Sekitar pukul 15:00, mobil yang dibawa Moza sudah sampai di depan sebuah rumah mewah bertingkat. Sebelum memarkirkan mobilnya, Moza melirik pada Sembi.
“Sem, kamu saja yang bicara pada pak Gamaliel. Aku sedikit malas berbicara dengan orang itu,” ucap Moza. Mendengar ucapan Moza itu, Sembi terlihat bingung.
“Dari awal kita bertemu Pak Gamaliel. Sepertinya, kamu tidak pernah suka dengan orang itu. Padahal sudah jelas, kalau orang itu adalah pemimpin kita,” jawab Sembi.
“Entahlah, Sem. Sepertinya, aku sudah mulai jenuh dengan langkah-langkah yang dia tempuh, strateginya yang lelet dan berbelit-belit membuat pergerakan kita begini-begini saja. Namun, ia juga tidak memberikan kesempatan untuk kita bertindak sesuai keinginan kita,” timpal Moza.
Mendengar jawaban seperti itu, Sembi hanya diam. Ia seakan tidak punya pendapat untuk menjawab kata-kata Moza itu. Ketiganya lalu turun dari dalam mobil, dan Resta yang memikul koper yang berisi beberapa sisa bahan peledak terlihat gontai menahan beban koper itu. Dengan hati-hati ketiganya memasuki rumah itu dan langsung menaiki anak tangga menuju ke lantai atas.
“Prok, prok, prok,” tiba-tiba mereka disambut tepung tangan beberapa orang yang sepertinya sudah menunggu kedatangan mereka.
“Kerja bagus anak-anak,” ucap seorang lelaki yang terlihat sudah beruban namun terlihat masih gagah.
“Bagaimana tugas kalian? Apakah menemukan kendala?” tanya laki-laki itu sambil berdiri.
“Semua berjalan lancar, Paman,” sahut Sembi.
“Bagus. Apakah beberapa peledak lainya sudah kalian pasang?” tanya laki-laki itu yang tiada lain adalah Fawn Gamaliel salah satu pemimpin pergerakan kemerdekaan.
“Sudah Paman, semua sudah beres. Beberapa peledak sudah kita pasang di tempat-teman yang sudah kita rencanakan. Di stasiun, Bandara, rumah sakit dan beberapa kantor pemerintahan. Paman tinggal menunggu beberapa menit saja,” ucap Sembi menegaskan.
“Lalu. Bagaimana perjalanan kalian. Apakah semuanya berjalan lancar?” Pak Gamaliel kembali bertanya.
“Semua berjalan lancar, Paman. Hanya sedikit kendala dan itu sudah kami atasi.”
“Moza. Apa pendapatmu?” Pak Gamaliel melirik pada Moza dengan senyuman licik, seakan ingin mendapatkan laporan yang lebih lengkap.
“Semua sudah Sembi laporkan. Apakah perlu saya ulangi lagi? Saya rasa, seorang yang merasa dirinya jenius, tidak akan mengharapkan itu,” sahut Moza tegas. Terlihat jelas kalau kedua orang itu saling berlawanan meskipun dalam satu kelompok.
“Good. That’s the right answer,” jawab Pak Gamaliel sambil berjalan mendekati Moza. Ia kemudian menepuk bahu Moza dan berlalu meninggalkan ruangan itu. Seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan dengan postur tubuh tegap berisi yang dari tadi hanya diam terlihat berdiri dan menghampiri Moza.
“Moza. Ada apa dengan kamu? Kamu seharusnya bisa menjaga sikap di depan pak Gamaliel. Bagaimana pun juga, dia adalah pemimpin kita, dan kita harus menghormatinya,” ujar laki-laki itu menegur. Mendapat teguran seperti itu, Moza hanya terdiam mematung, ia seakan tidak punya kata-kata untuk membalas ucapan laki-laki itu. Laki-laki itu adalah Pak Gandara, sosok yang sudah ia anggap sebagai ayahnya sendiri. Setelah cukup puas menasehati Moza, Pak Gandara pun berlalu meninggalkan Moza yang masih terdiam dengan pikiran yang entah mengembara kemana.
