Di tempat lain seorang gadis tanpa sedang menangis di dalam kamarnya. Gadis itu sama sekali tidak menyangka jika hari ini dia harus menyaksikan kematian kekasihnya.
"Harusnya gue nggak berantem sama dia. Restu udah bilang kalau hari ini dia tuh banyak kerjaan juga ada kasus yang harus ditangani tapi guenya yang egois. Seandainya aja tadi sore Gue ngikutin kata restu untuk pergi makan bareng dia dan nggak ngambil shift malam mungkin sekarang dia masih hidup."
"Udahlah Mel. Jangan menyalahkan diri sendiri terus kayak gini. Gue tau banget kalau Restu itu cinta mati sama lo. Dan dia bakalan sedih kalau lihat pacarnya kayak gini."
Amelia ... Gadis yang tak lain adalah calon istri dari IPTU Restu menoleh kepada sahabatnya yang bernama Dania.
"Lo nggak ngerti gimana rasanya ada di posisi gue. Seandainya lo yang ngeliat Dimas meninggal dalam kondisi yang mengenaskan gimana perasaan lo? Restu itu meninggalnya nggak wajar! Ada orang yang bunuh dia!" Pekik Amelia dengan keras di sela Isak tangisnya.
Sejak kembali dari kantor polisi untuk dimintai keterangan gadis itu tidak bisa memejamkan mata sama dia merasa tidak tenang apalagi salah satu polisi sempat menanyakan pertanyaan yang menurutnya cukup menyudutkan.
"Apalagi tadi salah satu dari penyidik memberikan pertanyaan seolah-olah gue yang udah bunuh Restu. Lo kan tau gimana cintanya gue sama Restu. Nggak mungkinlah gue mau bunuh dia!"
Dania hanya menghela nafas panjang kemudian menghembuskannya, lalu mengusap pundak sahabatnya itu perlahan.
"Gue paham banget gimana perasaan lo. Gue tahu kok kalau saat ini lo terpukul banget. Tapi ini udah malam Mel. Besok lo pasti bakal dimintain keterangan lagi sama penyidik. Belum lagi keluarga Restu yang datang dari Surabaya. Lo harus menemui mereka," kata Dania.
"Gue nggak tahu mesti ngomong apa sama keluarganya Restu. Ini semua salah gue Dania."
"Stop menyalahkan diri lo sendiri. Bukan lo yang bunuh Restu. Lo hanya ada di tempat kejadian pada saat yang tepat sehingga lo menjadi orang pertama yang menemukan Restu dalam kondisi sudah meninggal dunia Amelia! Letak kesalahannya itu di mana?" seru Dania sedikit kesal.
Gadis itu tahu jika saat ini sahabatnya sedang terguncang. Akan tetapi dia juga tidak bisa membiarkan Amelia terus-menerus menyalahkan dirinya sendiri atas kematian calon suaminya.
Dania tahu jika Amelia dan restu memang terkadang sering kali bertengkar karena sebenarnya Amelia tidak menyetujui jika Restu menjadi aparat kepolisian. Keduanya sudah lama berpacaran sejak masih duduk di bangku SMA. Dan mereka sering kali bertengkar ketika Restu memulai pendidikannya sebagai seorang polisi.
"Seharusnya sejak awal gue nggak ngizinin dia untuk jadi polisi. Lihat, kejadiannya kayak gini. Gue yakin banget kalau pembunuh Restu itu adalah narapidana yang dendam sama dia."
"Gimana lo bisa yakin? Emangnya lo punya bukti apa dan lo curiga sama siapa? Udah deh nggak usah terlalu mikirin dulu hal ini. Yang penting sekarang Lo istirahat dulu dan besok lo harus mempersiapkan diri untuk ketemu sama keluarganya Restu. Keluarga lo sendiri juga datang dari Surabaya kan?" tanya Dania.
