Share

Chapter 5. Penculikan Pak Gubernur

Setelah beberapa jam berlalu, pertemuan di gedung itu pun akhirnya selesai dan Pak Gubernur beserta rombongannya terlihat mulai keluar meninggalkan ruangan rapat. Para wartawan yang sedari tadi menunggu cukup lama akhirnya kembali berebut mendekati Pak Gubernur dan kembali menghujaninya dengan beberapa pertanyaan.

“Bagaimana, Pak. Apakah Bapak sudah mendapatkan solusinya dan bagaimana keputusannya?” tanya seorang wartawan sambil menyodorkan mikrofon pada Pak Musa.

 “Kita akan mencoba mengadakan perundingan dengan pihak-pihak yang dicurigai sebagai pemberontak dan juga yang dicurigai telah menebar teror atas dasar paham radikal mereka,” jawab Pak Musa.

“Apakah cara ini akan berhasil, Pak?”

 “Kita lihat saja nanti, ya. Mudah-mudahan cara ini berhasil.” 

“Kenapa kita tidak langsung menumpas mereka saja, Pak. Bukankah jumlah mereka lebih sedikit dibandingkan dengan kita?” seorang wartawan kembali bertanya.

 “Cara seperti itu memang mudah. Namun, perlu kita ketahui, mereka juga adalah warga negara kita yang harus kita lindungi. Jadi, selagi masih ada cara yang lebih baik mengapa kita tidak mencobanya. Kita akan adakan pendekatan terlebih dahulu pada mereka,” jawab Pak Musa sambil berjalan menuju mobilnya dengan pengawalan ketat. Dan para wartawan yang masih penasaran terus mencoba mengorek informasi sambil memburu Pak Musa namun mereka dihadang oleh para pengawal sehingga mereka hanya bisa mengabadikan beberapa gambar Pak Musa dan menyaksikan Pak Gubernur itu pergi meninggalkan kerumunan mereka.

“Moza. Lihat! Pak Gubernur beserta rombongannya sudah meninggalkan gedung pertemuan,” ujar Pak Sugeng. Ia terlihat mengambil sebuah telepon genggam dari sakunya dan menghubungi sebuah nomor, dan setelah ada jawaban, Pak Sugeng mulai memberi komando.

“Harap semua bersiaga. Target akan menuju lokasi,” perintah Pak Sugeng lalu mematikan kembali telepon genggamnya.

 “Murry. Terus ikuti rombongan pak Gubernur, tapi jangan terlalu dekat agar mereka tidak curiga. Dan pada semua tim, kalian bersiap-siap.” Pak Sugeng memberi komando sedangkan Murry yang bertugas sebagai sopir tanpa bicara lagi langsung menghidupkan mesin  mobilnya dan mengikuti rombongan Pak Musa dari arah belakang. Moza dan Pak Sugeng beserta dua orang rekannya mulai bersiaga, mereka terlihat mulai memakai topeng  dan memasukan beberapa butir peluru pada senjata mereka. Sedangkan beberapa kendaraan  yang membawa rombongan pak Gubernur melaju dengan tenang, sedikit pun mereka tidak ada yang curiga kalau rombongan mereka sedang dibuntuti.

Ketika rombongan Pak Gubernur sedang melewati hutan bambu, tiba-tiba mobil mereka berhenti.

“Ada apa? Kok, tiba-tiba berhenti,” tanya Pak Musa.

“Di depan ada pohon tumbang yang menghalangi jalan kita, Pak,” sahut seorang pengawal.

Terlihat dua orang motoris turun dari motornya hendak menyingkirkan pohon itu. Namun, baru saja mereka mau mengangkat pohon itu, secara tiba-tiba beberapa butir peluru mengenai tubuh mereka dan mereka pun secara bersamaan tumbang bersimbah darah. Melihat peristiwa itu suasana tiba-tiba menjadi gaduh, semua pengawal mengangkat senjatanya. Dan dari arah semak-semak dan hutan bambu, tiba-tiba puluhan orang menembaki mereka. Baku tembak pun akhirnya tidak bisa dielakan lagi.

“Lindungi Pak Gubernur!” perintah Indra pada pengawal lainya dan beberapa pengawal pun terlihat mundur berdiri di samping mobil yang membawa Pak Musa dengan senjata yang tak henti-hentinya mereka tembakan. Sedangkan Moza, Pak Sugeng dan ketiga rekanya yang berada di belakang rombongan Pak Gubernur, mereka terus memperhatikan peristiwa itu seakan-akan sedang mengatur sebuah siasat.

Zahra dan seorang perempuan yang berada di dalam mobil paling belakang, ketika menghadapi situasi seperti itu terlihat tegang. Apalagi, beberapa butir peluru mengenai  kaca mobil yang mereka tumpangi. Tanpa berpikir panjang, Zahra keluar dari dalam mobil dan berlari ke belakang bermaksud untuk berlindung. Pak Sugeng ketika melihat tingkah Zahra itu tersenyum, ia sepertinya mendapatkan sebuah ide.

“Moza! Tangkap perempuan muda itu! Kita jadikan sandera. Dengan begitu, mereka pasti akan menyerahkan Pak Gubernur.”

Tanpa bertanya lagi, Moza langsung keluar dari dalam mobil dan berlari menghampiri Zahra.

“Angkat tangan! Berdiri kamu!” Moza menodongkan sebuah pistol pada Zahra. Zahra terlihat shoked. Dengan tubuh gemetar, ia kemudian mengangkat tangannya. Moza langsung menarik  lengan Zahra dan mendekap lehernya sambil menodongkan pistol pada kepala Zahra.

 “Jangan tembak saya. Tolong lepaskan saya,” Zahra mengiba dengan penuh ketakutan.

“Dor! Dor!”

Moza melepaskan dua tembakan ke udara, dan letusan dari arah belakang itu mendapat perhatian dari semua orang termasuk Pak Musa dan Indra.

“Kalau perempuan ini mau selamat! Serahkan Pak Gubernur sekarang juga!” gertak Moza mengancam.

Zahra terlihat semakin ketakutan. Indra yang melihat adiknya disandera, langsung berlari kebelakang.

“Ya, ampun Zahra!” Indra menodongkan pistolnya pada Moza.

“Lepaskan perempuan itu! Demi tuhan, dia tidak tahu apa-apa,” ucap Indra pada Moza.

“Saya tidak butuh ocehan kamu! Cepat serahkan Pak Gubernur! Kalau tidak, saya ledakan kepala perempuan ini.” Moza kembali mengancam.

“Kak Indra. Tolong Zahra!” Zahra mengiba pada kakanya.

“Jatuhkan senjatamu! Dan serahkan Pak Gubernur!” Moza mulai kehabisan kesabaran. Indra menjatuhkan pistolnya dan berjalan mendekati Moza, ia berharap menemukan titik lengah Moza hingga ia bisa membebaskan adiknya.

“Tenang. Kita bisa bicarakan ini baik-baik,” ucap Indra sambil mengangkat tangannya. Ia tidak menyadari kalau nyawanya sedang terancam. Moza yang semakin habis kesabarannya menodongkan pistolnya pada Indra. Dan tanpa Indra sadari. 

“Dor! Dor!” 

Moza melepaskan dua butir peluru tepat di dada Indra.

“Kak Indraaaaaaaaaa!” Zahra berteriak sambil menangis ketika melihat Indra jatuh ke tanah, ia meronta-ronta mencoba melepaskan dekapan Moza. Pak Musa yang melihat anak sulungnya ditembak, seketika terlihat geram bercampur amarah dan berniat keluar dari dalam mobil.

“Kalian kira saya main-main! Cepat serahkan Pak Gubernur!” Moza kembali menggertak.

 “Jangan keluar, Pak!” pinta beberapa pengawal mencoba menghalangi langkah Pak Musa.

“Kamu tidak lihat! Anak saya jatuh di tembak dan yang satunya disandera. Apa saya harus diam saja?!” sahut Pak Musa emosi sambil membuka pintu mobil. Ia kemudian mengangkat kedua tangannya ke atas dan berjalan mendekati Moza.

“Baik. Saya menyerah! Tolong lepaskan gadis itu,” pinta Pak Musa pada Moza.

“Ayah. Jangan, ayah!” Zahra mengiba pada ayahnya yang berjalan mendekat agar jangan menyerahkan diri pada Moza.

 “Maafkan ayah, sayang. Ayah tidak bisa membiarkan mereka menyakitimu,” sahut Pak Musa.

 Zahra kembali meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari dekapan Moza namun Moza semakin erat mendekap leher Zahra dan tanpa disadari, kalung berlian yang melingkar di leher Zahra nyangkut di ibu jari Moza.  Dua orang rekan Moza yang bersenjata lengkap terlihat turun dari dalam mobil lalu berlari ke arah Pak Musa sambil menodongkan senjata, mereka lalu membawa Pak Musa ke dalam mobil. Moza merenggangkan dekapan tangannya di leher Zahra, dan kesempatan itu tidak Zahra sia-siakan, ia langsung melepaskan lengan Moza. Namun tanpa disadari keduanya,  kalung berlian yang dikenakan Zahra di lehernya terlepas dan jatuh di hadapan Moza. Sedangkan Zahra langsung berlari menghampiri Indra yang terbaring di tanah.

“Kak Indraaaa! Bangun Kak, Kak bangun, Kak!” teriak Zahra sambil menangis lalu memeluk Indra yang mulai terbujur kaku. Sejenak Moza terdiam sambil memandangi Zahra yang sedang menangis dan mendekap tubuh laki-laki yang ia tembak tadi. Terasa ada sebuah kekuatan magis yang membuatnya terpaku dan tetap berdiri di ditempat itu, suara tangis dan derai air mata yang membasahi kedua pipi gadis itu seakan-akan menghadirkan rasa iba dan sesal yang tiada pernah ia rasakan sebelumnya. Sepintas ia melirik pada kalung berlian yang jatuh dari leher gadis itu.

“Moza, cepat naik!” teriak Pak Sugeng memanggil Moza. Tangan Moza reflek mengambil kalung berlian yang jatuh dari leher gadis itu, dan ia segera berlari masuk ke dalam mobil. Beberapa detik kemudian mereka terlihat pergi meninggalkan tempat itu.

“Ayaaaaaaaah! Jangan tinggalkan Zahra, Ayah!” Zahra hanya berteriak memanggil-manggil ayahnya sambil memeluk Indra ketika melihat ayahnya dibawa oleh para pemberontak itu.

“Zahra, adikku. Maafkan Kakak, Kakak tidak bisa melindungimu, sampaikan salam Kakak pada ibu,” ucap Indra pelan.

“Jangan pergi, Kak. Kakak akan baik-baik saja, bertahanlah, Kak,” Zahra mengiba.

“Zahra. Kakak kedinginan, se … semuanya ... terlihat, buram Zah … ra,” ucap  Indra terbata-bata setengah sadar.

“Sadar, Kak! Kakak harus bertahan!” pinta Zahra sambil menangis.

 “Zah ... ra. Jaga, I … Bu,” Indra mengucapkan kata terakhirnya.  

Setelah mengucapkan kata-kata itu, kepala Indra terkulai dan tubuhnya terasa kaku yang menggambarkan bahwa tidak ada lagi kehidupan dalam raga itu, Indra pergi untuk selama-lamanya.

 “Kak, bangun, Kak! Kak Indra! Bangun, Kak!” Zahra menggoyang-goyangkan tubuh Indra namun tubuh itu terasa kaku. Zahra menjerit histeris.

“Kak Indraaaaaa!”

Zahra memeluk erat tubuh kakaknya diiringi jerit tangis dan derai air mata. Saat ia sudah tak mampu lagi menahan kesedihannya, ia pun akhirnya terkulai lemas tak sadarkan diri. Para pemberotak yang menyadari kalau sasaran mereka sudah berhasil mereka dapatkan, satu-persatu berlari menuju mobil truk yang berada agak jauh di depan rombongan Pak Gubernur dan kemudian meninggalkan tempat itu dengan sebelumnya menembakan bazoka ke arah rombongan mobil Pak Gubernur, mobil paling depan meledak dan beberapa pengawal terpental ke semak-semak dengan luka di tubuh mereka.

Setelah kepergian para pemberontak, suasana mulai terasa tenang. Asap hitam dari mobil yang terbakar terlihat berterbangan, dan serpihan-serpihan material sisa pernyerangan berserakan mulai ditiup angin. Suara erangan kesakitan para pengawal yang terluka dari beberapa pojok serta yang terlempar ke semak-semak mulai terdengar. Beberapa pengawal yang selamat mulai menampakan diri dan menolong teman-temannya, mereka kemudian melaporkan peristiwa itu pada aparat dan meminta agar segera dikirim pertolongan. Namun, saat mereka menghubungi kantor pusat, mereka terlihat kesulitan karena telephon mereka tidak juga terhubung. Mereka pun akhirnya menghubungi nomor pribadi komandan pusat dan menginformasikan kejadian yang menimpa.   

Hari itu pun geger ketika berita penculikan Pak Gubernur menyebar secara perlahan di lingkungan orang dalam pemerintah provinsi, dan kejadian itu berbarengan pula dengan kekacauan yang terjadi di pusat kota. Ledakan bom di stasiun kereta dan rumah sakit serta pusat perbelanjaan, menyebabkan korban yang tidak sedikit.  Apalagi, ledakan juga terjadi di beberapa pembangkit listrik hingga membuat semua jaringan terhambat, para aparat dan petugas terlihat disibukan untuk memulihkan kestabilan kota. Konsentrasi mereka pun seakan terpecah saat mengetahui kalau para pemberontak telah menculik pak Gubernur dan empat pejabat pemerintah, mereka pun akhirnya membagi ke dalam beberapa kelompok, beberapa kelompok bertugas memulihkan kestabilan kota serta mengevakuasi korban dan kelompok lainnya mulai mempersiapkan diri untuk mencari keberadaan pak gubernur beserta empat pejabat lainnya. Dan berita penculikan pak gubernur serta kekacauan di wilayah itu akhirnya sampai ke pemerintahan pusat, beberapa media lokal dan nasional pun berdatangan untuk meliput kejadian di wilayah itu. Peristiwa itu tentu saja membuat seluruh masyarakat dan pemerintah pusat terlihat makin geram terhadap aksi para pemberontak, hingga pemerintah pusat pun mulai menyusun strategi untuk mencari dan membebaskan pak Gubernur. Pemerintah pusat pun meminta kepada para warga untuk kerjasamanya apabila mengetahui informasi seputar kejadian yang menimpa pak Gubernur dan empat pejabat pemerintah yang diculik, serta melaporkannya pada aparat guna memudahkan pencarian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status