LOGINSepuluh tahun lalu, keluarga Rayden dibantai tanpa ampun. Ia nyaris mati, disisakan hanya sebagai bayangan dari klan besar yang dulu disegani. Di mata dunia, Rayden sudah mati. Tapi di kegelapan, ia tumbuh. Mengasah teknik-teknik yang dilarang. Memelihara amarah yang tidak pernah padam. Kini, Rayden kembali. Bukan sebagai pewaris keluarga, bukan sebagai pahlawan. Tapi sebagai pendosa. Kultivator yang memilih jalan terlarang demi satu hal: balas dendam. Di balik dunia modern yang terlihat biasa, para klan kultivator saling menyembunyikan rahasia, artefak, dan kekuasaan. Bramasta, keluarga yang terlihat bersih di permukaan, menjadi sasaran pertamanya. Tapi semakin dalam Rayden menyusup, semakin ia menemukan jaringan yang lebih besar. Termasuk nama yang selama ini menghantuinya, Lucien Dorne. Setiap langkah Rayden akan menantang hukum kultivasi, menyingkap pengkhianatan lama, dan menguji batas moralnya. Karena untuk menghancurkan monster, terkadang kau harus menjadi lebih kejam dari mereka.
View More“Tangkap dan bunuh dua bocah itu! Kalau tidak berhasil, nyawa kalian yang jadi bayarannya!”
Di tengah sunyinya malam Kota Malora, sebuah teriakan nyaring terdengar, membuat jantung Rayden berdebar. Ada puluhan orang yang sedang mengejarnya dan menuntut nyawanya!
“Kakak … Raelyn tidak kuat lagi ….”
Suara terengah itu terdengar dari sisi Rayden. Raelyn, kembarannya, tampak mulai kelelahan. Wajahnya pucat, dan kentara kecepatannya terus berkurang.
“Teruslah berlari, Lyn! Kalau tidak, kita akan mati!” balas Rayden, berusaha menyemangati adiknya.
Rayden Duskar sama sekali tidak mengerti mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Yang dia tahu, beberapa saat lalu, dirinya sedang makan malam di rumah bersama adik dan kedua orang tuanya. Lalu, pintu diketuk dari luar, membuat ayahnya bangkit dengan niatan menyambut tamu tersebut.
Namun, tidak disangka—
DORR!
Suara tembakan yang nyaring bergema, membuat Rayden menoleh dan melihat sang ayah jatuh tergeletak bersimbah darah.
Segera setelah itu, ibunya memintanya lari bersama adiknya. Dan ketika mereka akan melarikan diri dari pintu belakang, Rayden kembali melihat sang ibu yang juga tertembak.
“Kakak … mereka siapa? Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Raelyn dengan napas terengah di sela pelarian mereka.
Rayden menggeleng. “Kakak juga tidak tahu, yang jelas sekarang kita harus lari dulu agar aman.”
Mereka kembali berlari hingga tanpa sadar mulai masuk ke area pegunungan.
Namun, Raelyn justru berhenti, kakinya tampak gemetar. “Kakak …”
Rayden menoleh, panik. Dia berpikir cepat. “Lyn, larilah ke pendopo milik Bibi Diana di ujung bukit dan saat situasi aman, datanglah ke rumahnya dan minta bantuan mereka. Aku akan mengalihkan perhatian orang-orang itu.”
Raelyn menolak, tangannya menggenggam dengan erat. Sorot matanya memohon. “Tapi, aku tidak bisa meninggalkan kamu!”
“Kamu harus! Pagi nanti aku akan datang ke rumah Bibi Diana!” desak Rayden. Jelas, dia tidak akan membiarkan kembarannya itu terluka.
Dengan air mata, Raelyn akhirnya berlari.
Melihat adiknya telah berlari menjauh, Rayden akhirnya bisa sedikit bernapas lega. Sejenak Rayden mengedarkan pandangannya, mulai merasa sedikit bingung akan berlari ke arah mana. Sebab seingatnya, tak jauh dari tempatnya berada, ada tebing yang cukup curam.
Saat Rayden hendak kembali berlari, empat pria berpakaian serba hitam tiba-tiba muncul tepat di hadapannya. Salah satu dari mereka membuat langkah Rayden terhenti seketika.
“Paman Hery...?” ucap Rayden lirih, matanya membelalak tak percaya.
Kebingungan dan keterkejutan menyeruak dalam dadanya. Selama ini, Hery adalah orang yang paling dipercaya ayahnya, sosok yang membantu merintis bisnis keluarga sejak awal.
Namun, kenapa sekarang dia muncul bersama orang-orang bersenjata dan menghadangnya?
