Beranda / Urban / Balas Dendam sang Kultivator / Bab 117. Di Antara Para Serigala

Share

Bab 117. Di Antara Para Serigala

Penulis: Imgnmln
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-15 15:58:06

Seorang komandan dengan zirah yang lebih tebal dan dihiasi rune-rune merah samar melangkah maju dari barisan patroli yang baru tiba. Matanya yang tajam di balik celah helmnya menyapu pemandangan pembantaian itu—bangkai para penjaga dan binatang buas yang berserakan—sebelum akhirnya berhenti pada sosok Kaelan yang berdiri sendirian di antara kekacauan.

"Apa yang terjadi di sini?!" bentaknya, suaranya yang keras dan penuh otoritas menggema di ngarai yang sunyi, memotong raungan angin.

Rayden mengangkat kepalanya perlahan, memasang ekspresi syok dan kelelahan yang telah ia latih. Ia menunjuk ke arah bangkai Serigala Bertanduk Giok dengan tangannya yang gemetar.

"Komandan," katanya, suaranya ia buat serak dan parau. "Binatang buas... gerombolan Serigala Bertanduk Giok. Mereka menyerang dari kedua sisi tebing tanpa peringatan. Kami... kami mencoba melawan. Kapten Roric memerintahkan kami untuk melindungi kereta, tapi jumlah mereka terlalu banyak."

Ia menceritakan sebuah kisah yang telah ia
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 121. Laboratorium Mimpi Buruk

    Rayden berjalan menyusuri koridor yang menurun, setiap langkahnya membawanya lebih dalam ke perut menara. Udara yang tadinya hanya dingin kini terasa lembap, dan keheningan dipecah oleh gema samar dari jeritan yang ia dengar tadi.Semakin jauh ia melangkah, semakin kuat bau aneh yang menyengat hidungnya—sebuah campuran tajam dari bahan kimia yang tidak ia kenali dan aroma anyir dari daging yang terbakar."Tempat apa ini?" pikirnya, kewaspadaannya meningkat seratus kali lipat.Koridor itu berakhir pada sepasang pintu baja yang masif, tanpa hiasan, dingin saat disentuh. Di tengahnya, sebuah jendela kecil dari kristal tebal yang buram memberinya sedikit celah untuk mengintip. Ia menempelkan matanya ke jendela itu. Apa yang ia lihat di baliknya adalah sebuah definisi neraka yang tertata rapi.Sebuah laboratorium alkimia yang sangat luas. Puluhan meja batu hitam yang dipoles berjejer dalam barisan yang sempurna. Di atasnya, tabung-tabung kaca raksasa berisi cairan berwarna aneh bergelembun

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 120. Gerbang Jiwa

    Kristal pendeteksi jiwa di tangan komandan penjaga gerbang itu bersinar dengan cahaya pucat yang menyorot lurus ke dada Rayden, seolah menelanjangi setiap getaran energinya hingga ke tingkat sel. Di belakangnya, komandan patroli yang membawanya ke sini menatap dengan curiga. Seluruh misinya kini bergantung pada satu tarikan napas.Di tengah keheningan yang mencekam itu, Rayden tidak panik. Sebaliknya, ia melakukan sesuatu yang tak terduga.Ia tertawa.Sebuah tawa serak dan penuh dengan kebanggaan palsu yang telah ia latih."Tentu saja auraku berbeda!" geramnya, meniru gaya bicara kasar Kaelan dengan sempurna. Ia menunjuk ke arah ngarai di kejauhan dengan ibu jarinya yang kotor. "Aku baru saja bertarung sampai mati melawan selusin binatang buas sementara kapten kami yang pengecut itu mati menjerit! Jika auraku masih sama seperti saat aku berangkat, berarti aku tidak melakukan apa-apa!"Ia melangkah maju satu langkah, dengan sengaja menantang tatapan komandan gerbang yang tersembunyi di

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 119. Gerbang Menara Obsidian

