Sekitar pukul 15:00, mobil yang dibawa Moza sudah sampai di depan sebuah rumah mewah bertingkat. Sebelum memarkirkan mobilnya, Moza melirik pada Sembi.
“Sem, kamu saja yang bicara pada pak Gamaliel. Aku sedikit malas berbicara dengan orang itu,” ucap Moza. Mendengar ucapan Moza itu, Sembi terlihat bingung.
“Dari awal kita bertemu Pak Gamaliel. Sepertinya, kamu tidak pernah suka dengan orang itu. Padahal sudah jelas, kalau orang itu adalah pemimpin kita,” jawab Sembi.
“Entahlah, Sem. Sepertinya, aku sudah mulai jenuh dengan langkah-langkah yang dia tempuh, strateginya yang lelet dan berbelit-belit membuat pergerakan kita begini-begini saja. Namun, ia juga tidak memberikan kesempatan untuk kita bertindak sesuai keinginan kita,” timpal Moza.
Mendengar jawaban seperti itu, Sembi hanya diam. Ia seakan tidak punya pendapat untuk menjawab kata-kata Moza itu. Ketiganya lalu turun dari dalam mobil, dan Resta yang memikul koper yang berisi beberapa sisa bahan peledak terlihat gontai menahan beban koper itu. Dengan hati-hati ketiganya memasuki rumah itu dan langsung menaiki anak tangga menuju ke lantai atas.
“Prok, prok, prok,” tiba-tiba mereka disambut tepung tangan beberapa orang yang sepertinya sudah menunggu kedatangan mereka.
“Kerja bagus anak-anak,” ucap seorang lelaki yang terlihat sudah beruban namun terlihat masih gagah.
“Bagaimana tugas kalian? Apakah menemukan kendala?” tanya laki-laki itu sambil berdiri.
“Semua berjalan lancar, Paman,” sahut Sembi.
“Bagus. Apakah beberapa peledak lainya sudah kalian pasang?” tanya laki-laki itu yang tiada lain adalah Fawn Gamaliel salah satu pemimpin pergerakan kemerdekaan.
“Sudah Paman, semua sudah beres. Beberapa peledak sudah kita pasang di tempat-teman yang sudah kita rencanakan. Di stasiun, Bandara, rumah sakit dan beberapa kantor pemerintahan. Paman tinggal menunggu beberapa menit saja,” ucap Sembi menegaskan.
“Lalu. Bagaimana perjalanan kalian. Apakah semuanya berjalan lancar?” Pak Gamaliel kembali bertanya.
“Semua berjalan lancar, Paman. Hanya sedikit kendala dan itu sudah kami atasi.”
“Moza. Apa pendapatmu?” Pak Gamaliel melirik pada Moza dengan senyuman licik, seakan ingin mendapatkan laporan yang lebih lengkap.
“Semua sudah Sembi laporkan. Apakah perlu saya ulangi lagi? Saya rasa, seorang yang merasa dirinya jenius, tidak akan mengharapkan itu,” sahut Moza tegas. Terlihat jelas kalau kedua orang itu saling berlawanan meskipun dalam satu kelompok.
“Good. That’s the right answer,” jawab Pak Gamaliel sambil berjalan mendekati Moza. Ia kemudian menepuk bahu Moza dan berlalu meninggalkan ruangan itu. Seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan dengan postur tubuh tegap berisi yang dari tadi hanya diam terlihat berdiri dan menghampiri Moza.
“Moza. Ada apa dengan kamu? Kamu seharusnya bisa menjaga sikap di depan pak Gamaliel. Bagaimana pun juga, dia adalah pemimpin kita, dan kita harus menghormatinya,” ujar laki-laki itu menegur. Mendapat teguran seperti itu, Moza hanya terdiam mematung, ia seakan tidak punya kata-kata untuk membalas ucapan laki-laki itu. Laki-laki itu adalah Pak Gandara, sosok yang sudah ia anggap sebagai ayahnya sendiri. Setelah cukup puas menasehati Moza, Pak Gandara pun berlalu meninggalkan Moza yang masih terdiam dengan pikiran yang entah mengembara kemana.
