Share

BI-LA
BI-LA
Penulis: Maraville_

01. Malam Minggu Nila

"Nila!"

Teriakan itu membuat gadis yang tengah dalam posisi berbaringnya langsung terbangun. "Kenapa Bun? Kok teriak-teriak, Nila kan gak budek."

Bunda langsung menggeleng, mungkin sedikit sebal mendengar jawaban Nila yang semaunya. "Ini malam minggu, kenapa kamu masih di rumah aja?"

"Bun, karna ini malam minggu jadinya Nila di rumah." Nila menjawab sambil kembali berbaring membuat Bunda semakin kesal. "Mending kamu keluar. Jalan-jalan atau nongkrong sama temen kamu."

"Temen yang mana sih, Bun?"

"Temen kamu yang single. Cowok kalau bisa."

"Bunda, Nila bahkan baru seminggu yang lalu jadi 24 tahun."

Bunda langsung mendengus, "Sudah 24 bukannya baru 24."

"Kenapa sih, Bunda selalu nyuruh Nila nikah?"

Nila memandangnya sosok Ibunya dengan bingung. Nila beneran pengen tahu alasan wanita yang paling disayanginya itu berubah cerewet ketika melihat dirinya mendekam di kamar setiap malam minggu.

"Karna kamu emang udah wajib nikah."

"Dih! Kan ada Mas Cakra, Buuuun!" Nila langsung mendapatkan lemparan guling dari pria yang tadi disebutnya. "Mas udah pernah nikah, tau!"

Nila langsung manyun, "Mau kemana? Main cewek ya?"

Bunda Cuma menggeleng melihat kelakuan dua anaknya. "Cakra sekali-kali kamu ajakin adikmu, masa kamu gak punya temen yang bisa dikenalin buat Nila."

"Bunda! Nila gak butuh dikenalin."

Cakra tertawa mendengar permintaan Mamanya, dia juga merasa lucu ketika Nila terdengar merengek seperti barusan. "Gimana Dek, mau ikut Mas Cakra?"

"Ogah! Mas mah statusnya doang duda, mantap mantapnya tiap waktu." Cakra kembali terbahak, dia tak menyangka kalau adik satu-satunya akan selucu ini. "Sok tau!"

"Itu, udah ditungguin Mas Karis sama Mas Satria." Dagu gadis itu menunjuk ke arah pintu kamarnya, dimana dua laki-laki tampan tengah berdiri. "Mas Satria kan udah nikah. Ngapain ikutan sih? Emangnya Mba Kesha gak marah?"

"Kesha jarang marah, makanya dulu hampir Mas Karis nikahi." Nila melotot sementara Satria cuma tersenyum, "Kesha tau kalau lo brengsek, Ris." Nila nyengir, Mas Satria memang paling kalem diantara bertiga tapi omongannya paling nyelekit.

"Mas bersyukur Satria nikah sama Kesha."

"Kenapa gitu, Kra?" Karis memandang Cakra penuh tanya, seingatnya Cakra dulu memang sempat menjauhi Satria tanpa alasan. Tapi, Cakra gak pernah naksir Kesha.

"Dulu si Nila naksir Satria."

Satria terlihat kaget dan memandang Nila tak yakin. "Kamu naksir, Mas?"

Nila mengangguk. Menurutnya, tak perlu malu untuk mengakui perasaannya yang dulu. Lagipula, Satria memang tipe pria yang layak untuk disukai. "Iya, dulu Nila pernah mikir mau nikah sama Mas. Lucu deh."

"Kenapa gak bilang?" Satria terdengar kesal.

"Ha?"

Karis langsung bersuara, suasana barusan cukup terasa canggung. "Udah-udah, mending kita pergi. Gue udah gak sabar mau lihat yang bening-bening."

Nila mendelik, "Dasar, Mas Karis si Penjahat kelamin!"

Tiga lelaki tadi tertawa, bahkan Cakra sempat menawari adiknya untuk ikut. "Mau ikut gak, Dek?"

"Ogah! Nila mendingan tidur daripada ditidurin."

Cakra kembali terbahak dan pergi dari kamar adiknya. Satria masih disana berdiri -mungkin nunggu di usir- sama pemiliknya. "Ngapain Mas? Ketinggalan?"

Satria berdiri dengan muka tegang, "Nila, Mas pernah naksir kamu. Mas juga pernah berkeinginan melamar kamu."

Nila terdiam beberapa saat sebelum tersenyum, "Bukan jodoh kita Mas, sekarang baik-baik ya sama Mba Kesha." Satria jadi ikut tersenyum, "Mas tetep sayang kamu -sebagai adik."

"Oke, nanti kalau uang jajan Nila kurang bisa tambahin kan Mas?"

Satria mendengus, "Tsk!" Pria itu melangkah keluar tapi masih berbicara. "Gaji kamu bahkan lebih besar dari Mas."

Dan Nila tersenyum.

Setidaknya mereka tidak canggung satu sama lain. Fakta jika Satria pernah menyukainya sudah membuat malam minggu Nila tidak seburuk biasanya. "Terima kasih atas perasaannya, Mas."