Malam harinya Moza terlihat sedang berdiri di pinggir jendela kamarnya. Pandangan matanya menatap kosong ke luar kamar, sedangkan ingatannya mengembara jauh ke masa lalu, masa lalu yang kelam dan masa muda yang seakan-akan hilang dalam perjalan tanpa arah tujuan. Entah apa pun itu, seakan-akan banyak yang hilang dari hidupnya. Dan entah mengapa, ia merasa kalau kehidupan yang ia jalani saat ini seakan-akan penuh kehampaan. Hanya kebencian dan amarah yang selalu menyelimuti pikiran mudanya. Meskipun dari lubuk hati terdalamnya, itu semua sungguh meresahkan dirinya. Namun ia sendiri tidak tahu apa yang membuat hidupnya terasa hampa. Padahal, apapun yang ia inginkan bisa ia dapatkan dengan mudah. Segala fasilitas apa pun telah disediakan dengan tanpa harus bekerja keras untuk mendapatkannya. Yang harus ia lakukan saat ini hanyalah menebar ketakutan disegala penjuru kota. Meskipun, terkadang harus berperang melawan aparat keamanan dan para tentara setempat namun kemenangan selalu berpihak pada mereka, karena mereka biasanya melakukan penyerangan disaat musuh-musuh mereka terlihat lengah. Mereka mempunyai sebuah motto ‘Musuh maju kita mundur, musuh lari kita kejar, musuh mundur kita serbu dan musuh lengah kita serang’ begitulah motto yang dipegang teguh oleh para pemberontak itu. Karena mereka pun sadar, kalau harus berperang terbuka melawan tentara republik, jumlah tentara mereka tidak cukup memadai untuk pertempuran itu. Akan tetapi, dendam yang tidak juga terbalas, menjadi dilema tersendiri dalam dadanya. Setelah cukup lama berada di dalam lingkaran para pemberontak, tapi ia tidak juga menemukan orang yang telah membinasakan keluarganya, dan itu seakan menyiksa jiwa mudanya.
“Moza,” tiba-tiba sebuah suara memanggilnya.
Moza yang sedang terhanyut dalam lamunan spontan saja terperajat. Ia seakan-akan ditarik dari lubang yang amat dalam.
“Ada apa?!” Moza sedikit marah.
“Pak Gandara memanggilmu. Katanya dia ingin bicara.”
Dengan sedikit jengkel Moza berjalan meninggalkan ruangan yang kemudian diikuti oleh Murry. Murry adalah salah satu anggota mereka yang sering ditugaskan untuk mengantar-ngantarkan akomodasi dan peralatan yang diperlukan oleh kelompok mereka. Moza terlihat sudah sampai di ruangan Pak Gandara .
“Paman memanggil saya?” tanya Moza.
“Duduklah, Nak. Kita tunggu yang lainnya datang,” ucap Pak Gandara.
Dari pintu sebelah Pak Gamaliel tiba-tiba muncul dan langsung duduk di samping Pak Gandara. Setelah menyalakan sebatang rokok, Pak Gamaliel menatap Moza dan ia pun mulai bicara.
“Moza. Kamu tahu mengapa saya dan Pak Gandara memanggil kamu kemari?”tanya Pak Gamaliel dengan tidak melepaskan pandangannya dari wajah Moza, sedangkan Moza hanya menjawabnya dengan gelengan kepala.
“Moza. Perlu kamu ketahui. Langkah kita ini sebenarnya hanya meneruskan cita-cita yang telah dibangun oleh ayahmu dahulu. Dan sekarang, kita hanya berusaha mewujudkan apa yang dahulu ayahmu impikan. Andai saja kamu tahu. Ayahmu adalah orang terbaik yang pernah saya kenal, dan ia selalu setia pada pendiriannya. Oleh karena itu, jika kamu tidak ingin mengecewakannya. Maka, jangan pernah mencoba berpaling dari langkah-langkah kita ini.”
Mendengar perkataan Pak Gamaliel seperti itu, Moza hanya terdiam dengan pertanyaan yang mulai bersarang di kepalanya.
“Apa yang dimaksud berpaling dari langkah-langkah kita ini? Saya selalu menjalankan tugas dengan baik.” Moza balik bertanya sambil mengangkat wajahnya. Ia seakan-akan tidak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Pak Gamaliel.
“Moza. Saya perhatikan. Kamu begitu membenci saya. Namun, kamu sedikit pun tidak pernah melakukan kesalahan disaat menjalankan pergerakan kita atau pun tugas yang saya perintahkan. Terkadang, saya tidak mengerti dengan tujuan hidup kamu. Saya hanya ingin meluruskan saja. Saya tidak ingin, langkah kamu selama ini hanya setengah-setengah, atau hanya sekedar ingin membalas dendam atas kematian kedua orang tuamu.”