Malam harinya Moza terlihat sedang berdiri di pinggir jendela kamarnya. Pandangan matanya menatap kosong ke luar kamar, sedangkan ingatannya mengembara jauh ke masa lalu, masa lalu yang kelam dan masa muda yang seakan-akan hilang dalam perjalan tanpa arah tujuan. Entah apa pun itu, seakan-akan banyak yang hilang dari hidupnya. Dan entah mengapa, ia merasa kalau kehidupan yang ia jalani saat ini seakan-akan penuh kehampaan. Hanya kebencian dan amarah yang selalu menyelimuti pikiran mudanya. Meskipun dari lubuk hati terdalamnya, itu semua sungguh meresahkan dirinya. Namun ia sendiri tidak tahu apa yang membuat hidupnya terasa hampa. Padahal, apapun yang ia inginkan bisa ia dapatkan dengan mudah. Segala fasilitas apa pun telah disediakan dengan tanpa harus bekerja keras untuk mendapatkannya. Yang harus ia lakukan saat ini hanyalah menebar ketakutan disegala penjuru kota. Meskipun, terkadang harus berperang melawan aparat keamanan dan para tentara setempat namun kemenangan selalu berpihak pada mereka, karena mereka biasanya melakukan penyerangan disaat musuh-musuh mereka terlihat lengah. Mereka mempunyai sebuah motto ‘Musuh maju kita mundur, musuh lari kita kejar, musuh mundur kita serbu dan musuh lengah kita serang’ begitulah motto yang dipegang teguh oleh para pemberontak itu. Karena mereka pun sadar, kalau harus berperang terbuka melawan tentara republik, jumlah tentara mereka tidak cukup memadai untuk pertempuran itu. Akan tetapi, dendam yang tidak juga terbalas, menjadi dilema tersendiri dalam dadanya. Setelah cukup lama berada di dalam lingkaran para pemberontak, tapi ia tidak juga menemukan orang yang telah membinasakan keluarganya, dan itu seakan menyiksa jiwa mudanya.
“Moza,” tiba-tiba sebuah suara memanggilnya.
Moza yang sedang terhanyut dalam lamunan spontan saja terperajat. Ia seakan-akan ditarik dari lubang yang amat dalam.
“Ada apa?!” Moza sedikit marah.
“Pak Gandara memanggilmu. Katanya dia ingin bicara.”
Dengan sedikit jengkel Moza berjalan meninggalkan ruangan yang kemudian diikuti oleh Murry. Murry adalah salah satu anggota mereka yang sering ditugaskan untuk mengantar-ngantarkan akomodasi dan peralatan yang diperlukan oleh kelompok mereka. Moza terlihat sudah sampai di ruangan Pak Gandara .
“Paman memanggil saya?” tanya Moza.
“Duduklah, Nak. Kita tunggu yang lainnya datang,” ucap Pak Gandara.
Dari pintu sebelah Pak Gamaliel tiba-tiba muncul dan langsung duduk di samping Pak Gandara. Setelah menyalakan sebatang rokok, Pak Gamaliel menatap Moza dan ia pun mulai bicara.
“Moza. Kamu tahu mengapa saya dan Pak Gandara memanggil kamu kemari?”tanya Pak Gamaliel dengan tidak melepaskan pandangannya dari wajah Moza, sedangkan Moza hanya menjawabnya dengan gelengan kepala.
“Moza. Perlu kamu ketahui. Langkah kita ini sebenarnya hanya meneruskan cita-cita yang telah dibangun oleh ayahmu dahulu. Dan sekarang, kita hanya berusaha mewujudkan apa yang dahulu ayahmu impikan. Andai saja kamu tahu. Ayahmu adalah orang terbaik yang pernah saya kenal, dan ia selalu setia pada pendiriannya. Oleh karena itu, jika kamu tidak ingin mengecewakannya. Maka, jangan pernah mencoba berpaling dari langkah-langkah kita ini.”
