Home / Horor / BONEKA KEMATIAN / TIDAK ADA HANTU

Share

TIDAK ADA HANTU

Author: Alya Snitzky
last update Last Updated: 2025-03-13 13:06:20

"Tidak ada hantu yang bisa membunuh manusia, Dan. Saya pribadi tidak percaya dengan hal-hal semacam itu. Apalagi penyebab kematian sudah pasti karena senjata tajam. Di pelakunya manusia seperti kita. Hanya saja ini kan tugas kalian sebagai seorang polisi untuk mengungkap bagaimana pembunuhan ini terjadi. Kalau saya sih hanya dokter forensik yang membantu kalian untuk menemukan bagaimana cara korban dibunuh dengan senjata apa hanya itu saja selebihnya ya kembali lagi kepada kalian selaku aparat kepolisian,"kata  dokter Anastasia dengan tegas. 

Daru dan Yudistira tidak menjawab. Kedua polisi itu saling berpandangan sebelum akhirnya mengembuskan napas panjang. 

"Apa ada lagi yang kalian perlukan atau ingin ditanyakan kepada saya? Jika tidak ada saya akan melaporkan hasil lengkapnya dalam waktu dua kali dua puluh empat jam."

Daru hanya menggelengkan kepalanya dengan lemah lalu menjawab pertanyaan dokter Anastasia, "tidak dokter. Kami menunggu hasil autopsi saja,"ujar Romi mengakhiri tanya jawabnya dengan dokter Anastasia. 

"Baiklah kalau begitu dalam waktu 2 hari laporan hasil autopsinya bisa keluar. Sebenarnya ini pekerjaan lembur yang kalian berikan kepadaku. Atasan Anda sepertinya sudah tidak sabar untuk menemukan pelaku pembunuhan dari 2 anak buahnya yang sudah tewas terbunuh," kata dokter Anastasia. 

Komjen Polisi Gunawan yang merupakan atasan dari Daru memang menginginkan supaya kasus ini cepat dituntaskan karena aparat kepolisian yang menjadi korban adalah polisi-polisi terbaik. 

IPTU Restu dan IPTU Anwar sudah banyak juga memecahkan kasus-kasus bahkan keduanya pun akan naik pangkat bulan depan. 

"Pak Gunawan memang sangat kesal dengan kematian itu Restu dan juga iptu Anwar. Mereka adalah putra-putra terbaik di kesatuan kami bahkan keduanya juga akan naik pangkat bulan depan. Bahkan itu Restu beberapa bulan lagi akan menikah."

Dokter Anastasia mengangguk sebagai responnya atas ucapan baru. Sementara di pintu tampak Yudistira melongkan kepalanya ke ruang penyimpanan. Iya tidak berminat untuk masuk kembali ke ruangan jenazah. Wajah komisaris polisi itu sudah memerah. Meskipun pangkatnya sudah komisaris polisi, akan tetapi Yudistira memang paling tidak bisa melihat jenazah dan darah berlama-lama. 

Melihat wajah Yudistira yang sudah memucat, Daru memutuskan untuk mengakhiri saja perbincangannya dengan dokter Anastasia. Dia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan dokter cantik itu dan berucap bahwa jenazah itu Restu akan dikembalikan kepada keluarganya pada  siang hari nanti.

Sementara Yudistira hanya melambaikan tangannya kepada dokter Anastasia yang masih berada di dalam ruang jenazah. Yudistira benar-benar sudah tidak kuat melihat jenazah rekan kerjanya itu lagi. 

"Kamu itu pangkat sudah komisaris polisi tapi melihat jenazah masih saja seperti itu," omel Daru kepada Yudistira.

"Maafkan saya komandan. Saya lebih baik disuruh berkelahi dengan preman-preman pasar atau juga penjahat daripada disuruh lihat jenazah atau darah. Saya bisa-bisa tidak makan seminggu," jawab Yudistira. 

"Ya sudahlah kita ke TKP sekarang. Saya penasaran ingin melihat seperti apa TKP-nya."

"Apa tidak bisa besok pagi saja komandan?" 

Daru menggelengkan kepalanya perlahan lalu berkata, "Kamu sudah menelpon malam-malam. Jadi selesaikan sekarang, aku tidak mau menunda."

