Share

Chapter 6. Suasana di Markas Pemberontak

Sebuah sentuhan lembut pada rambut kepalannya mulai terasa seiring suara panggilan sendu dibarengi isak tangis perlahan hinggap di telinga seorang gadis muda yang mulai tersadar.

“Sayang, bangun, Nak,” ucapnya pelan sambil menangis di samping gadis muda yang terbaring lemas. Perlahan gadis muda itu mulai terlihat membuka mata.

“Bu. Ayah mana, Bu. Kak Indra mana, Bu?” tanya gadis itu yang tiada lain adalah Zahra. Bu Dewi hanya menangis saat mendengar pertanyaan anaknya itu.

 “Bu. Kak Indra mana?” tanyanya lagi yang belum sepenuhnya sadar.

“Tenang sayang, kamu istirahat saja, ya,” sahut seorang perempuan sambil membelai lembut rambut Zahra.

“Tante. Kok, tante ada di sini?” Zahra perlahan bangkit lalu duduk. Ia terlihat melirik ke sekeliling ruangan yang sudah ramai dipenuhi orang-orang, dan ketika pandangannya melirik ke sebuah sudut ruangan, Zahra melihat sebuah peti yang dihiasi karangan bunga, dan di sana terpampang sebuah photo orang yang sangat ia sayangi dalam hidupnya.

 “Ka Indaraaaa!” Zahra berteriak histeris sambil menangis, ia berusaha bangkit hendak menghampiri peti jenazah kakaknya namun segera dipeluk oleh ibunya sambil menangis, dan keduanya pun akhirnya larut dalam tangisan.

Di tempat lain mobil yang membawa Pak Musa terus melaju meninggalkan kota.

“Apa sebenarnya yang kalian inginkan dariku?” tanya Pak Musa pada laki-laki bertopeng di depannya yang tiada lain adalah Pak Sugeng.  

“Sebentar lagi Pak Gubernur akan tahu, karena tanpa Anda bertanya pun, pak presiden akan menjelaskannya,” sahut Pak Sugeng sambil membuka topengnya.

“Pak Presiden? Siapa sebenarnya yang anda maksud?” Pak Musa terlihat bingung sambil memandang Pak Sugeng.

“Sebentar lagi Pak Gubernur akan tahu,” sahut Pak Sugeng singkat.

Murry menjalankan mobilnya semakin kencang ketika melewati sebuah gapura besar tanda mereka sudah keluar dari sebuah daerah. Pak Musa melirik ke belakang dan di sana terlihat dua buah mobil truk besar yang dipenuhi oleh orang-orang dengan bersenjatakan lengkap mengikuti mereka.

“Para pemberontak. Apa sebenarnya yang  mereka rencanakan?” gumam Pak Musa dalam hatinya. Ia teringat akan ponselnya di saku jasnya, secara diam-diam ia merogok sakunya dan mematikan ponselnya itu, dan dengan sedikit membungkuk, ia memasukan ponsel itu kedalam kaos kakinya. Sementara itu, mobil mereka terus melaju hingga melintasi sebuah daerah.

 “Maaf, Pak Gubernur. Mata anda harus saya tutup,” ucap Moza sambil menutup mata Pak Musa dengan sebuah kain dan Pak Musa hanya pasrah.

Setelah beberapa lama akhirnya mereka tiba di pinggir sebuah hutan, mereka kemudian  turun dan membawa Pak Musa berjalan melalui sebuah jalan setapak.

“Ayo jalan!” perintah Pak Sugeng pada Pak Musa.

“Tunggu! Bagaimana saya bisa jalan kalau mata saya ditutup?” ujar Pak Musa. Pak Sugeng lalu melirik pada Moza.

 “Moza. Lepaskan kain penutupnya,” perintah Pak Sugeng pada Moza. Moza pun akhirnya melepaskan kain penutup mata Pak Musa. Dan setelah terbuka, barulah ia tahu kalau dirinya sudah berada di pinggir sebuh hutan.

“Moza. Nama kamu Moza,” gumam Pak Musa dalam hatinya, sambil menatap Moza yang baru saja melepaskan kain yang penutupi matanya, seakan ingin mengingat nama itu. Ia tidak akan mungkin lupa atas apa yang telah dilakukan pemuda itu terhadap anaknya Indra tadi siang. Masih terbayang di kepala Pak Musa ketika Moza menembakan timah panas tepat di dada Indra, dan kini Pak Musa tidak tahu bagaimana keadaan anaknya itu.