Mendengar perkataan Pak Gamaliel seperti itu, Moza hanya terdiam dengan pertanyaan yang mulai bersarang di kepalanya.
“Apa yang dimaksud berpaling dari langkah-langkah kita ini? Saya selalu menjalankan tugas dengan baik.” Moza balik bertanya sambil mengangkat wajahnya. Ia seakan-akan tidak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Pak Gamaliel.
“Moza. Saya perhatikan. Kamu begitu membenci saya. Namun, kamu sedikit pun tidak pernah melakukan kesalahan disaat menjalankan pergerakan kita atau pun tugas yang saya perintahkan. Terkadang, saya tidak mengerti dengan tujuan hidup kamu. Saya hanya ingin meluruskan saja. Saya tidak ingin, langkah kamu selama ini hanya setengah-setengah, atau hanya sekedar ingin membalas dendam atas kematian kedua orang tuamu.”
Pak Gamaliel berhenti sejenak, ia mengambil rokoknya yang menempel di bibir asbak lalu dihisapnya dalam-dalam. Ia kemudian melanjutkan kembali ucapannya setelah asap tebal ia hembuskan ke langit-langit ruangan.
“Saya tidak ingin, kamu sebatas menumpang saja di dalam pergerakan ini. Hanya demi membalas kematian keluargamu. Dengan kata lain, kamu ikut pergerakan ini hanya untuk membalas dendam atas kematian keluargamu, dan setelah itu, kamu keluar meninggalkan kami. Sungguh kamu adalah salah satu orang terbaik yang kami miliki. Dan kami ingin, kamu tetap setia pada pergerakan ini demi tercapainya cita-cita kita, cita-cita orang tuamu,” ujar Pak Gamaliel panjang lebar.
“Moza. Tolong pikirkan baik-baik apa yang sudah saya sampaikan tadi,” ucap Pak Gamaliel. Ia lalu menoleh pada Pak Gandara yang dari tadi hanya diam mendengarkan pembicaraannya mereka.
“Gandara. Untuk langkah selanjutnya, saya serahkan sepenuhnya pada kamu. Silahkan kalian berunding dengan anggota lainnya, karena saya masih banyak urusan penting yang harus saya selesaikan. Silahkan rundingkan soal rencana yang sudah kita buat,” ucap Pak Gamaliel pada Pak Gandara.
Pak Gamaliel kemudian bangkit dari kursinya lalu pergi meninggalkan ruangan. Sedangkan Moza, masih tanpak diam, sepertinya ia sedang merenungkan kata-kata yang tadi diucapka oleh pak Gamaliel. Moza menarik napas panjang, ia lalu menoleh pada Pak Gandara.
“Paman. Apakah benar? Pergerakan ini, orang tua saya yang mempeloporinya, dan siapa sebenarnya orang yang telah membunuh mereka?”
Mendapat pertanyaan seperti itu Pak Gandara terdiam. Ia begitu tenang lalu dengan santai menghisap dalam-dalam rokok yang menempel di bibirnya.
“Paman. Ada apa sebenarnya dan sampai kapan semua ini berakhir? Sepertinya, titik kejenuhan akan pencarian ini mulai menghinggapi perasaan saya. Setelah sekian lama saya hidup dalam rutinitas seperti ini, dan apa yang saya dapatkan? Bahkan sampai hari ini pun, saya masih belum menemukan siapa orang yang telah membunuh orang tua saya. Saya hanya ingin tahu, mengapa mereka bisa melakukan hal sekeji itu pada keluarga saya. Rasanya, sebanyak apapun orang republik yang telah saya bunuh, itu tidak akan mampu melenyapkan dendam dalam diri saya sebelum saya membunuh langsung orang yeng telah menganiaya keluarga saya.” Moza menatap tajam pada Pak Gandara, ia kemudian melanjutkan ucapannya.
