"Tidak ada hantu yang bisa membunuh manusia, Dan. Saya pribadi tidak percaya dengan hal-hal semacam itu. Apalagi penyebab kematian sudah pasti karena senjata tajam. Di pelakunya manusia seperti kita. Hanya saja ini kan tugas kalian sebagai seorang polisi untuk mengungkap bagaimana pembunuhan ini terjadi. Kalau saya sih hanya dokter forensik yang membantu kalian untuk menemukan bagaimana cara korban dibunuh dengan senjata apa hanya itu saja selebihnya ya kembali lagi kepada kalian selaku aparat kepolisian,"kata dokter Anastasia dengan tegas.
Daru dan Yudistira tidak menjawab. Kedua polisi itu saling berpandangan sebelum akhirnya mengembuskan napas panjang.
"Apa ada lagi yang kalian perlukan atau ingin ditanyakan kepada saya? Jika tidak ada saya akan melaporkan hasil lengkapnya dalam waktu dua kali dua puluh empat jam."
Daru hanya menggelengkan kepalanya dengan lemah lalu menjawab pertanyaan dokter Anastasia, "tidak dokter. Kami menunggu hasil autopsi saja,"ujar Romi mengakhiri tanya jawabnya dengan dokter Anastasia.
"Baiklah kalau begitu dalam waktu 2 hari laporan hasil autopsinya bisa keluar. Sebenarnya ini pekerjaan lembur yang kalian berikan kepadaku. Atasan Anda sepertinya sudah tidak sabar untuk menemukan pelaku pembunuhan dari 2 anak buahnya yang sudah tewas terbunuh," kata dokter Anastasia.
Komjen Polisi Gunawan yang merupakan atasan dari Daru memang menginginkan supaya kasus ini cepat dituntaskan karena aparat kepolisian yang menjadi korban adalah polisi-polisi terbaik.
IPTU Restu dan IPTU Anwar sudah banyak juga memecahkan kasus-kasus bahkan keduanya pun akan naik pangkat bulan depan.
"Pak Gunawan memang sangat kesal dengan kematian itu Restu dan juga iptu Anwar. Mereka adalah putra-putra terbaik di kesatuan kami bahkan keduanya juga akan naik pangkat bulan depan. Bahkan itu Restu beberapa bulan lagi akan menikah."
Dokter Anastasia mengangguk sebagai responnya atas ucapan baru. Sementara di pintu tampak Yudistira melongkan kepalanya ke ruang penyimpanan. Iya tidak berminat untuk masuk kembali ke ruangan jenazah. Wajah komisaris polisi itu sudah memerah. Meskipun pangkatnya sudah komisaris polisi, akan tetapi Yudistira memang paling tidak bisa melihat jenazah dan darah berlama-lama.
Melihat wajah Yudistira yang sudah memucat, Daru memutuskan untuk mengakhiri saja perbincangannya dengan dokter Anastasia. Dia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan dokter cantik itu dan berucap bahwa jenazah itu Restu akan dikembalikan kepada keluarganya pada siang hari nanti.
Sementara Yudistira hanya melambaikan tangannya kepada dokter Anastasia yang masih berada di dalam ruang jenazah. Yudistira benar-benar sudah tidak kuat melihat jenazah rekan kerjanya itu lagi.
"Kamu itu pangkat sudah komisaris polisi tapi melihat jenazah masih saja seperti itu," omel Daru kepada Yudistira.
"Maafkan saya komandan. Saya lebih baik disuruh berkelahi dengan preman-preman pasar atau juga penjahat daripada disuruh lihat jenazah atau darah. Saya bisa-bisa tidak makan seminggu," jawab Yudistira.
"Ya sudahlah kita ke TKP sekarang. Saya penasaran ingin melihat seperti apa TKP-nya."
"Apa tidak bisa besok pagi saja komandan?"
Daru menggelengkan kepalanya perlahan lalu berkata, "Kamu sudah menelpon malam-malam. Jadi selesaikan sekarang, aku tidak mau menunda."