“Ayo jalan!”gertak tentara lainya. Pak Musa berjalan di belakang Moza dengan tidak henti-hentinya memperhatikan laki-laki itu. Pak Musa ingin tahu seperti  apa wajah dibalik topeng yang bernama Moza itu. Ia tahu betul laki-laki yang telah menembak anaknya adalah Moza, karena pakaian yang Moza kenakan berbeda dengan yang lainnya.

Langit yang suram kini menjadi gelap, apalagi mereka berada di dalam hutan yang lebat hingga beberapa orang terlihat menyalakan obor untuk menghalau binatang kecil malam yang berterbangan dan sebagian menyalakan senter untuk menerangi jalan setapak itu. Setelah berjalan naik turun bukit dan gunung yang cukup melelahkan, mereka akhirnya tiba di puncak sebuah gunung yang diselimuti pohon-pohon besar berusia ratusan bahkan mungkin ribuan tahun yang menjulang tinggi bagai raksasa. Meskipun suasana sudah gelap karena hari baru saja beranjak  malam. Namun sungguh sebuah suasana yang jauh dari perkiraan, di sana terlihat ratusan bahkan mungkin ribuan tentara berseragam hitam dengan persenjataan yang lengkap sedang berjejer di samping tenda-tenda yang berdiri tegak dengan diterangi cahaya obor di depannya, dan sebuah helikopter terparkir di sana. Sungguh pintar sekali mereka menemukan lokasi puncak hutan yang strategis untuk markas mereka yang jauh dari pantauan pemerintah. Kedatangan mereka disambut hangat oleh beberapa tentara lainnya.

“Pak Gubernur. Selamat datang di markas kami. Kami mohon maaf atas kelancangan dan ketidak sopanan kami mengundang Bapak kemari,” ucap seorang laki-laki seusia Pak Musa yang tiada lain adalah Pak Gandara. Pak Musa sepertinya tidak asing dengan wajah itu namun ia tidak bisa mengingat namanya. Seorang tentara lalu menghampiri dan memeriksa seluruh badan Pak Musa kecuali kaki Pak Musa, dan setelah tahu kalau Pak Musa tidak membawa senjata, tentara itu kemudian kembali ke tempatnya.

“Apa maksud kalian membawa saya kemari?” tanya Pak Musa.

“Tidak enak bicara di luar, lebih baik Bapak istirahat saja dulu di dalam tenda,” sahut Pak Gandara sambil menunjuk sebuah tenda besar dan mempersilahkan Pak Musa untuk menuju tempat itu. Pak Musa lalu digiring menuju tenda besar itu, dan  kemudian ia masuk  ke dalam tenda itu, dan betapa terkejutnya Pak Musa, karena di sana terlihat ada empat orang yang sudah tidak asing lagi baginya. Empat orang itu sedang duduk dengan kondisi tangan terikat. Pak Zaenal sebagai ketua dewan, Mayor Jendral Ferdy, Pak Kamaludin seorang Pangdam serta Pak Wira sebagai seorang Kapolda.

“Kalian ada di sini?” Pak Musa menatap kaget dan mereka pun melirik pada Pak Musa yang berdiri di depan mereka.

“Pak Gubernur?” sahut mereka secara bersamaan dengan wajah penuh tanya.

 “Oo, reoni keluarga rupanya?”  ucapk Pak Gandara yang memasuki tenda sambil tepuk tangan.

 “Apa maksud semua ini?!” Pak Musa bertanya sambil menoleh pada Pak Gandara, ekpresi wajah Pak Musa menampakan kemarahan.

“Maaf. Pak Gubernur. Untuk sementara waktu, Bapak istirahat saja dulu sambil menunggu Pak Presiden datang,” sahut Pak Gandara.

“Pak Presiden? Siapa sebenarnya yang kalian sebut-sebut sebagai Presiden?” Pak Musa kembali bertanya namun Pak Gandara tidak menghiraukannya.

“Sugeng. Tolong lepaskan ikatan mereka. Untuk sementara waktu, biarkan mereka beristirahat, dan perintahkan beberapa tentaramu untuk menyajikan mereka makanan. Saya tahu, tamu kita ini pasti kelaparan,” perintah Pak Gandara pada Pak Sugeng, dan Pak Sugeng langsung melepaskan ikatan keempat tahanan itu. Sementara itu, Pak Gandara terlihat menyalakan sebatang rokok, dan dengan tanpa mempedulikan pertanyaan Pak Musa, ia kemudian keluar meninggalkan tenda.