Yudistira hanya menahan tawa kemudian ia pun berjalan mengikuti langkah komandannya itu. 

Dengan menggunakan mobil pribadi baru mereka berangkat menuju TKP yaitu apartemen IPTU Restu. 

IPTU Restu memang tinggal di apartemen. Polisi muda  berusia 28 tahun itu baru beberapa bulan bertugas di kesatuan mereka. Dan dia juga Tengah menyelesaikan kuliahnya S2nya di Universitas Indonesia. Dan yang Daru tahu keluarga IPTU Restu adalah orang yang cukup berada.

Mereka tinggal di Surabaya. Dan menurut Kompol Yudistira besok pagi mereka akan datang dengan penerbangan pertama ke Jakarta untuk menjemput jenazah anak mereka. 

Jarak dari rumah sakit ke apartemen tidaklah memakan waktu yang lama apalagi di malam hari seperti ini. Hanya dalam waktu 20 menit saja mereka sudah sampai di apartemen IPTU Restu.

Seperti yang dikatakan oleh Yudistira, tidak ada kerusakan di pintu. Sepertinya memang pelaku masuk ketika pintu sudah dibukakan oleh korban. Di dalam apartemen sendiri juga tidak ada hal-hal yang mencurigakan. Tidak ada barang-barang yang berantakan atau juga yang hilang. 

"Tim IT sedang memeriksa ponsel milik IPTU. Barangkali ada hal-hal yang bisa menjadi titik terang apabila ponsel korban diperiksa."

"Semoga saja ada hasil. Tapi setahuku, Restu itu tidak terlalu banyak bicara. Kerjanya juga cukup bagus, bahkan juga gesit," kata Daru.

"Betul sekali Komandan. Tapi yang namanya manusia bisa saja memiliki masalah pribadi di luaran. Mungkin ada orang yang tidak suka kepada korban sehingga memutuskan untuk menghabisi nyawanya."

"Apa tidak ada hal yang aneh di CCTV? Kalian semua sudah memeriksa CCTV kan? Apa ada yang mengunjungi Restu sebelum kekasihnya datang?" tanya Daru.

Yudistira menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya dengan kasar. Tampak dari wajah lelaki itu jika saat ini dia sedang benar-benar merasa kelelahan. 

"Inilah yang aneh komandan. Dari rekaman CCTV yang sudah kami periksa sebelum mengabari komandan ... Tidak ada tamu yang datang mengunjungi IPTU Restu sebelum kekasihnya yang bernama Amelia itu datang. Kalau memang pembunuh itu manusia, berarti dia masuk melalui jalan yang lain? Tapi lewat mana? Kamar IPTU Restu ini berada di lantai delapan. Memangnya ada orang yang mau bersusah payah memanjat dinding seperti spiderman?"

Daru hanya bisa mengusap wajahnya dengan kasar. Lelaki bertubuh tinggi itu pun merasa sangat kebingungan sekarang. Kasus yang saat ini mereka hadapi benar-benar menemukan jalan buntu. 

"Apakah ada petunjuk dari pembunuhan itu Anwar? Jika IPTU Restu ditemukan meninggal dalam ruangan tertutup, IPTU Anwar kan di tempat terbuka. Apakah tidak ada saksi sama sekali? Kalian sudah memeriksanya? Tempat ditemukannya jenazah Anwar itu kalo malam tidak bisa dibilang sepi. Masa tidak ada saksi sama sekali," kata Daru kesal.

"Kenyataannya memang seperti itu komandan. Tidak ada saksi sama sekali yang melihat orang-orang yang mencurigakan."

"Sial! Ya sudahlah kalau begitu. Sekarang aku mau bertemu dengan Amelia. Apakah sekarang dia masih ada di kantor?" 

"Setahu saya dia tadi sudah pulang diantarkan oleh petugas ke rumah kontrakannya. Sepertinya Amelia syok dengan kematian tunangannya itu. Kalau saya jadi dia juga pasti akan kaget, apalagi sebelumnya sempat berkomunikasi meskipun hanya lewat chat," ujar Yudistira.