“Kenapa Paman—”
Belum sempat Rayden menyelesaikan kalimatnya, Hery hanya menatapnya dingin, tanpa menjawab sepatah kata pun. Lalu, dia memberi isyarat cepat dengan tangannya.
Dor!
Sebuah tembakan meledak. Peluru itu menembus pundak Rayden, membuat tubuhnya terhuyung dan jatuh berlutut, menahan sakit yang luar biasa.
Salah satu pria berbaju hitam menoleh pada Hery. “Apa anak ini juga kita serahkan ke Keluarga Bramasta?”
Hery menggeleng. “Tidak usah. Anak itu pasti akan mati di sini.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka semua berbalik dan pergi, meninggalkan Rayden yang tergeletak tak berdaya di tanah. Pandangannya mulai kabur, napasnya berat, dan kesadarannya perlahan memudar.
Namun, sebelum Rayden benar-benar menutup matanya, langkah kaki terdengar pelan, menghentak tanah basah dengan ritme tenang, tetapi berat.
Seorang pria tua muncul dari balik kabut, jubahnya berkibar tertiup angin. Dia mendekat tanpa berkata sepatah kata pun.
Tatapannya jatuh ke tubuh Rayden. Wajahnya tampak tenang, tapi matanya menyipit seolah sedang mengamati lebih dalam dari yang terlihat.
Pria tua itu berdiri diam sejenak, lalu menunduk. Tangan keriputnya melayang di atas dada Rayden seolah sedang merasakan sesuatu.
Alisnya bergerak tipis. Napasnya mengembus pelan.
“Raelyn … aku harus menyelamatkanmu,” kata Rayden lirih, nyaris tidak terdengar.
“Kau ingin selamat?” tanya pria itu tiba-tiba, suaranya datar, tapi dalam.
Rayden membuka bibirnya dengan sisa tenaga. “Iya…”
Pria tua itu mendekat lebih dekat, sorot matanya menajam. “Aku akan menyelamatkanmu… asal kau mau jadi muridku.”
Alis Rayden berkerut lemah. Raut wajahnya menunjukkan tanda tanya, seolah tak mengerti siapa orang itu, atau mengapa seseorang seperti dia muncul di saat seperti ini dan mengatakan hal seperti itu. Namun, Rayden tidak punya pilihan lain. Dia harus kembali untuk melindungi Raelyn.
Akhirnya, Rayden mengangguk lemah.
Tangan kiri pria tua itu langsung menekan dada Rayden, dan seberkas cahaya samar menyebar dari telapak tangannya, merambat ke seluruh tubuh Rayden.
***
10 tahun kemudian.
Boom!
Bukit tandus di ujung Desa Dewa baru saja dihancurkan dengan satu pukulan oleh seorang pemuda berusia 26 tahun. Dia tampak tenang, seolah yang baru saja terjadi hanyalah hal kecil. Bahkan, ekspresi wajahnya tetap dingin, bajunya juga tetap bersih meskipun debu beterbangan di sekitarnya, hanya rambutnya yang cukup panjang bergerak karena angin.
Namun, di sisi lain, 2 pria tua justru tampak lebih heboh.
“Bagus sekali! Itu baru muridku!” kata salah satu pria tua yang masih tampak gagah dan kuat. Dia adalah Raksa, seorang ahli ilmu bela diri.
“Itu karena aku telah mengajarinya membuat pil dengan benar untuk menunjang latihannya!” sahut pria tua lain yang tampak setengah sadar, mulutnya penuh dengan bau alkohol yang menyengat, tetapi di tangannya masih memegang sebotol minuman keras. Dia adalah Mahadewa, seorang ahli alkimia hebat.
“Cih! Jelas-jelas yang tadi itu karena latihan fisik yang bagus denganku!” bantah Raksa.
“Percuma saja latihan fisik kalau tidak didorong dengan pil dan obat ilahi!” Mahadewa, kembali membantah seolah dia yang paling berjasa atas keberhasilan pemuda itu. Dia adalah ahli alkimia dengan kemampuan luar biasa.
Namun, pria tua lain yang sejak tadi tampak tenang tiba-tiba bersuara. "Itu semua jelas karena meditasi yang kuajarkan padanya, sehingga pembentukan fondasinya bisa sekuat ini!”
Pria itu adalah Erlangga, seorang ahli ilmu meditasi dalam dunia kultivasi.
Saat Mahadewa ingin menimpali, tiba-tiba seorang wanita cantik muncul dari udara dengan penuh pesona dan keanggunan.
“Rayden! Kau dipanggil Guru Sena!” kata wanita itu dengan sedikit keras.