Ya, Restu dan Amelia memang sama-sama berasal dari Surabaya. Karena Restu ditugaskan di Jakarta maka Amelia pun mencari pekerjaan di Jakarta. Hal itu semata-mata dia lakukan hanya untuk bisa berdekatan dengan Restu.
Dan tadi dia sudah menerima kabar jika kedua orang tuanya pun akan datang bersama keluarga restu untuk menjemput jenazah calon suaminya itu.
"Tidak ada seorangpun yang tahu kematian akan datangnya kapan Amelia. Termasuk juga lo. Gue yakin kalau keluarganya tahu bakalan kayak gini mereka juga nggak akan pernah mengizinkan restu untuk menjadi seorang polisi. Tapi kita juga tahu gimana keras kepalanya Restu. Sejak dulu dia selalu ingin menjadi polisi seperti Papanya," kata Dania.
Dania adalah sahabat Amelia dan Restu. Hanya saja dia lebih dulu tinggal di kota Jakarta karena keluarga Dania pindah ke Jakarta setelah dirinya tamat SMA.
Dan pada waktu Amelia memutuskan untuk pindah dan bekerja di Jakarta Dania juga yang membantunya mencari pekerjaan.
"Sudahlah Mel sekarang lebih Lo istirahat dulu. Nggak apa-apa cuman satu atau dua jam yang penting lo bisa istirahat bisa tidur."
"Setiap gue merem yang ada di dalam bayangan gue itu mayatnya Restu. Gue nggak tahu sampai kapan bakalan kayak gini, Nia. Itu yang bikin gue nggak bisa tidur. Gue takut dan gue juga merasa sedih," kata Amelia dengan suara bergetar.
Dania menarik nafas panjang, Dia sangat mengerti apa yang saat ini tengah dirasakan oleh sahabatnya itu. Pastilah sangat berat rasanya jika melihat orang yang dicintai terbujur kaku dalam kondisi yang sangat apalagi Dania melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana kondisi Restu ketika ditemukan.
Karena orang yang pertama dihubungi oleh Amelia adalah dirinya sebelum akhirnya mereka berdua melaporkan jenazah restu kepada pengurus apartemen dan kepolisian.
Hening tercipta sesaat kedua gadis itu terdiam masing-masing larut dalam pikirannya sendiri. Hingga pada akhir keheningan itu terpecah karena dering telepon milik Dania yang berbunyi dengan nyaring.
Gadis itu pun langsung menjawab panggilan saat melihat siapa yang sudah menelpon.
"Selamat malam Tante. Amelia ...."
"Iya Tante tahu jika Amelia pasti mematikan ponselnya. Tapi entah kenapa perasaan tante tidak tenang, Dania. Kamu masih ada di rumah kontrakannya Amelia kan? Tolong kamu jaga dia ya. Besok pagi tante dan om akan berangkat ke Jakarta bersama dengan keluarganya Restu. Tadi keluarganya Restu juga sudah memberi kabar jika mereka akan memakamkan Restu di Surabaya. Dan rencananya tante juga akan membawa Amelia pulang Surabaya supaya dia jauh lebih tenang di sini."
Dania menarik nafas panjang, yang menelponnya tidak lain adalah ibu kandung Amelia. Perasaan seorang ibu tentu saja tidak bisa dibohongi. Pastilah saat ini orang tua Amelia juga merasakan kekhawatiran karena putrinya menghadapi masalah yang cukup rumit.
"Tante tenang aja aku di sini jagain Amelia kok. Hanya saja sekarang Amelia tidak bisa tidur karena mungkin masih terbayang dengan jenazahnya Restu," kata Dania.
"Apa Tante bisa bicara dengan Amelia sebentar, Nak?"
Dan dia menoleh ke arah sahabatnya Lalu memberikan isyarat supaya Amelia mau mengangkat telepon. Akan tetapi gadis itu menggelengkan kepalanya perlahan.
"Tante sepertinya Amelia masih tidak bisa diganggu. Dia benar-benar sangat terpukul dengan kematian Restu," ujar Dania.
