaannya. Setelah suasana dirasakan cukup aman,  barulah tim sar dan tim medis serta pihak aparat memasuki lokasi kejadian dan menyelamatkan korban di antara reruntuhan gedung itu. Para aparat terus berdatangan dan berbaur di lokasi kejadian layaknya sekelompok semut yang sedang mengerubuti gula. Mereka sibuk mengevakuasi para korban yang sebagian besar tidak tertolong dan yang selamat pun kondisinya sangat mengkhawatirkan. Warga yang sedang berada di dekat lokasi kejadian turut berdatangan ingin melihat keadaan hingga membuat beberapa aparat mencoba mengamankan suasana dengan membuat garis polisi.

Sungguh sebuah peristiwa yang sangat mengejutkan sekaligus menakutkan. Karena pada saat itu, suasana mall sedang ramai-ramainya dikunjungi sehingga jumlah korban pun tak terhingga banyaknya. Namun siapa yang menyangka, di antara raungan ambulance dan jerit tangis duka keluarga yang ditinggalkan, dari atas sebuah gedung apartemen, tiga pasang mata bahagia terlihat sedang memperhatikan suasana tersebut. Dengan senyuman menyeringai, ketiga pemuda itu saling melemparkan pandangan.

  “Ini hanyalah awal dari apa yang kita rencanakan. Masa depan kita, negara kita, hahaha.”

“Benar Sembi. Ini adalah awal lahirnya Negara kita. Kita akan tebarkan ketakutan di mana-mana. Dengan begitu, kepercayaan mereka pada pemerintah akan semakin luntur, karena mereka akan menganggap bahwa pemerintah sudah tidak becus untuk menyeleisaikan masalah ini. Dan pada saat itu lah, kesempatan kita untuk muncul dengan seolah-olah merangkul mereka. Karena semakin banyak wajah-wajah ketakutan, maka wajah-wajah itu akan cenderung untuk mencari perlindungan. Dan itu adalah kesempatan yang bagus untuk kelompok kita muncul dengan cara menarik simpati mereka,” sahut seorang pemuda berbadan tegap dengan wajah tampan sambil menatap Sembi.

“Tapi. Bagaimanakah cara meraih simpati mereka?” tanya seorang pemuda lainnya sambil menoleh.

“Kita akan rekrut beberapa orang baru. Kita ajarkan mereka merakit senjata, terutama bom dan cara menggunakannya. Setelah mereka bisa. Kita beri mereka beberapa bahan peledak, suruh mereka merangkainya. Dan pada saat itu lah, kita dokumentasikan kegiatan mereka itu. Setelah itu, kita serahkan mereka pada pemerintah pusat dengan sebelumnya kita ancam mereka agar mengaku bahwa mereka lah yang telah melakukan keonaran ini demi memperturutkan paham yang mereka anut. Jika mereka tidak mau mengaku, maka keluarganya tidak akan selamat. Kita sewa beberapa wartawan dan media bayaran untuk mempublikasikannya,” pemuda itu menuturkan.

“Apakah semudah itu masyarakat percaya, Moza?” laki-laki muda itu kembali bertanya pada pemuda yang bernama Moza.

“Tentu tidak. Tapi, kita punya seribu macam cara untuk meraih simpati masyarakat. Yang terpenting saat ini, kita terus tebarkan ketakutan di mana-mana.”  

“Tapi. Apakah pergerakan kita selama ini tidak diketahui oleh mereka?” laki-laki muda itu berkata penuh keraguan sambil menoleh ke bawah pada para Aparat yang sedang sibuk mengevakuasi korban.

 “Tenang Resta. Selama dinding di sekitar kita tetap diam, dan setia pada langkah-langkah kita. Kita tidak perlu risau,” timpal pemuda bernama Sembi mencoba meyakinkan.

 “Kau yakin? Sedangkan, jumlah tentara republik sangat banyak, dan mereka ada di mana-mana?”

 Moza menoleh pada Resta yang berbicara penuh pesimisme. Bola mata Moza membesar, tangan kirinya lalu menjambak kerah baju Resta seraya menodongkan pistol pada kening Resta.