Rayden, pemuda yang tadi menghancurkan bukit itu langsung datang ke hadapan si wanita sambil memberi hormat. "Guru Calia. Terima kasih informasinya, saya akan segera menghadap Guru Sena.”
“Guru Raksa, Guru Erlangga, Guru Mahadewa, saya pamit. Terima kasih atas latihannya!” ujar Rayden sambil menatap ketiga pria tua yang sejak tadi membahas perkembangan kekuatannya.
Mereka mengangguk, dan Rayden pun segera melesat menuju rumah Guru Sena, sang ahli pedang.
Sepuluh tahun lalu, saat Rayden terjatuh ke dasar jurang dalam kondisi sekarat, Guru Sena menyelamatkannya dan membawanya ke Desa Dewa. Di sanalah Rayden dilatih bersama empat guru lainnya. Guru Sena percaya, kekuatan besar tersegel dalam tubuh Rayden, dan itulah yang membuatnya selamat dari maut.
“Rayden, perkembanganmu luar biasa!” sambut Guru Sena saat Rayden tiba.
“Itu semua berkat bimbingan para guru,” jawab Rayden hormat.
“Aku yakin, tak ada lagi yang bisa menyentuhmu sekarang. Apa rencanamu selanjutnya?”
“Saya akan kembali ke kota, mencari adik saya, mengungkap kebenaran di balik pembantaian keluarga kami, dan membalas dendam pada keluarga Bramasta.”
Guru Sena mengangguk puas. “Dengan kekuatan tingkat Sage dan teknik pedangmu sekarang, kau pasti bisa. Tapi ingat, jangan terbawa emosi. Kalau butuh bantuan, Desa Dewa selalu terbuka untukmu.”
Rayden mengangguk mantap. Dendam lama di dadanya kini diiringi keyakinan dan kekuatan yang nyata.
Rayden menembus perut naga itu dengan kecepatan melampaui cahaya. Setiap pukulan dan tebasannya mengandung bentuk.“Teknik Pertama, Tebasan Masa Lalu!”.“Teknik Kedua, Tebasan Kehendak!”“Teknik Ketiga, Tebasan Takdir!”.Dalam perut naga, energi merah dan putih beradu, membentuk pusaran besar. Rayden berteriak, suaranya menggema di seluruh dimensi.“Kau ingin abadi, Brahma? Maka abadi bersamaku!” Tubuhnya terbakar total, menjadi inti cahaya. Ia menancapkan pedangnya ke jantung naga. Dunia berhenti berputar.Ledakan putih lahir tanpa suara.Ketika cahaya mereda, hanya keheningan yang tersisa. Void tak lagi hitam, tapi biru muda, seperti fajar pertama setelah badai. Di tengahnya, Rayden jatuh perlahan, tubuhnya kini manusia lagi. Pedangnya sudah lenyap. Tapi di dadanya, api kecil masih berkedip.Dalam bayangan samarnya, ia mendengar langkah pelan di balik kabut cahaya. Raelyn berjalan mendekat, senyumnya lembut. “Kak…”Rayden menatapnya lama, bibirnya gemetar. “Aku… benar-benar pulang,
Ia mengangkat tangan, menancapkan pedangnya ke tanah kehampaan. Api dari tubuhnya melonjak ke segala arah, menyalakan Void, menelan langit, bumi, dan bahkan bayangan Brahma itu sendiri.Lord Dragon menjerit, separuh wajahnya meleleh. “Kau bodoh, Rayden! Kalau aku mati, kau mati bersamaku!”“Kau ingin abadi, Brahma?” Rayden tersenyum samar. “Maka abadi bersamaku… dalam api ini.”Ledakan putih meluas. Void runtuh. Langit pertama jatuh menimpa dunia roh, langit kedua jatuh ke dunia manusia. Lembah Sunyi meledak menjadi debu emas. Semuanya hancur, tapi bukan dalam kehancuran yang dingin. Hancur dalam keheningan yang hangat, seperti akhir dari lagu yang sudah terlalu lama dinyanyikan.Rayden berdiri di tengah lautan cahaya, tubuhnya perlahan lenyap. Api di dadanya padam satu per satu, menyisakan bara kecil yang berkedip pelan. Ia memandang tangannya yang hampir tak berbentuk, lalu menatap ke atas.Di atas sana, langit baru muncul. Tidak merah, tidak hitam. Tapi biru lembut, biru yang belum