Daru menghela napas panjang, "kalau begitu besok panggil dia kembali untuk diperiksa. Atau biar kita datangi saja ke rumah kontrakannya. Sekarang kita ke kantor saja. Kasihan istriku jika harus membukakan pintu jam segini," ujarnya.

"Siap Komandan. Biar saya temani Komandan," sahut Yudistira dengan semangat. 

"Kamu itu kok semangat sekali kelihatannya."

Yudistira hanya terkekeh lalu menjawab, "Sudah lama saya ingin bekerja sama dengan komandan dalam menyelesaikan kasus. Tapi baru kali ini bisa kesampaian."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BONEKA KEMATIAN   KEDAMAIAN

    "Kamu nggak lelah, Nak?" tanya Kalina dari bangku taman, suaranya lembut tapi ada nada khawatir di dalamnya.Soraya hanya tertawa, berlari-lari kecil dengan sepasang sandal berbunga yang agak kebesaran. Di tangannya tergenggam boneka kecil buatan sendiri — bukan Bella, tapi mirip, lengkap dengan pita biru muda di lehernya.Rambutnya yang mulai panjang bergoyang seiring gerak lincahnya, dan di wajahnya, untuk pertama kalinya setelah sekian lama ... ada damai.Daru berdiri beberapa meter di belakang Kalina, tangannya menyilangkan lengan di dada. Sorot matanya tak pernah lepas dari Soraya. Ia tersenyum, tipis, tapi sungguh. Meski bayang-bayang masih menyelinap di sudut benaknya, hari ini terasa berbeda. Ringan. Sejuk."Dia mulai bisa tertawa lagi," gumam Kalina pelan, bergeser mendekat ke Daru, lalu menggenggam tangannya. "Mimpi buruknya udah jarang. Malam tadi dia tidur tanpa terbangun sama sekali.""Ku dengar," sahut Daru. "Dan aku bersyukur ..."Ia menatap Soraya yang kini sedang memu

  • BONEKA KEMATIAN   JALAN BARU

    "Kamu serius, Mas?" suara Kalina bergetar di ruang tamu rumah mereka, pagi itu. Soraya duduk di sofa, menggulung kembali kartu gambar yang baru selesai ia kerjakan. Di mejanya, kopi yang belum diminum masih mengepul ringan.Daru menatap kedua wanita yang paling ia sayangi. Mata Kalina penuh tanya, sesekali berkaca, sementara Soraya menanti dengan harapan di wajah polosnya."Aku akan mundur," kata Daru pelan. "Dari kepolisian. Aku … aku ingin jadi penyelidik independen."Kalina mengerutkan alis. "Mundur? Di tengah momentum? Setelah semua yang Mas sudah lakukan?""Justru karena itu," jawab Daru tegas. "Karena sekarang aku mengerti ... kalau hanya berhenti di ranah institusi, seringkali keadilan masih bisa dibungkam. Aku nggak bisa lagi jadi bagian dari sistem yang sama."Soraya menatap Daru. "Papa ... maksudnya Papa tidak jadi polisi lagi?"Daru tersenyum lembut. "Iya, Nak. Tapi Papa masih akan menyelidiki kejahatan untuk orang-orang yang nggak punya suara."Soraya menatap Papanya lama,

  • BONEKA KEMATIAN   BONEKA KOSONG

    "Kau menaruh ini di sini?" suara Kalina meninggi, menggema di halaman belakang rumah. Tangannya menunjuk ke arah kursi taman tua yang berada di bawah pohon mangga.Daru menyipitkan mata, berjalan mendekat. Di kursi itu, tergeletak sebuah boneka lusuh—Bella. Boneka itu duduk diam, punggungnya bersandar ke sandaran kayu, kedua tangannya jatuh ke sisi tubuh, dan kepalanya sedikit menunduk seolah sedang tidur.Namun, yang paling mencolok adalah matanya. Dua lubang hitam kosong, tanpa cahaya, tanpa nyawa. Tak ada kilatan merah. Tak ada gerakan. Hanya kehampaan."Bukan aku," gumam Daru akhirnya. Ia mengulurkan tangan, menyentuh kain boneka itu. Dingin. Kaku. Seperti ... benda mati pada umumnya."Aku tadi pagi nyapu halaman. Nggak ada apa-apa. Tiba-tiba pas keluar bareng Soraya, boneka ini sudah di situ. Duduk manis kayak baru pulang dari sekolah." Kalina menahan napas. "Mas ... aku takut."Daru menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. "Bawa Soraya ke dalam. Kunci semua pintu. Biar