Yudistira hanya menahan tawa kemudian ia pun berjalan mengikuti langkah komandannya itu.
Dengan menggunakan mobil pribadi baru mereka berangkat menuju TKP yaitu apartemen IPTU Restu.
IPTU Restu memang tinggal di apartemen. Polisi muda berusia 28 tahun itu baru beberapa bulan bertugas di kesatuan mereka. Dan dia juga Tengah menyelesaikan kuliahnya S2nya di Universitas Indonesia. Dan yang Daru tahu keluarga IPTU Restu adalah orang yang cukup berada.
Mereka tinggal di Surabaya. Dan menurut Kompol Yudistira besok pagi mereka akan datang dengan penerbangan pertama ke Jakarta untuk menjemput jenazah anak mereka.
Jarak dari rumah sakit ke apartemen tidaklah memakan waktu yang lama apalagi di malam hari seperti ini. Hanya dalam waktu 20 menit saja mereka sudah sampai di apartemen IPTU Restu.
Seperti yang dikatakan oleh Yudistira, tidak ada kerusakan di pintu. Sepertinya memang pelaku masuk ketika pintu sudah dibukakan oleh korban. Di dalam apartemen sendiri juga tidak ada hal-hal yang mencurigakan. Tidak ada barang-barang yang berantakan atau juga yang hilang.
"Tim IT sedang memeriksa ponsel milik IPTU. Barangkali ada hal-hal yang bisa menjadi titik terang apabila ponsel korban diperiksa."
"Semoga saja ada hasil. Tapi setahuku, Restu itu tidak terlalu banyak bicara. Kerjanya juga cukup bagus, bahkan juga gesit," kata Daru.
"Betul sekali Komandan. Tapi yang namanya manusia bisa saja memiliki masalah pribadi di luaran. Mungkin ada orang yang tidak suka kepada korban sehingga memutuskan untuk menghabisi nyawanya."
"Apa tidak ada hal yang aneh di CCTV? Kalian semua sudah memeriksa CCTV kan? Apa ada yang mengunjungi Restu sebelum kekasihnya datang?" tanya Daru.
Yudistira menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya dengan kasar. Tampak dari wajah lelaki itu jika saat ini dia sedang benar-benar merasa kelelahan.
"Inilah yang aneh komandan. Dari rekaman CCTV yang sudah kami periksa sebelum mengabari komandan ... Tidak ada tamu yang datang mengunjungi IPTU Restu sebelum kekasihnya yang bernama Amelia itu datang. Kalau memang pembunuh itu manusia, berarti dia masuk melalui jalan yang lain? Tapi lewat mana? Kamar IPTU Restu ini berada di lantai delapan. Memangnya ada orang yang mau bersusah payah memanjat dinding seperti spiderman?"
Daru hanya bisa mengusap wajahnya dengan kasar. Lelaki bertubuh tinggi itu pun merasa sangat kebingungan sekarang. Kasus yang saat ini mereka hadapi benar-benar menemukan jalan buntu.
"Apakah ada petunjuk dari pembunuhan itu Anwar? Jika IPTU Restu ditemukan meninggal dalam ruangan tertutup, IPTU Anwar kan di tempat terbuka. Apakah tidak ada saksi sama sekali? Kalian sudah memeriksanya? Tempat ditemukannya jenazah Anwar itu kalo malam tidak bisa dibilang sepi. Masa tidak ada saksi sama sekali," kata Daru kesal.
"Kenyataannya memang seperti itu komandan. Tidak ada saksi sama sekali yang melihat orang-orang yang mencurigakan."
"Sial! Ya sudahlah kalau begitu. Sekarang aku mau bertemu dengan Amelia. Apakah sekarang dia masih ada di kantor?"
"Setahu saya dia tadi sudah pulang diantarkan oleh petugas ke rumah kontrakannya. Sepertinya Amelia syok dengan kematian tunangannya itu. Kalau saya jadi dia juga pasti akan kaget, apalagi sebelumnya sempat berkomunikasi meskipun hanya lewat chat," ujar Yudistira.
Daru menghela napas panjang, "kalau begitu besok panggil dia kembali untuk diperiksa. Atau biar kita datangi saja ke rumah kontrakannya. Sekarang kita ke kantor saja. Kasihan istriku jika harus membukakan pintu jam segini," ujarnya.
"Siap Komandan. Biar saya temani Komandan," sahut Yudistira dengan semangat.
"Kamu itu kok semangat sekali kelihatannya."
Yudistira hanya terkekeh lalu menjawab, "Sudah lama saya ingin bekerja sama dengan komandan dalam menyelesaikan kasus. Tapi baru kali ini bisa kesampaian."
BAB 17. ANCAMAN DARI ATASHujan tak kunjung reda sejak siang. Di luar jendela, kilatan petir menyambar langit malam, menyibak awan hitam seperti luka lama yang dipaksa terbuka. Suara rintik hujan beradu dengan genting markas kepolisian, menciptakan irama yang tak nyaman seperti detak jantung yang dipercepat rasa curiga.Daru berdiri di depan pintu kayu bertuliskan “KAPOLDA”. Jemarinya mengepal, menggenggam erat sisa-sisa kepercayaan dirinya yang terkikis. Panggilan mendadak dari IRJEN Gunawan datang tanpa aba-aba, hanya sepucuk memo rahasia dengan cap merah. PRIORITAS TINGGI.Ia mengetuk dua kali. Suara berat dari dalam menjawab, "Masuk."Ruangan itu gelap, hanya diterangi satu lampu meja yang nyalanya diredupkan. Aroma tembakau mengendap di udara, bercampur bau kayu tua dan kertas basah. IRJEN Gunawan duduk di balik meja, tubuhnya tegap seperti patung batu. Matanya tajam mengawasi Daru, tak menyembunyikan kesan bahwa pertemuan ini bukan sekadar tegur sapa antar atasan dan bawahan.“D
BAB 16. SORAYA DAN BELLAPagi itu langit mendung, seperti menggantungkan awan kelabu tepat di atas atap rumah mereka. Udara terasa lembap dan dingin, menyusup ke tulang-tulang, membuat suasana semakin muram.Kalina berdiri di depan kamar Soraya dengan segelas susu hangat di tangan. Ia baru saja selesai merapikan dapur ketika suara pelan seperti gumaman menyelinap keluar dari balik pintu yang sedikit terbuka.“.... Aké selowé .... anem-laa .... kuré .... kuré ....”Kalina menegang. Suara itu terdengar lirih, seperti nyanyian atau bisikan. Tapi bukan suara lagu anak-anak, bukan pula bahasa yang pernah ia ajarkan pada Soraya. Langkahnya pelan saat ia mendekat, menempelkan telinga ke daun pintu.“Bella, bilangin Om Kurir jangan marah ya, nanti Soraya takut.”Kalina menggenggam gelas lebih erat. Tangannya gemetar. Ia mendorong pintu dengan perlahan. Engsel tua itu mengeluarkan bunyi berderit samar.Soraya duduk di lantai dengan posisi bersila, menghadap boneka Bella yang ia letakkan di ata
BAB 15. GANGGUAN TENGAH MALAMSuara tawa itu datang tiba-tiba, memecah keheningan rumah yang nyaris beku oleh dingin malam.Mbok Inah terbangun dari tidurnya. Jantungnya berdebar keras. Sekilas ia pikir hanya suara dari mimpi buruk yang terbawa ke alam nyata. Tapi tidak. Itu nyata. Terdengar jelas. Lirih dan mengerikan.Tawa anak kecil.Bukan tawa riang seperti biasanya, tapi tawa pelan yang mengandung nada sumbang seperti sedang mengejek, atau menyimpan kebencian. Ia duduk tegak di atas dipan kecilnya di dapur belakang, matanya menatap ke arah lorong gelap yang mengarah ke kamar Soraya.Perasaan tidak enak langsung merayapi sekujur tubuhnya. Mbok Inah mengambil senter kecil dari bawah bantal. Langkahnya pelan, tapi gemetar. Ia meniti ubin satu demi satu, suara detak jantungnya seakan lebih keras daripada langkah kakinya.Saat tiba di depan kamar Soraya, suara itu menghilang. Yang tersisa hanya desau angin dari jendela yang sedikit terbuka.Mbok Inah mendorong pintu dengan pelan.Sor