“Bara yang Menghapus Nama!”Cahaya menyapu kegelapan, tapi bayangan itu tidak hancur. Sebaliknya, ia tertawa.“Kau tidak bisa menghancurkan kehendak, Rayden. Karena kehendak itu juga hidup di dalammu.”Rayden berhenti di udara. Nafasnya berat. Suara tawa itu bergema dari segala arah. Lalu sebuah tangan bayangan keluar dari tanah, menembus dadanya. Rayden terhuyung, darahnya menyembur. Tapi anehnya, api di tubuhnya malah semakin besar.“Kau benar,” katanya pelan, suaranya mulai terdistorsi oleh panas. “Kau hidup di dalamku.”Bayangan itu menatapnya bingung. “Apa maksudmu?”Rayden menatap lurus ke mata kegelapan itu, senyum kecil muncul di bibirnya. “Kalau begitu,” katanya, suaranya tenang tapi tajam, “Aku akan memulai dari diriku.”Cahaya merah menyala dari dalam tubuhnya, seperti ledakan matahari. Api itu bukan keluar, tapi masuk menyusup ke setiap sel, setiap ingatan, setiap bayangan yang pernah ia bawa. Seluruh Void berubah warna. Kegelapan berubah menjadi merah, lalu emas, lalu put
Mereka saling menerjang. Benturan berikutnya bukan sekadar pertarungan, itu perang antar dua kehendak ilahi. Rayden memanggil Teknik Dewa Perang Arka ke tujuh.“Bara yang Membelah Langit.” raung RaydenApi keluar dari setiap pori tubuhnya, membentuk sayap cahaya merah keemasan.Brahma Angkara membalas dengan Teknik Saint Dragon.“Nafas Kekekalan,” desis Brahma Angkara.Semburan energi murni yang bisa menghapus eksistensi.Api dan cahaya bertubrukan, menghasilkan dentuman yang memecah lapisan ketujuh langit. Dunia bergetar.Di bawah, Orion berteriak. “Lembah jatuh!”Anya menahan formasi dengan darahnya sendiri, sementara Mireya dan Kara di bumi menegakkan perisai spiritual, menahan hujan energi naga yang membakar langit seperti meteor.Rayden terlempar lagi, tubuhnya penuh luka bakar. Tapi di wajahnya, tak ada rasa takut. Ia melangkah maju, darah menetes dari dagunya, bercampur dengan cahaya merah yang mengelilinginya.Brahma Angkara menatapnya, napasnya berat.“Kau seharusnya sudah ma
Namun jumlah mereka tak berkurang. Dari balik awan, puluhan lagi muncul lebih besar, lebih cepat. Salah satunya meluncur ke Rayden, menabrak dengan kekuatan yang cukup untuk memecahkan gunung.Benturan itu menimbulkan ledakan cahaya putih. Tanah di bawah mereka terbelah, menciptakan jurang sejauh beberapa kilometer. Orion menutupi wajahnya, tapi tetap menatap ke tengah ledakan.Di sana, Rayden masih berdiri. Tubuhnya berlumuran darah, tapi matanya menyala lebih terang dari sebelumnya.“Kalian makhluk yang lahir dari darah naga…” katanya perlahan. “Kalian mencium darah itu di dalam diriku, bukan?”Pasukan Saint Dragon berhenti menyerang. Mereka terdiam. Ratusan makhluk bersisik itu berlutut serempak, menundukkan kepala mereka ke arah Rayden.Suara mereka bergema, serempak seperti mantra kuno. “Kami hanya tunduk pada pewaris naga sejati.”Orion terpaku. “Mereka... menyembahmu.”Rayden menatap mereka lama, lalu menggeleng dengan tatapan dingin. “Bangkit.”Tak ada yang bergerak. Rayden me
Rayden mengangkat tangannya, dan seketika ribuan bara berputar mengelilingi aula. “Kalau begitu, kita bakar kegelapan itu sampai tak tersisa.”Api menyala dari dalam tubuhnya. Lidah-lidah merah keemasan menembus langit-langit, menelan bayangan yang bersembunyi di setiap sudut.Satu demi satu, tubuh-tubuh yang disusupi meledak menjadi serpihan cahaya, meninggalkan abu putih yang jatuh seperti salju. Namun darah menetes dari bibir Rayden. Cahaya di dadanya berdenyut liar, seolah jiwanya berjuang menahan beban dunia.Anya berlari ke arahnya, tapi Rayden menahan tangan wanita itu.“Jangan hentikan aku,” katanya pelan. “Biarkan mereka melihat pemimpin mereka bukan dewa, tapi manusia yang memilih terbakar demi mereka.”Cahaya terakhir menyala lembut tapi tak tergoyahkan. Saat api mereda, Lembah Sunyi berubah. Dinding-dinding hitam kini memantulkan kilau merah keemasan. Pilar-pilar yang runtuh berdiri kembali. Dan di tengahnya, Rayden berdiri dengan mata yang memantulkan langit.Orion berlut
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments