Home / All / BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK / Chapter 4. Obrolan Keluarga Pak Gubernur

Share

Chapter 4. Obrolan Keluarga Pak Gubernur

Author: Bond Monosta
last update Last Updated: 2021-09-08 18:22:57

Pagi itu disaat embun pagi berjatuhan terhempas sang raja hari yang mulai menampakan diri, dan jalanan yang terlihat mulai ramai dilalui kendaraan serta para pejalan kaki menandakan kota yang mulai menggeliat bangun dari tidurnya.

Di sebuah rumah besar yang letaknya berada di perumahan dinas pemerintah mulai terlihat ramai oleh beberapa orang yang keluar masuk ke dalam rumah itu.

“Kenapa, Bu. Kok kelihatannya gelisah gitu?” tanya seorang laki-laki yang sebagian rambutnya terlihat sudah mulai beruban sambil menatap istrinya yang sedang duduk di ruang tengah.

”Entahlah, Yah. Tapi, perasaan ibu, kok, tidak enak banget ya pagi ini?” jawab  perempuan itu memandang suaminya yang keluar dari pintu kamar.

“Memangnya, Ibu mikirin apa sih? ” tanyanya lagi pada istrinya. Ibu Dewi bangkit dari kursinya lalu menghampiri suaminya yang sedang berdiri, ia kemudian  membetulkan posisi dasi suaminya yang terlihat agak miring.

 “Ibu teringat akan mimpi Ibu semalam, Yah,” jawab Ibu Dewi pelan.

“Hah, mimpi kok dipikirin.’’

“Ibu juga tidak tahu. Tapi, rasanya aneh saja, dan tiba-tiba perasaan ibu tidak enak begini.”

“Memangnya, semalam ibu mimpi apa?” tanyanya lagi sambil menatap istrinya.

“Semalam, Ibu mimpi. Indra memakai baju pengantin, Yah.”

Mendengar ucapan istrinya itu, laki-laki itu hanya tersenyum.

“Baju pengantin? Wah, harusnya ibu senang dong. Siapa tahu, itu pertanda kalau Indra akan segera menikah. Dengan begitu, kita akan segera punya cucu,” sahut laki-laki itu sambil melirik pada istrinya.

Mendengar jawaban suaminya itu, Bu Dewi hanya mengamiini. Namun, jawaban itu tetap saja tidak mampu menenangkan hatinya yang gelisah.

“Udahlah, Bu. Hari ini ayah akan mengadakan rapat dengan para pejabat lain. Rapat kali ini akan  membahas tentang konflik yang terjadi di wilayah kita, konflik yang tak kunjung juga reda.”

“Iya, Yah. Ayah sebagai pemimpin harus mengambil langkah tegas untuk menumpas para pemberontak itu, agar mereka tidak terus-terusan membuat warga resah. Tapi, ibu sungguh tidak mengerti dengan pikiran para pemberontak itu, disaat negara kita sedang diliputi krisis multi dimensi. Kok malah menambah suasana bikin kacau. Malah ingin melepaskan diri dan ingin membuat negara baru. Satu masalah belum selesai, malah menambah masalah baru. Seperti rumput liar di pojok taman, di satu pojok belum tuntas ditebang, malah tumbuh lagi rumput liar di pojok lain. Ibu benar-benar tidak mengerti, mengapa mereka bisa berbuat seperti itu?” ucap Bu Dewi panjang lebar, dan mendengar kata-kata istrinya itu, laki-laki itu terlihat menarik napas panjang.

“Perlu Ibu ketahui. Semua tindakan anarkis yang sekarang ini banyak terjadi,  termasuk pemberontakan. Itu semua terjadi karena banyak hal. Diantaranya adalah ketidakadilan, ketimpangan dan ketidak berdayaan. Ketidakadilan ini bisa berupa perlakuan yang diskriminatif, distribusi ekonomi dan kekuasaan yang tidak merata, atau pun tiadanya kesempatan untuk berekspresi dalam ruang publik. Ketimpangan seringkali berkaitan dengan ekonomi dalam sebuah bangsa, di mana kesenjangan yang terjadi antara si miskin dan si kaya begitu besar. Si kaya makin kaya, sedangkan si miskin bertambah miskin. Atau bisa terjadi antara wilayah yang maju dihadapkan pada wilayah-wilayah miskin dan berkembang. Situasi timpang ini, kalau tidak mampu dikelola dan diatasi dengan baik,  cenderung memaksa atau mendorong suatu kelompok untuk bertindak anarkis. Ya, salah satu contonya pemberotakan yang saat ini sering terjadi. Ini merupakan salah satu bentuk ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah, bahwa pemerintah gagal dan tidak mampu mengatasi berbagai krisis yang terjadi. Dan mereka  menganggap, pemerintah sudah tidak mampu lagi  memanage wilayahnya. Makanya, mereka berusaha untuk memanage wilayah mereka sendiri. Ya, salah satunya itu, dengan mencoba melepaskan diri dari negara ini dan mendirikan negara baru. Dan mereka berpikir, bahwa mereka akan mampu mengatasi krisis  di wilayah ini,” jawab laki-laki itu panjang lebar. Laki-laki itu tiada lain adalah Pak Musa yang saat ini menjabat sebagai Gubernur di wilayah itu.

“Ayah. Kenapa ayah tidak menyuruh tentara saja untuk menumpas mereka. Dengan begitu,  persoalan akan beres, kan?” timpal seorang anak gadis yang sedang menuruni anak tangga yang dari tadi mendengarkan percakapan kedua orang tuanya.

 “Tidak semudah itu, sayang. Langkah itu memang mudah. Namun, selagi masih ada cara lain, kita tahan dulu langkah itu. Karena mereka juga, kan, masyarakat kita yang perlu kita lindungi. Ingat ya, Nak. Perang itu hanyalah kelanjutan dari diplomasi yang gagal,” ujar Pak Musa.

“Ya, salah mereka sendiri bikin kekacauan dan meresahkan warga lain,” sahut gadis cantik itu tidak mau kalah dengan argumennya.

“Itulah tugas kita sebagai masyarakat yang mengerti hukum untuk menyadarkan mereka. Sudahlah, biarkan ini menjadi urusan ayah. Dan tugas kamu hanya belajar, biar menjadi orang yang berguna bagi negara ini.”

“Baik ayah. Oh, ya, Ayah. Hari ini Zahra tidak ada kuliah, bagaimana kalau Zahra ikut rombongan ayah ke pertemuan itu? Sekaligus, Zahra ingin melengkapi makalah laporan study tentang kehidupan berbangsa dan bernegara pada salah satu mata kuliah di kampus.  Boleh, ya, ayah. Please! ucap perempuan muda yang bernama Zahra sambil memohon.

“Yasudah. Asal Zahra bisa bersikap dewasa pada saat di pertemuan nanti. Jangan sampai menyamakannya dengan keadaan di rumah. Dan satu lagi, jangan manja. Oke,” pinta Pak Musa sambil mencubit pipi anaknya itu.

“Siap komandan!” sahut Zahra pada ayahnya sambil mengangkat tangannya seperti seorang tentara yang memberi hormat pada komandannya. Dan melihat tingkah Zahra seperti itu, Pak Musa dan Bu Dewi hanya tersenyum.

“Bagaimana Ayah. Apakah sudah siap untuk berangkat? Mobil dan seluruh pasukan pengawalan sudah siap,” ujar seorang pemuda pada Pak Musa yang tiada lain adalah anaknya juga yaitu Indra yang bertugas sebagai pasukan pengawal.

“Oke. Kita berangkat sekarang,” jawab Pak Musa.

“Tunggu ayah. Zahra mau ngambil tas dulu,” ucap Zahra sambil berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya, dan beberapa menit kemudian Zahra sudah berada di hadapan Pak Musa.

“Eh, anak kecil! Ngapain ikut-ikutan segala?” tanya Indra pada adiknya itu.

“Biarin! Ayah juga nggak ngelarang, kok. Wew!” sahut Zahra sambil meledek kakaknya.

“Tapi. Ini urusan orang dewasa. Lebih baik, Zahra temenin Ibu di rumah,” bantah Indra.

 “BETE, Kak! Masa tiap liburan di rumah terus?” jawab Zahra sambil cemberut.

“Sudah, sudah. Ayo berangkat.” Pak Musa melerai. Mereka kemudian berjalan menuju pintu keluar. Di luar rumah, tanpak beberapa pengawal sudah menunggu mereka. Beberapa mobil sedan hitam dan motoris terlihat berjejer di halaman rumah itu. Tidak lama kemudian Pak Musa dan rombongan masuk ke dalam mobil. Kendaraan rombongan Pak Musa terlihat melaju perlahan-lahan meninggalkan halaman rumah dinas gubernur. Bu Dewi yang  memandangi kepergian mereka mengiringinya dengan seuntai doa untuk keselamatan suami dan kedua anaknya serta para rombongan.

Beberapa jam kemudian Pak Musa beserta rombongan sudah tiba di halaman gedung pertemuan. Belum sempat Pak Musa menginjakan kakikanya di depan halaman gedung, beberapa wartawan sudah menyambut dan menghujaninya dengan beberapa pertanyaan, dan  para pengawal terlihat berusaha mengamankan serta mencoba memberikan jalan pada Pak Musa.

“Pak.  Tindakan apa yang akan Bapak ambil untuk menghadapi semua teror yang terjadi di wilayah kita ini?” tanya seorang wartawan pada Pak Musa.

 “Kita lihat saja hasilnya nanti setelah rapat ini selesai, saya tidak mungkin mengambil keputusan begitu saja, karena masalah ini menyangkut negara,” jawab Pak Musa pada para wartawan.

“Menurut Bapak. Semua tindakan anarkis dan teror yang sering terjadi di wilayah ini. Apakah murni dilakukan oleh para pemberontak yang ingin memisahkan diri dari negara ini? Atau, oleh sekelompok orang tertentu yang menganut paham radikal?”

“Kita belum bisa menjudgenya. Apakah ini dilakukan oleh pemberontak atau sekelompok orang penganut paham radikal, semua butuh bukti-bukti sebelum kita memutuskannya.”

 “Oh, iya, Pak. Apakah benar pak Presiden sudah menyerahkan sepenuhnya pada  Bapak untuk menyeleisaikan masalah ini, apakah itu bukti bahwa pak Presiden sudah tidak peduli lagi dengan provinsi kita ini?” tanya seorang wartawan.

Pak Musa menghentikan langkahnya lalu menoleh pada wartawan itu.

“Bukan begitu. Negara kita ini adalah negara yang besar dan luas. Selain itu, masalah seperti ini bukan hanya di daerah kita saja. Beliau hanya ingin kita belajar dewasa dan mencoba terlebih dahulu untuk mengatasi masalah ini sendiri. Namun, jika kita tetap tidak mampu mengatasinya, baru pemerintah pusat akan turun langsung untuk menyeleisaikan masalah ini,” sahut Pak Musa menegaskan.

 “Lalu. Apakah Bapak sudah punya gambaran untuk menyeleisaikan permasalahan ini?”tanya seorang wartawan lainnya.

“Kita lihat saja nanti, ya,” jawab Pak Gubernur Musa mengakhiri, dan setelah itu, ia beserta rombongannya memasuki gedung pertemuan termasuk Zahra yang berada di baris belakang. Di dalam gedung pertemuan itu terlihat beberapa pejabat lainnya sudah menunggu kedatangan mereka, dan beberapa menit kemudian rapat itu pun dimulai.

Di luar gedung pertemuan, tanpak beberapa penjaga sedang bersiaga mengamankan gedung itu. Sedangkan di sebuah jalan yang terletak tidak jauh dari gedung pertemuan, terlihat sebuah mobil berwarna silver sedang diparkir, dan dari dalam mobil itu terlihat beberapa orang sedang mengintai gedung pertemuan. Orang-orang itu tiada lain adalah Moza, Pak Sugeng dan empat orang rekannya, mereka semua bersenjata lengkap.

“Bagaimana, Pak. Apakah pasukan kita yang ditugaskan mencegat rombongan pak Gubernur sudah siap?” tanya Moza pada Pak Sugeng.

            “Tenang saja Moza. Sebelum kita sampai di sini, mereka semua sudah terlebih dulu sampai di hutan  bambu, jalan yang akan dilewati pak Gubernur dan rombongannya. Kita ikuti rombongan pak Gubernur dari belakang. Dan nanti, selagi pasukan kita sedang menghadapi para pengawal pak Gubernur. Kita sergap pak Gubernur dari belakang,” sahut Pak Sugeng menjelaskan.

            Sementara itu, beberapa pasukan lain dalam kota yang di pimpin oleh Reza sudah menyebar dan memasang beberapa peledak di tempat-tempat yang sudah ditargetkan untuk mengalihkan perhatian publik pada peristiwa yang akan terjadi. Dengan memanfaatkan orang dalam sebagai mata-mata para pemberontak, rencana itu pun terlihat begitu mulus sehingga tinggal menunggu waktu saja.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 20. Bertindak Sendiri

    Sore itu Moza terlihat sedang termenung di atas tempat tidurnya. Bagaimana pun juga, dendam di dalam dadanya masih terus bergemuruh. Meskipun, ia sudah mulai nyaman dengan kehidupannya saat ini, tapi selama pembunuh orang tuanya belum ditemukan, dendam itu terus menantangnya untuk terus mencari tahu. “Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi, aku harus bergerak,” gumamnya dalam hati. Ia kemudian menghubungi Sembi, dan tidak perlu menunggu lama, terdengar Sembi mengangkat panggilannya. “Ada apa Moza?” “Sem. Kamu tahu, siapa komandan tentara kita yang di tugaskan di dalam kota?” Tanya Moza. “Iya, tahu. Namanya Reza. Nanti saya hubungkan dengan kamu. Tapi

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 19. Satu Hari Bersama Lisa Hallay

    Setelah acara makan itu selesai, ketiganya terlihat meninggalkan restoran dan kembali ke kampus.“Moza. Berapa nomor handphon kamu?” tanya Pak Mario pada Moza sambil menyetir mobilnya.“Saya belum sempat membeli handphon, Pak?”“Terus. Komunikasi dengan Pak Gamaliel, bagaimana?”“Tenang saja, Pak. Saya sudah tahu bagaimana berkomunikasi dengan beliau secara aman,” sahut Moza.“Ya. Kalian memang orang-orang cerdas. Otak kalian seperti ikan salmon yang tidak pernah lupa jalan pulang menuju tempat kelahirannya,” jawab Pak Mario.Mendengar percakapan kedua orang itu Lisa hanya diam, ia benar-benar tidak mengerti tentang apa sebenarnya yang sedang dibicarakan namun itu tidak terlalu ia pikirkan. Mobil itu kini sudah sampai di halaman kampus dan mereka kemudian turun dari dalam mobil.“Moza. Ini kartu nama saya, kalau sudah beli handphon, secepatnya hubungi saya, ya. Da

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 18. Tokoh Tersembunyi

    Pagi itu Moza, Sembi, Resta serta Pak Gandara dan Murry keluar dari sebuah perkampungan dengan mengendarai sebuah mobil warna silver. Setelah berada di jalan raya mobil yang dibawa Murry itu melaju dengan kencang.“Moza. Nanti kalau kamu sudah berada di kampus itu, kamu langsung temui Pak Mario, ia sudah tau akan kedatangan kamu dan kalau ada apa-apa, kamu tinggal bilang saja sama dia. Jangan khawatir, dia orang kita juga,” kata Pak Gandara.“Dan kamu Sembi. Kamu hubungi Master Chie-Tung, dia juga orang kita.”“Wah! Saya tidak menyangka, di universitas-universitas juga ternyata banyak orang-orang kita juga ya,” sahut Resta.“Ya. Kita sengaja menempatkan orang-orang kita di beberapa lembaga pendidikan dan pemerintahan, agar mereka bisa memasukan doktrin-doktrin kita pada para mahasiswa dalam pelajaran-pelajaran mereka. Karena selama ini, pemerintah hanya tahu kalau para pemberontak itu tempatnya di hutan-hutan rimb