Hujan deras menyelimuti Jakarta malam itu, menyapu jalanan yang lengang dengan suara berirama. Di sebuah rumah susun kumuh di daerah Tanjung Priok, lampu koridor berkedip-kedip, menciptakan bayangan panjang yang menari-nari di sepanjang dinding berlumut.Seorang pria paruh baya tergeletak di lantai ruang tamunya sendiri. Mulutnya terbuka lebar seolah hendak berteriak, tapi tak pernah berhasil. Lehernya teriris bersih, darah mengering di lantai. Tubuhnya masih dalam posisi sujud. Di meja kecil dekat jenazah, hanya ada secarik potongan benang berwarna pink.Daru berdiri di tengah ruangan dengan tubuh kaku dan wajah muram. Yudistira berdiri di sampingnya, sama pucatnya."Tatang Salim. Mantan sopir pengantar logistik. Saksi kunci kasus narkoba lima tahun lalu," kata Yudistira perlahan.Daru mengangguk tanpa suara. Tubuhnya tegang. Tatang adalah satu dari sedikit orang yang tahu tentang rantai pasokan narkoba dari gudang fiktif di Marunda. Ia yang dulu sempat membocorkan jalur pengiriman r
Daru memandangi papan tulis putih yang penuh dengan catatan merah dan foto-foto korban. Di ruang penyelidikan khusus yang kini hanya diisi oleh dua orang penyidik tua dan tumpukan berkas, ia merasa kembali ke masa lalu. Pekerjaan yang dulu ia jalani dengan keyakinan mutlak kini menjadi labirin tak berujung dan boneka itu, Bella, berada di tengah-tengahnya.“Apa kau yakin pembunuhan-pembunuhan ini berkaitan dengan kasus lama?” tanya Kompol Hendra, salah satu senior yang dulu pernah membimbing Daru.Daru mengangguk pelan. “Polanya mirip, Pak. Luka-luka aneh, tidak ada saksi, dan ... bau terbakar samar di TKP. Sama seperti di penggerebekan narkoba lima tahun lalu.”Kompol Hendra menyandarkan tubuhnya. Napasnya berat. “Kasus itu ... terlalu banyak yang ditutupi. Termasuk soal salah satu kurir yang kabur malam itu.”“Kurir yang kecelakaan?” potong Daru cepat.“Iya. Namanya Bayu Darmawan. Masih muda. Saat tertangkap kamera CCTV terakhir, dia memegang sesuatu ... seperti boneka.”Daru bergid
Bab 12. Pengantar TerakhirFlashbackGerimis membasahi aspal yang sudah mengilap sejak siang. Angin sore menggiring aroma tanah basah bercampur asap knalpot dari jalan raya utama. Di antara puluhan kendaraan yang lalu-lalang, sebuah motor bebek tua melaju pelan, sesekali goyah diterpa angin.Di atasnya, seorang pemuda kurir berjaket lusuh dengan logo jasa pengiriman "Satria Express" menatap jalan di depannya dengan mata sayu.Namanya Bayu, dua puluh lima tahun. Tubuhnya kurus, wajah tirus, dan kulit legam khas anak jalanan yang terbiasa diterpa matahari. Ia baru dua bulan bekerja sebagai kurir lepas. Gaji kecil, kerja berat, tapi cukup untuk menyambung hidup bersama istrinya, Ratih, dan anak perempuannya yang baru menginjak usia lima tahun. Hari ini, ulang tahun si kecil.Di dalam tas pengiriman berwarna biru yang tergantung di belakang motornya, terdapat satu paket khusus tanpa label pengirim, hanya alamat tujuan dan tulisan besar merah VIP - URGENT. Bayu sempat bertanya kepada petug