Pak Gamaliel berhenti sejenak, ia mengambil rokoknya yang menempel di bibir asbak lalu dihisapnya dalam-dalam. Ia kemudian melanjutkan kembali ucapannya setelah asap tebal ia hembuskan ke langit-langit ruangan.
“Saya tidak ingin, kamu sebatas menumpang saja di dalam pergerakan ini. Hanya demi membalas kematian keluargamu. Dengan kata lain, kamu ikut pergerakan ini hanya untuk membalas dendam atas kematian keluargamu, dan setelah itu, kamu keluar meninggalkan kami. Sungguh kamu adalah salah satu orang terbaik yang kami miliki. Dan kami ingin, kamu tetap setia pada pergerakan ini demi tercapainya cita-cita kita, cita-cita orang tuamu,” ujar Pak Gamaliel panjang lebar.
“Moza. Tolong pikirkan baik-baik apa yang sudah saya sampaikan tadi,” ucap Pak Gamaliel. Ia lalu menoleh pada Pak Gandara yang dari tadi hanya diam mendengarkan pembicaraannya mereka.
“Gandara. Untuk langkah selanjutnya, saya serahkan sepenuhnya pada kamu. Silahkan kalian berunding dengan anggota lainnya, karena saya masih banyak urusan penting yang harus saya selesaikan. Silahkan rundingkan soal rencana yang sudah kita buat,” ucap Pak Gamaliel pada Pak Gandara.
Pak Gamaliel kemudian bangkit dari kursinya lalu pergi meninggalkan ruangan. Sedangkan Moza, masih tanpak diam, sepertinya ia sedang merenungkan kata-kata yang tadi diucapka oleh pak Gamaliel. Moza menarik napas panjang, ia lalu menoleh pada Pak Gandara.
“Paman. Apakah benar? Pergerakan ini, orang tua saya yang mempeloporinya, dan siapa sebenarnya orang yang telah membunuh mereka?”
Mendapat pertanyaan seperti itu Pak Gandara terdiam. Ia begitu tenang lalu dengan santai menghisap dalam-dalam rokok yang menempel di bibirnya.
“Paman. Ada apa sebenarnya dan sampai kapan semua ini berakhir? Sepertinya, titik kejenuhan akan pencarian ini mulai menghinggapi perasaan saya. Setelah sekian lama saya hidup dalam rutinitas seperti ini, dan apa yang saya dapatkan? Bahkan sampai hari ini pun, saya masih belum menemukan siapa orang yang telah membunuh orang tua saya. Saya hanya ingin tahu, mengapa mereka bisa melakukan hal sekeji itu pada keluarga saya. Rasanya, sebanyak apapun orang republik yang telah saya bunuh, itu tidak akan mampu melenyapkan dendam dalam diri saya sebelum saya membunuh langsung orang yeng telah menganiaya keluarga saya.” Moza menatap tajam pada Pak Gandara, ia kemudian melanjutkan ucapannya.
“Terkadang. Saya sering berpikir, sampai kapan saya melampiaskan dendam ini kepada orang-orang yang tidak berdosa. Memang, amarah saya selalu unggul dari akal sehat saya ketika dihadapkan pada situasi yang benar-benar membuat saya emosi. Tapi, di dalam kesendirian, akal sehat saya selalu berpikir, bahwa apa untungnya saya membunuh mereka, itu hanya menambah tabungan dosa saja, dan sebanyak apapun orang yang saya bunuh, itu tidak akan mampu meredam dahaganya dendam ini.”
Mendengar ucapan Moza yang panjang lebar itu Pak Gandara menarik napas panjang, ia lalu menatap tajam wajah Moza.