Terdengar embusan nafas panjang di seberang sana, "ya sudahlah kalau begitu tante titip Amelia pada kamu dulu ya. Besok kita ketemu Dan tolong supaya Amelia juga mempersiapkan pakaiannya untuk dibawa pulang ke Surabaya."
"Kamu nggak lelah, Nak?" tanya Kalina dari bangku taman, suaranya lembut tapi ada nada khawatir di dalamnya.Soraya hanya tertawa, berlari-lari kecil dengan sepasang sandal berbunga yang agak kebesaran. Di tangannya tergenggam boneka kecil buatan sendiri — bukan Bella, tapi mirip, lengkap dengan pita biru muda di lehernya.Rambutnya yang mulai panjang bergoyang seiring gerak lincahnya, dan di wajahnya, untuk pertama kalinya setelah sekian lama ... ada damai.Daru berdiri beberapa meter di belakang Kalina, tangannya menyilangkan lengan di dada. Sorot matanya tak pernah lepas dari Soraya. Ia tersenyum, tipis, tapi sungguh. Meski bayang-bayang masih menyelinap di sudut benaknya, hari ini terasa berbeda. Ringan. Sejuk."Dia mulai bisa tertawa lagi," gumam Kalina pelan, bergeser mendekat ke Daru, lalu menggenggam tangannya. "Mimpi buruknya udah jarang. Malam tadi dia tidur tanpa terbangun sama sekali.""Ku dengar," sahut Daru. "Dan aku bersyukur ..."Ia menatap Soraya yang kini sedang memu
"Kamu serius, Mas?" suara Kalina bergetar di ruang tamu rumah mereka, pagi itu. Soraya duduk di sofa, menggulung kembali kartu gambar yang baru selesai ia kerjakan. Di mejanya, kopi yang belum diminum masih mengepul ringan.Daru menatap kedua wanita yang paling ia sayangi. Mata Kalina penuh tanya, sesekali berkaca, sementara Soraya menanti dengan harapan di wajah polosnya."Aku akan mundur," kata Daru pelan. "Dari kepolisian. Aku … aku ingin jadi penyelidik independen."Kalina mengerutkan alis. "Mundur? Di tengah momentum? Setelah semua yang Mas sudah lakukan?""Justru karena itu," jawab Daru tegas. "Karena sekarang aku mengerti ... kalau hanya berhenti di ranah institusi, seringkali keadilan masih bisa dibungkam. Aku nggak bisa lagi jadi bagian dari sistem yang sama."Soraya menatap Daru. "Papa ... maksudnya Papa tidak jadi polisi lagi?"Daru tersenyum lembut. "Iya, Nak. Tapi Papa masih akan menyelidiki kejahatan untuk orang-orang yang nggak punya suara."Soraya menatap Papanya lama,
"Kau menaruh ini di sini?" suara Kalina meninggi, menggema di halaman belakang rumah. Tangannya menunjuk ke arah kursi taman tua yang berada di bawah pohon mangga.Daru menyipitkan mata, berjalan mendekat. Di kursi itu, tergeletak sebuah boneka lusuh—Bella. Boneka itu duduk diam, punggungnya bersandar ke sandaran kayu, kedua tangannya jatuh ke sisi tubuh, dan kepalanya sedikit menunduk seolah sedang tidur.Namun, yang paling mencolok adalah matanya. Dua lubang hitam kosong, tanpa cahaya, tanpa nyawa. Tak ada kilatan merah. Tak ada gerakan. Hanya kehampaan."Bukan aku," gumam Daru akhirnya. Ia mengulurkan tangan, menyentuh kain boneka itu. Dingin. Kaku. Seperti ... benda mati pada umumnya."Aku tadi pagi nyapu halaman. Nggak ada apa-apa. Tiba-tiba pas keluar bareng Soraya, boneka ini sudah di situ. Duduk manis kayak baru pulang dari sekolah." Kalina menahan napas. "Mas ... aku takut."Daru menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. "Bawa Soraya ke dalam. Kunci semua pintu. Biar