  • BONEKA KEMATIAN   DUNIA YANG TERSISA

    "Kau yakin nggak mau ikut ke upacara resmi?" tanya Yudistira dari balik kemudi, matanya melirik Daru lewat kaca spion dalam.Daru duduk di kursi penumpang belakang mobil dinas, menatap keluar jendela. Matanya sayu, tidak karena lelah fisik, tapi karena beban yang tak bisa dijelaskan."Aku sudah cukup berdiri di bawah sorotan. Saatnya kalian yang maju.""Tapi kau yang mulai semua ini, Dar. Tanpa kau, kita masih kerja di balik layar sambil terus ketakutan. Sekarang ... semua gembong narkoba, jaringan korupsi, bahkan pejabat bayangan sudah jatuh. IRJEN Gunawan mungkin mati dengan cara yang aneh, tapi dampaknya nyata.""Justru karena itu," gumam Daru. "Aku nggak ingin semua keberhasilan itu diikatkan pada satu orang. Apalagi orang sepertiku."Yudistira menghela napas. "Kau masih merasa bersalah soal Bella?"Daru tak menjawab, tapi jemarinya yang mengepal di pangkuan cukup jadi jawaban.***Jakarta berubah. Bukan jadi kota yang suci—itu tidak pernah mungkin tapi seiring bergugurannya para

  • BONEKA KEMATIAN   KUTUKAN

    "Kita tidak bisa menahan dia di sini lebih lama, Daru. Polisi militer sudah mengendus lokasi ini. Kalau mereka datang dan menemukan IRJEN terikat di ruang bawah tanah, kita semua tamat." Suara Yudistira terdengar tegas, tapi nadanya menahan cemas.Daru berdiri menatap pintu besi di ujung lorong bawah tanah. Lampu di atasnya berpendar redup. Aldo sedang memantau jalur komunikasi dari laptopnya, headset menggantung di telinga."Sebentar lagi," ujar Daru pelan. "Ku rasa ... belum selesai.""Apa maksudmu belum selesai? Kita sudah menyiarkan pengakuannya ke seluruh negeri. Kita punya jejak digital. Kita punya saksi.""Tapi dia belum diadili oleh yang seharusnya."Yudistira menatap Daru tajam. "Jangan bilang kamu menunggu Bella."Daru tidak menjawab tapi sorot matanya cukup sebagai jawaban.Sementara di ruangan sempit itu, IRJEN duduk sendirian. Kepalanya tertunduk, napasnya berat. Tak ada lagi senyum sinis atau ejekan. Hanya peluh dingin dan tatapan kosong ke lantai.Suhu udara tiba-tiba t

  • BONEKA KEMATIAN   PENGADILAN TANPA HAKIM

    "Kau sedang apa? Membuat teater moral di ruang lembab ini?" suara IRJEN Gunawan parau, setengah mengejek, terdengar memantul dari dinding batu.Daru berdiri membelakangi satu-satunya lampu yang tergantung di langit-langit ruang bawah tanah vila. Sinar kuningnya jatuh tepat ke wajah IRJEN Gunawan yang duduk terikat di kursi besi. Wajah tua itu bengkak, darah kering menempel di pelipis dan sudut bibirnya tapi tatapannya ... masih congkak."Aku cuma mau mendengar kau bicara. Dengan jujur untuk sekali saja dalam hidupmu."IRJEN tertawa pendek. "Jujur? Kepada siapa? Kepadamu? Kepada negara yang membiarkan tikus-tikus macam aku naik pangkat? Kepada rakyat yang cuma bisa menggonggong di layar komentar?""Kepada dirimu sendiri. Karena sebentar lagi, semua yang kau katakan akan didengar oleh jutaan orang."IRJEN Gunawan mendongak, senyumnya melebar. "Rekaman? Kamera? Itu semua bisa disangkal. Bukti bisa dibakar. Saksi bisa dibungkam. Kau tahu itu, Daru. Kau lebih tahu dari siapa pun."Daru men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status