“Terkadang. Saya sering berpikir, sampai kapan saya melampiaskan dendam ini kepada orang-orang yang tidak berdosa. Memang, amarah saya selalu unggul dari akal sehat saya ketika dihadapkan pada situasi yang benar-benar membuat saya emosi. Tapi, di dalam kesendirian, akal sehat saya selalu berpikir, bahwa apa untungnya saya membunuh mereka, itu hanya menambah tabungan dosa saja, dan sebanyak apapun orang yang saya bunuh, itu tidak akan mampu meredam dahaganya dendam ini.”
Mendengar ucapan Moza yang panjang lebar itu Pak Gandara menarik napas panjang, ia lalu menatap tajam wajah Moza.
“Moza. Saya rasa kamu hanya terlalu mengindividu saja. Cobalah kamu lupakan sejenak dendam itu dan niatkan dalam benakmu. Bahwa langkah kamu ini, hanya untuk kepentingan golongan kita, bukan mengatas namakan dendam pribadi atau lainya. Dan apa yang Pak Gamaliel katakan itu memang benar. Pergerakan ini yang mempeloporinya adalah orang tuamu. Kita ini diibaratkan tunas yang tumbuh dari pohon yang telah ditebang, dan kita harus terus tumbuh hingga pohon ini berbuah. Dan sebagai anak yang harus berbakti kepada orang tuanya, kamu semestinya sadar bahwa kamu mempunyai kewajiban untuk meneruskan apa yang dahulu dicita-citakan oleh mereka. Dengan begitu, mereka akan merasa bangga padamu. Perlu saya tegaskan lagi, mereka yang tidak setuju terhadap pergerakan kita ini, mereka adalah orang yang telah membunuh orang tuamu, dan orang-orang yang berkuasa di republik lah dalang dari semua peristiwa itu. Jadi, jika ingin benar-benar membalas dendam, pada mereka lah, dan harusnya kamu tidak perlu lagi meragukan semua ini. Ketika kita telah berhasil mewujudkan impian ini, anggap saja dendam kamu itu sudah terbalaskan.” Pak Gandara menjelaskan panjang lebar. Dan penjelasan Pak Gandara itu ternyata sedikitnya telah mematahkan keraguan Moza. Sebagai orang tua angkat, Gandara memang berhasil, ia selalu mampu meyakinkan Moza dikala Moza menemukan keraguan akan langkah-langkahnya.
Moza tampak diam, ia mencoba menerima apa yang disampaikan oleh Pak Gandara tadi. Bagaimana pun juga, Pak Gandara adalah orang yang telah mengasuhnya sejak peristiwa pembunuhan keluargannya. Namun. terkadang terdapat sebuah kejanggalan dalam peristiwa itu. Mengapa Pak Gandara tiba-tiba muncul yang entah dari mana datangnya disaat ia sedang menangisi jasad keluarganya, dan dengan serta merta membawanya lalu merawatnya hingga dewasa, mengajarinya berbagai hal termasuk cara merakit dan menggunakan senjata serta berbagai strategi perang. Dan apa yang telah disampaikan oleh Pak Gandara tadi, kini telah menyulut kembali api amarahnya terhadap orang-orang republik. Kebencian yang semakin menjalar di seluruh tubuhnya, kini sedang menanti pelampiasan. Kebencian itu terasa jelas di benaknya yang ia yakini, mereka lah yang telah membunuh kedua orang tuanya.
“Sejujurnya. Pergerakan pak Gamaliel yang lamban lah yang membuat saya perlahan membencinya, dan cara-cara yang dia tempuh hanya begitu-begitu saja seakan tidak ada pembaruan dalam pergerakan. Dan keseharian saya mengikuti aturan-aturannya, membuat langkah saya terhambat untuk menemukan orang yang telah membinasakan keluarga saya. Saya ingin memakai cara saya sendiri, Paman,” ungkap Moza. Dan mendengar penuturan Moza itu, Pak Gandara terdiam sejenak lalu memandang Moza.