"Kau yakin nggak mau ikut ke upacara resmi?" tanya Yudistira dari balik kemudi, matanya melirik Daru lewat kaca spion dalam.Daru duduk di kursi penumpang belakang mobil dinas, menatap keluar jendela. Matanya sayu, tidak karena lelah fisik, tapi karena beban yang tak bisa dijelaskan."Aku sudah cukup berdiri di bawah sorotan. Saatnya kalian yang maju.""Tapi kau yang mulai semua ini, Dar. Tanpa kau, kita masih kerja di balik layar sambil terus ketakutan. Sekarang ... semua gembong narkoba, jaringan korupsi, bahkan pejabat bayangan sudah jatuh. IRJEN Gunawan mungkin mati dengan cara yang aneh, tapi dampaknya nyata.""Justru karena itu," gumam Daru. "Aku nggak ingin semua keberhasilan itu diikatkan pada satu orang. Apalagi orang sepertiku."Yudistira menghela napas. "Kau masih merasa bersalah soal Bella?"Daru tak menjawab, tapi jemarinya yang mengepal di pangkuan cukup jadi jawaban.***Jakarta berubah. Bukan jadi kota yang suci—itu tidak pernah mungkin tapi seiring bergugurannya para
"Kita tidak bisa menahan dia di sini lebih lama, Daru. Polisi militer sudah mengendus lokasi ini. Kalau mereka datang dan menemukan IRJEN terikat di ruang bawah tanah, kita semua tamat." Suara Yudistira terdengar tegas, tapi nadanya menahan cemas.Daru berdiri menatap pintu besi di ujung lorong bawah tanah. Lampu di atasnya berpendar redup. Aldo sedang memantau jalur komunikasi dari laptopnya, headset menggantung di telinga."Sebentar lagi," ujar Daru pelan. "Ku rasa ... belum selesai.""Apa maksudmu belum selesai? Kita sudah menyiarkan pengakuannya ke seluruh negeri. Kita punya jejak digital. Kita punya saksi.""Tapi dia belum diadili oleh yang seharusnya."Yudistira menatap Daru tajam. "Jangan bilang kamu menunggu Bella."Daru tidak menjawab tapi sorot matanya cukup sebagai jawaban.Sementara di ruangan sempit itu, IRJEN duduk sendirian. Kepalanya tertunduk, napasnya berat. Tak ada lagi senyum sinis atau ejekan. Hanya peluh dingin dan tatapan kosong ke lantai.Suhu udara tiba-tiba t
"Kau sedang apa? Membuat teater moral di ruang lembab ini?" suara IRJEN Gunawan parau, setengah mengejek, terdengar memantul dari dinding batu.Daru berdiri membelakangi satu-satunya lampu yang tergantung di langit-langit ruang bawah tanah vila. Sinar kuningnya jatuh tepat ke wajah IRJEN Gunawan yang duduk terikat di kursi besi. Wajah tua itu bengkak, darah kering menempel di pelipis dan sudut bibirnya tapi tatapannya ... masih congkak."Aku cuma mau mendengar kau bicara. Dengan jujur untuk sekali saja dalam hidupmu."IRJEN tertawa pendek. "Jujur? Kepada siapa? Kepadamu? Kepada negara yang membiarkan tikus-tikus macam aku naik pangkat? Kepada rakyat yang cuma bisa menggonggong di layar komentar?""Kepada dirimu sendiri. Karena sebentar lagi, semua yang kau katakan akan didengar oleh jutaan orang."IRJEN Gunawan mendongak, senyumnya melebar. "Rekaman? Kamera? Itu semua bisa disangkal. Bukti bisa dibakar. Saksi bisa dibungkam. Kau tahu itu, Daru. Kau lebih tahu dari siapa pun."Daru men