“Moza. Saya rasa kamu hanya terlalu mengindividu saja. Cobalah kamu lupakan sejenak dendam itu dan niatkan dalam benakmu. Bahwa langkah kamu ini, hanya untuk kepentingan golongan kita, bukan mengatas namakan dendam pribadi atau lainya. Dan apa yang Pak Gamaliel katakan itu memang benar. Pergerakan ini yang mempeloporinya adalah orang tuamu. Kita ini diibaratkan tunas yang tumbuh dari pohon yang telah ditebang, dan kita harus terus tumbuh hingga pohon ini berbuah. Dan sebagai anak yang harus berbakti kepada orang tuanya, kamu semestinya sadar bahwa kamu mempunyai kewajiban untuk meneruskan apa yang dahulu dicita-citakan oleh mereka. Dengan begitu, mereka akan merasa bangga padamu. Perlu saya tegaskan lagi, mereka yang tidak setuju terhadap pergerakan kita ini, mereka adalah orang yang telah membunuh orang tuamu, dan orang-orang yang berkuasa di republik lah dalang dari semua peristiwa itu. Jadi, jika ingin benar-benar membalas dendam, pada mereka lah, dan harusnya kamu tidak perlu lagi meragukan semua ini. Ketika kita telah berhasil mewujudkan impian ini, anggap saja dendam kamu itu sudah terbalaskan.” Pak Gandara menjelaskan panjang lebar. Dan penjelasan Pak Gandara itu ternyata sedikitnya telah mematahkan keraguan Moza. Sebagai orang tua angkat, Gandara memang berhasil, ia selalu mampu meyakinkan Moza dikala Moza menemukan keraguan akan langkah-langkahnya.
Moza tampak diam, ia mencoba menerima apa yang disampaikan oleh Pak Gandara tadi. Bagaimana pun juga, Pak Gandara adalah orang yang telah mengasuhnya sejak peristiwa pembunuhan keluargannya. Namun. terkadang terdapat sebuah kejanggalan dalam peristiwa itu. Mengapa Pak Gandara tiba-tiba muncul yang entah dari mana datangnya disaat ia sedang menangisi jasad keluarganya, dan dengan serta merta membawanya lalu merawatnya hingga dewasa, mengajarinya berbagai hal termasuk cara merakit dan menggunakan senjata serta berbagai strategi perang. Dan apa yang telah disampaikan oleh Pak Gandara tadi, kini telah menyulut kembali api amarahnya terhadap orang-orang republik. Kebencian yang semakin menjalar di seluruh tubuhnya, kini sedang menanti pelampiasan. Kebencian itu terasa jelas di benaknya yang ia yakini, mereka lah yang telah membunuh kedua orang tuanya.
“Sejujurnya. Pergerakan pak Gamaliel yang lamban lah yang membuat saya perlahan membencinya, dan cara-cara yang dia tempuh hanya begitu-begitu saja seakan tidak ada pembaruan dalam pergerakan. Dan keseharian saya mengikuti aturan-aturannya, membuat langkah saya terhambat untuk menemukan orang yang telah membinasakan keluarga saya. Saya ingin memakai cara saya sendiri, Paman,” ungkap Moza. Dan mendengar penuturan Moza itu, Pak Gandara terdiam sejenak lalu memandang Moza.
“Moza. Merebut kemerdekaan ini bukan hal yang mudah, dan tidak bisa didapatkan tanpa strategi yang matang. Kalau asal-asalan, bisa-bisa, langkah yang sudah kita susun selama ini, akan hancur berantakan. Pak Gamaliel hanya sedang mencari langkah yang tepat. Kalau pun kamu mau membalas dendam atas kematian keluargamu dengan caramu sendiri, langkah apa yang akan kamu tempuh? Berkeliaran di malam hari seperti ninja, lalu mendatangi rumah-rumah para pejabat Republik dan membunuhnya. Begitu?” tanya Pak Gandara menatap Moza.
“Lebih baik, simpan dendamu, Moza. Suatu saat nanti, kau pasti akan menemukan orang yang telah membunuh keluargamu, dan kamu akan menemukan alasannya. Karena bukan hanya kamu yang punya dendam, Sembi, Resta dan beberapa teman kamu yang lainnya pun sama, tapi mereka mencoba bersabar dan tetap mengikuti aturan pak Gamaliel. Dan apapun yang ada di dalam benakmu, itu hanyalah gejolak amarah pemuda puberitas yang belum matang yang hanya didominasi emosi, dan saya tidak akan membiarkan kamu bertindak sembarangan, karena bukan hanya nyawa kamu yang terancam, tapi pergerakan kita juga taruhannya,” ungkapnya meyakinkan.
Obrolan keduanya pun berlanjut. Pak Gandara yang tahu kalau Moza adalah pemuda yang tajam dalam penganalisaan atau kritis, mencoba meredam pemikiran-pemikiran anak asuhnya itu.
Memasuki pertengahan malam, Moza, Sembi, Resta dan Pak Gandara terlihat duduk melingkari sebuah meja panjang. Keempat orang itu tanpak berbicara dengan serius.“Tok, tok, tok,” suara pintu yang diketuk memecahkan obrolan mereka.“Permisi, Pak,” ucap sebuah suara dari balik pintu.“Silahkan masuk,” ujar Pak Gandara, dan beberapa orang terlihat berjalan memasuki ruangan itu. Mereka lalu duduk di atas kursi yang telah disediakan. Sejenak Pak Gandara melirik pada orang-orang yang hadir di ruangan itu lalu mulai membuka percakapan.“Rekan-rekan semua. Sebagaimana telah kita ketahui. Bahwa, pergerakan kita ini sudahberjalan hampir selama 14 tahun lebih. Saya rasa, sekarang hampir mendekati klimaksnya. Dan Pak Gamaliel sebagi pemimpin pergerakan, telah menyerahkan sepenuhnya kepada saya untuk memimpin misi kita selanjutnya. Dan sebagimana kita ketahu
Pagi itu disaat embun pagi berjatuhan terhempas sang raja hari yang mulai menampakan diri, dan jalanan yang terlihat mulai ramai dilalui kendaraan serta para pejalan kaki menandakan kota yang mulai menggeliat bangun dari tidurnya.Di sebuah rumah besar yang letaknya berada di perumahan dinas pemerintah mulai terlihat ramai oleh beberapa orang yang keluar masuk ke dalam rumah itu.“Kenapa, Bu. Kok kelihatannya gelisah gitu?” tanya seorang laki-laki yang sebagian rambutnya terlihat sudah mulai beruban sambil menatap istrinya yang sedang duduk di ruang tengah.”Entahlah, Yah. Tapi, perasaan ibu, kok, tidak enak banget ya pagi ini?” jawab perempuan itu memandang suaminya yang keluar dari pintu kamar.“Memangnya, Ibu mikirin apa sih? ” tanyanya lagi pada istrinya. Ibu Dewi bangkit dari kursinya lalu menghampiri suaminya yang sedang berdiri, ia kemudian membetulkan posisi dasi suaminya yang terlihat agak miring.
Setelah beberapa jam berlalu, pertemuan di gedung itu pun akhirnya selesai dan Pak Gubernur beserta rombongannya terlihat mulai keluar meninggalkan ruangan rapat. Para wartawan yang sedari tadi menunggu cukup lama akhirnya kembali berebut mendekati Pak Gubernur dan kembali menghujaninya dengan beberapa pertanyaan.“Bagaimana, Pak. Apakah Bapak sudah mendapatkan solusinya dan bagaimana keputusannya?” tanya seorang wartawan sambil menyodorkan mikrofon pada Pak Musa.“Kita akan mencoba mengadakan perundingan dengan pihak-pihak yang dicurigai sebagai pemberontak dan juga yang dicurigai telah menebar teror atas dasar paham radikal mereka,” jawab Pak Musa.“Apakah cara ini akan berhasil, Pak?”“Kita lihat saja nanti, ya. Mudah-mudahan cara ini berhasil.”“Kenapa kita tidak langsung menumpas mereka saja, Pak. Bukankah jumlah mereka lebih sedikit dibandingkan dengan kita?” seoran
Sebuah sentuhan lembut pada rambut kepalannya mulai terasa seiring suara panggilan sendu dibarengi isak tangis perlahan hinggap di telinga seorang gadis muda yang mulai tersadar.“Sayang, bangun, Nak,” ucapnya pelan sambil menangis di samping gadis muda yang terbaring lemas. Perlahan gadis muda itu mulai terlihat membuka mata.“Bu. Ayah mana, Bu. Kak Indra mana, Bu?” tanya gadis itu yang tiada lain adalah Zahra. Bu Dewi hanya menangis saat mendengar pertanyaan anaknya itu.“Bu. Kak Indra mana?” tanyanya lagi yang belum sepenuhnya sadar.“Tenang sayang, kamu istirahat saja, ya,” sahut seorang perempuan sambil membelai lembut rambut Zahra.“Tante. Kok, tante ada di sini?” Zahra perlahan bangkit lalu duduk. Ia terlihat melirik ke sekeliling ruangan yang sudah ramai dipenuhi orang-orang, dan ketika pandangannya melirik ke sebuah sudut ruangan, Zahra melihat sebuah peti yang dihiasi karan