“Moza. Merebut kemerdekaan ini bukan hal yang mudah, dan tidak bisa didapatkan tanpa strategi yang matang. Kalau asal-asalan, bisa-bisa, langkah yang sudah kita susun selama ini, akan hancur berantakan. Pak Gamaliel hanya sedang mencari langkah yang tepat. Kalau pun kamu mau membalas dendam atas kematian keluargamu dengan caramu sendiri, langkah apa yang akan kamu tempuh? Berkeliaran di malam hari seperti ninja, lalu mendatangi rumah-rumah para pejabat Republik dan membunuhnya. Begitu?” tanya Pak Gandara menatap Moza.
“Lebih baik, simpan dendamu, Moza. Suatu saat nanti, kau pasti akan menemukan orang yang telah membunuh keluargamu, dan kamu akan menemukan alasannya. Karena bukan hanya kamu yang punya dendam, Sembi, Resta dan beberapa teman kamu yang lainnya pun sama, tapi mereka mencoba bersabar dan tetap mengikuti aturan pak Gamaliel. Dan apapun yang ada di dalam benakmu, itu hanyalah gejolak amarah pemuda puberitas yang belum matang yang hanya didominasi emosi, dan saya tidak akan membiarkan kamu bertindak sembarangan, karena bukan hanya nyawa kamu yang terancam, tapi pergerakan kita juga taruhannya,” ungkapnya meyakinkan.
Obrolan keduanya pun berlanjut. Pak Gandara yang tahu kalau Moza adalah pemuda yang tajam dalam penganalisaan atau kritis, mencoba meredam pemikiran-pemikiran anak asuhnya itu.
Sore itu Moza terlihat sedang termenung di atas tempat tidurnya. Bagaimana pun juga, dendam di dalam dadanya masih terus bergemuruh. Meskipun, ia sudah mulai nyaman dengan kehidupannya saat ini, tapi selama pembunuh orang tuanya belum ditemukan, dendam itu terus menantangnya untuk terus mencari tahu. “Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi, aku harus bergerak,” gumamnya dalam hati. Ia kemudian menghubungi Sembi, dan tidak perlu menunggu lama, terdengar Sembi mengangkat panggilannya. “Ada apa Moza?” “Sem. Kamu tahu, siapa komandan tentara kita yang di tugaskan di dalam kota?” Tanya Moza. “Iya, tahu. Namanya Reza. Nanti saya hubungkan dengan kamu. Tapi
Setelah acara makan itu selesai, ketiganya terlihat meninggalkan restoran dan kembali ke kampus.“Moza. Berapa nomor handphon kamu?” tanya Pak Mario pada Moza sambil menyetir mobilnya.“Saya belum sempat membeli handphon, Pak?”“Terus. Komunikasi dengan Pak Gamaliel, bagaimana?”“Tenang saja, Pak. Saya sudah tahu bagaimana berkomunikasi dengan beliau secara aman,” sahut Moza.“Ya. Kalian memang orang-orang cerdas. Otak kalian seperti ikan salmon yang tidak pernah lupa jalan pulang menuju tempat kelahirannya,” jawab Pak Mario.Mendengar percakapan kedua orang itu Lisa hanya diam, ia benar-benar tidak mengerti tentang apa sebenarnya yang sedang dibicarakan namun itu tidak terlalu ia pikirkan. Mobil itu kini sudah sampai di halaman kampus dan mereka kemudian turun dari dalam mobil.“Moza. Ini kartu nama saya, kalau sudah beli handphon, secepatnya hubungi saya, ya. Da
Pagi itu Moza, Sembi, Resta serta Pak Gandara dan Murry keluar dari sebuah perkampungan dengan mengendarai sebuah mobil warna silver. Setelah berada di jalan raya mobil yang dibawa Murry itu melaju dengan kencang.“Moza. Nanti kalau kamu sudah berada di kampus itu, kamu langsung temui Pak Mario, ia sudah tau akan kedatangan kamu dan kalau ada apa-apa, kamu tinggal bilang saja sama dia. Jangan khawatir, dia orang kita juga,” kata Pak Gandara.“Dan kamu Sembi. Kamu hubungi Master Chie-Tung, dia juga orang kita.”“Wah! Saya tidak menyangka, di universitas-universitas juga ternyata banyak orang-orang kita juga ya,” sahut Resta.“Ya. Kita sengaja menempatkan orang-orang kita di beberapa lembaga pendidikan dan pemerintahan, agar mereka bisa memasukan doktrin-doktrin kita pada para mahasiswa dalam pelajaran-pelajaran mereka. Karena selama ini, pemerintah hanya tahu kalau para pemberontak itu tempatnya di hutan-hutan rimb
