Share

Kedatangan Pasukan Kerajaan Barat

"Ada apa? Kenapa panik begitu?" Guru Bao mempunyai firasat buruk akan hal itu.

Pendengarannya yang tajam dapat menangkap suara derap laju kuda, bukan hanya satu atau dua. Ada banyak, mungkin puluhan jumlahnya.

"Guru, pasukan musuh sudah memasuki wilayah kita. Apa yang harus kita lakukan?" jawab orang yang tadi berlari dari arah lereng gunung.

"Sudah sampai? Bukankah pasukan kerajaan sudah menghalangi mereka? Nampaknya lawan kali ini jauh lebih kuat, kerajaan barat rupanya tidak bisa diambil remeh."

"Ungsikan semua perempuan, anak kecil, dan orang tua. Siapapun yang bisa bertarung, ikut aku maju di garda depan. Jangan panik, kita semua sudah terlatih!" Seru Guru Bao memberi perintah pada penduduk kampung.

Tanpa mengulang perintah lagi, pasukan khusus dari Perguruan Bao pun sudah siap siaga di posisinya masing-masing. Termasuk Ni Lou dan Ni Me.

"Guru Bao, tolong izinkan aku juga untuk turut serta," pinta Bingwen.

"Jangan bodoh, Bingwen. Apa yang kamu lakukan? Ayo kita harus sembunyi," sela Mei Lin.

Mei Lin tahu kalau Bingwen tipe orang yang tidak akan menyerah walau banyak orang yang menyuruhnya untuk berhenti, buktinya Bingwen terus berlatih walau tiap hari Ni Lou dan Ni Me merendahkannya.

Namun situasi sekarang berbeda, Mei Lin tidak akan mendukung kegigihan Bingwen kali ini. Jika Bingwen tetap teguh dengan kekeraskepalaannya, maka dia harus bersedia mati saat itu juga.

"Bingwen, apa yang kamu lakukan? Cepat kita harus pergi dari sini. Ayah dan yang lainnya pasti bisa mengalahkan mereka," bujuk Mei Lin.

"Tapi.... Aku juga termasuk murid Guru Bao, aku tidak mau bersembunyi seperti pecundang. Sementara Guru Bao bertarung mempertaruhkan nyawanya," ujar Bingwen.

Guru Bao yang baru saja selesai memberikan arahan bagi masing-masing pasukan, dia langsung menghampiri Bingwen dan Mei Lin.

"Bingwen, dengarkan aku kali ini saja. Aku tahu kamu murid yang gigih, tapi tidak saat ini. Pergilah ke tempat yang aman dengan Mei Lin," ucap Guru Bao.

"Tidak, Guru. Aku juga ingin ikut bertarung dengan yang lainnya, aku tidam mau dicap sebagai pecundang. Ni Lou dan Ni Me pasti akan puas meledekku." Bingwen masih berdiri di tempatnya, dia tidak mau bergerak walau sesenti pun.

Harga dirinya akan semakin jatuh jika dia bersembunyi sementara rekannya bertarung melawan pasukan kerajaan barat, hal itu yang membuat Bingwen bersikukuh dengan pendiriannya.

"Hentikan Bingwen, kali ini kembalilah. Aku akan memberimu tugas untuk melindungi Mei Lin. Kamu bisa bukan?" Lelaki berjanggut putih itu akhirnya mencari cara agara Bingwen mendengarkan ucapannya.

"Benar, Bingwen. Kamu ikut aku saja, dengan begitu aku jadi merasa lebih aman," sela Mei Lin.

Cukup lama Bingwen terpaku, hingga akhirnya dia mengangguk setuju. Guru Bao pun segera kembali ke posisinya, Mei Lin menarik lengan Bingwen agar segera menyusul penduduk yang lainnya.

"Kamu itu keras kepala nggak kenal tempatnya, Bingwen. Apa salahnya sih kamu dengarkan nasihat Ayah sekali saja, kamu mau mati sia-sia?" omel Mei Lin setelah keduanya telah berada di tempat persembunyian.

Tempat itu cukup luas untuk menampung sebagian penduduk kampung yang tidak bisa maju ke medan perang. Suara tangisan anak-anak kecil, suara beberapa ibu yang berusaha menenangkan anak-anaknya.

"Aku dengar pasukan kerajaan barat memiliki senjata perang yang jauh lebih canggih, dari apa yang kita miliki sekarang," celetuk salah satu penduduk.