Malam semakin larut, suasan hutan pun terasa semakin mencekam. Suara anjing hutan yang melolong terdengar bersahutan dengan suara-suara binatang malam lainnya. Cahaya obor yang dipasang di depan tenda-tenda penginapan terlihat menari-nari terhempas angin mencoba memecah kegelapan malam. Di luar sebuah tenda, tampak Pak Gamaliel dan Pak Gandara serta rekannya yang lain sedang berbincang-bincang.“Apakah semua target sudah didapatkan?” tanya Pak Gamaliel.“Sudah, Pak. Semua sudah berada di tenda utama,” jawab Sembi.Pak Gamaliel lalu berjalan menuju tenda besar yang sedang dijaga ketat oleh beberapa tentaranya. Langkahnya diikuti oleh Pak Gandara dan Pak Sugeng beserta tiga orang tentaranya dengan bersenjata lengkap. Setelah berada di depan tenda, Pak Gamaliel membuka pintu tenda itu dengan perlahan.Melihat beberapa orang muncul dari pintu tenda, Pak Musa dan keempat rekannya serempak melirik, dan tampaklah siapa sosok Presiden yang
Saat pajar menggelar warna-warnanya dan burung-burung berkicau bersahutan mendengungkan nada-nada indah yang melukiskan aroma pagi telah datang. Gemuruh dedaunan yang tersentuh angin pengembara melenggak-lenggok bagai sang penari yang menjadi ritual pagi menyambut sang mentari.“Prok! Prok! Prok!”Gemuruh hentakan suara sepatu jungle para tentara yang berjalan melewati sebuah tenda tempat Pak Musa dan keempat rekannya ditahan terdengar jelas. Sepatu para tentara itu sepertinya terbuat dari kulit asli pilihan dengan sol kembang cermai baja pilihan tapi ringan yang dibuat dengan penuh kecermatan tingkat tinggi hingga menghadirkan bunyi derap yang berbeda. Bunyi derap sepatu para tentara yang berbaris itu hinggap di telinga Pak Musa. Perlahan-lahan ia membuka matanya yang kemudian disusul oleh keempat rekannya. Dari luar tiba-tiba muncul beberapa orang lelaki dengan membawakan makanan dan yang lainnya membawa beberapa baskom yang berisi air hangat lengka
Di tenda yang ditempati Pak Musa dan rekan-rekannya, mereka terlihat sedang mencari solusi bagaimana menghadapi situasi itu.“Menurut Bapak. Kira-kira apa yang sedang mereka rencanakan?” tanya Mayjen Ferdy pada Pak Musa.“Entahlah. Yang pasti, mereka akan terus berusaha agar kita mau bekerjasama dengan mereka.”“Saya khawatir. Kalau mereka akan memaksa kita dengan cara-cara yang kasar. Dan lebih jauh lagi, mereka akan membinasakan kita.”“Bagaimana kalau kita kabur saja dari sini, Pak?” usul Pak kamaludin memberi saran.“Rasanya tidak mungkin. Lihat saja jumlah mereka, terlalu banyak untuk kita lewati, dan sedikit pun kita tidak bisa berpaling dari tatapan mata mereka yang selalu sigap memperhatikan gerak-gerik kita sebagai tawanannya,” sahut Pak Musa sambil merenung.Sesaat kemudian keheningan kembali menyelimuti mereka. Rasanya sangat sulit untuk menentukan
Ketika senja perlahan melangkah pulang dan sang malam mulai menebar kegelapannya. Seorang gadis tengah mengurung diri di dalam sebuah kamar. Yang dilakukannya hanya duduk dan memandangi pantulan kecantikannya dalam cermin besar yang dihias indah. Bola matanya terlihat berkaca-kaca pertanda sedang dirundung duka, duka yang amat mendalam dari hilangnya seorang insan.“Tok, tok, tok” terdengar suara pintu diketuk namun suara itu sedikit pun tidak mampu membangunkan dirinya dari lamun.“Tok, tok, tok.” pintu kamarnya kembali terdengar diketuk. Tapi gadis cantik itu masih asik dengan lamunannya. Pikiranya melayang jauh menembus waktu, masa lalu yang kini hanya akan menjadi kenangan tanpa harapan akan terulang. Tidak lama kemudian terdengar suara pintu dibuka.“Zahra,” sebuah suara memanggil namanya dan terlihat seorang perempuan berusia empat puluh lima tahunan masuk ke dalam kamar mendekati gadis itu. Perempuan itu lalu mend