Tiga pekan sudah Moza, Pak Gamaliel dan yang lainya berada dalam pelarian. Berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain yang dirasakan aman, karena mereka menyadari bahwa para tentara republik kini sedang gencar-gencarnya mencari dan menumpas para pemberontak yang telah banyak meresahkan masyarakat. Moza dan kedua rekanya Sembi dan Resta berada di sebuah kota, sedangkan Pak Gamaliel dan Pak Gandara, keduanya berada di sebuah daerah dekat perbatasan. Sedangkan Murry yang merupakan supir mereka bertugas menghubungkan satu dengan yang lainnya. Sesekali ia mengantarkan barang-barang yang mereka perlukan.Suatu pagi ketika mereka sedang berada di dalam sebuah rumah yang baru tiga hari mereka tinggali. Terlihat Moza dan Sembi sedang sibuk membersihkan beberapa handguns diantaranya Semi Otomatis seperti FN, Pistol Mesin seperti U21 , Revolver dan Deringer. Dari dalam sebuah ruangan Resta muncul dengan membawa dua senjata laras panjang atau Long Guns dan beberapa senapan serbu.
Satu jam lamanya mereka menempuh perjalanan menggunakan ojek, turun naik bukit dan melewati hutan serta pesawahan, maklum saja perkampungan itu terletak di sebuah bukit dan dikelilingi oleh gunung-gunung yang jauh dari sentuhan perkotaan. Jalanan yang menurun dan curam terkadang pula menanjak dengan kondisi jalan yang sepenuhnya tidak diaspal hanya berlapiskan tanah merah dan bebatuan yang terkadang membuat ketiganya mengerang kesakitan saat roda motor menerjang bebatuan-bebatuan itu. Setelah melewati perjalanan yang melelahkan itu, mereka kini tiba di sebuah perkampungan lain namun beruntung, jalanan yang rusak penuh bebatuan itu tidak mereka temukan lagi. Aspal hitam yang terhampar di jalanan membuat perjalanan terasa nyaman, sehingga para pengendara ojek itu tidak ragu-ragu lagi untuk memacu kecepatan motor mereka.Mereka akhirnya tiba di sebuah terminal. Setelah memberikan sejumlah uang kepada ketiga pengendara ojek itu, mereka kemudian melangkahkan kakinya. Hingar-bingar
Di sebuah pesawahan yang terletak di pinggir hutan terlihat sepasang suami isteri dan seorang anak laki-laki muda tengah sibuk memanen padi mereka yang sudah menguning. Setelah terlalu lama membungkuk saat memotong padi, isteri pak tani terlihat berdiri lalu meregangkan otot-ototnya yang terasa pegal. Pandangannya tiba-tiba ia arahkan pada tiga orang laki-laki yang berpakaian mirip tentara keluar dari arah hutan. Sejenak ia terus memperhatikan langkah ketiga orang itu yang mulai mendekat.“Pak. Coba lihat ke belakang. Ada tiga orang keluar dari dalam hutan, dan sepertinya sedang menuju kemari,” kata perempuan itu pada suaminya, dan suaminya terlihat berdiri lalu melemparkan pandangannya ke arah tiga laki-laki yang sedang berjalan menuju tempat mereka.“Iya, Bu. Penampilan mereka terlihat seperti tentara.”Ketiga orang laki-laki itu tampak semakin jelas setelah berada di dekat mereka.“Permisi, Pak, Bu. Maaf kami m