"Senjata yang jauh lebih canggih? Apa itu?"

"Pistol! Mereka bukan hanya menggunakan pedang dan serangan bom rakit, tapi juga senapan. Bukankah perbandingannya sangat besar?"

"Lalu, apa yang akan terjadi dengan kita sekarang? Kenapa raja kita tidak menerima saja negosiasi untuk menyatukan kerajaan timur dan barat?"

Hujah demi hujah terdengar di telinga Bingwen dan Mei Lin, Mei Lin bahkan mengepalkan tangannya. Dia tidak menyangka penduduk kampung yang tengah dilindungi oleh ayahnya, justru berpendapat agar mereka menyerah.

"Mereka itu bodoh ya. Apa mereka tidak tahu, jika kita menyerah dan menjadi bagian dari Kerajaan Barat. Maka kita harus siap menjadi budak, kekayaan alam kita akan dikuasai oleh mereka dengan alasan mereka memiliki alat yang jaih lebih canggih," ujar Mei Lin.

Hatinya panas dan kesal, jika saja tidak dalam keadaan genting pasti Mei Lin sudah menghajar orang yang dengan seenaknya menggiring opini orang luar.

Bingwen tidak menyahut, dia juga membenarkan apa yang dikatakan Mei Lin. Jika kita kalah atau menyerah, sama saja dengan menutup pintu peluang yang ada.

Dari luar sana terdengar suara senjata saling bertemu, ringkikan kuda dan suara para pasukan dari masing-masing kubu pun makin memanas. Bingwen hanya bisa membayangkan seberapa kuatnya pertempuran tersebut.

"Kalau saja aku punya kesempatan untuk keluar dari sini," gumam Bingwen.

Bingwen melirik ke arah Mei Lin yang sekarang tengah sibuk mengobati luka seorang anak kecil, sepertinya anak itu terjatuh saat melarikan diri bersama orangtuanya.

"Bagus! Ini kesempatanku," gumam Bingwen.

Diraihnya pedang berkarat yang dia temukan di gua, walau pedang itu terasa begitu berat. Namun Bingwen tidak punya pilihan lain, hanya pedang itu lah senjata yang dia punya.

Bingwen mencari kesempatan agar dia bisa menyelinap keluar, benar saja dugaan Bingwen. Dalam situasi saat ini, memang tidak akan ada yang memerhatikan kepergianku," ucapnya.

Secepat yang dia bisa, Bingwen langsung berlari ke arah pertempuran tersebut.

"Sial, bau hutan terbakar."

Mata Bingwen liar mencari sosok gurunya dan rekan-rekannya. Mungkin tidak sedikit bagi yang lain membenci dirinya, karena hasutan Ni Lou dan Ni Mde.

"Oh, itu dia Guru Bao..." Bingwen bersembunyi di balik pohon yang begitu lebat daunnya.

Dengan mata kepalanya sendiri, Bingwen menyaksikan dengan jelas kehebatan Guru Bao.

"Guru Bao memang keren, kalau begini terus kita pasti menang," gumam Bingwen.

Baru saja Bingwen berkata demikian, pasukan Kerajaan Barat sudah berhasil melumpuhkan sebagian besar pasukan khusus Guru Bao.

"Gawat! Apa yang harus aku lakukan? Tidak mungkin aku sembunyi di sini terus. Sementara Guru Bao juga kewalahan melawan musuhnya."

Bingwen menatap pedang yang dia bawa, pedang berkarat itu tentu tidak bisa untuk mengoyak tubuh musuhnya.

Dengan tekad yang kuat, Bingwen melawati juga satu persatu tubuh pasukan yang sudah tumbang.

Matanya hampir lepas dari tempatnya, tatkala Bingwen menyaksikan Guru Bao berada di bawah kekangan musuh.

"Guru!" Seru Bingwen.

Dengan sekuat tenaga Bingwen melempar batu ke arah musuh tersebut.

Plak!

Bruk!

Entah bagaimana caranya, lemparan Bingwen begitu kuat.

"Bingwen, apa yang kamu lakukan di sini? Bagaimana kalau mereka menangkapmu?" Guru Bae tidak habis pikir dengan tindakan Bingwen.

"Maafkan aku, Guru Bao. Aku tidak akan membiarkan mereka menyakiti Guru," jawab Bingwen tanpa ada rasa gentar dari jawaban yang dia berikan pada gurunya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status