    Rayden hanya menggeram sebagai jawaban atas perintah komandannya, sebuah suara yang bisa diartikan sebagai persetujuan atau kebencian yang tertahan. Ia menundukkan kepalanya sedikit, menyembunyikan kilat dingin di matanya. "Dengan senang hati, Komandan."Memimpin barisan depan adalah posisi paling berbahaya, sebuah kehormatan yang diberikan pada tameng manusia. Rayden menerimanya tanpa ragu. Semakin dekat ia dengan jantung kegelapan ini, semakin tenang badai di dalam hatinya.Setelah seharian penuh berbaris melewati lanskap Gurun Tulang yang monoton dan menyedihkan, mereka akhirnya melihatnya.Dari balik puncak gunung terakhir, Menara Obsidian menjulang ke langit. Bukan sebuah bangunan, melainkan sebuah kutukan yang membeku dalam batu. Sebuah pilar raksasa dari batu hitam legam yang permukaannya berkilauan seperti kaca basah, begitu tinggi hingga puncaknya yang runcing menembus awan ungu di atas.Menara itu seolah menyerap semua cahaya dan harapan dari sekelilingnya, memancarkan aura

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 118. Ujian Kesetiaan

    Pertanyaan itu, meskipun dilontarkan dengan nada bercanda, terasa seperti ujung pedang yang dingin di leher Rayden. Ia memaksa dirinya untuk tertawa, sebuah tawa serak yang terdengar meyakinkan di tengah suara api unggun yang berderak."Mungkin melihat wajah jelek kapten akhirnya memberiku keberanian untuk mati," geramnya, mencoba meniru gaya bicara kasar Kaelan.Penjaga kurus itu tertawa terbahak-bahak, meninju bahu Rayden dengan keras. "Hahaha! Kau benar juga!"Ujian pertama yang tak terduga itu berhasil dilewati. Kecurigaan di mata penjaga itu lenyap, digantikan oleh rasa persahabatan yang kasar.Perjalanan mereka berlanjut keesokan harinya.Setelah beberapa jam berjalan, mereka tiba di sebuah lembah kecil yang subur. Di sana, tersembunyi di antara perbukitan hijau, terdapat sebuah desa kecil yang damai. Tidak ada tembok atau menara penjaga, hanya beberapa rumah kayu sederhana yang dikelilingi oleh ladang gandum yang keemasan. Asap tipis mengepul dari cerobong-cerobong, dan tawa an

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 117. Di Antara Para Serigala

    Seorang komandan dengan zirah yang lebih tebal dan dihiasi rune-rune merah samar melangkah maju dari barisan patroli yang baru tiba. Matanya yang tajam di balik celah helmnya menyapu pemandangan pembantaian itu—bangkai para penjaga dan binatang buas yang berserakan—sebelum akhirnya berhenti pada sosok Kaelan yang berdiri sendirian di antara kekacauan."Apa yang terjadi di sini?!" bentaknya, suaranya yang keras dan penuh otoritas menggema di ngarai yang sunyi, memotong raungan angin.Rayden mengangkat kepalanya perlahan, memasang ekspresi syok dan kelelahan yang telah ia latih. Ia menunjuk ke arah bangkai Serigala Bertanduk Giok dengan tangannya yang gemetar."Komandan," katanya, suaranya ia buat serak dan parau. "Binatang buas... gerombolan Serigala Bertanduk Giok. Mereka menyerang dari kedua sisi tebing tanpa peringatan. Kami... kami mencoba melawan. Kapten Roric memerintahkan kami untuk melindungi kereta, tapi jumlah mereka terlalu banyak."Ia menceritakan sebuah kisah yang telah ia

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 116. Topeng Baru, Jiwa Lama

    Elara menatap wajah penjaga yang telah mati di kaki Rayden. Matanya yang hijau berkilat karena kebencian yang dingin dan tak terselubung, sebuah kebencian yang lahir dari penderitaan yang tak terhitung jumlahnya."Namanya Kaelan," katanya, suaranya dipenuhi oleh ingatan pahit. "Dia yang paling sering menggunakan cambuk."Rayden hanya mengangguk, wajahnya tidak menunjukkan ekspresi. Tanpa ragu sedikit pun, ia berlutut di samping mayat itu. Dengan gerakan yang sunyi dan metodis, ia mulai melepaskan baju zirah kulit yang kasar dan ternoda darah. Para pemuda yang diselamatkan hanya bisa menonton dalam diam, campuran antara rasa ngeri dan kekaguman terpancar di wajah mereka saat menyaksikan penyelamat mereka dengan tenang melucuti pakaian musuhnya.Ini adalah sebuah proses yang dingin. Rayden harus mengatasi rasa jijiknya sendiri. Saat ia mengenakan zirah itu, ia bisa merasakan sisa-sisa aura kejam yang melekat padanya. Ia bisa mencium bau anyir darah dan keringat dari pemilik sebelumnya.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status