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 17. Menyusun Langkah Baru

    Tiga pekan sudah Moza, Pak Gamaliel dan yang lainya berada dalam pelarian. Berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain yang dirasakan aman, karena mereka menyadari bahwa para tentara republik kini sedang gencar-gencarnya mencari dan menumpas para pemberontak yang telah banyak meresahkan masyarakat. Moza dan kedua rekanya Sembi dan Resta berada di sebuah kota, sedangkan Pak Gamaliel dan Pak Gandara, keduanya berada di sebuah daerah dekat perbatasan. Sedangkan Murry yang merupakan supir mereka bertugas menghubungkan satu dengan yang lainnya. Sesekali ia mengantarkan barang-barang yang mereka perlukan.Suatu pagi ketika mereka sedang berada di dalam sebuah rumah yang baru tiga hari mereka tinggali. Terlihat Moza dan Sembi sedang sibuk membersihkan beberapa handguns diantaranya Semi Otomatis seperti FN, Pistol Mesin seperti U21 , Revolver dan Deringer. Dari dalam sebuah ruangan Resta muncul dengan membawa dua senjata laras panjang atau Long Guns dan beberapa senapan serbu.

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 16. Kembali Pulang

    Satu jam lamanya mereka menempuh perjalanan menggunakan ojek, turun naik bukit dan melewati hutan serta pesawahan, maklum saja perkampungan itu terletak di sebuah bukit dan dikelilingi oleh gunung-gunung yang jauh dari sentuhan perkotaan. Jalanan yang menurun dan curam terkadang pula menanjak dengan kondisi jalan yang sepenuhnya tidak diaspal hanya berlapiskan tanah merah dan bebatuan yang terkadang membuat ketiganya mengerang kesakitan saat roda motor menerjang bebatuan-bebatuan itu. Setelah melewati perjalanan yang melelahkan itu, mereka kini tiba di sebuah perkampungan lain namun beruntung, jalanan yang rusak penuh bebatuan itu tidak mereka temukan lagi. Aspal hitam yang terhampar di jalanan membuat perjalanan terasa nyaman, sehingga para pengendara ojek itu tidak ragu-ragu lagi untuk memacu kecepatan motor mereka.Mereka akhirnya tiba di sebuah terminal. Setelah memberikan sejumlah uang kepada ketiga pengendara ojek itu, mereka kemudian melangkahkan kakinya. Hingar-bingar

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 15. Kabar Duka

    Di sebuah pesawahan yang terletak di pinggir hutan terlihat sepasang suami isteri dan seorang anak laki-laki muda tengah sibuk memanen padi mereka yang sudah menguning. Setelah terlalu lama membungkuk saat memotong padi, isteri pak tani terlihat berdiri lalu meregangkan otot-ototnya yang terasa pegal. Pandangannya tiba-tiba ia arahkan pada tiga orang laki-laki yang berpakaian mirip tentara keluar dari arah hutan. Sejenak ia terus memperhatikan langkah ketiga orang itu yang mulai mendekat.“Pak. Coba lihat ke belakang. Ada tiga orang keluar dari dalam hutan, dan sepertinya sedang menuju kemari,” kata perempuan itu pada suaminya, dan suaminya terlihat berdiri lalu melemparkan pandangannya ke arah tiga laki-laki yang sedang berjalan menuju tempat mereka.“Iya, Bu. Penampilan mereka terlihat seperti tentara.”Ketiga orang laki-laki itu tampak semakin jelas setelah berada di dekat mereka.“Permisi, Pak, Bu. Maaf kami m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status