“Kerja bagus Moza,” ucap Pak Gandara sambil menepuk bahu Moza yang sedang berdiri di depan tenda.

“Terima kasih, Paman,” jawab Moza pendek.

“Kamu mungkin lelah, istirahatlah,” ucap Pak Gandara pada anak angkat kesayangannya itu.

Dan tanpa bicara lagi, Moza kemudian pergi meninggalkan Pak Gandara menuju sebuah tenda. Namun, Moza tidak langsung masuk ke dalam tendanya melainkan menuju sebuah pohon besar yang berada agak jauh dari tendanya. Di samping pohon itu menyala sebuah obor yang apinya menari-nari dibelai angin malam. Moza lalu duduk dan menyandarkan punggungnya pada pohon besar itu. Ia  teringat akan sebuah kalung berlian di sakunya, kalung yang tanpa sengaja ia ambil ketika kalung itu jatuh dari leher seorang gadis yang tadi siang ia jadikan sandera demi mendapatkan Pak Gubernur. Moza mengambil kalung itu dari sakunya lalu menatapnya dengan seksama. Kalung berlian itu terlihat memancarkan cahaya meski hanya diterangi cahaya obor yang mulai samar. Namun, bias pelangi yang ditimbulkanya membuat bola mata Moza enggan berpaling dari keindahannya.

“Indah sekali berlian ini, terlebih lagi orang yang memilikinya. Baru kali ini aku  terkesima oleha seorang perempuan,” gerutu Moza dalam hatinya.  Sungguh wajah perempuan itu masih terbayang-bayang dan menari-nari indah dalam kelopak mata Moza. Zahra memang sosok perempuan yang cantik lagi mempesona. Kecantikan gadis itu seakan-akan mampu menghipnotis siapa saja yang memandangnya termasuk Moza yang beberapa saat terpana dibuatnya ketika memandang wajah cantiknya.

“Kalung ini pasti mahal harganya. Tapi, siapa sebenarnya perempuan itu? Apa benar dia anak Pak Gubernur. Kalau bukan, mengapa dia memanggil ayah pada Pak Gubernur?” Moza menempelkan kepalanya pada pohon besar itu, kaki kananya ia jadikan penopang tangan kanannya yang menjuntai dengan jemari yang tidak berhenti menggerakan berlian itu, sedangkan tangan kiri memegang senjata laras panjang, dan kaki kirinya ia biarkan berselonjor santai. Sembari memandangi berlian itu, ia kembali hanyut dalam lamunannya.

“Sungguh ia adalah pemandangan elok yang pernah aku saksikan. Meski dalam kegentingan, wajah cantik dengan rambut hitam terurai itu tetap bercahaya. Huh,” Moza mendesah, ia lalu bangkit dari duduknya kemudian masuk ke dalam sebuh tenda. Ia merebahkan tubuhnya di sebuh bale-bale yang ada di dalam tenda. Moza mencoba memejamkan matanya namun wajah lelah itu tetap saja tidak mampu menyeretnya ke alam mimpi. Cahaya lilin yang menyala kecil di dalam ruang tenda yang dingin nan sepi seakan menertawakan keadaan Moza yang dilanda gundah gulana oleh sebuah perasaan yang  tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Dinding tenda yang membisu digoyang-goyangkan angin malam seakan-akan menjadi saksi akan kegelisahan pemuda itu, dan malam yang semakin larut ternyata tetap saja tidak mampu melenyapkan perasaannya. Jejak-jejak keletihan yang terpahat jelas di wajahnya kalah oleh pikirannya yang kini sibuk oleh berbagai imajinasi yang terilhami dari wajah perempuan yang baru dilihatnya itu.

Moza baru menyadari, kalau kehampaan yang selama ini meraung-raung seperti seekor singa yang terluka baru saja sedikit terobati oleh sesosok perempuan yang baru dilihatnya itu. Dan kini, wajah elok itu sedikitnya telah menghangatkan hatinya yang beku. Dalam lelah itu ia kembali mencoba memejamkan matanya yang sedang dihiasi oleh beribu imajinasi yang terus bergejolak dalam pikirannya. Namun saat imajinasinya yang melambung tinggi itu mencapai lelahannya, ia pun akhirnya terlelap dalam dekapan malam.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Alya
Interesting to read, waiting for more.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status