°°°°°

“Jadi, karna diusir Bunda makanya lo nangkring disini?” Nila memandang Kara dengan tajam. Temannya yang punya panggilan sama kaya merk santan, itu makin bertambah menyebalkan setelah hamil. “Ibu hamil kok disini? Mau nambah suami?”

“Ampun deh! Sebiji doang hasilnya perut gue buncit. Gimana kalau nambah?” Bita yang tadi mengecek keadaan café miliknya langsung menggeleng ketika mendengar ucapan Kara.

“Kamu lagi hamil, Ra. Omongannya dijaga.”

Nila sih, udah ngakak.

Sebenarnya siapapun bakalan mengira jika diantara mereka bertiga yang akan nikah duluan adalah Bita. Gadis ayu itu terlalu mendekati sempurna sebagai seorang perempuan. Jadi, siapa yang tak ingin punya istri seperti Bita?

Tapi, memang tak ada yang bisa menebak bagaimana takdir bergulir. Nyatanya, sosok Kara yang termasuk –pembagi kasih sayang, khususnya untuk lelaki– malah dipersunting oleh Pria mapan bernama Madani Hastungkara.

“Omongan gue udah dijaga. Nafsu suami gue tuh yan–“

Bita langsung menutup mulut Kara dengan gemas, Nila kembali tertawa. Bertemu dengan dua temannya ini memang membuat segala hal yang mengganggu pikirannya langsung lenyap. Dia jadi tak ingat kalau tadi habis diomeli sama Bunda.

Lepwaass!!” Kara berontak dari bekapan Bita membuat temannya membuka bekapan itu.

“Gue jadi ingat sesuatu.”

Nila melirik ke arah Bita, “Kalau lo mau ngomongin soal masalah ranjang kayanya si Bita bakalan nutup mulut lo pakai lakban deh.”

Kara menggeleng, “Gak-gak, serius gue.”

“Ya udah, apa?”

Kara memandang dua temannya dengan tatapan serius, “Kalian jangan bilang siapa-siapa lho, janji?!”

Bita dan Nila mengangguk bersama, “Iya. Apa?”

“Ingat temen kuliah kita yang namanya Biru?”

Bita mengangguk karna mengingat jelas, sosok laki-laki yang termasuk cerdas dan tidak pernah membuat masalah. Sementara Nila malah menggeleng, “Kita punya temen yang namanya warna gitu? Aneh banget.” Tawanya mulai terdengar.

Kara mendengus, “Emangnya nama lo bukan warna?”

Nila langsung kicep, “Ya udah sih, langsung aja keintinya. Nanti gue juga bakalan ingat kalau udah dijelasin beritanya.”

Kara mengangguk. “Dia Gay.”

“…”

“Bercanda ya?”

“Parah! Nyebarin fitnah itu dosa.” Nila langsung meminum air yang ada didepannya, dengerin berita yang masih simpang siur ternyata malah bikin tenggorokan dia kering. Berasa dia yang lagi di gosipin.

“Gue gak fitnah, dia ngaku sendiri.”

Nila melotot, “Sama lo?”

“Sama Mia.”

Bita menggeleng, “Kalau Mia yang ngomong berarti besar kemungkinannya itu benar.” Kara mengangguk, “Iya. Lo kan tau gimana pakem-nya si Mia. Kalau dia bohong mungkin Dunia ganti nama jadi Dunya.”

Nila yang mendengarkan percakapan dua temannya makin bingung, masalahnya dia gak kenal siapa Mia? Dan, kenapa Dunia mesti berubah nama di huruf I yang jadi Y? Kenapa gak Dunia berubah jadi Duniah? Kan Nila jadi pusing.

“Mia siapa sih?” Bita dan Kara langsung menatap Nila dengan tatapan kesal, “Mia itu lho, yang kemarin pas wisuda dapat IPK 3.9 nyaris sempurna banget.”

Oh, tau.” Nila ingat soal salah satu temannya yang mungkin emang tiap hari sarapannya buku, soalnya pinter banget. “Tapi, kok dia bisa tau –maksud gue, emangnya dia kenal Abu?”

Bita menggeleng, “Namanya Biru. Kalau Abu sih, peliharaannya Aladdin.”

Nila tertawa, “Iya, sorry. Maksud gue Biru.”

“Mia kan salah satu orang yang paling deket sama Biru. Dulu, malah pada taunya si Mia itu pacar Biru.” Nila mengangguk paham, “Berarti Mia naksir Biru dong? Bisa aja kalau gosip ini sengaja disebar sama Mia karna Biru gak nerima perasaan dia.”

Bita dan Kara terdiam, mungkin berpikir jika apa yang dikatakan Nila barusan itu masuk akal. Selama ini, semua orang berpikir jika Biru dan Mia pacaran juga karna mereka sering kelihatan berdua. Lebih tepatnya, Mia yang selalu mengikuti kemanapun Biru pergi.

“Tapi, kalau dia beneran Gay malah bagus sih.

Nila tersenyum manis membuat kedua temannya saling berpandangan dengan khawatir.

Nila itu nekat dan sedikit gila, saking nekatnya.

Tbc

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status