“Dengar Resta! Meskipun cecunguk-cecunguk itu melebihi jumlah bintang di langit, aku sedikit pun tidak akan gentar. Dengar itu! Darah harus dibayar dengan darah!” gertak Moza lalu melepaskan tanganya dari kerah baju Resta. Mendapat perlakuan seperti itu Resta hanya diam. Karena ia tahu betul siapa yang dihadapinya. Meskipun Moza berwajah tampan dan cenderung pendiam. Namun siapa sangka, kalau Moza adalah seorang pembunuh berdarah dingin yang dengan tanpa ragu akan melepaskan timah panasnya pada siapa pun yang mencoba menentangnya. Dan ia pun tahu mengapa Moza dan sebagian teman-temannya menjadi liar seperti itu. Moza memiliki masa lalu yang kelam yang selalu menghantuinya. Moza pernah bercerita bahwa pada suatu malam rumahnya didatangi oleh sekelompok orang berseragam tentara republik, dan dengan tidak tahu pasti apa permasalahannya, para tentara itu menyiksa seluruh keluargan Moza,  dan setelah para tentara itu cukup puas menyiksa seluruh keluarganya, mereka pun akhirnya membunuh seluruh keluarga Moza, kecuali Moza yang saat itu bersembunyi di dalam sebuah lemari di kamarnya. Moza yang saat itu masih berusia sembilan tahun hanya bisa menangis menyaksikan peristiwa kelam itu dari celah lemarinya. Hingga kini, peristiwa itu masih membekas di kepala Moza dan menjadi mimpi buruk di setiap tidurnya. Dan dendam terhadap para tentara berseragam Republik, kini seakan sudah mendarah daging di tubuh Moza. Dan Resta pun tahu, kalau semua rekan-rekannya terlahir dari masa lalu yang hampir sama seperti Moza. Begitu pun dengan dirinya. Namun soal siapa sesungguhnya dibalik para tentara republik yang membunuh dan menyiksa keluarga mereka, hingga kini masih menjadi teka-teki dan misteri yang membingungkan benak mereka. Para pemimpin mereka mengatakan bahwa orang-orang republik lah yang telah melakukan perbuatan keji itu. Dan kini, benih-benih kebencian terhadap para tentara republik dan pemerintahannya telah menjalar di dalam sanubari mereka.  Dendam itu seakan terus mengalir dalam aliran darah dan hadir di setiap hembusan napas mereka, sehingga mereka pun tumbuh menjadi sekelompok pembunuh yang tanpa ampun.

“Ingat! Apa pun yang terjadi, misi adalah yang utama. Dan siapa pun yang keluar dari jalur misi kita! Aku tidak bisa menjamin, esok dia masih bisa menatap matahari,”ujar Moza sambil menyalakan sebatang roko.

Mendengar ucapan Moza seperti itu. Sembi dan Resta hanya mengangguk tanda setuju. Setelah mereka cukup puas menyaksikan suasana porak-poranda akibat bom yang mereka pasang itu, mereka akhirnya pergi meninggalkan atap gedung apartemen yang menjulang tinggi menantang langit.

Moza, Sembi dan Resta berjalan menuruni gedung melalui sebuah lift. Setelah berada di bawah, mereka akhirnya masuk ke dalam sebuah mobil dan menyimpan beberapa sisa bahan peledak yang mereka bawa dalam sebuah tas, tas itu kemudian mereka masukan kedalam sebuah koper yang sudah dilengkapi alat khusus agar tidak terdeteksi oleh para penjaga apartemen yang akan memeriksa mereka pada saat keluar nanti. Entah mengapa, penjagaan apartemen itu begitu ketat sehingga yang keluar pun harus diperiksa kembali bukan hanya yang masuk. Moza duduk di depan sambil mengemudi, dan sembi duduk di sampingnya, sedangkan Resta duduk di bangku belakang. Beberapa menit kemudian mobil itu melaju dengan perlahan, setelah sampai di tempat pemeriksaan, Moza menghentikan laju mobilnya. Terlihat dua orang petugas berseragam hitam-hitam menghampiri mobil yang dibawa Moza. Seorang petugas mengetuk kaca mobil depan dan Moza membukakan kaca mobilnya.

“Selamat siang,” seorang petugas menyapa.

 “Selamat siang,” jawab Moza dan Sembi. 

“Boleh kami periksa mobilnya?” tanya seorang petugas, dan Moza melirik pada Sembi

 “Oh. Silahkan, Pak,” sahut Sembi.

Kedua petugas itu terlihat mulai menelusuri bagian-bagian luar mobil dengan sebuah alat pendeteksi. Resta terlihat pucat ketika seorang petugas menatap koper yang ada di dekatnya. Sedangkan Sembi yang sedari tadi memperhatikan kedua petugas itu, secara tidak sadar mencabut sebuah pistol anti detector dari belakang bajunya. Sembi seperti bersiaga karena khawatir para petugas itu memeriksa isi kopernya. Moza yang melihat tingkah Sembi langsung memberi kode agar Sembi bersikap tenang dan menyimpan kembali pistolnya.

“Kalau boleh tahu, apa isi koper itu?” tanya salah seorang petugas.

“Hanya buku-buku kuliah dan beberapa alat penelitian biasa, Pak,” sahut Moza.

“Oh, begitu.Yasudah, terima kasih atas waktunya. Selamat siang.”

 “Selamat siang, Pak,” sahut Moza dan Sembi, dan mobil pun kembali melaju.

“Uh, akhirnya. Untung mereka tidak memeriksa koper ini,” ucap Resta bernapas lega.  

“Dalam menghadapi situasi seperti itu. Kita harus tenang. Meskipun sepele, tapi akibatnya bisa saja fatal,” Sahut Moza sambil menambah laju kecepatan mobilnya. Namun, baru saja beberapa puluh meter melaju, kemacetan sudah menyambut mereka. Selain itu, terlihat beberapa petugas keamanan sedang memeriksa kendaraan-kendaraan yang ada di depan mereka karena lokasi itu hanya beberapa ratus meter dari tempat terjadinya ledakan yang baru saja terjadi.

 “Sepertinya kita harus putar arah, Moza,” ucap Sembi memberi saran, dan Moza kemudian memutar arah mobilnya pada jalan awal menjauhi area kemacetan itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status