Pagi itu, langit Jakarta diselimuti awan kelabu, seakan mencerminkan perasaan berat yang bergelayut di hati Kalina. Ia duduk di teras rumah, memandangi halaman kecil yang basah oleh hujan semalam. Boneka Bella lama yang kini disimpan di lemari terkunci terus menghantui pikirannya.Tak jauh dari pagar, Bu Saroh, tetangga tua mereka, sedang menyapu halaman dengan gerakan pelan. Kalina, yang biasanya hanya bertegur sapa seadanya, kali ini merasa terdorong untuk mendekat."Bu Saroh," sapa Kalina sambil tersenyum sopan.Wanita tua itu menoleh, senyumnya ramah. "Eh, Bu Kalina. Ada apa, nak?"Kalina ragu sejenak sebelum mengeluarkan ponsel dari saku, memperlihatkan foto boneka Bella."Bu, ibu pernah lihat boneka kayak gini?"Begitu matanya menangkap gambar itu, wajah Bu Saroh berubah. Senyumnya memudar, dan sapunya terhenti di tengah udara."Astaghfirullah," bisiknya, suaranya gemetar. "Buang aja, Bu. Jangan dipelihara boneka kayak begitu."Kalina menelan ludah. "Ibu tahu sesuatu?"Bu Saroh
Ketukan itu masih terngiang di telinga Daru saat ia memandangi boneka yang kini tergeletak di meja kerjanya. Boneka bergaun pink lusuh itu menatap kosong ke arah langit-langit, seolah mengabaikan dunia di sekitarnya.Di luar, angin malam menggerakkan tirai jendela dengan suara berdesir pelan. Rumah itu, yang biasanya terasa hangat, kini seperti menjadi sarang bisikan yang tak kasatmata.Kalina mengetuk pelan pintu kamar kerja. "Mas ... kamu baik-baik saja?"Daru menoleh. "Aku baik," jawabnya pendek. Ia tak ingin Kalina tahu betapa rapuhnya dirinya saat ini.Kalina masuk, membawa secangkir teh hangat. Ia menatap boneka itu dengan sorot takut. "Itu boneka yang kamu bawa dari kantor, kan?"Daru mengangguk. Ia menarik napas panjang, menimbang-nimbang, lalu berkata, "Aku ingin cari tahu dari mana asalnya."Kalina tampak berpikir sejenak. "Besok, aku bisa tanya ke beberapa toko mainan di sekitar sini. Mungkin ada yang pernah lihat."Daru tersenyum tipis. "Hati-hati. Jangan bilang apa-apa so
Mobil hitam yang mereka naiki melaju perlahan membelah jalanan basah Jakarta. Hujan baru saja reda, meninggalkan jejak air di sepanjang trotoar. Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya keemasan yang buram di atas aspal.Daru menatap kosong ke luar jendela, pikirannya melayang pada boneka yang kini tergeletak diam di dalam kantong bukti. Semakin ia menatapnya tadi, semakin ia merasa boneka itu ... mengamati mereka."Komandan, kamu yakin ini bukan cuma perasaan kita?" suara Yudistira memecah keheningan. Ia memandang Daru dari kursi kemudi dengan sorot mata khawatir.Daru menghela napas panjang, matanya masih tak lepas dari jendela. "Aku berharap begitu. Tapi ada sesuatu yang salah, Yudis. Sangat salah.""Boneka itu ...." Yudistira menggantungkan kalimatnya. "Aku pernah dengar cerita. Dulu, waktu kecil, nenekku suka bercerita tentang benda-benda yang bisa jadi perantara. Medium."Daru menoleh, tertarik. "Perantara apa?""Perantara roh. Atau lebih buruk lagi, dendam," kata Yudistira lirih.S